Share

Aku Bukan Mesin Pencetak Uang
Aku Bukan Mesin Pencetak Uang
Penulis: Ayu Kristin

Pura-pura miskin

Penulis: Ayu Kristin
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-27 16:05:00

"Ayolah Adam, Ibu ingin sekali membeli tas baru itu!" Suara rengekan Ibu terdengar masuk dalam indra pendengaranku yang sedang ingin mengambil air minum ke dapur. 

 

"Bu, aku takut minta uangnya pada, Dania." 

 

Jelas saja takut! Baru beberapa hari yang lalu Mas Adam, suamiku itu, memintaku untuk mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya--dengan alasan untuk membuka usaha baru. Aku tidak bisa menolaknya, kerena aku adalah tipe istri yang sangat patuh pada suami. Toh, kupikir usahanya juga untuk keluarga kami.

 

"Dam, cuma lima juta saja Adam. Masa iya Nia tidak mau kasih?" desis Ibu dengan nada kesal. Aku tidak bisa melihat wajahnya saat ini. Tapi, aku yakin wanita itu pasti sedang menampilkan ekspresi bersungut-sungut pada Mas Adam.

 

"Dasar! Istri kamu itu memang pelit!" hardik Ibu mertuaku kesal.

 

Aku mendengus berat. Dadaku bergemuruh mengajar amarah. Apa? Ibu bilang aku pelit? Memangnya, siapa yang sudah membayar hutang-hutang ibu pada rentenir? Anak-anaknya? Jangan harap! Aku semua yang membayarnya. Dasar! 

 

"Ibu jangan kencang-kencang ngomongnya! Nia kan lagi tidur Bu," sergah Mas Adam. Pasti dia sedang panik.

 

"Makanya mintain sama Istrimu itu, ya!" minta ibu lagi.

 

"Dasar matre!" seruku kesal dalam hati.

 

"Iya, nanti Adam coba bicara sama Nia," ucap Mas Adam pada akhirnya.

 

Aku mendengus berat, berjalan pelan menuju pembaringan kembali. Niatanku untuk mengambil air minum sirna karena pembicaraan antara Mas Adam dan Ibu mertuaku.

 

Aku tersenyum sinis seraya menarik selimut hingga ke dagu.  Sepertinya, aku harus berdrama di hadapan ibu mertua dan suamiku untuk mengingatkan mereka bahwa aku ini sudah cukup baik pada mereka. 

 

*****

 

Aku segera memasang wajah sembab saat keluar dari dalam kamar. Ibu yang sedang asik menonton televisi mengalihkan pandangannya kepadaku.

 

"Ada apa, Nia?" seloroh Ibu berjalan mendekatiku. 

 

Aku terisak di hadapannya. "Ibu!" lirihku menjatuhkan pelukan pada wanita yang sebenarnya sudah aku anggap sebagai Ibuku sendiri--setidaknya, sampai kemarin.

 

"Ada apa, Dania? Kenapa menangis, ceritakanlah pada Ibu, Nak!" ucap Ibu begitu lembut. Satu tangannya mengusap lembut pada punggungku.

 

Aku menarik tubuhku dari pelukan ibu. "Bagaimana aku tidak menangis, Bu? Beberapa naskahku ditolak oleh platform. Lalu, bagaimana bisa aku mendapatkan uang jika tulisanku sudah mulai tidak ada yang menyukainya?" isakku.

 

"Sabar Nia! Ibu yakin kamu pasti bisa seperti dulu lagi." Ibu mencoba menenangkanku.

 

"Jika seperti ini, aku tidak yakin bisa mendapatkan uang dengan cara menulis lagi, Bu. Lalu bagaimana bisa kita mencukupi kebutuhan keluarga kita, Bu?!" seruku seraya mengusap air mata.

 

"Nia, kan kamu bisa mencoba lagi dengan cerita yang lainnya. Lagi pula, pendapatan kamu yang sebulan 80 juta itu pasti masih, kan?" Ibu menaikan kedua alisnya padaku.

Aku diam menanti ucapan ibu lagi.

"Jadi, masih bisa untuk biaya kehidupan kita sehari-hari. Lagi pula, Adam kan sekarang sedang buka usaha baru," tutur Ibu.

