Share

7. Kedatangan Aska

Sebuah mobil terparkir di depan kediaman Pak Baron. Si pemilik yang masih berada di dalam mobil memandang keadaan sekitar yang tampak sepi meski di seberang jalan ada beberapa ibu-ibu yang berkumpul mengelilingi sebuah gerobak sayur.

Kehadiran mobil mengkilat yang jarang tentu saja menyita perhatian warga sekitar. Apalagi para ibu-ibu yang suka bergosip. Kebetulan sekali mereka sedang berkumpul sembari berbelanja pada tukang sayur keliling yang berhenti tak jauh dari kediaman Pak Baron.

Tinggu. Asal kalian tahu saja kalau beberapa ibu-ibu kepo memang sengaja memberhentikan tukang sayur itu di sana karena mereka menunggu informasi baru mengenai Pak Baron.

Seorang ibu-ibu dengan daster merah bergambar ayam menatap begitu intens pada mobil itu. "Eh Ibu-Ibu," panggilnya pada semua yang sedang berbelanja di sana.

"Itu mobil siapa yang parkir di rumah Pak Baron?" Tangannya menunjuk pada kuda besi mengilat di seberang jalan.

Semua yang ada di sana menoleh ke arah yang ibu itu tunjuk. Salah satu dari mereka mengingat mobil itu. "Bukanya itu mobil yang kapan lalu mau menikah dengan Nada?”

Semua menunjukkan raut terkejut. "Yang benar?" Ibu yang sebelumnya mengenali mobil itu mengangguk. "Untuk apa ya dia ke sini lagi?"

"Iya. Padahal, kan dia sudah punya istri. Kenapa masih ke sini lagi?" Seorang ibu lain mengomentari dengan sewot sembari memilah sayuran dengan sedikit dibanting.

Si tukang sayur melotot. "Bu. Pelan-pelan. Sayuran saya jangan dibanting." Setelahnya dia hanya bisa menghela napas panjang kala pelanggannya itu malah mencebikkan bibir.

Atensi mereka kembali pada keluarga Pak Baron. "Berarti pengaruh Nada itu kuat banget, ya. Buktinya tuh lakik masih nyari dia."

"Bisa jadi."

"Tapi sayang Nadanya udah nggak ada di sini," ucapnya terkikik.

Dari jauh seorang ibu-ibu berpostur tubuh tambun datang ikut bergabung. "Selamat pagi semuanya," sapanya dengan ceria.

"Eh, Bu Susi kebetulan," ucap seorang ibu -ibu dengan rok panjang warna hitam dan kaus biru. "Coba tuh lihat mobil siapa yang berhenti di depan rumah Pak Baron.” Tangannya menunjukkan ke arah mobil yang sedang dibicarakan.

Bu Susi dengan sigap menoleh. Bola matanya melotot dengan mulut menganga melihat sebuah mobil berada di sana. "Itu mobilnya pria yang tidak jadi menikah dengan Nada karena sudah punya istri, kan?" Bu Susi mengangguk.

"Iya. Wah ada apa, ya?" Dia semakin merasa penasaran. "Apakah mau mengajak Nada menikah lagi?"

Tidak lama, si pemilik mobil pun keluar. Dia melepas kacamata yang melekat di wajahnya. Hal itu membuat Bu Susi berdecak. "Ah itu bukan calon suaminya Nada yang tidak jadi itu. Memang benar dia ada di sini waktu itu. Tapi dia itu kakaknya mantan calon suaminya Nada."

"O ...." Semua mata memandang pria itu yang tampak masih mengamati sekitar.

Aska. Pagi ini setelah beberapa waktu lalu insiden batalnya acara pernikahan adiknya dan anak dari pemilik rumah ini karena penipuan yang dilakukan sang adik, inilah kali pertama dia kembali datang ke tempat ini.

Semua ini karena rasa bersalah yang terus menggelayuti perasaan pria itu. Apalagi ketika dia mengingat wajah perempuan yang sempat akan menjadi istri Saka.

Aska melangkahkan kaki memasuki pekarangan rumah Pak Baron yang tampak sepi. Rumah bernuansa Jawa lawas ini semua pintu kayunya tertutup. Begitu pun dengan jendelanya. Seperti tidak berpenghuni saja.

Aska mengetuk pintu kayu itu. "Permisi," ucapnya sedikit keras. Kepalanya mengamati sekitar berharap bisa menemukan seseorang yang masih bagian dari keluarga ini.

"Permisi." Aska kembali mengetuk pintu.

"Sebentar." Suara sahutan dari dalam membuat senyumnya sedikit mengembang. Dia memang seperti itu, irit untuk menunjukkan senyumnya. Pria itu menunggu pintu di depannya untuk terbuka.

Aska sedikit memundurkan langkah saat melihat kayu di hadapannya bergerak. Tidak lama dia melihat sosok pria paruh baya di ambang pintu.

"Selamat pagi, Pak Baron," sapanya.

"Untuk apa kamu ke sini?" Sayangnya, bukan sambutan hangat yang dia dapat melainkan sebuah bentakan. Wajah pria yang dia ketahui sebagai ayah dari mantan calon istri sang adik itu menunjukkan raut kemarahan yang sangat garang.

