Share

Bagian 3

Aku Berpindah Agama Karena Aib

Akupun segera beranjak menyusul Pak Hartono yang sudah berjalan terlebih dulu menuju dapur. Kulihat Mbak Ningsih sedang mengatur meja makan dengan rapih. Aku hanya tersenyum ketika Mbak Ningsih melihatku. 

"Duh Mas Gadi ini, tatapannya itu lho, bikin klepek-klepek!" ujar Mbak Ningsih dengan ciri khas bicaranya yang genit-genit manja.

"Heh, Ningsih! Ngapain kamu godain calon ayah anak aku!" celetuk Arleta yang sedang membawa satu wadah besar nasi goreng pesanan Pak Hartono. 

Aku dan Arleta terbelalak. Kemudian Arleta tersadar akan perkataannya itu. Mbak Ningsih pun ikut terkejut dengan kata-kata Arleta.

"Hah? Calon ayah? Emang Non Leta ham--"

"Sssttt!" dengan buru-buru aku mengangkat jari telunjukku ke arah bibirku. Memberi isyarat pada Mbak Ningsih untuk menghentikan perkataannya. Aku khawatir Pak Hartono mendengar apa yang kami bicarakan.

"Ada apa to kok rame banget," celetuk Pak Hartono yang berjalan dari arah dapur. 

"Em--"

"Sudah, sudah. Papa mau sarapan dulu, cacing di perut Papa sudah pada main kuda lumping ini saking laparnya" ucap Pak Hartono memutus perkataan Arleta. 

Kemudian aku dan Arleta pun ikut duduk di meja makan bersama Pak Hartono. Wajah tegang Arleta masih nampak jelas. Meskipun Arleta berusaha menyembunyikannya di balik senyuman manisnya.

"Ayok Nduk sarapan, Nak Gadi ayok sarapan," ajak Pak Hartono padaku dan Arleta. Arleta pun kemudian mengambil piring di hadapanku lalu mengisinya dengan beberapa sendok nasi goreng buatannya.

Tidak lama kemudian datang Mbak Ningsih membawa satu baki berisi beberapa gelas susu murni yang memang wajib ada di meja makan ketika Pak Hartono sarapan. 

Tapi ketika Mbak Ningsih menaruh segelas susu murni di hadapan Arleta, dengan refleks Arleta menutup hidung dan mulutnya. Arleta seperti sedang merasakan mual dan ingin muntah.

"Huupp--" Arleta menutupi mulutnya dengan kedua tangannya.

"Kamu kenapa to, Nduk?" tanya Pak Hartono melihat Arleta yang seperti ingin muntah itu.

"Huuupp--" sekali lagi Arleta menutup mulutnya dengan kedua tangannya sambil bergegas lari ke arah kamar mandi. Dengan cepat aku menyusul Arleta karena aku khawatir terjadi apa-apa dengannya.

"Huweeeekkk" 

Dan benar saja, begitu sesampainya di kamar mandi, Arleta seketika menumpahkan isi perutnya. Aku pun segera memegang leher belakang Arleta lalu membantu memijatnya.

"Oalah Nduk, kok seperti orang lagi bunting ae to pake huwak-huwek segala" kudengar celetukan Pak Hartono dari meja makan. Jantungku seketika berdebar kencang.

"Kamu kenapa, Sayang?" bisikku perlahan pada Arleta.

"Aku mual Kak begitu Mbak Ningsih menaruh segelas susu di hadapanku, aku tiba-tiba mual mencium bau susu itu, Kak" jawab Arleta pelan. Dia takut suaranya di dengar oleh Papanya. Akupun terus memijat lehernya dengan lembut. Arleta kemudian menangis.

"Sayang, kamu jangan nangis dong. Sabar ya, Dik. Semua pasti baik-baik saja" bisikku di telinga Arleta. 

Tidak lama kemudian, Arleta membersihkan dirinya. Dan aku menuntunnya kembali menuju meja makan. Ku lihat Pak Hartono tengah lahap menyantap nasi goreng buatan Arleta. Biarlah Pak Hartono menghabiskan sarapannya dulu, setelah ini mungkin waktu yang tepat untukku bicara jujur kepada beliau.

Setelah kami semua selesai menikmati sarapan, Arleta pun beranjak dari meja makan dan hendak membereskan piring-piring kotor bekas kami makan tadi.

Tapi tiba-tiba...

BRUUKKK!!

Tubuh mungil Arleta terjerembab ke lantai. Dan Arleta tidak sadarkan diri. 

"Nduk, kamu kenapa Nduk?" tanya Pak Hartono panik. Mbak Ningsih yang sedari tadi sibuk membereskan meja pun lari mendekati Arleta.

"Non,!" pekik Mbak Ningsih.

Aku pun menggendong tubuh Arleta menuju sofa ruang tamu. 

"Ambil minyak kayu putih, Mbak"ujarku pada Mbak Ningsih. Mbak Ningsih pun bergegas lari ke kamarnya dan kemudian kembali membawa sebotol minyak kayu putih.

"Bawa ke dokter saja, Nak Gadi"ucap Pak Hartono kemudian. Tidak lama beliau pun menelepon rumah sakit. Tidak sempat lagi aku melarang beliau untuk menelepon rumah sakit. Semua dalam keadaan panik. Terlebih aku.

Aku khawatir apabila Arleta di bawa ke rumah sakit, kemudian Arleta akan diperiksa oleh dokter. Dan sudah pasti dokter itu akan tau bahwa Arleta sedang mengandung.

"Om--"

"Sudah kamu jangan panik ya, Om sudah telepon rumah sakit dan sebentar lagi ambulans datang menjemput Arleta" ucap Pak Hartono memutus pembicaraanku.

