Home / Romansa / Aku Bukan Pelakor / 7. Kedatangan Aska

Share

7. Kedatangan Aska

Author: Evie Edha
last update Last Updated: 2022-06-30 05:58:47

Sebuah mobil terparkir di depan kediaman Pak Baron. Si pemilik yang masih berada di dalam mobil memandang keadaan sekitar yang tampak sepi meski di seberang jalan ada beberapa ibu-ibu yang berkumpul mengelilingi sebuah gerobak sayur.

Kehadiran mobil mengkilat yang jarang tentu saja menyita perhatian warga sekitar. Apalagi para ibu-ibu yang suka bergosip. Kebetulan sekali mereka sedang berkumpul sembari berbelanja pada tukang sayur keliling yang berhenti tak jauh dari kediaman Pak Baron.

Tinggu. Asal kalian tahu saja kalau beberapa ibu-ibu kepo memang sengaja memberhentikan tukang sayur itu di sana karena mereka menunggu informasi baru mengenai Pak Baron.

Seorang ibu-ibu dengan daster merah bergambar ayam menatap begitu intens pada mobil itu. "Eh Ibu-Ibu," panggilnya pada semua yang sedang berbelanja di sana.

"Itu mobil siapa yang parkir di rumah Pak Baron?" Tangannya menunjuk pada kuda besi mengilat di seberang jalan.

Semua yang ada di sana menoleh ke arah yang ibu itu tunjuk. Salah satu dari mereka mengingat mobil itu. "Bukanya itu mobil yang kapan lalu mau menikah dengan Nada?”

Semua menunjukkan raut terkejut. "Yang benar?" Ibu yang sebelumnya mengenali mobil itu mengangguk. "Untuk apa ya dia ke sini lagi?"

"Iya. Padahal, kan dia sudah punya istri. Kenapa masih ke sini lagi?" Seorang ibu lain mengomentari dengan sewot sembari memilah sayuran dengan sedikit dibanting.

Si tukang sayur melotot. "Bu. Pelan-pelan. Sayuran saya jangan dibanting." Setelahnya dia hanya bisa menghela napas panjang kala pelanggannya itu malah mencebikkan bibir.

Atensi mereka kembali pada keluarga Pak Baron. "Berarti pengaruh Nada itu kuat banget, ya. Buktinya tuh lakik masih nyari dia."

"Bisa jadi."

"Tapi sayang Nadanya udah nggak ada di sini," ucapnya terkikik.

Dari jauh seorang ibu-ibu berpostur tubuh tambun datang ikut bergabung. "Selamat pagi semuanya," sapanya dengan ceria.

"Eh, Bu Susi kebetulan," ucap seorang ibu -ibu dengan rok panjang warna hitam dan kaus biru. "Coba tuh lihat mobil siapa yang berhenti di depan rumah Pak Baron.” Tangannya menunjukkan ke arah mobil yang sedang dibicarakan.

Bu Susi dengan sigap menoleh. Bola matanya melotot dengan mulut menganga melihat sebuah mobil berada di sana. "Itu mobilnya pria yang tidak jadi menikah dengan Nada karena sudah punya istri, kan?" Bu Susi mengangguk.

"Iya. Wah ada apa, ya?" Dia semakin merasa penasaran. "Apakah mau mengajak Nada menikah lagi?"

Tidak lama, si pemilik mobil pun keluar. Dia melepas kacamata yang melekat di wajahnya. Hal itu membuat Bu Susi berdecak. "Ah itu bukan calon suaminya Nada yang tidak jadi itu. Memang benar dia ada di sini waktu itu. Tapi dia itu kakaknya mantan calon suaminya Nada."

"O ...." Semua mata memandang pria itu yang tampak masih mengamati sekitar.

Aska. Pagi ini setelah beberapa waktu lalu insiden batalnya acara pernikahan adiknya dan anak dari pemilik rumah ini karena penipuan yang dilakukan sang adik, inilah kali pertama dia kembali datang ke tempat ini.

Semua ini karena rasa bersalah yang terus menggelayuti perasaan pria itu. Apalagi ketika dia mengingat wajah perempuan yang sempat akan menjadi istri Saka.

Aska melangkahkan kaki memasuki pekarangan rumah Pak Baron yang tampak sepi. Rumah bernuansa Jawa lawas ini semua pintu kayunya tertutup. Begitu pun dengan jendelanya. Seperti tidak berpenghuni saja.

Aska mengetuk pintu kayu itu. "Permisi," ucapnya sedikit keras. Kepalanya mengamati sekitar berharap bisa menemukan seseorang yang masih bagian dari keluarga ini.

