Share

Bagian 2

Aku Berpindah Agama Karena Aib

Tok tok tok!

Aku mengetuk pintu dengan ragu ketika aku dan Arleta sudah berada di depan pintu rumah Pak Hartono. Tubuh mungil Arleta bersembunyi di belakang punggungku. Arleta benar-benar takut menghadapi Papanya sendiri. Tangan Arleta begitu kuat mencengkeram lenganku. Tingkahnya persis seperti anak kecil yang sedang ketakutan di marahi oleh orang tuanya.

Tidak lama, terdengar seseorang sedang membuka kunci pintu dari dalam. Seketika jantungku berdesir. Arleta semakin mencengkeram lenganku. 

"Kak, aku takut" bisik Arleta pelan.

"Ssst, tenang ya, Sayang" jawabku menenangkannya.

"Loh, Mas Gadi--" ucap Mbak Ningsih sambil mencoba melongok ke arah belakang punggungku dan berusaha melihat Arleta. Ternyata yang membukakan pintu adalah Mbak Ningsih. 

"Lah, Non Leta kok nemplok di belakangnya Mas Gadi to, udah kayak jin yang suka nempel di badannya orang ae" ucap Mbak Ningsih dengan logat jawanya yang kental. Aku tersenyum mendengar perkataan Mbak Ningsih itu.

"Selamat pagi, Mbak Ningsih. Om Hartono ada?" tanyaku pada Mbak Ningsih.

"Kirain kesini mau nyari saya to, Mas. Ternyata mau nyari Tuan Bos, tuh di belakang, lagi kasih makan burung" jawab Mbak Ningsih sambil melengos. Mbak Ningsih ini selalu saja membuatku tersenyum geli ketika melihat tingkahnya itu. Arleta hanya tersenyum saja melihat kelakuan Asisten Rumah Tangganya itu.

Aku dan Arleta kemudian masuk ke dalam rumah Pak Hartono. Dengan perlahan sekali kami melangkah mendatangi Pak Hartono yang sedang sibuk memberi makan burung-burung kesayangannya.

"Selamat pagi, Om" ucapku perlahan supaya tidak mengejutkan Pak Hartono. 

"Lho, Gadi to?" tanya Pak Hartono sambil terus asyik dengan burung-burungnya.

"Iya, Om. Saya juga bareng sama Arleta nih, Om" ujarku lagi takut. Arleta mundur selangkah dan kemudian sembunyi di belakang punggungku lagi.

"Sudah Om duga, Arleta semalaman nggak pulang pasti dia lagi sama kamu, Gadi" jawab Pak Hartono lagi.

"Emm, anu Om, se-semalam," ucapku terbata. Entah apa yang ingin aku sampaikan pada Pak Hartono. Tiba-tiba saja lidahku kelu.

"Udahlah Gadi, nggak perlu sungkan atau merasa bersalah. Kalian kan sudah sama-sama dewasa, pasti bisa menjaga diri, dan bisa memilah mana yang baik, mana yang tidak baik. Om percaya sama kamu, kamu pasti menjaga anak Om dengan baik," ucapan Pak Hartono itu membuatku menelan ludah. Pak Hartono tidak pernah sekalipun berfikir negatif padaku. Dia selalu memandangku dari segi positif. Betapa bodohnya aku sudah mengkhianati kepercayaan Pak Hartono selama ini padaku.

Aku kikuk. Bingung harus bagaimana menjelaskan kebodohan kami berdua ini. Tidak mungkin aku tidak bicara jujur pada Pak Hartono dan menyembunyikan tentang keadaan Arleta saat ini.

"Nak Gadi, kok diam saja? Ayok duduk sini dekat Om, temani Om main catur, sudah lama kita tidak main catur bareng" ajak Pak Hartono padaku.

"Biar Arleta bikin sarapan untuk kita, sudah sana Nduk, kamu mandi lalu bikinkan Papa nasi goreng jawa favorit Papa, masakanmu sama masakan Ningsih beda, masakan Ningsih asin semua! Mau minta kawin barangkali itu si Ningsih" kata Pak Hartono lagi.

