Share

Iri

"Hey ... Rian. Kamu kan penulis novel cinta di ujung sajadah itu, kan?"

Aku sedikit bernafas lega saat Nadia tiba-tiba muncul dan menarik pergelangan tangan lelaki bernama Rian hingga membuat jarak diantara kami sedikit menjauh.

"Mbak Nadia!" Lelaki itu melemparkan senyuman pada Nadia. "Anda di sini juga?" imbuhnya dengan wajah terkejut. "Anda juga ikut menerbitkan buku di sini?" beo Rian, tergambar keterkejutan pada wajah lelaki itu.

Tanpa sepengetahuan Mas Adam, aku menginjak ujung kaki Nadia yang berdiri di sampingku. Agar dia segera melakukan aksinya.

"Eh, salah!" celetuk Nadia tergeragap dan sedikit melonjak. "Bukan, bukan begitu!" Nadia menggoyangkan kedua tangannya di depan dada.

"Inikan perusahaan aku, jadi aku yang memilki perusahaan ini. Jadi, mana mungkin aku menerbitkan buku di sini," cerocos Nadia.

"Tapi di undangan itu ...!"

Belum sempat Rian menyelesaikan ucapannya. Nadia sudah lebih dulu menarik pergelangan tangan lelaki muda itu untuk pergi.

Aku menghela nafas lega. "Hampir saja!" batinku.

"Nia, kamu merasa ada yang aneh nggak dengan sikap Nadia dan lelaki itu?" Mas Adam menjatuhkan tatapan penuh selidik pada Nadia dan Rian yang berlalu.

"Nadia? Penulis itu?" Aku mengikuti arah tatapan Mas Adam. "Ah, itu hanya perasaan Mas Adam saja. Aku sih, biasa saja kok!" balasku menyunggingkan senyuman.

*****

"Alhamdulillah, akhirnya ibu punya cucu juga!" Ibu berhambur menjatuhkan pelukan kepada Risa.

Aku dan Mas Adam yang baru datang dari acara peresmian perusahaan penerbit buku milikku, sedikit terkejut dengan pemandangan yang terjadi di dalam rumah. Nasi tumpeng dan beberapa makanan lainnya tersaji di atas meja, aku yakin tidak mungkin ibu memasaknya sendiri.

"Adam, kemarilah!" seru Ibu pada Mas Adam dengan gurat wajah bahagia.

Sesaat Mas Adam menyapu pandangannya ke sekeliling. Sementara aku memilih mengekori di belakang punggung Mas Adam.

"Ada acara apa ini, Bu?" tanya Mas Adam dengan wajah heran.

Ibu yang berdiri di samping Risa berjalan menghampiri Mas Adam. "Adam, sebentar lagi kamu akan punya ponakan baru dan kamu akan jadi seorang, Om!" cerita Ibu bersemangat.

"Benarkah?" sahut Mas Adam tersenyum kecil. Aku yakin di dalam hati Mas Adam pasti sedang kecewa saat ini.

Aku menghela nafas panjang, aku tidak ingin hatiku semakin sakit. Aku memilih memutar tubuhku menuju kamar daripada aku terus-terusan menjadi bahan hinaan ibu.

"Nia!"

Sial! Suara wanita itu terdengar nyaring masuk dalam indra pendengaranku.

Aku memutar tubuh kembali ke arah semula. "Iya, Bu!" sahutku seramah mungkin.

"Sini!" Ibu melambaikan tangannya padaku yang sudah sedikit menjauh dari meja makan.

"Ah, malas sekali aku berkumpul dengan keluarga Mas Adam," batinku.

Kuseret langkah kakiku lambat mendekati meja makan.

"Belajar tuh sama Risa, biar kamu juga cepat-cepat dapat momongan!" Ibu seperti sedang menjatuhkan aku di depan Risa dan Rico, adik Mas Adam.

"Iya, Bu!" lirihku menahan perih.

"Ibu kan juga pengen punya cucu dari Adam. Masa iya sudah nikah lama nggak ngisi-ngisi juga?" decih Ibu dengan nada lembut, namun begitu menusuk.

"Aku kan juga sudah berusaha, Bu! Tapi, masalah momongan itu bukan aku yang ngatur!" balasku kesal.

Aku bergegas meninggalkan meja makan. Jika tau ibu akan mempermalukan aku, aku tidak mau menghampirinya lagi.

"Memangnya, aku yang mengatur anak. Kalau aku bisa, aku juga mau punya anak. Siapa juga yang betah di kata-katain mandul kaya gini?" Isakku sesegukan.

Dadaku terasa begitu sesak sekali. Ucapan ibu seperti menghimpit raga. Ini bukanlah kali pertama ibu menyinggung soal keturunan, tapi ibu sudah sering melakukannya. Tapi, kali ini aku tidak bisa tinggal diam.

Aku semakin menenggelamkan wajahku pada bantal. Tidak peduli bantal itu kini sudah basah kuyup oleh air mataku.

"Sudah, jangan menangis!" seru suara Mas Adam setelah suara derit pintu yang terbuka terdengar.

Aku tak bergeming. Aku terus menangis tidak memperdulikan Mas Adam. Bahkan, aku semakin mengeraskan suaraku.

"Berhenti menangis, Nia! Ibu kan hanya menyarankan kamu. Kalau kamu nggak mau, juga nggak masalah." Mas Adam bersikukuh membela ibunya. Bahkan, nada suaranya terdengar hampir seperti bentakan.

"Jadi perempuan kok cengeng sekali!" desis Mas Adam.

Aku bangkit dengan wajah menyala. "Mas, apa tadi yang Mas, bilang?" cetusku menjatuhkan tatapan tajam pada Mas Adam yang menghentikan langkah kakinya di depan pintu kamar mandi.

"Jangan nangis! Kamu kaya nggak kenal ibu saja!" Mas Adam membalas tatapanku.

Aku beranjak dari atas ranjang berjalan mendekati Mas Adam. Dadaku bergemuruh, bagiamana bisa Mas Adam menganggap ucapan Ibu biasa saja? Jelas-jelas, dia sudah menghinaku di depan mantunya yang lain.

"Aku sangat mengenal Ibu, Mas! Bahkan, aku sudah hapal sikap dan sifat ibu di luar otakku. Hanya saja, ibu Mas Adam itu sudah sangat keterlaluan sekali! Sedikitpun dia tidak pernah memikirkan bagaimana perasaanku." Aku mengakhiri ucapku dengan nada sinis dan suara bergetar.

"Apa karena aku selama ini diam dan mengalah?" decihku berkacak pinggang.

Mas Adam menggertakan rahangnya. "Sekarang mau kamu apa?" sentaknya penuh penekanan dengan nada mengancam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status