"Permisi." Aska kembali mengetuk pintu.

"Sebentar." Suara sahutan dari dalam membuat senyumnya sedikit mengembang. Dia memang seperti itu, irit untuk menunjukkan senyumnya. Pria itu menunggu pintu di depannya untuk terbuka.

Aska sedikit memundurkan langkah saat melihat kayu di hadapannya bergerak. Tidak lama dia melihat sosok pria paruh baya di ambang pintu.

"Selamat pagi, Pak Baron," sapanya.

"Untuk apa kamu ke sini?" Sayangnya, bukan sambutan hangat yang dia dapat melainkan sebuah bentakan. Wajah pria yang dia ketahui sebagai ayah dari mantan calon istri sang adik itu menunjukkan raut kemarahan yang sangat garang.

Baiklah. Aska mengerti pasti pria ini sangat marah pada adiknya maupun dirinya. "Begini, Pak. Sebelumnya saya mau minta maaf atas kesalahan---"

"Saya tidak peduli. Saya tidak ada lagi urusan sama Anda atau adik Anda. Lebih baik Anda pergi dari sini." Pria yang mengenakan batik itu mengibaskan tangan mengusir dirinya.

"Kalau begitu izinkan saya bertemu dengan Nada, Pak. Sebentar saja." Dia memohon. Jujur saja keadaan perempuan itulah yang membuatnya terdorong datang ke sini.

"Anak sialan itu sudah tidak ada," ucap Pak Baron dengan keras yang malah membuat Aska merasa bingung.

"Mak---maksudnya, Pak?” Dia menahan pintu rumah yang akan ditutup oleh Pak Baron. Terkesan tak sopan. Hanya saja, dia ingin tahu.

"Anak sialan itu sudah saya buang. Enggak ada lagi urusan dia sama saya. Sekarang Anda pergi dari sini." Tangan yang digunakan menahan pintu didorong secara kasar oleh pria paruh baya di hadapannya.

"Pak, tunggu, Pak." Sayang. Pintu itu sudah tertutup rapat. Ingin menggedornya, rasanya tidak etis dia lakukan hal itu. Bisa-bisa dia menjadi bahan tontonan dan Aska sangat malas dengan hal itu.

Mau tidak mau, Aska pun mengundurkan diri dari sana. Untuk sesaat dia memandangi rumah sederhana milik perempuan yang membuat dirinya merasa bersalah sebelum memasuki mobilnya.

Aska pun mengendarai mobilnya meninggalkan pelataran rumah Pak Baron. Dia merasa kecewa karena tidak dapat menemui perempuan bernama Nada untuk meminta maaf secara langsung.

Di tengah perjalanan, tepatnya ketika dia akan keluar dari lingkungan desa, matanya menyipit melihat seorang perempuan tengah berjalan dengan menunduk. Aska segera menghentikan mobil di pinggir jalan ketika dia mengingat sosok itu.

Pria dengan jas rapi itu turun dari mobil, mengamati jalan untuk menyeberang agar bisa mendekati perempuan yang dia lihat. "Permisi," ucapnya ketika dia sudah berdiri di hadapan perempuan dengan baju kuning itu.

Tatapan keduanya bertemu. Dapat dia lihat tatapan bingung dari sosok di hadapannya. "Boleh kita bicara?" tanya Aska langsung pada intinya.

Aska menghela napas dalam saat melihat anggukan. Dia mengulurkan tangan ke arah mobilnya mengisyaratkan untuk perempuan itu ikut dengan dirinya.

"Kak Nada diusir Bapak," jelas Tari---adiknya Nada. Kini, dua orang berbeda usia itu duduk di salah satu kursi taman terdekat dari tempat perempuan ini tinggal.

"Diusir?" tanya Aska. Tari mengangguk. "Kenapa?"

"Karena Bapak tahu kalau Kak Nada hamil." Betapa terkejutnya Aska mendengar penjelasan itu. Nada hamil? Pasti perempuan itu mengalami hal yang sulit saat ini.

“Anaknya Saka?”

“Siapa lagi?” tanya Tari sewot. Aska mendapat lirikan tajam dari perempuan itu.

Sesaat kemudian sosok di sampingnya ini menghela napas dalam. "Awalnya Bapak menawarkan Kak Nada untuk menikah dengan Rizal. Tapi Kakak menolak karena dia tidak mencintai Rizal." Tari menjelaskan.

"Siapa Rizal?" tanya Aska dengan kerutan di kening yang terlihat samar.

"Rizal itu salah satu laki-laki desa yang sudah lama menyukai Kak Nada. Dia sudah lama ingin menikahi Kakak. Dan kebetulan Bapak suka sama laki-laki itu karena dia anak orang kaya di desa. Tapi Kak Nada selalu menolak dan berjanji akan membawa calonnya sendiri."

