Share

Bagian 4

     Nayla beranjak pergi dari hadapanku setelah aku memohon padanya untuk jangan membahas perihal kehamilan Arleta pada Pak Hartono. Ku lihat Nayla menghampiri Pak Hartono. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku harap Nayla bersedia membantuku. Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk bisa bicara jujur pada Pak Hartono. 

     Nayla Pratiwi. Dia adalah wanita yang pernah ada di masa lalu ku. Nayla adalah mantan kekasihku sebelum aku menjalin hubungan dengan Arleta. Hubungan kami tidak di restui oleh kedua orang tua Nayla. Karena mereka ingin melihat Nayla sukses menjadi seorang Dokter. Pada saat itu, Nayla masih berkuliah di jurusan kedokteran. Dan aku, aku hanyalah seorang penjual gorengan yang tidak akan mampu memberikan kebahagiaan materi pada Nayla. Itu sebabnya aku mundur dari hubunganku bersama Nayla. Meskipun kami saling mencintai. Dan kini, aku bertemu lagi dengannya setelah sekian tahun disaat dia sudah sukses menjadi seorang dokter. Penampilan Nayla semakin mempesona dengan hijab yang selalu menghiasi kepalanya. Tidak jauh berbeda dengan Nayla yang aku kenal dulu. 

      Ah, untuk apa sih aku mengenang kisah ku dengan Nayla lagi. Toh, sekarang aku sudah punya Arleta yang sedang mengandung anakku. Tapi, tak bisa di pungkiri, aku masih terkenang dengan hubunganku bersama Nayla. Dulu, jangankan menyentuh tangannya, berdekatan dengan Nayla saja aku gemetar. Tidak seperti hubunganku dengan Arleta yang terlampau bebas. Entah kenapa, pada Arleta, nafsuku tidak lagi bisa aku tahan. Dan dengan bejadnya aku memaksa Arleta untuk melayani nafsu binatang ku. Ya Tuhan, maafkanlah dosa-dosaku karena telah membawa gadis sebaik Arleta ke dalam masalah yang begitu rumit seperti ini.

°°°

     Pak Hartono masih belum keluar dari ruang perawatan Arleta. Sudah 30 menit sejak Nayla memberitahu kondisi Arleta tadi, Pak Hartono masuk dan menemani Arleta.

     "Kopi," tetiba saja Nayla menyodorkan segelas kopi hitam padaku. Lalu kemudian, Nayla duduk di sebelahku.

     "Biasanya, kalau kamu lagi ada masalah, kamu bisa habiskan kopi bergelas-gelas" ucap Nayla lagi. Ternyata dia masih ingat dengan kebiasan-kebiasaanku dulu.

     Aku meraih segelas kopi dari tangannya. Lalu ku nikmati kopi panas itu. Aku sesap aroma kopi yang sanggup menenangkan aku.

     "Terima kasih, Nayla" ujarku sambil tersenyum simpul pada Nayla.

     Nayla tidak menjawab. Dan tetiba saja suasana menjadi hening. 

"Gadi--"

"Nay--"

Suara kami bertabrakan.

"Duluan--"

"Duluan--"

     Dan lagi-lagi suara kami bertabrakan. Kamipun terdiam lagi. Kami sama-sama menunduk.

     "Jadi, kapan kamu akan menikahi Arleta?" tanya Nayla kemudian.

     "Entahlah, Nay." jawabku singkat.

    "Kok? Jangan bilang kamu nggak mau bertanggung jawab dengan perbuatanmu" timpalnya lagi.

     "Bukan itu, Nayla. Hanya saja--"

      Suaraku tercekat. Nayla menungguku melanjutkan kata-kataku.

    "Keyakinan kami berbeda, Nay" ujar ku kemudian.

     "Maksud kamu?" tanya Nayla lagi.

     "Iya begitu, agama kami berbeda. Dan Papanya mengizinkanku menikah dengan Arleta jika aku mau masuk ke dalam agama mereka, Nay" Nayla terdiam.

     "Lalu, setelah Arleta hamil seperti ini,  apakah Papanya masih tetap berpendirian seperti itu?" cecar Nayla lagi.

