Keheningan masih terasa di dalam ruang kerja milik Sofian. Sang empu rumah tersebut menyesap tehnya sebelum akhirnya berkata, "Tapi sebelumnya, kita harus mengetahui siapa saja biduk yang ditanam oleh Hendra di dalam perusahaan, pak."
Axel menganggukkan kepalanya. Memicingkan matanya ke arah Sofian. "Benar. Dan aku sudah mendapatkan beberapa diantaranya, tapi aku masih belum yakin apakah itu sudah termasuk ke dalam jumlah keseluruhan."Kali ini Sofia mengerti apa yang dimaksud oleh kedua pria tersebut. Kali ini dia ingin mengungkapkan pendapatnya. "Bagaimana kalau kita menyelidiki latar belakang para karyawan satu persatu, pak?""Tapi, bukankah itu akan memakan waktu yang lama?" tanya Sofian, keningnya mengernyit karena putrinya tiba-tiba memberi ide."Tidak, pa. Jika pak Axel membayar orang yang tepat untuk mencari apa yang kita inginkan," jawab Sofia dengan sungguh-sungguh."Sofia benar. Kita harus mencari satu persatu biduk yang digunSofia dan Axel terkejut menatap kedatangan Ruslan dan Stephanie dengan napas yang masih terengah-engah. Jujur saja, Axel terlalu terbuai ketika seharusnya mereka berakting untuk ciuman yang sekedarnya. Bibir Sofia begitu candu baginya, begitu lembut, manis, dan basah. Bahkan hal itu membuat kejantanan miliknya menegang keras di balik celana kantornya. Pipi Sofia bersemu merah, bukan karena dirinya bertemu dengan Ruslan. Melainkan ciuman yang penuh gairah yang baru saja terjadi dengan Axel. Pikirannya kosong sejenak, berusaha mencerna apa yang tengah terjadi. Ciumannya dengan Axel benar-benar memabukkan. Membuat miliknya yang berada di bawah menjadi basah.Ruslan terlihat mendatangi Axel dengan amarah yang membuncah. "Apakah pantas, seorang CEO melakukan hal yang tak senonoh pada sekretarisnya? Bahkan anda melakukannya di dalam kantor? Bukankah itu hanya di lakukan oleh pria brengsek?" Mata Ruslan menatap tajam ke arah Axel. Ada perasaan yang begitu pedih melihat S
Dengan langkah gontai, Sofia kembali ke rumah tepat pukul 8 malam. Saat ia membuka pintu rumahnya. Kedua balitanya berlarian untuk menyambut kedatangannya. "Mama!" seru Lucas berlarian yang kemudian disusul oleh Luna. Sesekali Luna terjatuh namun bangkit kembali untuk segera berada di pelukan mamanya."Sayangku..." Sofia mengecup puncak kepala mereka satu persatu. Hilang sudah rasa penat yang ia rasa sehabis pulang kerja."Mama kangen." Lucas memeluk erat leher Sofia saat memeluknya dengan posisi jongkok.Sofia terkejut mendengarnya. Perasaannya menghangat. "Mama juga kangen sama kalian.""Lucas, Luna... ikut sama mbak Yul dan mbak Sri ya! Mama pulang kerja harus mandi dulu," ujar Haya berada di belakang mereka. Yul dan Sri adalah pengasuh baru khusus untuk mengasuh kedua balitanya."Gak mau!" rengek Lucas masih memeluk erat leher Sofia. Membuat Sofia terkekeh geli dan mencium pipi putranya bertubi-tubi. Betapa dia rindu dengan sikap Luca
Rianti terpogoh-pogoh saat putranya masuk ke dalam rumah baru mereka. Tangannya sibuk menggendong Zen yang sudah terlelap. "Rus, ibu mau bicara sama kamu." Ruslan melepas sepatu dan menaruhnya di rak. Melonggarkan dasinya seraya bertanya, "Bicara apa, bu?""Apa kamu gak bisa, sewa pengasuh untuk Zen aja?" tanya Rianti setengah berbisik. Takut Zen kembali terbangun, mengingat bayi tersebut begitu sensitif."Bukannya ibu senang dengan kehadiran Zen? Terus kenapa sekarang tiba-tiba minta pengasuh?" Jujur, tingkah ibunya membuatnya sedikit kesal. Dulu ibunya begitu mengelu-elukan Zen dibanding Lucas dan Luna. Tapi giliran sekarang dapat bagian momong, malah menyuruhnya untuk mencari pengasuh."Ibu gak bisa sambil kerja kalau Zen rewel, udah banyak pelanggan ibu yang kecewa karena lambatnya bales chat," keluh wanita paruh baya tersebut."Tapi aku gak juga suka kalau anakku di asuh orang lain, bu." Ruslan paling tidak suka jika anaknya harus t
"Apa kau sudah mendapatkan berita terbaru?" tanya Sasha, teman pindahan Riana dari Surabaya. Dia juga menjadi salah satu biduk yang ditanam Hendra. Dia dan Riana memang terbiasa untuk bertukar informasi dan gosip di restoran yang terletak lumayan jauh dari Bumi Grafis. Riana menggelengkan kepalanya. "Belum.""Aneh, apa yang harus kita katakan kalau kita tidak mempunyai informasi yang terbaru?" tanya Sasha dengan gelisah.Sedang Riana sedari tadi mencoba membalas chat Jimmy dengan ponsel yang ia sembunyikan di bawah meja. Sesekali ia tersenyum membaca gombalan yang dikirim Jimmy untuknya."Ri! Kamu dengerin aku gak sih?" tanya Sasha mengejutkan Riana."Eh apa?"Sasha menghela napasnya. "Fokus, Ri. Kalau atasan tahu kamu lagi gak fokus, dia bakalan marah, tahu gak?" Riana mengendikkan kedua bahunya. "Apa urusannya sama aku? Kan aku cuma disuruh kerja di bagian lobi, sama kak Ruslan gak disuruh tuh yang aneh-aneh."