 

"Masih, Bu. Tapi, juga nggak seberapa. Kan ibu tau sendiri kebutuhanku juga lumayan," balasku.

 

"Makanya, Nia! Jangan biasakan hidup boros! Jangan membeli sesuatu yang tidak penting. Ingat, kasihan Adam tuh, pontang panting cari uang buat hidup kita. Kamu sih, enak. Kerjaannya cuma di depan laptop dapat bayaran puluhan juta," gerutu Ibu dengan wajah kesal. Dia sepertinya tidak bisa mempertahankan topengnya lagi. Wanita itupun segera berlalu meninggalkan aku.

 

"Daripada Ibu, maunya minta terus tapi nggak tahu diri!" umpatku dalam hati.

 

Aku ini adalah seorang penulis di sebuah platform digital yang cukup terkenal. Semua ceritaku pasti akan laris di pasaran. Beberapa bahkan ada yang sudah di-filmkan. Tapi, aku merahasiakan semua itu dari Mas Adam dan keluarganya. Entahlah, menurutku mereka sudah kelewat batas!  

 

Semua biaya di rumah ini, akulah yang menanggungnya. Bahkan, sampai biaya pernikahan adik Mas Adam beberapa bulan yang lalu. 

Aku ini masih muda, tapi beban hidupku sudah seperti memiliki anak sepuluh. Sangat berat sekali! Apalagi, gaya hidup ibu mertuaku yang kelewat batas untuk seusianya. Dia bahkan menghalalkan segala cara untuk menuruti gengsinya. Termasuk, berhutang pada rentenir. Lagi dan lagi, aku juga yang melunasi hutang-hutang itu.

 

Dan, kemarin aku sungguh kecewa. Tenyata, kebaikanku hanya dimanfaatkan oleh keluarga suamiku.

Sebenarnya, aku sering mendengar mereka menjelek-jelekkan aku pada tetangga. Mereka juga suka membanding-bandingkan aku dengan Risa, istri dari adik Mas Adam yang berprofesi sebagai seorang guru.

 

"Iya, Nia itu memang pemalas. Main ke tetangga saja tidak pernah. Dasar wanita pengangguran!" 

 

Begitulah kira-kira. Apalagi, saat pertengkaran antara aku dan Mas Adam terjadi. Pasti, Ibu akan mengatakan kepada semua orang jika aku adalah wanita keras kepala yang susah diatur. Meskipun, nyatanya Mas Adam adalah seorang lelaki yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup kami. Tapi, semua kuabaikan sampai kudengar percakapan Ibu dan Mas Adam tadi malam. Aku sudah tidak tahan!

  *****

"Nia!" Mas Adam tiba-tiba memanggilku saat aku meletakkan secangkir kopi di atas meja tempat ia bersantai saat ini. 

 

"Iya, Mas!" sahutku menghentikan langkah kakiku, menoleh pada Mas Adam.

 

"Ibu mau pinjam uang lima juta, tolong kamu kasih dulu ya!" tutur Mas Adam tanpa menoleh ke arahku. Sorot matanya tertuju pada koran yang berada di tangannya.

 

"Lima juta?" sergahku menaikan nada suara.

 

"Dari mana aku punya uang sebesar itu, Mas!" ucapku.

 

Mas Adam mengalihkan perhatian padaku. "Ya tentu dari pekerjaan kamu itu, Nia! Bukannya bulan kemarin kamu dapat 80 juta? Masa iya, ibu pinjam 5 juta saja tidak boleh." Mas Adam menaikan nada suaranya.

 

Aku menarik tubuhku duduk pada bangku yang berada di samping Mas Adam. "Bukannya aku tidak mau, Mas. Tapi, kan sudah aku berikan kepada Mas 40 juta untuk buka usaha baru, Mas. Terus, beberapa hari yang lalu aku juga sudah memberikan kepada ibu 10 juta, kan?" 

 

Belum sempat aku melanjutkan ucapanku, Mas Adam meletakkan koran yang berada di tangannya dengan kasar di atas meja.

Brak!  

