Share

Aku Bukan Mesin Pencetak Uang
Aku Bukan Mesin Pencetak Uang
Penulis: Ayu Kristin

Pura-pura miskin

"Ayolah Adam, Ibu ingin sekali membeli tas baru itu!" Suara rengekan Ibu terdengar masuk dalam indra pendengaranku yang sedang ingin mengambil air minum ke dapur. 

 

"Bu, aku takut minta uangnya pada, Dania." 

 

Jelas saja takut! Baru beberapa hari yang lalu Mas Adam, suamiku itu, memintaku untuk mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya--dengan alasan untuk membuka usaha baru. Aku tidak bisa menolaknya, kerena aku adalah tipe istri yang sangat patuh pada suami. Toh, kupikir usahanya juga untuk keluarga kami.

 

"Dam, cuma lima juta saja Adam. Masa iya Nia tidak mau kasih?" desis Ibu dengan nada kesal. Aku tidak bisa melihat wajahnya saat ini. Tapi, aku yakin wanita itu pasti sedang menampilkan ekspresi bersungut-sungut pada Mas Adam.

 

"Dasar! Istri kamu itu memang pelit!" hardik Ibu mertuaku kesal.

 

Aku mendengus berat. Dadaku bergemuruh mengajar amarah. Apa? Ibu bilang aku pelit? Memangnya, siapa yang sudah membayar hutang-hutang ibu pada rentenir? Anak-anaknya? Jangan harap! Aku semua yang membayarnya. Dasar! 

 

"Ibu jangan kencang-kencang ngomongnya! Nia kan lagi tidur Bu," sergah Mas Adam. Pasti dia sedang panik.

 

"Makanya mintain sama Istrimu itu, ya!" minta ibu lagi.

 

"Dasar matre!" seruku kesal dalam hati.

 

"Iya, nanti Adam coba bicara sama Nia," ucap Mas Adam pada akhirnya.

 

Aku mendengus berat, berjalan pelan menuju pembaringan kembali. Niatanku untuk mengambil air minum sirna karena pembicaraan antara Mas Adam dan Ibu mertuaku.

 

Aku tersenyum sinis seraya menarik selimut hingga ke dagu.  Sepertinya, aku harus berdrama di hadapan ibu mertua dan suamiku untuk mengingatkan mereka bahwa aku ini sudah cukup baik pada mereka. 

 

*****

 

Aku segera memasang wajah sembab saat keluar dari dalam kamar. Ibu yang sedang asik menonton televisi mengalihkan pandangannya kepadaku.

 

"Ada apa, Nia?" seloroh Ibu berjalan mendekatiku. 

 

Aku terisak di hadapannya. "Ibu!" lirihku menjatuhkan pelukan pada wanita yang sebenarnya sudah aku anggap sebagai Ibuku sendiri--setidaknya, sampai kemarin.

 

"Ada apa, Dania? Kenapa menangis, ceritakanlah pada Ibu, Nak!" ucap Ibu begitu lembut. Satu tangannya mengusap lembut pada punggungku.

 

Aku menarik tubuhku dari pelukan ibu. "Bagaimana aku tidak menangis, Bu? Beberapa naskahku ditolak oleh platform. Lalu, bagaimana bisa aku mendapatkan uang jika tulisanku sudah mulai tidak ada yang menyukainya?" isakku.

 

"Sabar Nia! Ibu yakin kamu pasti bisa seperti dulu lagi." Ibu mencoba menenangkanku.

 

"Jika seperti ini, aku tidak yakin bisa mendapatkan uang dengan cara menulis lagi, Bu. Lalu bagaimana bisa kita mencukupi kebutuhan keluarga kita, Bu?!" seruku seraya mengusap air mata.

 

"Nia, kan kamu bisa mencoba lagi dengan cerita yang lainnya. Lagi pula, pendapatan kamu yang sebulan 80 juta itu pasti masih, kan?" Ibu menaikan kedua alisnya padaku.

Aku diam menanti ucapan ibu lagi.

"Jadi, masih bisa untuk biaya kehidupan kita sehari-hari. Lagi pula, Adam kan sekarang sedang buka usaha baru," tutur Ibu.

 

"Masih, Bu. Tapi, juga nggak seberapa. Kan ibu tau sendiri kebutuhanku juga lumayan," balasku.