"Jika kau tidak bisa menggapainya, kau bisa mundur." Axel tengah berbincang melalui panggilan ponsel dengan Rosa. Dia tak terkejut mendengar pernyataan Rosa mengenai Reynald yang sedikit sulit untuk ditaklukkan. Sofia sudah memberitahunya, adik terakhir Ruslan itu memang tidak mudah untuk dirayu seorang wanita. Namun mungkin bisa digoyahkan jika perihal melukis. Diam-diam Sofia mengetahui, perdebatan antara Rianti dengan Reynald dulu. Rianti tak menyukai, jika putranya membuang-buang waktu untuk mencoret-coret warna di atas kanvas. Ia ingin semua anaknya sukses dengan bekerja dikantor mengenakan seragam kebanggaan."Tidak, serahkan saja semuanya pada saya. Bukankah anda hanya ingin fokusnya teralihkan?""Ya. Lalu, apa yang ingin kau lakukan?""Saya akan menggunakan cara saya sendiri. Jadi, tolong percayakan tugasnya pada saya lagi." Suara Rosa terdengar begitu percaya diri membuat Axel kembali mempercayakan tugas tersebut untuknya. "Baiklah."Axel
Pria bermata sipit yang tengah mengemudikan mobilnya dengan laju itu tengah menahan pedih. Benaknya berkecamuk memikirkan anaknya yang malang. Meski ia enggan untuk mengakui cintanya pada Sofia. Tapi, perasaannya pada kedua anaknya melebihi apa yang orang lain tahu. Ia menemani tumbuh kembang kedua anaknya sejak dilahirkan ke dunia hingga akhirnya ia harus terpisah karena sebuah keadaan. Berbeda dengan Zen yang hanya ia datangi beberapa kali dalam sebulan. Kasih sayangnya pada Lucas dan Luna berada ambang yang berbeda.Ruslan memukul setir kemudinya dengan keras. Dia memang lembek jika persoalan ibu atau anaknya. Pikirannya kini begitu kacau, seharusnya dengan rencana yang ia buat sedemikian rupa dengan ayah kandungnya tidak membuatnya kehilangan separuh jiwanya. Ia harus menemui ayahnya.Dia memutar arah, lalu melesatkan mobilnya membelah jalan. Pikirannya akan terus terganggu jika dia tidak segera bertukar pikiran dengan Hendra. Pria tua itu nyatanya sudah hadir
Sejenak Sofia ragu akan permintaan bosnya. Namun Haya yang tiba-tiba datang dan menguping pembicaraan mereka menyahut, "Sofi, gak baik mengusir tamu di tengah malam kayak gini. Pak Axel kan bisa menginap di kamar tamu lantai atas.""Wah, ternyata bu Haya lebih peka dibanding anaknya," sindir Axel.Sofia menghela napas. Ia kalah, mau tak mau ia akan membiarkan bosnya menginap malam ini. "Baiklah."Senyum kemenangan terbit di wajah Axel. "Good job."Malam semakin larut, ketika Sofia gelisah di atas ranjang menemani Luna. Perutnya terus berbunyi meminta untuk diisi. Memang tadi malam sebelum pulang, ia hanya makan nasi dalam porsi yang sedikit. Alhasil, pukul 1 dini hari, perutnya sudah membuat drama meminta jatahnya. Akhirnya Sofia bangkit, keluar dari kamar dan menuruni anak tangga. Ia mempercepat langkahnya menuju dapur tanpa menyalakan lampu. Dengan hati-hati, Sofia membuka pintu, mengambil sepotong kue tiramisu dan langsung memakannya di depan kulkas yang masih ter
Pagi ini begitu cerah, secerah suasana hati Riana Ho. Senyum manisnya terus mengembang, sesekali mata sipitnya menyapu lobi berharap menemukan pria yang mempunyai lesung di pipinya. Lalu matanya terbelalak, senyumnya semakin merekah kala Jimmy memasuki pintu lobi dengan tangannya yang melambai di udara kearahnya. Tapi Riana berpura-pura tak melihat, fokusnya ia alihkan menatap layar komputer. Dari ekor mata, Riana dapat melihat Jimmy tengah berlarian kecil menuju ke arahnya. Degup jantungnya semakin berdetak tak karuan seiring tubuh atletis itu mendekat ke arahnya."Hi, Sweety."Sekuat tenaga Riana tak menampilkan senyum manisnya. "Hi, Jimmy."Jimmy menarik bibirnya ke bawah. Menampilkan ekspresi sedih dibuat-buat. "Kenapa kamu tidak terlihat ceria seperti biasa? Dimana senyum manis yang membuat dadaku berdebar setiap melihatnya?" Ah, Jimmy mengakui dirinya sendiri yang mempunyai keahlian merayu untuk mangsanya.Pipi Riana bersemu merah. Ia menyel