Share

6. Pergi Dari Rumah

Nada menatap sendu pintu rumahnya yang sudah tertutup rapat. Bahkan dia juga melihat sang ayah yang mulai menutup jendela dengan sedikit tatapan tajam ke arahnya. Seolah-olah dari tatapan itu Pak Baron ingin mengatakan kalau dia sudah sangat membenci anaknya.

Nada menunduk, tidak menyangka kalau kehidupan akan berubah sedrastis ini. Dia rasa baru beberapa hari lalu Nada merasakan kebahagiaan akan melepas masa lajang dengan pria yang dia cintai.

Akan tetapi, dia tidak menyangka kalau pria itu juga yang telah memberikan luka pada dirinya. Menipu akan status, menjanjikan pernikahan, membuat keluarganya malu dengan kebenaran yang ada.

Kini, dia pun harus terusir dari rumah yang sudah membesarkan dirinya karena kehamilan yang ingin dia pertahankan, juga penolakan dirinya untuk menikahi Rizal.

Pria yang baru saja disebutkan namanya mendekati Nada. "Sudah aku katakan. Terima saja lamaran dariku. Kamu akan sedikit memberi kebahagiaan pada kedua orang tuamu. Dan anakmu yang tidak memiliki ayah itu juga akan terjamin kehidupannya."

Nada yang mendengar itu mendongak seketika, memandang tajam pria di hadapannya. "Jangan mimpi," desisnya.

Namun, apakah pria itu marah?

Tidak. Rizal malah memperlihatkan sebuah senyuman. "Biar aku bantu." Dia mengulurkan tangan dan memegang lengan Nada.

"Jangan sentuh." Ya. Seperti yang kita tahu kalau Nada pasti akan menolak.

Namun, belum sempat lengan perempuan itu terlepas, Rizal sudah mencengkeramnya. "Jangan menolak. Kita sudah menjadi tontonan saat ini."

Tetap. Nada berdiri dengan kasar. Dia menarik paksa lengannya yang ditahan Rizal. Aneh. Pria itu tidak lagi memaksa dan kini malah memundurkan langkah sembari mengangkat tangan seolah membiarkan dirinya melakukan apa yang ingin dia lakukan.

Saat Nada membalikkan badan, dia dibuat terkejut karena banyak orang yang berdiri tidak jauh darinya. Dia menunduk, menghindari tatapan yang jelas diarahkan kepadanya dan mulai berjalan pelan. Waktunya untuk pergi dari tempat tinggalnya yang sudah dia hunk Bertahan-tahun.

"Lihat. Si kembang desa sudah ternoda."

"Iya. Nggak nyangka, ya. Udah jadi pelakor, sekarang hamil anak pria yang masih beristri lagi. Jadi apa nanti itu?"

"Iya. Sekarang malah diusir dari rumah sama bapaknya."

"Kalau saya punya anak seperti itu pasti juga saya usir ibu-ibu."

Ucapan-ucapan itu mengiringi langkah Nada yang mulai berjalan menjauh dari pelataran rumahnya. Memejamkan mata sebentar dan berusaha menulikan telinga dari setiap kata yang menyakiti hatinya.

"Kasihan loh, Bu sama Pak Baron. Dulu anaknya yang besar malah jadi pembunuh suami orang. Sekarang adiknya jadi perebut suami orang."

Namun, sentilan mengenai sang kakak membuat Nada tidak lagi bisa membendung rasa sakit di hatinya. Dia mulai mempercepat langkah untuk pergi dari sana.

Di samping itu, Ibu Mila yang mendengar pertikaian antara suami dan juga anak-anaknya sekuat tenaga mencoba untuk bangkit dari tidurnya.

Namun, belum sempat dia berdiri, tubuhnya kembali jatuh terduduk di atas ranjang. "Pak. Kalian kenapa?" tanyanya dengan suara yang lirih.