"Nia, Mas tidak pernah mengajari kamu untuk pelit pada orang tua, apalagi ke ibu! Bukankah dulu kita sudah sepakat akan merawat ibu bersama untuk mencari ridhonya?" debat Mas Adam. Sorot matanya membulat penuh kepadaku.

 

"Tapi Mas, keadaanku sekarang sudah tidak seperti dulu. Beberapa naskahku ditolak oleh platform. Kemungkinan, bulan depan aku tidak memiliki gaji lagi," ucapku dengan wajah ragu mengigit bibir bawahku.

 

"Apa???" Wajah Mas Adam terkejut.

 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Bab 43

    Bugh."Ray!" Dania memekik. Tubuh Adam tersungkur di samping bangku. Setelah bogem mentah Rayyan hadiahkan tepat pada wajahnya. Wajah Adam sampai berpaling, saking kuatnya pukulan yang Rayyan hadiahkan.Dada Rayyan bergerak naik turun terbakar amarah. Sorot matanya tajam, seperti ingin menguliti mantan suami Dania hidup-hidup."Kamu sudah gila ya, Ray!" Dania memekik. Ia membantu Adam bangkit. Seketika seluruh pasang mata di cafe itupun menatap pada keributan yang terjadi."Iya, aku memang gila! Aku gila karena kamu!" Rayyan menaikan satu oktaf nada suaranya. Tatapan tajamnya beralih pada Dania. Hati Rayyan makin panas melihat Dania membantu Adam. Bak bara api yang disiram dengan minyak tanah. Kecemburuan Rayyan semakin membara."Mas, kamu tidak apa-apa, kan?" Dania mengabaikan Rayyan. Ia menatap khawatir pada sudut bibir Adam yang berdarah. Ada sedikit robekan di sana."Aku tidak apa-apa Dania." Angga mengusap sudut bibirnya sendiri. Menepis tangan Dania yang hendak menyentuh bagian

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Salah Sangka

    "Ray!" sentak Dania merobek kertas undangan bersampul merah muda itu di depan wajah Dania. Ekspresi kesal seketika tampak pada wajah Dania."Apa-apaan kamu, Ray?" Dania menaikan nada suaranya.Rayyan menarik sebelah sudut bibirnya tersenyum sinis. "Tidak ada pesta pertunangan apalagi pernikahan!" cetus Rayyan bersungguh-sungguh.Dania tidak bergeming melipat kedua tangannya di depan dada, menatap datar pada Rayyan."Berhentilah mengangguku. Hubungan kita sudah selesai!" tegas Dania penuh penekanan. Membalas tatapan tajam mata Rayyan.Dania melangkahkan kakinya. Lagi-lagi Rayyan menjegal pergelangan tangannya."Pergilah bersamaku!" ucap Rayyan menatap serius.Dania menghempaskan kasar tangan Rayyan hingga cengkraman tangan itu terlepas."Jangan gila, kamu Ray!" sentak Dania mendelik sesaat pada Rayyan."Aku serius, Dania!" Ray mengajar Dania yang meninggalkannya."Dania tunggu!" Rayyan mengikuti langkah cepat Dania. Tetapi wanita cantik itu sama sekali tidak peduli.Adegan saling kejar

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   peringatan

    Rayyan menjatuhkan tatapan dingin. Membuat tubuh Dania membeku seketika. Degupan jantung Dania memompa lebih cepat, hingga terdengar oleh telinganya."Saya pamit dulu, Bu!" lirih Lusi memutar tubuhnya cepat. Melangkahkan kakinya menuju ke arah pintu tempat dimana Rayyan berdiri. Sadar jika suasana tidak sedang bersahabat.Dania mematikan layar laptop. Berjalan dengan langkah penuh ketegasan menuju ke arah pintu. Memasang wajah sedatar mungkin. Saat ia melewati Rayyan, lelaki itu menjegal pergelangan tangannya.Sontak Dania menoleh pada Rayyan yang juga sedang menatap ke arahnya. Tatapan dingin dan menghunus.Rayyan menarik tubuh Dania. Memaksa Dania masuk kembali ke dalam ruangannya. Saat Rayyan hendak menutup pintu, seorang pegawai muncul di hadapannya."Ibu Dan ...!" Lelaki berjas hitam itu menjeda ucapannya. Sorot mata tajam Rayyan membuat nyali lelaki itu menciut."Ma ...!""Ada apa Pak Ilham?" Dania menarik kasar pergelangan tangannya dari cengkraman Rayyan. Sempat terlepas, namu