     "Itu yang aku belum tau, karena awalnya, aku memang menginginkan Arleta hamil, karena itu jalanku untuk menikahinya tanpa aku masuk ke dalam agama mereka, Nay. Dan harapanku, Arleta lah yang masuk ke dalam agamaku. Hanya saja, Pak Hartono sangat baik kepadaku, beliau sangat percaya padaku bahwa aku bisa menjaga anak gadisnya dengan baik" jawabku panjang lebar.

     "Tapi nyatanya, kamu sudah mengkhianati kepercayaan Pak Hartono, 'kan? Cinta memang membutakan segalanya, tapi ini suatu kebodohan, Gadi!" ucap Nayla lagi. Aku terdiam tidak menjawab perkataan Nayla itu.

     "Gadi, kenapa sekarang kamu jauh berbeda dengan Gadi yang ku kenal dulu? Seingatku, selama kita berhubungan dulu, sekalipun kamu tidak pernah menyentuhku, tapi kenapa sekarang setelah bersama orang lain, kamu nekad seperti ini sih, Gadi?" aku hanya terdiam mendengar perkataan Nayla itu. Aku tidak berani menjawabnya. Aku merasa sangat malu pada Nayla.

     "Apakah kamu tau, Gadi. Bahwa dosa zina, apalagi jika di tambah kamu murtad itu adalah dosa yang tidak terampuni. Itulah kenapa Allah mengatakan, -Wala taqrabu zina- jangan dekati zina. Mendekati saja tidak boleh, apalagi sampai terjerumus kedalamnya."

    "Sangat jelas tertulis dalam alquran,

Di dalam surat Al Isra ayat 32 yang berbunyi, Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." 

(QS. Al-Isra: 32).

     Ya Allah, betapa aku malu pada Nayla yang soleha ini. Bahkan dia memberi tahu padaku tentang ayat suci Alquran yang nyata-nyata membahas tentang perbuatan zina, yang selama ini aku tidak memahaminya.

    "Dan saat anak itu lahir, dia tidak akan bernasab pada ayah biologisnya, yang artinya, mereka tidak akan menggunakan namamu sebagai nama bin atau binti dari anakmu itu, itu suatu dosa besar, dan bahkan anakmu kelak tidak akan bisa mewarisi apapun darimu, jika anakmu perempuan, maka kelak jika dia menikah, kamu tidak akan bisa menjadi walinya, Gadi" ucap Nayla panjang lebar menjelaskan padaku. 

     Aku memang sangat buta dalam ilmu agama. Meskipun aku adalah seorang muslim dari lahir. Tapi aku tidak pernah mendalami agamaku sendiri. Aku berfikir bahwa aku bisa membawa Arleta masuk ke dalam agamaku jika aku menghamilinya. Tapi ternyata, aku salah besar. Justru semua ini semakin menambah berat timbangan dosa-dosaku. 

     "Bertaubat lah, Gadi. Sebelum semuanya terlambat. Sesungguhnya jarak ajal dengan kita itu hanya setipis kulit saja. Hanya bertaubat yang bisa menolongmu saat ini, Allah Maha Pengampun, Gadi" Nayla pun beranjak pergi dari sebelahku setelah mengucapkan perkataan yang sangat menusuk jantungku itu.

     Apa yang harus aku lakukan sekarang. Tidak mungkin aku meninggalkan Arleta di saat dia seperti ini. Aku yang sudah membawanya masuk ke dalam jurang kenistaan ini. Aku melangkah pelan menuju ruang perawatan Arleta. Aku mengintip dari balik pintu. Terlihat Pak Hartono tengah tertidur pulas sambil duduk di sebelah pembaringan Arleta.

     "Kak," ternyata Arleta menyadari kehadiranku. Aku pun perlahan masuk ke dalam ruang perawatan Arleta.

     "Sayang, bagaimana keadaanmu sekarang?" tanyaku pada Arleta yang terlihat masih sangat lemah.

     Arleta tersenyum manis, "aku baik-baik saja kok, Sayang" jawab Arleta pelan.

     "Kenapa Kakak lama sekali di luar?" tanya Arleta lagi.

     "Kakak tadi ngopi, Leta. Kakak sakit kepala" jawabku mencari alasan.

    "Maaf ya, Kak. Gara-gara Leta, kalian semua jadi repot," ucap Arleta lirih.

     "Ssst, jangan berfikir macam-macam dulu Leta, yang penting kamu harus sehat dulu, kamu harus jaga kondisi kamu dan juga calon bayi kita" jawabku menguatkan Arleta.

