"Tambah lagi." Sejak percerainnya dengan Rina, dia yang dipecat dari perusahaan oleh kakaknya, juga Nada yang menolak untuk kembali padanya, Saka tak tahu lagi harus melakukan apa. Walhasil, inilah yang dia lakukan. Hanya mabuk-mabukan saja.
Sebagai penjaga bar, sosok pria yang sejak tadi melayani pembeli pun langsung menuangkan minuman dengan kadar alkohol tinggi ke dalam gelas Saka karena itulah yang Saka minta. Bagaimana tidak langsung menuangkannya kalau mereka di sana, kan memang untuk berjualan.Saka mengangkat gelas yang ada di tangannya, berisi minuman dengan warna sedikit kekuningan. Pandangannya mengabur dan tiba-tiba saja banyangan dua tangan yang saling menggenggam melewati benaknya. Sontak saja ekspresi kemarahan terlihat jelas di wajah pria itu.Tanpa ragu, Saka langsung meneguk minuman itu hingga tandas dalam sekali tegukan saja. Dia meletakkan gelas dengan sedikit membantingnya ke atas meja. "Tambah lagi!" serunya dengan keras. Tak akan terPintu yang sejak tadi tertutup kini sudah terbuka menampilkan seorang dokter yang keluar dengan melepas maskernya. Semua yang sebelumnya dilanda kesedihan langsung mendekati dokter itu secara bersama-sama. Kekhawatiran semakin terasa kala pakaian dokter itu dipenuhi darah juga ekspresinya yang seperti mengisyaratkan sesuatu."Bagaiman keadaan anak saya, Dokter?""Bagaimana keadaan Nada, Dokter?" tanya Bu Mila dan Aska secara bersamaan. Mereka benar-benar tidak sabar untuk mengetahui bagaimana keadaan Nada juga harapan untuk tak terjadi hal yang tidak diinginkan.Dokter berkacamata itu menatap Bu Mila dan Aska secara bergantian. Ada embusan napas kasar yang terdengar dari bibirnya. "Keadaan pasien masih belum stabil. Dan untuk kandungannya ...." Dokter itu menjeda kalimatnya karena ada rasa tidak tega untuk mengungkapkan. Namun, itu sudah tugasnya."Untuk kandungannya kami harus mengeluarkan bayinya karena janin dalam kandungan sudah tidak bernyawa," jelas sang dokter.Pastilah semua l
"Nada!" teriak Saka tiada henti. Kalian tahu di mana dia saat ini? Seperti biasanya, dia ada di diskotik melampiaskan apa yang dia rasakan pada minuman."Maafkan aku Nada!" teriaknya lagi. Kepala pria itu sudah bertumpu pada meja bar di mana penjaga bar itu hanya geleng kepala melihat kelakuan abnormal Saka. Sejak tadi berteriak tidak jelas."Tambah," ujar Saka sekali lagi."Bung. Anda sudah mabuk, Bung," ujar sang penjaga bar. Meski kesusahan, Saka mencoba mengangkat kepalanya untuk duduk dengan tegak. Dia berusaha menatap tajam pria yang ada di hadapannya. "Memangnya kenapa?" tanya Saka kemudian."Kebanyakan minum tidak akan membuat aku mati, kan?" tanya Saka dengan suara serak. Beberapa kali pria itu mengalami cegukan.Saka menggelengkan kepala. "Tidak. aku tidak akan mati dengan minuman," ujar Saka sekali lagi.Detik kemudian Saka tiba-tiba saja menangis. Tentu itu membuat penjaga bar itu menjadi bingung. Apalagi Saka mulai meracau tak jelas. Namun, dia mencoba mendengarkan.Saka
Aska berjalan dengan pandangan tajam dan lurus. Ekspresinya memperlihatkan benar kalau pria itu sedang diliputi kemarahan. Emosinya seakan di ujung tanduk dan siap meledak kapan saja. Aska baru saja sampai di tempat di mana orang-orang kepercayaannya membawa Saka.Satu pintu yang ada di depannya dia buka dengan satu tendangan yang sangat keras. Memasuki ruangan itu, dia melihat sosok pria yang tergeletak di lantai dengan penampilan acak-acakan."Sejak kapan dia ada di sini?" tanya Aska tanpa menoleh.Salah satu orang kepercayaannya yang berdiri di belakang tubuhnya segera menjawab, "Sejak semalam, Tuan. Kami menemukan dia di sebuah klub malam dan sedang mabuk.""Air?" tanya Aska."Sudah siap, Tuan.""Siram dia," ujarnya dengan pandangan tajam. Kebencian tak lagi tersirat karena Aska memperlihatkannya secara terang-terangan. Tak lama, anak buahnya pun langsung melakukan apa yang dia perintahkan.Satu ember disiramkan pada Saka yang masih memejamkan mata di lantai. Mabuk sejak semalam,