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Bab 40

    Dania tertegun cukup lama. Ia dapat merasakan jika matanya mulai memanas. Perlahan tapi pasti pandangannya mulai kabur."Saya akan memberikan anda waktu dua puluh empat jam. Jika anda sudah memutuskannya. Anda bisa menghubungi saya kembali."Dania bisa sedikit bernafas lega. Meksipun tidak sepenuhnya sesak meninggalkan dadanya.Sebelum air mata kekalahan jatuh membasahi pipi. Dania bergegas bangkit dari bangku yang berada di depan meja kerja Tuan Ram."Secepatnya saya akan memberitahu pada anda, Pak!" lirih Dania. Suaranya bergetar seperti sedang menahan tangisan. Langka kakinya gontai berjalan menuju ke arah pintu._____Tangis Dania pecah. Bulir air mata mampu membuat bantal yang membuatnya nyaman menjadi basah kuyup.Baru saja Dania diterbangkan ke awang-awang oleh takdir kehidupan. Kini ia harus jatuh tersungkur di dasar bumi yang paling dalam. Ia harus memilih antara dua hal yang sangat berarti di dalam hidupnya. Cinta atau keriernya yang mulai bersinar.Sakit. Sesak, hancur. Itul

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   Keluarga Rayyan

    Suara derap langkah kaki memecah keheningan. Dania menoleh pada sosok lelaki yang muncul dari ujung lorong. Berlari dengan langkah terrgesah-gesah. Diikuti oleh seorang wanita bertubuh ramping, yang belum pernah sekalipun Dania lihat. Ia menduga jika wanita itu adalah ibu dari Rayyan, istri dari Tuan Ram. “Dania, apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana dengan keadaann Ray?” Tuan Ram memberondongi Dania dengan pertanyaannya. Kekhawatiran terlukis jelas dari wajah Tuan Ram. Dania terisak. Ia sangat menyesal sekali sudah mengajak Rayyan untuk menolong Nadia. “Ray masih ada di dalam ruangan, Pak!” lirih Dania dengan suara berat. Derai air mata jatuh membahasi pipinya.Wanita yang berdiri di samping Tuan Ram mendadak menjatuhkan tubuhnya pada bahu Tuan Ram. “Ya Tuhan, bagaimana dengan anakku!” lirih Ibu Siska, terisak. Tuan Ram mengusap lembut bahu istrinya. “Tenanglah, Ma, Ray pasti akan baik-baik saja,” ucap Tuan Ram mencoba untuk menenangkan. Menuntun wanita yang seketika terisak itu

  • Aku Bukan Mesin Pencetak Uang   penculikan

    "Diam atau aku akan mencium kamu!" desis Rayyan setengah berbisik saat Dania akan membuka mulutnya.Mata Dania membulat penuh. Mulutnya kembali mengatub. Kata-kata yang telah tersusun kembali tertelan."Tapi, Om Ram bilang ...!" ucap Maria terbata. Wajahnya tampak terkejut."Iya, aku memang belum membawa Dania ke rumah. Tetapi Papa sudah kenal baik dengan Dania. Dia ini adalah penulis terbaik di Indonesia. Beberapa bukunya juga sudah difilmkan oleh perusahaan Papa." Rayyan menatap pada Dania yang sedang memaksakan senyuman pada bibirnya."Iya kan, sayang?" Rayyan menarik tubuh Dania semakin mendekat. Hingga pelukannya semakin erat."I-iya!" balas Dania terbata.Wajah wanita berambut kecoklatan itu seketika berubah. "Oh, begitu! Baiklah," balas Maria melirik sinis pada Dania."Kalau begitu aku pergi dulu!" lirih Maria terdengar lesu. Wanita dengan body seperti foto model itu membalikan tubuhnya berjalan menuju ke arah pintu kafe.Dania mendorong tubuh Rayyan. Hampir saja lelaki itu ter

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status