   "Calon bayi kita? Apa-apaan ini, apa maksud kalian?!" tetiba saja Pak Hartono bangun dari tidur lelapnya. Dan rupanya Pak Hartono mendengar semua percakapanku dengan Arleta tadi. Ya ampun, betapa bodohnya aku!

     Aku dan Arleta bergeming. Aku dan Arleta hanya bisa saling tatap. Mata kami beradu pandang. Aku dan Arleta terkejut menyadari Pak Hartono bangun dari tidurnya dan mendengar seluruh percakapan kami tadi. Aku juga terlalu bodoh, tidak seharusnya aku bicara seperti itu. Mengapa aku harus membahas masalah calon bayiku di hadapan Pak Hartono. Kini Pak Hartono sudah mendengar bahwa Arleta sedang hamil langsung dari mulutku sendiri. Dan aku harus siap untuk menjelaskannya pada Pak Hartono, bagaimanapun reaksi beliau nantinya.

     "Jawab Arleta, Gadi! Kenapa kalian diam saja, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari Papa!" ujar Pak Hartono lagi dengan nada suara mulai meninggi. Matanya melotot ke arah kami. Terlihat sekali Pak Hartono tengah menahan amarah di dadanya.

     "Pa-Papa," Jawab Arleta terbata. Tampak jelas ada raut ketakutan di wajah Arleta.

     "Sebelumnya saya minta maaf, Om. Semua yang terjadi itu karena kesalahan saya," jawabku kemudian. 

     "Ada apa, Gadi? Jangan berbelit-belit kamu!" hardik Pak Hartono padaku.

     "Arleta hamil anak saya, Om" jawabku pelan.

     Aku benar-benar sudah pasrah bagaimanapun reaksi Pak Hartono padaku. Pak Hartono terlihat sangat terkejut. Bergantian beliau memandangi aku dan Arleta. Dan seketika Pak Hartono melayangkan tangannya ke arah wajah Arleta. Tapi dengan sigap aku mampu menahan tangan Pak Hartono sehingga tangan beliau tidak mengenai wajah Arleta.

     "Jangan sakiti Arleta, Om! Kalau mau pukul, pukul saya saja. Semua salah saya!" ucapku sambil menahan tangan Pak Hartono.

"Bodoh kamu, Leta! Dan kamu Gadi, kamu itu laki-laki bejad!" teriak Pak Hartono.

Bug!!!

     Seketika Pak Hartono melayangkan pukulannya ke wajahku dan tepat mengenai pelipis ku. Aku mundur selangkah menjauh dari Pak Hartono sambil memegangi pelipis ku. 

     "Papa, jangan!" teriak Arleta sambil berusaha bangkit dari pembaringannya.

     "Kurang apa saya sama kamu, Gadi! Saya percaya sepenuhnya padamu karena saya mengira kamu bisa menjaga anak saya dengan baik, tapi ternyata justru kamu yang sudah merusak anak saya!" pekik Pak Hartono lagi. Aku tidak berani memandang wajah Pak Hartono. Aku hanya menunduk sambil menahan sakit di pelipisku.

     "Semua saya berikan padamu, saya percayakan usaha saya padamu, tapi kenapa ini balasan yang kamu berikan kepada saya, Gadi!" Pak Hartono mendekatiku lagi, lalu beliau mencengkeram kerah bajuku dengan sangat kuat. Dan aku merasakan leherku tercekik akibat cengkeraman Pak Hartono. 

     Arleta hanya mampu berteriak dari pembaringannya karena tubuhnya masih sangat lemah. Aku tidak sanggup melawan Pak Hartono. Terlihat jelas sekali amarah di mata Pak Hartono. Aku pasrah karena aku memang pantas mendapatkan semua ini. Karena memang akulah yang bersalah.

     Tidak lama datang Nayla dan beberapa perawat lainnya. Mereka datang karena mendengar kegaduhan di antara kami. Nayla berusaha menarik tubuh Pak Hartono, tapi justru Nayla yang terpental karena Pak Hartono mendorong tubuh Nayla untuk menjauh dari kami.

     "Tidak tau terima kasih kamu, Gadi!" ucap Pak Hartono lagi sambil terus mencengkeram kerah bajuku.

     "Saya akan bertanggung jawab atas kehamilan Arleta, Om!" ujarku kemudian.

