Share

Sebuah rencana

Aku membisu dengan lidah kelu. Membiarkan lelaki yang menatapku nyalang itu masuk ke dalam kamar mandi. Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara kucuran air yang jatuh menyirami lantai kamar mandi. Pasti saat ini Mas Adam sedang menenggelamkan tubuhnya di bawah derasnya air.

"Percuma aku mengharapkan perhatian Mas Adam!" decihku dalam hati menertawai diriku sendiri.

Kuseret langkah kakiku mendekati ranjang. Lalu menjatuhkan tubuhku yang terasa lunglai pada tepi ranjang berukuran king size yang berada di dalam kamarku.

"Perpisahan itu bukanlah sesuatu yang mudah. Menyandang status janda yang selalu menjadi buah bibir masyarakat. Apalagi masalalu buruk keluargaku yang terlahir dari keluarga broken home. Entahlah, aku tidak bisa membayangkan bagaimana olokan mereka padaku jika aku benar-benar melangkah sejauh itu. Dengan aku yang sulit memiliki keturunan saja, ucapan-ucapan mereka sudah cukup mengucang kejiwaanku. Apalagi sebuah perpisahan."

*****

"Apa, ibu mertuamu minta uang lagi?" Nadia menaikkan kedua alisnya saat aku menceritakan jika Ibu mertuaku kembali meminta uang padaku.

Aku menungguk lembut. "Begitulah! Jika aku tidak memberikan kepadanya, sudah pasti dia akan mengadu pada Mas Adam dan setelah itu." Aku menjeda ucapanku seraya menghela nafas panjang. Memijat sedikit keningku yang terasa berdenyut. Pandangan Nadia terus mengawasiku menanti kelanjutan cerita yang aku sampaikan.

"Dan yang terjadi, aku dan Mas Adam pasti akan bertengkar!" ucapku dengan nada kesal.

"Hal seperti ini sudah tidak bisa dibiarkan, Nia! Kenapa kamu tidak mengajak Adam pindah saja dari rumah itu. Jadi, tidak adalagi yang bisa ikut campur dalam urusan rumah tangga kamu!" decih Nadia bersungut-sungut.

"Aku sudah mencobanya. Tapi Mas Adam menolak, dengan alasan ibu butuh teman di rumah. Apalagi sekarang Rico sudah tinggal bersama istrinya di pusat kota. Meskipun untuk sementara waktu Risa dan Rico akan tinggal di rumah sampai keadaan Risa membaik," jelasku.

"Memangnya kenapa Risa?" Aku memang belum menceritakan tentang kehamilan Risa kepada Nadia.

Aku berdehem. Rasa iri kembali menyelinap dalam hati melihat Risa sedang mengandung. "Risa kan lagi hamil muda," balasku di sambut anggukan lembut oleh Nadia.

"Oh ...!" Nadia terdiam, ia tau hatiku sedang cemburu pada Risa. Sejatinya aku pun ingin sekali hamil dan memiliki anak.

Suara ketukan pintu menghentikan obrolan kami. "Masuk!" sahutku.

Aku segera bangkit saat melihat seorang lelaki yang tidak asing muncul di hadapanku.

"Pak Ram!" sapaku pada seorang produser film terkenal di Indonesia yang muncul dari balik pintu kamar.

"Halo, Nona Dania, senang sekali bisa berjumpa dengan anda lagi," ucapnya tersenyum hangat kepadaku.

Nadia beringsut berdiri di belakang tempat dudukku. Sementara Pak Ram sudah duduk pada bangku di hadapanku.

"Wah, ada apa ini Pak datang ke sini! Sepertinya ada sesuatu yang sangat penting sekali," selorohku.

"Mbak Dania tau saja, saya sedikit ada tawaran menarik pada Mbak Dania. Saya ingin mengangkat novel Mbak Dania yang berjudul Pesugihan gunung Semeru ke layar lebar," ucap Pak Ram, ramah.

Nadia melonjak kegirangan mendengar berita itu. Sementara aku tetap bersikap tenang di depan Pak Ram.

"Tawaran kali ini sangat menggiurkan. Karena pasar butuh hiburan yang menguji adrenalin dan pilihan saya jatuh pada novel anda. Bagaimana?" Pak Ram menatapku dengan saksama.

Aku menoleh pada Nadia yang berdiri di belakang punggungku. Gadis itu mengangguk dengan tersenyum. Bibirnya bergerak, meminta aku agar menerimanya.

"Baiklah Pak, saya akan mempertimbangkan semuanya dulu!" balasku.

"Baiklah jika Mbak Dania setuju tolong segera hubungi saya. Untuk pembayaran royaltinya kali ini akan dibayar dimuka, sekitar 500 juga."

'Wow ... angka yang sangat menggoda sekali!'

"Baik, Pak! Secepatnya saya akan menghubungi bapak," balasku bersemangat.

"Oh iya satu lagi Mbak Dania. Semisal anda memang menyetujui novel itu difilmkan, saya harap anda ikut turut andil dalam proses shooting. Karena anda tahu sendiri kan, jika bukan penulis yang memberi nyawa dalam tulisannya, lalu siapa lagi." Lelaki itu melemparkan senyuman kecil kepadaku sebelum ia meninggalkan ruanganku.

Suara ketukan bolpoin pada meja menggambarkan kebimbanganku. Tentang jalan mana yang harus kupilih.

"Ayolah Nia, tunggu apalagi! Karyamu mau filmkan!" Nadia begitu antusias. Tapi tidak denganku.

"Aku takut, Nad! Aku takut jika Mas Adam tau. Pasti dia berpikir uangku banyak, buktinya novelku saja di filmkan. Lalu, kamu tau kan apa yang terjadi," tuturku.

Nadia menarik tubuhnya mendekat padaku. "Tenang saja, biar aku yang mengurus semuanya!" ucap Nadia tersenyum sinis padaku membuatku penasaran dengan apa yang ada dalam kepala Nadia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status