"Bagaimana?" Danu memasuki kamar rawat putranya. Dia menatap Niken dan juga anaknya yang masih terbaring di atas brankar."Masih menunggu hasil dari operasi kemarin." Niken menjawab. Detik kemudian dia menatap Danu dari atas kepala sampai ujung kaki."Kamu dari mana, Mas?" tanya Niken kemudian."Ada." Danu tak menjawab jujur. Pria itu memilih untuk duduk di sofa yang sama dengan Niken lalu menyandarkan kepala pada dinding di belakang tubuhnya.Niken hanya menatapnya sesaat. Detik kemudian dia bangkit dari tempat duduknya. "Aku minta kamu tungguin Alva dulu. Aku ada urusan sebentar." Dia mengambil tas dan berjalan ke arah pintu."Kamu mau ke mana?" tanya Danu tiba-tiba.Tangan Niken yang sudah memegang handle urung untuk menariknya. Perempuan itu menoleh dari balik bahu lalu menjawab pertanyaan suaminya. "Harus kamu tahu?"Danu berdiri menatap Niken dengan melipat tangan di depan dada. "Ya." Dia menjawab singkat.""Bukankah kamu selalu pergi dan tidak pernah memberitahu aku ke mana? Ap
Danu berjalan santai menyusuri lorong rumah sakit dengan tangan kanannya yang memegang sebuah pisang. Dia menikmatinya sepanjang perjalanan sembari sesekali bersiul dan bersenandung. Pria itu tampak menunjukkan wajah yang bahagia.Asal kalian tahu saja, Danu baru saja pergi meninggalkan rumah sakit untuk melakukan hal yang biasanya dia lakukan. Kali ini Danu mendapatkan uang yang cukup banyak sehingga itulah dia tampak bahagia. Namun, dia tidak tahu apa yang telah terjadi di ruangan putranya.Ketika berjalan, dia tampak kebingungan dengan beberapa petugas medis yang berlari-lari. "Mereka kenapa?" tanyanya pada diri sendiri namun memilih acuh pada keadaan.Sampai akhirnya kala keberadaan pria itu sudah di dekat ruangan yang di mana anaknya dirawat, Danu mendengar suara teriakan dari sana. "Itu suara Niken?" Keningnya mengerut, menandakan kalau pria itu tengah kebingungan."Ngapain dia teriak-teriak begitu? Pakai acara nangis segala." Danu masih melangkah dengan santai menuju ruangan. Sa
Bu Mila tidak bisa diam. Sejak tadi perempuan itu duduk, berdiri dan berjalan tiada henti dengan perasaan gelisah. Kabar mengenai penculikan Nada tentu saja menggemparkan keluarganya. Semua dibuat panik dan khawatir.Tari yang melihat ibunya terus menerus seperti itu menggeleng. Dia merasa kasihan. "Ibu. Ibu duduk dulu. Ibu yang tenang." Tari mendekati ibunya. Dia memegangi pundak Bu Mila lalu mengajaknya duduk bersama."Yang tenang, Bu. Jangan sampai kegelisahan Ibu ini membuat Ibu menjadi sakit nantinya," lanjut Tari."Gimana ibu bisa tenang, Tar kalau kakak kamu diculik orang?" tanya Bu Mila dengan perasaan sedih. Entah sudah berapa kali dia menangisi Nada."Maafin, Salsa ya Bu Mila. Salsa nggak bisa jagain Nada," ujar Salsa yang merasa bersalah."Tidak, Nak. Ini bukan salah kamu." Pak Baron berujar. Sejak tadi temannya Salsa itu terlihat sangat bersalah dengan kejadian yang menimpa Nada.Rina keluar dari dalam rumah. Dia membawa beberapa gelas minuman untuk semua yang ada di sana.