 

     "Gampang sekali kamu bilang akan bertanggung jawab setelah kamu melempar 'tai' ke wajah saya, Gadi!" cengkeraman Pak Hartono belum juga lepas dari kerah bajuku. Dan justru semakin menguat.

     "Pak Hartono, tolong jangan membuat kegaduhan disini, Pak. Kasihan pasien yang lain butuh ketenangan," ucap Nayla pada Pak Hartono.

    Pak Hartono pun melepas cengkeraman nya. Akhirnya aku bisa bernafas lega karena sedari tadi aku merasakan seperti tercekik oleh cengkeraman Pak Hartono. Arleta hanya menangis melihat amarah Papanya.

     "Kamu harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu ini, Gadi!" ucap Pak Hartono lagi.

     "Iya, Om. Saya akan bertanggung jawab atas kehamilan Arleta ini. Saya akan menikahinya" jawabku pelan.

     "Pernikahan itu tidak akan terjadi kalau kamu belum masuk ke agama saya, Gadi!" ujar Pak Hartono. 

     Aku hanya terdiam. Seketika suasana ruangan itu menjadi hening. Nayla menatapku lekat. Seperti sedang menanti jawabanku atas perkataan Pak Hartono tadi.

    "Kenapa kalian tega pada Papa, apa salah dan dosa Papa, Nak" tetiba Pak Hartono memeluk Arleta dan menangis di pelukan Arleta. Aku sungguh tidak tega melihat Pak Hartono seperti itu. Arleta ikut menangis bersama Papanya. 

    "Papa tidak menyangka kalau Gadi bisa setega ini mengkhianati kepercayaan Papa,"ucap Pak Hartono dengan suara yang bergetar.

    "Pa, semua salah Arleta karena Arleta tidak bisa menjaga diri. Bukan sepenuhnya salah Kak Gadi, Pa" jawab Arleta pelan.

    "Bagaimana Gadi, apa yang harus kamu lakukan jika ingin menikahi anak saya, jangan harap saya mengizinkan kamu menikahi Arleta kalau kamu tidak mau ikut agama kami! Walaupun Arleta sekarang hamil anak kamu, lebih baik Arleta tidak punya suami daripada Arleta harus keluar dari agamanya demi bisa menikah denganmu!" 

     Dadaku sesak mendengar perkataan Pak Hartono itu. Betapa tangguh pendirian beliau. Beliau lebih rela malu anaknya melahirkan tanpa punya suami daripada membiarkan Arleta berpindah keyakinan dan menikah denganku.

     "Pikirlah sekali lagi, Gadi! Masuk agama Om, atau tidak akan ada pernikahan antara kamu dan Arleta!" Pak Hartono kemudian keluar dari ruang perawatan Arleta. Tinggallah aku, Arleta dan Nayla yang masih di ruangan ini.

    Aku terdiam. Termenung tanpa bisa berkata apapun juga. Aku meremas kepalaku. 

     "Kak," panggil Arleta. Aku menoleh ke arahnya.

     "Zina adalah dosa besar, Gadi. Lalu mau kau tambah dengan kemurtadanmu? Segeralah bertobat, Gadi. Semoga Allah memelihara imanmu" Ucap Nayla, kemudian dia berlalu dari hadapanku meninggalkan ruang perawatan Arleta.

     "Kakak kenal dengan Dokter itu?" tanya Arleta penuh rasa heran.

    "Iya, Leta" jawabku singkat.

    "Kakak cerita tentang masalah kita padanya?" tanya Arleta lagi.

    "Dia sudah tau kalau kamu hamil, Leta. Dan terpaksa aku harus menceritakan semuanya karena aku meminta tolong padanya untuk tidak menceritakan keadaanmu pada Papamu," ucapku menjelaskan pada Arleta.

     "Lalu, apa yang harus kita lakukan, Kak. Bagaimana untuk ke depannya?" tanya Arleta.  

    Aku terdiam. Aku tertunduk lesu. Entah apa yang harus aku lakukan. Tidak mungkin aku menculik Arleta, membawanya laribdari Papanya dan menyuruhnya masuk agamaku.

     "Kak, aku takut kamu akan menyerah dan meninggalkan aku karena Papa memaksamu masuk ke dalam agamaku." butiran bening jatuh di sudut mata Arleta. Aku merangkulnya perlahan.

     "Saya tidak akan meninggalkan kamu, Leta," bisikku di telinga Arleta.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status