Menurut pasal 459 UU 1/2023 mengenai pasal pembunuhan terencana yang didakwakan pada Saka dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu, dengan kurun waktu paling lama dua puluh tahun."Om. Tolong saya, Om. Tolong bebaskan saya dari sini. Atau setidaknya mengurangi masa hukuman saya." Aska memohon pada sosok pria tambun berkacamata yang hari ini mengunjungi dirinya di penjara. Dia tak lain adalah pengacara keluarga Bagaska.Terdengar helaan napas dari pria yang berprofesi sebagai pengacara itu. Dia melepaskan kacamata yang dia kenakan dan menatap Saka dengan sendu. "Maaf, Saka. Untuk kali ini saya tidak bisa menolong kamu. Saya ada di pihak kakak kamu di mana dia melaporkan kamu dengan pasal pembunuhan berencana," ujarnya menjelaskan."Tapi aku tidak merencanakan pembunuhan itu, Om." Saka menyangkal dengan apa yang telah dia lakukan. "Aku tidak sengaja membunuh anakku. Nada datang untuk menyelamatkan Kakak sehin---""Itula
Saka hanya bisa duduk dengan menyandar pada dinding di belakangnya. Tatapannya tampak kosong, tetapi di balik benak sana dia memikirkan banyak hal. Saka bertanya-tanya, selama dia berada di dalam sini, dia tak lagi bisa mengetahui kabar Nada dan kondisi perempuan itu."Mungkin sekarang dia sudah sangat membenciku karena hal ini." Dia berbicara sendiri. Lagi.Suara bebenturan besi terdengar. Saka menoleh dan melihat seorang petugas yang datang. "Ada yang datang ingin menemui kamu," ujar pria berseragam itu.Satu kalimat itu hanya membuat Saka mengembuskan napasnya kasar. Pria itu terasa malas untuk bangkit dari tempat duduknya. Namun, dia tetap melakukannya. Dia berjalan pelan sembari menunduk ke arah ruang besuk.Tepat saat dia sampai di ruang besuk, Saka mendongak dan membuat matanya melotot lebar. "Kamu?" Suara teriakan itu membuat hatinya terasa nyeri. Dan dia adalah Nada. Dari suaranya yang terdengar jelas rasa terkejut itu, membuat Saka berta
Thomi terkejut tak kala Rina menanyakan hal itu pada dirinya. Dia bingung harus mengatakan apa saat ini. Sebelumnya tak pernah Thomi mengira kalau dirinya akan ketahuan mengenai hal ini. "Jelaskan!" teriak Rina sekali lagi. Beruntung kamar putrinya cukup jauh dari teras sehingga Zahra tidak akan mendengar teriakannya. Tampak Thomi yang memejamkan matanya rapat-rapat lalu mengembuskan napas kasar sekali. "Maaf." Itu adalah kata pertama yang dikatakan oleh Thomi.Bola mata Rina semakin melotot. Kata maaf itu sudah menunjukkan kalau Thomi bersalah. Dalam data itu mengatakan kalau selama ini Thomi memberikan sejumlah uang pada perempuan yang diduga adalah selingkuhan dari mendiang kakaknya setiap bulan."Katakan yang jelas!" Rina kembali berteriak."Aku diminta untuk memberikan uang pada perempuan itu sejak lama. Bahkan sebelum kakak kamu meninggal. Mereka saling menyukai dan tidak bisa bersama. Apalagi dengan kehadiran anak di antara merek
Lima bulan kemudian.***"Aduh. Pusing," ujar Tari. Perempuan itu tampak frustrasi dengan pekerjaan yang ada di hadapannya. Duduk pada bayang yang ada di depan kontrakan Nada, lalu menyandarkan punggung pada dinding dan kepala mendongak, mulutnya tampak terbuka dengan lebar.Reno yang kebetulan baru keluar melihat kelakuan adiknya itu mengulum senyum. Dia sedikit menyesap teh yang baru saja dibuatnya itu. Setelahnya dia melompati pagar dan ikut duduk di samping adiknya."Ngapin kamu?" tanya Reno yang berhasil mengejutkan Tari. Ingin sekali dia tertawa jika tidak sedang menikmati tehnya.Entah apa yang membuat Tari pikirannya penuh sampai kakaknya datang saja dia tidak tahu. Tari memukul pundak kakaknya dengan menggerutu. "Kakak mah ngagetin aja. Tari lagi pusing juga.""Kamu kenapa sih emang?" Reno mengangkat dagu menunggu jawaban sang adik."Ini nih." Tari menjawab dengan menunjuk ke arah laptop yang ada di hadapannya.
Kedatangan mobil ke rumah Pak Baron tentu saja mendapat perhatian dari beberapa warga yang ada di sekitar sana. Aduh. Kebetulan sekali ada si biang gosip lewat bersama anak dan cucunya. Pandangannya langsung tertuju pada mobil Aska dengan ekspresi yang sangat ingin tahu."Kayak kenal tuh mobil," ujarnya dengan senyum mengembang."Ada apa sih, Bu?" tanya Safira yang baru sadar kalau ibunya tak melanjutkan perjalanan.Pandangan Bu Susi masih mengarah pada mobil di halaman rumah Pak Baron. Dia berujar, "Itu tuh. Mobilnya kayak kenal. Kayak pernah lihat gitu." Tangannya menunjuk ke arah mobil di depan sana.Safira ikut menoleh dan memerhatikan apa yang dikatakan oleh ibunya. "Itu, kan mobilnya Pak Aska," ujarnya kemudian. Ya. Dia memang sering melihat jika pemilik perusahaan itu berkunjung ke perusahaannya."Aska? Atasan kamu?" Bu Susi melihat putrinya mengangguk."Berarti saudaranya pria yang dulu mau nikahi Nada tapi nggak jadi kar