"Saya dengar lho, Tuan!" sahut Mbak Ningsih dari arah dapur. Tajam sekali memang telinga Mbak Ningsih ini.

Pak Hartono seketika tertawa terbahak. Sedangkan aku dan Arleta hanya bisa saling berpandangan. Kami masih terus mencari bagaimana jalan terbaik untuk jujur kepada Pak Hartono.

Pak Hartono pun menggelar papan catur miliknya. Dan mulai menyusun buah demi buah catur yang berwarna hitam dan putih itu. Pak Hartono memaksaku untuk serius menghadapi buah catur yang sudah di susun rapi olehnya. Aku anggap ini sebuah intermeso sebelum adegan sesungguhnya terjadi, sebelum aku jujur perihal Arleta yang kini tengah mengandung anakku. Semoga dengan kami menyenangkan hati Pak Hartono, beliau akan mengerti dan merestui hubungan kami. 

"Ayok kita mulai," ajak Pak Hartono.

Beliau pun memulai permainan catur kami. Sesungguhnya aku benar-benar tidak fokus kepada permainan catur ini. Sehingga aku bermain dengan asal-asalan, dan itu membuat Pak Hartono tertawa karena dengan perlahan tapi pasti beliau berhasil mengalahkan aku.

"Nak Gadi, hidup ini di ibaratkan permainan catur, kadang kita bisa seperti raja, bisa jadi seperti menteri, terkadang bisa seperti benteng, kuda, atau gajah. Dan kesemuanya punya pergerakkan masing-masing" ucap Pak Hartono di sela permainan caturnya. Seperti biasanya, Pak Hartono selalu memberikanku wejangan-wejangan yang baik padaku.

"Tapi, Om lebih tertarik pada filosofi tentang bidak atau pion, bidak itu memang materi terkecil dalam permainan catur, tapi bidak punya loyalitas yang luar biasa, bidak itu selalu maju dan tidak pernah berjalan mundur, sekali bidak melangkah tidak ada istilah kembali, bidak itu rela berkorban, bidak itu selalu penuh perhitungan kapan harus melangkah, kapan harus berhenti sejenak. Apapun rintangannya tetap melangkah maju"

  

Aku terkejut dengan perkataan Pak Hartono itu. Perkataannya seperti tamparan untukku. Aku yang semula ragu dan takut untuk bicara jujur mengenai Arleta, kini aku menjadi sangat yakin. Aku tidak akan mundur dan aku akan terus melangkah maju untuk memperjuangkan Arleta dan calon bayi yang sekarang ada di rahimnya.

"Skak mat!" pekik Pak Hartono sambil mengarahkan kuda miliknya melesat menghantam raja ku. Seketika raja ku berpindah tangan kepadanya. Tampak rona bahagia menyelimuti wajah Pak Hartono ketika beliau berhasil merebut raja ku. Aku hanya terdiam melihat kebahagiaan Pak Hartono. Yang aku pikirkan hanyalah, harus mulai darimana untuk jujur pada Pak Hartono.

"Om--" ujarku pelan. Pak Hartono yang masih terlihat merayakan kemenangannya pun tidak terlalu memperhatikan perkataanku.

"Om saya mau bicara serius," ucapku lagi. Kali ini aku sedikit menambah volume suaraku agar Pak Hartono bisa lebih fokus padaku.

"Nanti saja bicaranya, Nak. Om lapar sekali. Nduk, apa nasi gorengmu sudah matang?!" teriak Pak Hartono pada Arleta yang sedari tadi sibuk di dapur.

"Sudah, Pa!" sahut Arleta kemudian. Pak Hartono pun segera menuju dapur dan meninggalkanku sendirian.

Jantungku yang tadinya berdebar lebih kencang akhirnya normal kembali karena ternyata aku gagal untuk membicarakan masalah Arleta. Karena waktu yang belum tepat untuk aku bicara jujur pada Pak Hartono.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status