Baiklah. Aska mengerti pasti pria ini sangat marah pada adiknya maupun dirinya. "Begini, Pak. Sebelumnya saya mau minta maaf atas kesalahan---"

"Saya tidak peduli. Saya tidak ada lagi urusan sama Anda atau adik Anda. Lebih baik Anda pergi dari sini." Pria yang mengenakan batik itu mengibaskan tangan mengusir dirinya.

"Kalau begitu izinkan saya bertemu dengan Nada, Pak. Sebentar saja." Dia memohon. Jujur saja keadaan perempuan itulah yang membuatnya terdorong datang ke sini.

"Anak sialan itu sudah tidak ada," ucap Pak Baron dengan keras yang malah membuat Aska merasa bingung.

"Mak---maksudnya, Pak?” Dia menahan pintu rumah yang akan ditutup oleh Pak Baron. Terkesan tak sopan. Hanya saja, dia ingin tahu.

"Anak sialan itu sudah saya buang. Enggak ada lagi urusan dia sama saya. Sekarang Anda pergi dari sini." Tangan yang digunakan menahan pintu didorong secara kasar oleh pria paruh baya di hadapannya.

"Pak, tunggu, Pak." Sayang. Pintu itu sudah tertutup rapat. Ingin menggedornya, rasanya tidak etis dia lakukan hal itu. Bisa-bisa dia menjadi bahan tontonan dan Aska sangat malas dengan hal itu.

Mau tidak mau, Aska pun mengundurkan diri dari sana. Untuk sesaat dia memandangi rumah sederhana milik perempuan yang membuat dirinya merasa bersalah sebelum memasuki mobilnya.

Aska pun mengendarai mobilnya meninggalkan pelataran rumah Pak Baron. Dia merasa kecewa karena tidak dapat menemui perempuan bernama Nada untuk meminta maaf secara langsung.

Di tengah perjalanan, tepatnya ketika dia akan keluar dari lingkungan desa, matanya menyipit melihat seorang perempuan tengah berjalan dengan menunduk. Aska segera menghentikan mobil di pinggir jalan ketika dia mengingat sosok itu.

Pria dengan jas rapi itu turun dari mobil, mengamati jalan untuk menyeberang agar bisa mendekati perempuan yang dia lihat. "Permisi," ucapnya ketika dia sudah berdiri di hadapan perempuan dengan baju kuning itu.

Tatapan keduanya bertemu. Dapat dia lihat tatapan bingung dari sosok di hadapannya. "Boleh kita bicara?" tanya Aska langsung pada intinya.

Aska menghela napas dalam saat melihat anggukan. Dia mengulurkan tangan ke arah mobilnya mengisyaratkan untuk perempuan itu ikut dengan dirinya.

"Kak Nada diusir Bapak," jelas Tari---adiknya Nada. Kini, dua orang berbeda usia itu duduk di salah satu kursi taman terdekat dari tempat perempuan ini tinggal.

"Diusir?" tanya Aska. Tari mengangguk. "Kenapa?"

"Karena Bapak tahu kalau Kak Nada hamil." Betapa terkejutnya Aska mendengar penjelasan itu. Nada hamil? Pasti perempuan itu mengalami hal yang sulit saat ini.

“Anaknya Saka?”

“Siapa lagi?” tanya Tari sewot. Aska mendapat lirikan tajam dari perempuan itu.

Sesaat kemudian sosok di sampingnya ini menghela napas dalam. "Awalnya Bapak menawarkan Kak Nada untuk menikah dengan Rizal. Tapi Kakak menolak karena dia tidak mencintai Rizal." Tari menjelaskan.

"Siapa Rizal?" tanya Aska dengan kerutan di kening yang terlihat samar.

"Rizal itu salah satu laki-laki desa yang sudah lama menyukai Kak Nada. Dia sudah lama ingin menikahi Kakak. Dan kebetulan Bapak suka sama laki-laki itu karena dia anak orang kaya di desa. Tapi Kak Nada selalu menolak dan berjanji akan membawa calonnya sendiri."

Aska melihat perempuan di hadapannya menghela napas dalam kembali. Tampak seperti sedang menguatkan diri.

"Puncaknya kemarin tentang pembatalan pernikahan Kakak yang calonnya ternyata sudah mempunyai istri. Bapak marah besar karena menganggap itu mempermalukan keluarga. Apalagi dengan kehamilan Kakak tapi tetap menolak menikah dengan Mas Rizal. Akhirnya Bapak mengusir Kak Nada."

Aska membatin. Begitu berat sekali cobaan perempuan yang menjadi korban adiknya itu. Ya. Dia menyebut seperti itu karena Saka mendapatkan perempuan itu dengan cara tipuan.

Dia menangkap tatapan perempuan di hadapannya. "Tolong. Tolong saya untuk mencari Kakak saya. Dia diusir tanpa membawa apa pun. Pakaian atau makanan bahkan uang. Sepeser pun tidak. Saya khawatir terhadapnya. Apalagi sekarang dia sedang hamil." Riak yang terbentuk di mata Tari membuat Aska semakin merasa bersalah.

Tanpa keraguan, Aska mengangguk. "Pasti. Saya akan menemukan kakak kamu dan menebus semua kesalahan dan kekacauan yang sudah dibuat oleh adik saya."

Evie Edha

Selamat pagi semua. Adakah yang membaca ceritaku di GN ini? 😁😁😁 komen dong😋😋😋

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status