Share

Kantor Baru

Hampir saja aku menjatuhkan baki yang berisi kopi untuk Mas Adam. Jantungku hampir merosot karena terkejut melihat ponselku sudah berada di tangan Mas Adam. Apalagi saat ini ia menanyakan tentang kantor yang baru saja selesai aku bangun sebagai rumah keduaku.

"Oh, itu kantornya Nadia. Itu wa dari Nadia, kan?" ucapku meletakan kopi yang masih panas di atas nakas. Aku yakin, Mas Adam sedang membaca pesan dari Nadia.

Sorot mata Mas Adam masih menatap pada deretan aksara yang berada ponsel di tangannya. "Memangnya Nadia bisnis apa sampai bisa buka kantor segala?" Kini Mas Adam menatap kepadaku seraya mengernyitkan dahi, tatapannya penuh curiga.

Aku mengendikkan bahu. "Aku mana tahu, dia hanya memintaku untuk datang, itu saja!" balasku berusah untuk bersikap santai.

Mas Adam sepertinya tidak percaya dengan perkataanku. Beberapa saat ia menatapku begitu intens. "Baiklah, besok aku ikut ke acara itu!"

Deg!

Jantungku seperti merosot dari tempatnya. Bagaimana bisa aku mengajak Mas Adam besok ke kantor baruku. Sementara di sana bakalan ada banyak kolega-kolega bisnisku dan calon penulis yang karyanya akan segera aku terbitkan.

"Sial!" desisku pelan.

***

Entah sudah berapa kali aku mondar-mandir di dalam kamar. Sesekali melirik jam dinding yang bertengger pada tembok berwarna putih yang menghiasi kamar.

"Tidak bisa, aku tidak mungkin mengajak Mas Adam ke acara peresmian kantor baruku. Bisa-bisa dia akan tahu bahwa aku memiliki banyak uang. Bahkan saat ini aku sudah memiliki kantor penerbit buku sendiri. Ini gawat!" Aku mengigit bibir bawahku dengan perasaan gusar.

"Nia, ayo! Kita jadi berangkat kan ke kantor Nadia?" ucap Mas Adam yang sudah siap dengan kemeja berwarna biru laut yang ia kenakan.

"Oh, iya Mas! Aku sudah siap," sahutku melemparkan senyuman kecil kepada lelaki yang baru keluar dari dalam kamar mandi.

"Ya sudah, ayo!" Mas Adam berjalan lebih dulu, meraih helm dan kunci motor yang biasa menggantung pada dinding di samping pintu.

"Aduh, bagaimana ini!" gerutuku mengikuti langkah Mas Adam yang berjalan lebih dulu.

Tidak menunggu waktu lama, motor yang kami kendari akhirnya tiba di sebuah perumahan berlantai dua milikku. Tertulis pada papan nama besar yang berada di depan kantor baruku. Penerbit Pena Senja, itulah nama yang aku pilih untuk perusahaan penerbitku.

Mas Adam menghentikan motornya, dengan helm yang masih terpasang. Ia melihat pada papan nama perusahaan yang terpasang pada bagian depan kantor. Cukup besar, karena aku ingin semua orang melihatnya.

"Ada apa, Mas?" tanyaku pada Mas Adam yang menghentikan gerakan tangannya untuk melepaskan helm. Wajahnya terlihat berpikir.

"Sepertinya aku tidak asing dengan nama penerbit itu?" desisnya.

'Aduh ... semoga saja Mas Adam tidak ingat tentang impian-impianku yang ingin memiliki kantor penerbit sendiri dengan nama pena senja.'

"Oh, nama itu, aku yang memberikan nama itu kepada Nadia. Habis dia bingung mau kasih nama apa, jadi aku kasih saja nama itu," jelasku.

Mas Adam mengangguk kemudian melepaskan helm yang ia kenakan. "Aku heran saja Nia, bisa-bisanya teman kamu yang tidak hobi dengan dunia literasi itu membuka usaha seperti ini," guman Mas Adam sepanjang perjalanan masuk ke dalam kantor.

"Namanya juga usaha, Mas!" sahutku.

Beberapa staf dan karyawan baru sudah berkumpul di halaman belakang kantor. Aku sengaja membeli rumah berlantai dua dengan halaman yang luas di bagian belakangnya. Dengan beberapa tanaman hias yang menghiasinya. Aku pikir, aku butuh menyatu dengan alam jika tiba-tiba moodku menulis memburuk.

Tidak hanya orang kantor, beberapa sutradara dan teman-teman sesama penulis hebat pun datang ke kantorku untuk menghadiri undanganku tentunya.

"Nia, kenapa ada sutradara juga di sini?" Mas Adam mendekat padaku dengan berbisik.

"Iya, makanya dari itu, tadi aku pengen banget melarang Mas Adam untuk ikut."

Mas Adam menarik tubuhnya dariku. Matanya menyipit dengan wajah kesal melihat ke arahku. Sementara aku hanya meringis dengan satu tangan menutupi senyuman dari bibirku yang masih mengembang.

"Ini penulis terkenal itu ya?" Seorang lelaki tiba-tiba datang menghampiriku.

Aku terkesiap dan tersenyum paksa kepada lelaki itu. "Maksudnya siapa?" lirihku merasa tidak percaya diri jika disebut dengan penulis terkenal. Aku menoleh ke kiri dan kanan, pura-pura tidak merasa.

"Ini Dania Putri itu kan?" Lelaki yang berada di hadapanku ini sangat antusias. Sepertinya dia adalah salah satu penggemarku.

"I-iya!" jawabku lirih, sekilas melihat pada Mas Adam yang memasang wajah masam.

"Ah, pasti Mas Adam sedang cemburu!" batinku terkekeh melihat ekspresi Mas Adam.

Lelaki yang usianya terlihat lebih muda dariku itu mengulurkan tangannya padaku. "Selamat ya, Anda adalah inspirasiku. Dari penulis online, kini bisa sukses seperti ini. Saya jadi kepikiran bisa memiliki perusahaan penerbit sendiri, seperti Mbak Dania," ucapnya menyungingkan senyuman.

"Bukan, bukan Mas! Ini bukan perusahaan saya!" Segera aku menyanggah ucapan lelaki itu sebelum Mas Adam mencurigaiku.

Lelaki yang berdiri di depanku mengernyitkan dahi. Ia seperti sedang kebingungan.

"Tapi, di undangan itu tertulis jika pemilik perusahaan penerbit ini adalah Anda." Lelaki yang ada di hadapanku mengacungkan jari telunjuknya kepadaku.

Mampus aku! Alasan apa yang harus kuberikan padanya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status