 

"Makanya, Nia! Jangan biasakan hidup boros! Jangan membeli sesuatu yang tidak penting. Ingat, kasihan Adam tuh, pontang panting cari uang buat hidup kita. Kamu sih, enak. Kerjaannya cuma di depan laptop dapat bayaran puluhan juta," gerutu Ibu dengan wajah kesal. Dia sepertinya tidak bisa mempertahankan topengnya lagi. Wanita itupun segera berlalu meninggalkan aku.

 

"Daripada Ibu, maunya minta terus tapi nggak tahu diri!" umpatku dalam hati.

 

Aku ini adalah seorang penulis di sebuah platform digital yang cukup terkenal. Semua ceritaku pasti akan laris di pasaran. Beberapa bahkan ada yang sudah di-filmkan. Tapi, aku merahasiakan semua itu dari Mas Adam dan keluarganya. Entahlah, menurutku mereka sudah kelewat batas!  

 

Semua biaya di rumah ini, akulah yang menanggungnya. Bahkan, sampai biaya pernikahan adik Mas Adam beberapa bulan yang lalu. 

Aku ini masih muda, tapi beban hidupku sudah seperti memiliki anak sepuluh. Sangat berat sekali! Apalagi, gaya hidup ibu mertuaku yang kelewat batas untuk seusianya. Dia bahkan menghalalkan segala cara untuk menuruti gengsinya. Termasuk, berhutang pada rentenir. Lagi dan lagi, aku juga yang melunasi hutang-hutang itu.

 

Dan, kemarin aku sungguh kecewa. Tenyata, kebaikanku hanya dimanfaatkan oleh keluarga suamiku.

Sebenarnya, aku sering mendengar mereka menjelek-jelekkan aku pada tetangga. Mereka juga suka membanding-bandingkan aku dengan Risa, istri dari adik Mas Adam yang berprofesi sebagai seorang guru.

 

"Iya, Nia itu memang pemalas. Main ke tetangga saja tidak pernah. Dasar wanita pengangguran!" 

 

Begitulah kira-kira. Apalagi, saat pertengkaran antara aku dan Mas Adam terjadi. Pasti, Ibu akan mengatakan kepada semua orang jika aku adalah wanita keras kepala yang susah diatur. Meskipun, nyatanya Mas Adam adalah seorang lelaki yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup kami. Tapi, semua kuabaikan sampai kudengar percakapan Ibu dan Mas Adam tadi malam. Aku sudah tidak tahan!

  *****

"Nia!" Mas Adam tiba-tiba memanggilku saat aku meletakkan secangkir kopi di atas meja tempat ia bersantai saat ini. 

 

"Iya, Mas!" sahutku menghentikan langkah kakiku, menoleh pada Mas Adam.

 

"Ibu mau pinjam uang lima juta, tolong kamu kasih dulu ya!" tutur Mas Adam tanpa menoleh ke arahku. Sorot matanya tertuju pada koran yang berada di tangannya.

 

"Lima juta?" sergahku menaikan nada suara.

 

"Dari mana aku punya uang sebesar itu, Mas!" ucapku.

 

Mas Adam mengalihkan perhatian padaku. "Ya tentu dari pekerjaan kamu itu, Nia! Bukannya bulan kemarin kamu dapat 80 juta? Masa iya, ibu pinjam 5 juta saja tidak boleh." Mas Adam menaikan nada suaranya.

 

Aku menarik tubuhku duduk pada bangku yang berada di samping Mas Adam. "Bukannya aku tidak mau, Mas. Tapi, kan sudah aku berikan kepada Mas 40 juta untuk buka usaha baru, Mas. Terus, beberapa hari yang lalu aku juga sudah memberikan kepada ibu 10 juta, kan?" 

 

Belum sempat aku melanjutkan ucapanku, Mas Adam meletakkan koran yang berada di tangannya dengan kasar di atas meja.

Brak!  

"Nia, Mas tidak pernah mengajari kamu untuk pelit pada orang tua, apalagi ke ibu! Bukankah dulu kita sudah sepakat akan merawat ibu bersama untuk mencari ridhonya?" debat Mas Adam. Sorot matanya membulat penuh kepadaku.

 

"Tapi Mas, keadaanku sekarang sudah tidak seperti dulu. Beberapa naskahku ditolak oleh platform. Kemungkinan, bulan depan aku tidak memiliki gaji lagi," ucapku dengan wajah ragu mengigit bibir bawahku.

 

"Apa???" Wajah Mas Adam terkejut.

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status