Memang, semenjak jatuh sakit karena insiden Nada beberapa waktu lalu, kondisi Mila menurun. Bahkan untuk berdiri saja susah. Itu kenapa Tari yang harus pergi berbelanja. Untuk berbicara pun dia masih lemah.

Suara Pintu tertutup begitu kencang membuat dirinya terkejut. Tangannya sigap memegang dada yang terasa berdegup kencang. "Pak. Ada apa? Kenapa kalian ribut-ribut?"

Tidak ada jawaban. Beberapa saat kemudian terlihat suaminya yang datang bersama Tari di mana putri bungsunya itu seperti memohon. "Pak. Kasihan Kak Nada."

"Ada apa dengan Nada?" tanya Mila ketika kedua orang yang tengah berseteru itu berada di depan kamarnya.

Tari dan Pak Baron menoleh. Menatap terkejut Mila yang sudah duduk di tepi ranjang. Keduanya berlari mendekat. "Bu. Kenapa Ibu bangun? Ibu enggak papa?" tanya Pak Baron khawatir.

Bu Mila menarik napas dalam masih memegang dadanya. Dia menatap sang suami. "Ibu tadi mendengar kegaduhan, Pak. Ada apa Bapak marah-marah? Dan ... kenapa Tari kasihan dengan Nada?"

Bu Mila menatap sang suami dan putrinya secara bergantian. Menunggu jawaban di mana kedua orang itu malah sama-sama mengalihkan pandangan.

"Ada apa? Kenapa kalian malah diam saja?" tanya Bu Mila.

Dia menjatuhkan atensi pada putri bungsunya. "Tari. Katakan. Ada apa dengan kakak kamu?"

Tari mendongak, menatap ibunya dengan mata berkaca, melirik bapaknya yang masih mengalihkan pandangan. "Tari." Panggilan itu kembali mengubah perhatiannya.

Dengan bibir bergetar, Tari mulai membuka mulut. "Ba—Bapak mengusir Kak Nada, Bu."

"Apa?" Bola mata Bu Mila melotot. Dia memegang dadanya dan memandang sang suami. "Kenapa, Pak? Kenapa Bapak mengusir Nada?"

Pak Baron bangkit dari sisi istrinya. Dia membelakangi perempuan yang sudah menemani hidupnya bertahun-tahun itu. "Nada sudah mengecewakan kita, Bu. Nada sudah membuat keluarga kita sangat malu."

Bu Mila paham. Pasti ini masih mengenai pernikahan Nada dan Pria yang telah menipunya. "Pak. Tapi kita belum mendengar penjelasan dari Nada. Dia sepertinya juga tidak tahu kalau Saka telah membohongi dia. Kita bi---"

"Nada hamil, Bu," ucap Pak Baron yang mampu menghentikan perkataan sang istri. "Ya. Nada sudah hamil anak dari pria itu. Dan dia tidak mau menggugurkannya makanya bapak usir dia dari rumah."

Bu Mila tidak bisa berkata apa-apa. Dia terkejut sangat. Terdiam sesaat, dia memikirkan bagaimana keadaan putrinya saat ini. "Pak. Kalau Nada hamil, dia pasti sangat membutuhkan kita. Kenapa Bapak malah mengusir dia?"

Mendengar hal itu Pak Baron malah semakin merasa kesal. "Dia sudah mempermalukan kita, Bu," ucap Pak Baron keras sembari memutar tubuh menghadap sang istri.

Air mata Bu Mila jatuh kembali membasahi pipi. dia menggelengkan kepala pelan. "Bapak memang tidak pernah berubah. Dari dulu yang Bapak pikirkan hanya nama baik Bapak. Tidak pernah memikirkan perasaan anak-anak Bapak."

Tangan Bu Mila semakin mencengkeram dada yang terasa semakin nyeri. "Tidak Reno, tidak juga Nada. Mereka sedang membutuhkan kita tapi Bapak tetap hanya memikirkan ego Bapak."

