Share

Hampir saja

Wajah Mas Adam sekarang sudah memerah. "Bagaimana Bisa Nia? Bagaimana bisa mereka menolak naskahmu."

Mas Adam mendengus berat. Terlihat kekecewaan yang tergambar pada wajah suamiku.

"Ya, karena sekarang banyak sekali penulis Baru, Mas. Karya mereka jauh lebih bagus daripada karyaku," ceritaku dengan nada sedih.

Mas Adam menghela nafas panjang, "Nia, untuk kali ini, tolonglah pinjamin dulu uang tabungan kamu untuk Ibu. Nanti, jika usaha Mas sudah maju, pasti Mas akan menggantinya. Bahkan, Mas akan ganti lebih dari itu!"

Mas Adam membelai lembut kepalaku yang berbalut kerudung. Ia mengakhiri ucapannya penuh penekanan. Mungkin, supaya aku yakin dengan permintaanya. Cih! Tentu saja tidak.

"Tapi, Mas! Aku benar-benar sudah tidak punya--" Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, Mas Adam sudah menyela lebih dulu.

"Kamu sudah mulai perhitungan sama, Mas?" Mas Adam menyipitkan matanya padaku.

Aku mendengus berat. "Bukan begitu Mas, tapi ibu sudah sangat boros sekali. Dia tidak hanya mencukupi kebutuhannya sendiri, tapi dia juga sering memberikan uang pemberianku kepada Risa. Harusnya, Risa kan sudah menjadi tanggung jawab--"

Mas Adam bangkit dengan wajah kesal. "Nia, bukankah kamu sudah ikhlas memberikan uang itu kepada ibu? Tapi, kenapa sekarang kamu mengungkit-ungkitnya?" Mas Adam membulatkan matanya padaku. "Jika kamu tidak ikhlas, Mas akan mengembalikan semua uang kamu."

Mas Adam kemudian melangkahkan kakinya berlalu.

"Mas, bukan seperti itu maksud aku!" seruku pada lelaki yang menghilang di balik pintu kamar setelah suara pintu yang ditutup dengan keras.

Selalu seperti ini, setiap kali aku menjelaskan kepada Mas Adam tentang tabiat buruk ibunya. Lelaki itu pasti akan membela tanpa mau mendengar penjelasanku.

****

"Bu, kata Mas Adam ibu butuh uang?" ucapku pada wanita yang sedang sibuk menyantap sarapan pagi ini.

Sejak kemarin sore, Mas Adam membisu padaku. Tepatnya, setelah perdebatan yang terjadi antara kami.

"Oh, iya Nia. Ibu butuh uang itu buat bayar hutang." Wajah wanita yang sudah aku kenal hampir lima tahun itu berubah sedih.

"Bukankah aku sudah melunasi semua hutang hutang Ibu tempo hari?" Aku masih menahan uang yang berada di dalam dompetku.

"Itu kan hutang yang dulu Nia. Ini hutang baru. Kamu kan tidak tau kalau Adam suka minta uang sama ibu kalau kamu lagi nggak ada di rumah!" Ibu menaikkan nada suaranya. "Makanya, ibu bela-belain ngutang sana sini. Ibu kan nggak tegaan kalau sama anak. Memangnya--"

Ibu menghentikan ucapannya. Aku tahu ke mana arah pembicaraan ibu saat ini. Pasti, dia akan mengatakan karena aku belum pernah merasakan memiliki anak.

"Tabunganku hanya tinggal ini, Bu! Maaf aku tidak bisa membantu ibu." Kusodorkan sepuluh lembar kertas merah di atas meja.

Ibu segera meraih lembaran uang pemberianku.

"Apa? Kenapa cuma satu juta, Nia? Ibu kan butuhnya 5 juta!" desis Ibu bersungut-sungut. Tidak ada rasa syukur sama sekali.

Aku membiarkan ibu mertuaku terus mengoceh. Karena, percuma saja jika aku membalas ucapannya. Selain menambah dosa, juga akan semakin memperkeruh moodku pagi ini.

****

Senja sudah menguning di ufuk barat. Aku harus segera tiba di rumah sebelum Mas Adam sampai lebih dulu di rumah.

Aku memarkir motor yang baru aku beli beberapa hari yang lalu setelah menjual mobil kesayanganku. Lagipula percuma saja aku punya mobil juga, karena adik Mas Adam terus yang memakainya. Bukan untuk keperluannya, melainkan untuk bergaya di depan teman-temannya.

"Assalamualaikum!" ucapku.

"Wa'alaikumsalam!" sahut Risa.

Aku sedikit terkejut dengan kehadiran Risa. Perasaan, tadi pagi, gadis itu belum ada di sini. Lagi pula ini juga bukan tanggal merah atau hari libur. Tapi, mengapa dia ada di sini? 

"Baru pulang, Mbak?" tanya Risa yang sibuk menyiapkan makan malam bersama Ibu. Ulasan senyuman tersungging dari bibir Risa.

"Iya!" jawabku datar.

"Memangnya, Mbak kerja apa sekarang?" tanya Risa lagi.

"Kerja di pabrik!" sahutku.

"Baguslah Risa! Lagian, sekarang tulisan Nia kan sudah nggak laku lagi. Dikiranya, orang bisa kaya kalau cuma modal ngehalu saja apa?" Ibu melirik padaku sinis. Sepertinya, dia masih kesal padamu dengan kejadian tadi pagi.

"Dasar pemimpi!" imbuhnya penuh penekanan.

"Iya Bu, aku kan memang pemimpi!" cetusku berlalu.

"Dasar MENANTU--"

Aku membiarkan ocehan ibu berlalu dan segera masuk ke dalam kamar. Kulepaskan tas kerja yang berisi laptop di atas ranjang. Lalu membenamkan tubuhku pada pembaringan.

"Ibu semakin keterlaluan saja!" gumanku kesal.

Ting!

Ponsel yang berada di dalam saku celana berbunyi. Aku meraih benda pipih itu. Sesaat aku melihat pada layar yang masih menyala.

"Nadia!" gumamku membaca nama pengirim pesan.

[ Bu, besok kantor sudah bisa ditempati. ] pesan Nadia padaku.

[ Baik, besok saya akan datang ke kantor. ] balasku senang.

Suatu derap langkah kaki yang semakin mendekat, membuatku segera melemparkan ponsel ke samping tas yang berada di atas ranjang.

"Mas Adam!" Aku bangkit saat Mas Adam muncul dari balik pintu kamar yang terbuka.

Wajah Mas Adam datar. Berjalan melewatiku menuju kamar mandi. Tubuhnya yang penuh oli, memang seharusnya segera dibersihkan. Atau, mungkin dia masih merajuk padaku?

Sementara menunggu Mas Adam keluar dari dalam kamar mandi, aku berinisiatif membuatkannya kopi di dapur.

Terlihat Risa dan Ibu sedang bersenda gurau di ruang tengah. Sesekali, Ibu melirik padaku yang berjalan menuju dapur.

"Semoga saja mood Mas Adam akan membaik!" ucapku membawa secangkir kopi dengan aroma khas menuju kamar.

Baru saja aku membuka pintu kamar, jantungku sudah dipacu lebih cepat saat melihat ponselku berada di tangan Mas Adam.

"Nia, kamu mau menghadiri pertemuan kantor siapa?" Mas Adam mengalihkan tatapannya kepadaku yang mematung di ambang pintu setelah membaca deretan pesan pada layar ponsel.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status