Aku kemudian hanya bisa terdiam. Aku mengusap rambut Arleta perlahan. Pikiranku kacau, aku takut terjadi apa-apa pada Arleta dan calon bayiku. Tubuh Arleta sangat lemah sekali, mungkin karena dia sedang mengandung anakku.

°°°

Setelah kami sampai di rumah sakit, Arleta masih tidak sadarkan diri. Kemudian Arleta dibawa ke ruang I.G.D (Instalasi Gawat Darurat). Dan sementara itu Pak Hartono mengurus segala registrasi Arleta.

"Leta, kamu yang kuat sayang" bisikku pada Arleta sambil terus mencium punggung tangannya.

"Maaf, Pak. Silakan tunggu di luar ya, Pasien akan kami periksa" seorang perawat menahan tubuhku agar aku tidak ikut masuk dalam ruang perawatan. Aku hanya boleh menunggu di luar.

Tidak lama Pak Hartono datang menghampiriku. 

"Bagaimana Arleta, Nak Gadi?" tanya Pak Hartono.

"Arleta masih di periksa di dalam, Om" jawabku pelan. 

Pak Hartono pun kemudian duduk di sebelahku. Beliau juga tampak gelisah dan sangat mengkhawatirkan Arleta.

"Kenapa sih anak itu, akhir-akhir ini dia aneh sekali, tubuhnya seperti lemah sekali, setiap Om tanya kenapa, dia selalu bilang tidak apa-apa, dia juga sering murung dan mengurung diri di kamar" ucap Pak Hartono kemudian.

Aku hanya terdiam dan mendengarkan Pak Hartono. Andai Pak Hartono tahu bahwa aku yang menyebabkan Arleta menjadi seperti itu.

"Apa kalian sedang bertengkar, Gadi?" tanya Pak Hartono padaku.

"Hah? Bertengkar? Nggak kok, Om" jawabku cepat. Aku sangat gugup di hadapan Pak Hartono.

"Lalu, kenapa tingkah Arleta akhir-akhir ini sangat aneh? Seperti sedang memendam masalah yang sangat berat,"ujar Pak Hartono lagi.

"Se-sebenarnya--"

"Keluarga Bu Arleta.." tiba-tiba pembicaraanku terputus oleh panggilan dari seorang dokter yang keluar dari ruang perawatan Arleta. 

Kenapa sangat sulit sekali untuk bicara semuanya pada Pak Hartono. Ada saja gangguan ketika aku ingin mengungkapkan kebenaran tentang kondisi Arleta.

Sepertinya aku tidak asing dengan suara dokter ini, aku perhatikan dengan seksama. Sepertinya aku mengenal siapa perempuan ini. Meskipun hanya matanya saja yang terlihat, karena separuh wajahnya tertutup oleh masker. Tapi, rasanya seperti tidak asing bagiku.

"Dokter Muda Nayla Pratiwi" aku membaca klip nama yang terpasang di dada kanannya. Tidak salah lagi. Dia ini Nayla.

"Bapak suami dari Bu Arleta?" tanya Nayla padaku. Pertanyaan Nayla itu sontak mengejutkanku dan juga Pak Hartono.

"Su-suami?" tanya Pak Hartono tidak mengerti. 

Dengan sigap aku menarik lengan Nayla, dan membawanya untuk menjauh dari Pak Hartono

"Dokter, ini saya Gadi, saya mau bicara penting sama Dokter" bisikku pada Nayla yang awalnya memberontak ketika tanganku menarik tangannya. Akhirnya Nayla yang juga mengenaliku pun menuruti perkataanku dan membiarkanku membawa tubuhnya menjauhi Pak Hartono. Pak Hartono hanya terdiam melihatku membawa Nayla bersamaku.

"Gadi? Kok kamu ada disini?" tanya Nayla lagi.

"Nayla, nanti aku jelaskan itu ya, bagaimana keadaan Arleta di dalam?" tanyaku cepat pada Nayla.

"Justru itu aku tadi cari suaminya Bu Arleta, Gadi. Karena aku mau melakukan observasi lebih jauh pada pasienku itu. Karena sepertinya beliau sedang hamil muda--"

"Sstt, pelan-pelan Nay ngomongnya!" hardikku pada Nayla memutus perkataannya. Nayla hanya mengernyitkan alisnya tanda tidak mengerti.

"Kamu kenapa sih, Gadi?" tanya Nayla lagi.

"Nay, pasien kamu di dalam itu, dia calon istriku. Dia memang sedang hamil muda, mungkin usia kandungannya baru beberapa minggu. Dan bapak itu, beliau Papa Arleta, beliau belum tau kalau anak gadisnya sedang mengandung anakku" jawabku dengan suara perlahan namun sedikit ku tekan suaraku agar Nayla bisa mengerti.

"Astagfirullah al'adzim Gadi???" ucap Nayla dengan mata yang terbelalak. Nayla pun menutup mulutnya dengan kedua tangannya karena dia sangat terkejut dengan perkataanku.

Nayla menggelengkan kepalanya tanda tidak percaya.

"Nay, tolong, tolong banget kamu jangan bicara masalah kehamilan Arleta pada Papanya. Aku hanya butuh waktu untuk bisa jujur tentang masalah ini ke Papanya Arleta, Nay" pintaku pada Nayla.

"Aku mohon, jangan sampai Papanya tahu kabar anaknya hamil dari orang lain, aku sendiri yang akan mengatakannya pada Pak Hartono, Nay. Aku hanya mencari waktu yang tepat untuk jujur pada beliau," ujarku sekali lagi mencoba mengiba belas kasihan dari Nayla.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status