Kali ini Pak Baron yang melotot. "Itu karena mereka sudah membuat kesalahan."

"Tapi—"

"Sudah cukup!" Lagi-lagi Pak Baron memotong ucapan istrinya. "Bapak sudah memutuskan untuk mengusir Nada. Bapak harap kalian menerima itu." Setelahnya, pria paruh baya itu pun keluar dari kamar meninggalkan sang istri dan putrinya yang masih menangis.

***

Tanpa alas kaki, Nada berjalan tanpa tujuan mengikuti jalanan. Dia memandang sekitar di mana dia sudah tidak tahu sedang berada di mana. Tidak membawa apa pun keluar dari rumah, Nada hanya bisa menelan ludah kala lapar terasa menyiksa.

Belum lagi keringnya tenggorokan membuat dirinya harus menelan ludah beberapa kali. Pemandangan berbagi pepohonan menyapa, tidak ada satu pun tempat yang dia kenal.

"Aku harus ke mana sekarang?" tanyanya pada diri sendiri. Dia mengelap keringat yang ada di keningnya.

Pandangan Nada jatuh pada seorang anak yang tengah menikmati makanan yang entah apa namanya. Dia menelan ludah, menunduk sembari mengelus perutnya. "Sabar ya, Nak. Mama belum mendapatkan makanan untuk kita. Kamu tahanan dulu, ya."

Pandangan Nada mengedar, mencari sesuatu yang bisa dimakan. Hingga beberapa saat kemudian dia tak sengaja melihat seorang ibu-ibu yang mendekati tempat sampah dengan sepotong roti di tangan.

Mulut Nada menganga saat perempuan yang dikisar berusia sama dengan ibunya itu akan membuang roti. Cepat-cepat Nada melangkah cepat. "Ibu, tunggu, Ibu." Dia berujar cukup keras yang mampu membuat ibu-ibu tadi berhenti dengan kegiatannya.

Nada mendekat. "Ibu. Ibu mau membuang roti itu?" tanyanya dengan menunjuk roti di tangan perempuan tadi.

Perempuan berbaju hijau telur asin itu menatap roti di tangannya, lalu mengangguk sembari mengalihkan pandangan ke arah Nada. "Iya."

Nada tersenyum. "Boleh buat saya saja nggak, Bu?" tanyanya dengan perasaan senang. Tidak pernah membayangkan bahwa dengan sepotong roti ini dia bisa sebahagia ini.

Perempuan tadi menunjukkan raut terkejut. "Tapi ini bekas saya." Dia memindai penampilan Nada yang tampak tidak karu-karuan. Dibilang gelandangan, wajahnya sedikit lebih bersih. Dibilang orang biasa, tapi penampilan sangat kotor.

Nada menggeleng. "Tidak apa-apa, Bu."

Ragu, tapi ibu-ibu itu tetap memberikan roti bekasnya pada Nada. Perempuan yang tengah hamil itu pun sangat senang. Tanpa menunggu langsung memakan roti yang tinggal beberapa suap lagi itu.

Dia membalikkan badan, bermaksud mencari tempat duduk. Namun, dia kembali menoleh saat ibu-ibu tadi memanggilnya.

"Ini. Saya ada sedikit rezeki untuk kamu makan." Ibu itu mengulurkan sebuah kertas merah ke arah Nada.

Nada menatap uang pecahan seratus ribuan di tangan ibu-ibu itu, bergantian dengan wajah meneduhkan di hadapannya. "Benar, Bu?"

Ibu-ibu tadi mengangguk. Segera Nada menerima uang itu. "Terima kasih, Bu," ucapnya dengan bahagia.

Setelah mengucapkan terima kasih beberapa kali, Nada membalikkan badan dan pergi dari sana. Tangannya sigap mengelus perutnya yang masih rata. "Syukurlah, Nak. Mama akan membelikan kamu makanan."

Evie Edha

Selamat hari senin semuanya. Semoga suka baca ceritanya😋😍😍

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status