Aska melihat perempuan di hadapannya menghela napas dalam kembali. Tampak seperti sedang menguatkan diri.

"Puncaknya kemarin tentang pembatalan pernikahan Kakak yang calonnya ternyata sudah mempunyai istri. Bapak marah besar karena menganggap itu mempermalukan keluarga. Apalagi dengan kehamilan Kakak tapi tetap menolak menikah dengan Mas Rizal. Akhirnya Bapak mengusir Kak Nada."

Aska membatin. Begitu berat sekali cobaan perempuan yang menjadi korban adiknya itu. Ya. Dia menyebut seperti itu karena Saka mendapatkan perempuan itu dengan cara tipuan.

Dia menangkap tatapan perempuan di hadapannya. "Tolong. Tolong saya untuk mencari Kakak saya. Dia diusir tanpa membawa apa pun. Pakaian atau makanan bahkan uang. Sepeser pun tidak. Saya khawatir terhadapnya. Apalagi sekarang dia sedang hamil." Riak yang terbentuk di mata Tari membuat Aska semakin merasa bersalah.

Tanpa keraguan, Aska mengangguk. "Pasti. Saya akan menemukan kakak kamu dan menebus semua kesalahan dan kekacauan yang sudah dibuat oleh adik saya."

Evie Edha

Selamat pagi semua. Adakah yang membaca ceritaku di GN ini? 😁😁😁 komen dong😋😋😋

| 1
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Bukan Pelakor   84. Akhir Dari Segalanya

    Aska dan Nada menyalami tangan Pak Baron dan Bu Mila. Setelah pernikahannya yang berjalan dua hari lalu, hari ini sesuai jadwal Aska akan mengajak Nada untuk bulan madu sebagai kado pernikahan mereka. "Hati-hati di jalan, ya. Ingat. Jangan bertengkar." Pak Baron memberi pesan pada anak dan menantunya.Aska dan Nada mengangguk bersama-sama. "Iya, Pak." Pasangan suami istri itu berjalan bersama menaiki mobil Aska. Keduanya duduk pada bangku belakang karena kali ini mobil dikemudikan oleh sopir.Nada merangkul lengan sang suami. "Memangnya kita mau ke mana sih? Kamu belum memberi tahu aku loh kita mau ke mana-mananya. Kamu cuma bilang kalau kita mau bulan madu."Aska tersenyum. "Namanya juga kerutan.""Ih kamu mah." Nada mencubit pelan lengan suaminya. Aska pun terkekeh. "Ciba tebak aja dong. Kalau benar, nanti aku tambahin hari dalam bulan madu kita," ujar Aska kemudian."Kalau itu sih maunya kamu." Keduanya pun tertawa.Namun, Nada tampak berpikir. Dia menidurkan kepala di pundak san

  • Aku Bukan Pelakor   83. Mengatasi Masalah Tanpa Masalah

    Safira sedang berdiri di sudut tempat memerhatikan keluarga Pak Baron yang sedang mengadakan sesi foto dengan para pengantin. Bukan, bukan karena dia ingin ikut berfoto, tetapi karena dia sedang menunggu seorang perempuan yang kini juga sedang ikut berfoto. Kalian tentu tahu siapa.Safira mengentakkan kakinya karena kesal. "His. lama banget sih mereka foto-foto. Nggak penting banget deh." Dia melipat tangan dengan menunjukkan ekspresi kesalnya.Dia masih menunggu. Beberapa saat kemudian dia langsung menerbitkan senyum kala melihat seseorang yang dia tunggu berjalan ke arah dirinya. Entah mau ke mana yang jelas pasti perempuan itu akan melewati dirinya.Tepat ketika Rina. Orang yang sejak tadi dia tunggu melewati Safira, perempuan itu langsung meraih lengan Rina. Rina yang terkejut pun langsung menatap ke arah tanganya lalu menatap pelaku itu.Dia lagsung mengembuskan napas kasar kala melihat keberadaan Safia di sana. "Mau apa kamu?" tanyanya dengan malas."Kamu ikut aku sebentar," uja

  • Aku Bukan Pelakor   82. Sah

    Nada yang sedang menangis di pelukan kakaknya melihat keberadaan sang bapak dan ibunya di ambang pintu. Dia pun melepaskan pelukannya pada Reno. "Bapak? Ibu?" panggilnya yang membuat Tari dan Reno langsung mengalihkan pandangan. Mereka melihat kedua orang tua mereka di sana.Pak Baron dan Bu Mila tersenyum ke arah ketiga anaknya. Mereka berjalan mendekat, lebih tepatnya mendekati Nada. Reno dan Tari yang paham pun mulai menyingkir sebentar. Berdiri di depan Nada tepat, lalu menatap perempuan itu lekat-lekat.Pak Baron merasa terharu dengan keadaan ini. Keadaan yang pernah mereka lewati tetapi berakhir tragis. Pak Baron menangkup wajah Nada. "Maafkan untuk semua kesalahan yang pernah bapak perbuat sama kamu sehingga kamu melewati semua hal berat ini." Dia berujar lirih.Nada menggeleng pelan. "Tidak, Pak. Nada yang harusnya meminta maaf karena Nada menyusahkan Bapak. Menyusahkan Ibu. Nada berterima kasih pada kalian atas semua yang pernah kalian beri untuk Nada," ujar perempuan itu den

  • Aku Bukan Pelakor   81. Pergi ke Makam

    "Aku akan menikah dengan Nada," ujar Aska. Ekspresinya datar dengan pandangan tajam mengarah ke depan. Tepatnya pada sosok pria yang memakai seragam tahanan. Siapa lagi kalau buka Saka?Saka yang mendengar itu hanya bisa diam tertunduk. Dia tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Kesalahannya di masa lalu benar-benar membuat Saka menyesal dan tidak tahu harus berbuat apa untuk menebusnya. Dia telah menjadi penyebab kematian dari darah dagingnya sendiri dan membuat perempuan yang dia cintai kecewa juga marah padanya.Lantas, apakah ada hak untuk Saka meminta Aska untuk tak melanjutkan rencana yang baru saja dikatakan padanya itu?"Untuk apa kau mengatakannya padaku? Bukankah sejak lama kau memang ingin bersama dengan dia?" tanya Saka.Aska melipat tangan di depan dada. "Ya. Aku hanya ingin kau tahu saja." Tak banyak yang dikatakan oleh Aska. Pria itu hanya datang untuk memberitahu hal ini. Bukan untuk menjenguk sang adik. Bahkan sesuatu pun tidak dia bawakan untuk Saka."Aku harap ka

  • Aku Bukan Pelakor   80 Menemui Danu

    Harapan telah terkabul. Setelah beberapa hari menunggu, akhirnya kini Nada sudah membuka matanya. Iris itu tampak bergerak memandangi keadaan sekitar dan mencari tahu keberadaan dirinya di mana saat ini. Yang Nada ingat adalah kali terakhir dia yang sedang disekap oleh seseorang yang tak lain adallah ayah dari sosok Alva.Nada menggerang kala merasakan sakit di kepala. "Aku di mana?" tanyanya kemudian.Aska yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut melihat pergerakan dari atas brankar milik Nada. Dia menyadari kalau kekasihnya kini sudah sadarkan diri. "Nada," panggil Aska yang langsung berlari mendekati Nadda."Kak Aska," panggil Nada dengan suara yang sangat lirih."Kamu sudah sadar, Sayang? Kamu sudah bangun. Sebentar. Aku akan panggilkan dokter untuk kamu," ujar pria itu dengan menekan sebuah tombol yang ada di bagian belakang brankar dan menempel pada tembok.Aska mendengar desisan dari Nada. "Sabar, Sayang. Sabar. Dokter akan segera datang."Pria itu duduk di samping brank

  • Aku Bukan Pelakor   79. Perawatan Nada

    Sejak Nada memasuki rumah sakit dan tak sadarkan diri, Aska tak pernah sekalipun meninggalkan kekasihnya itu. Duduk pada kursi di samping brankar, Aska terus menggenggam tangan Nada dan menempelkan di pipinya. Pandangan Aska terus tertuju pada Nada seolah pria itu tak ingin lagi kehilangan kekasihnya."Bangun, Sayang. Bangun. Kamu harus segera sadar," ujar Aska. Salah satu tangan pria itu harus diperban karena luka akibat terlalu banyak memukul Danu sampai lepas kendali."Sayang. Setelah ini kita harus mengadakan pernikahan. Aku tidak mau ditunda lagi apa pun alasannya nanti," ujar Aska. Pria itu seperti sedang berbicara secara langsung pada Nada. Tatapannya penuh ancaman dan nada bicaranya penuh penekanan.Aska mencium tangan Nada dengan penuh cinta. "Bangun lah. Bukankah kau sudah mendapat perawatan? Kau pernah di posisi yang lebih berbahaya dari ini dan kau bisa melewatinya. Kau cepat bangun tapi kenapa rasanya lama sekali bangunnya. Kau tahu? Aku sampai mengantuk," ujar Aska sedik

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status