"Akh! Sakit!" teriak Nada kala rambut panjangnya ditarik secara kasar. Wajahnya kini mendongak dengan tangan yang terikat ke belakang tubuh. Perempuan itu kini tengah duduk di sebuah kursi dengan tangis yang terus mendera sedari tadi karena penyiksaan yang dia dapat.Wajah Nada tampak penuh lebam dengan sudut bibir yang mengeluarkan darah karena sobek. Penampilan Nada begitu kacau."Sakit. Tolong hentikan," ujar Nada dengan tangis. Kepalanya terasa perih kala pria di hadapannya ini mencengkeram rambutnya dengan sangat kuat."Apa? Apa?" Danu. Pelaku itu mendekatkan telinga ke wajah Nada. "Menghentikan?" tanyanya kemudian."Mimpi," ujarnya dengan keras dan kasar mendorong kepala Nada. Dia melepaskan sesaat rambut perempuan itu sebelum akhirnya kembali menariknya secara kasar."Apa kau bilang tadi? Sakit?" Danu bertanya dengan tatapan tajam. Detik selanjutnya dia tertawa dengan nada yang sangat menyeramkan."Rasa sakitmu ini tidak setara dengan sakit hati yang aku rasakan karena aku kehi
Sejak Nada memasuki rumah sakit dan tak sadarkan diri, Aska tak pernah sekalipun meninggalkan kekasihnya itu. Duduk pada kursi di samping brankar, Aska terus menggenggam tangan Nada dan menempelkan di pipinya. Pandangan Aska terus tertuju pada Nada seolah pria itu tak ingin lagi kehilangan kekasihnya."Bangun, Sayang. Bangun. Kamu harus segera sadar," ujar Aska. Salah satu tangan pria itu harus diperban karena luka akibat terlalu banyak memukul Danu sampai lepas kendali."Sayang. Setelah ini kita harus mengadakan pernikahan. Aku tidak mau ditunda lagi apa pun alasannya nanti," ujar Aska. Pria itu seperti sedang berbicara secara langsung pada Nada. Tatapannya penuh ancaman dan nada bicaranya penuh penekanan.Aska mencium tangan Nada dengan penuh cinta. "Bangun lah. Bukankah kau sudah mendapat perawatan? Kau pernah di posisi yang lebih berbahaya dari ini dan kau bisa melewatinya. Kau cepat bangun tapi kenapa rasanya lama sekali bangunnya. Kau tahu? Aku sampai mengantuk," ujar Aska sedik
Prolog ***Suasana rumah sederhana milik salah satu warga kampung Anyelir terlihat ramai. Kediaman bernuansa biru laut itu adalah milik kelurga Pak Baron. Sebuah acara sakral dan penting akan segera digelar di sana. Pesta pernikahan anak gadis pertama mereka. Sebuah tenda sederhana sudah terpasang rapi di depan rumah, deretan kursi dan meja di mana penuh dengan berbagai jajanan menghiasi setiap sudutnya. Cuaca yang cerah sangat mendukung akan pelaksanaan hal yang suci ini. Di dalam rumah, keluarga Pak Baron baru saja menyambut tamunya, yaitu mempelai laki-laki beserta keluarga. Laki-laki yang diperkirakan usianya di atas empat puluhan itu menjabat pria di hadapannya. "Selamat datang, Nak Saka," ucap Pak Baron pada calon menantunya. Atensinya beralih pada seorang laki-laki di samping Saka yang ia ketahui adalah kakak dari Saka. Memang, menurut pengakuan Saka, Pria itu sudah tidak memiliki orang tua lagi. Hanya ada kakak tunggalnya yang juga menjadi wali nikah. Bagi Pak Baron itu ti
Ruangan yang sebelumnya dipenuhi rasa bahagia kini diliputi kebingungan. Sosok perempuan lain yang hadir menghentikan pernikahan membuat suasana menjadi tegang. Bisik-bisik semakin sentar terdengar. Beberapa orang mulai memikirkan hal yang tidak-tidak, bahkan beberapa pandangan yang terarah pada Nada mulai terlihat sinis. Namun, tidak sedikit pula yang menatapnya iba. "Mas. Bukankah itu mantan istri kamu?" tanya Nada yang kini buka suara. Wanita itu menatap calon suaminya dan seseorang yang berada di ambang pintu dengan tatapan sulit diartikan. Rina—orang yang katanya istri dari Saka mendengar apa yang diucapkan oleh wanita dengan kebaya yang melekat di tubuhnya tersenyum miring. "Mantan istri?" Suara yang keluar dari bibir sensual itu terdengar sinis. "Saya masih sah menjadi istrinya Mas Saka." "A_apa?" Suara Nada tertahan di tenggorokan, ia memandang Saka dengan isyarat menuntut akan sebuah jaawaban. Sayangnya, keterdiaman Saka membuat dia menangkap suatu hal kalau perempuan itu
"Bu." Nada menangis melihat keadaan ibunya yang seperti ini. Dia memandangi dokter yang tengah memeriksa keadaan sang ibu dengan perasaan khawatir. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Pak Baron. Pria itu menunjukkan mimik tegang dan takut secara bersamaan. Pria dengan kacamata bening itu tersenyum pada Pak Baron. "Penyakit darah tinggi ibu kambuh, Pak. Sepertinya beliau syok. Saya tuliskan resep obatnya nanti diminum kalau ibunya sudah sadar. Jangan membuatnya terlalu banyak pikiran, ya." Pria dengan kemeja putih itu menyerahkan selebaran resep pada Pak Baron. "Kalau begitu saya permisi." "Mari, Dok saya antar." Pria tinggi dengan kulit kecokelatan mengambil alih, dia tersenyum pada Pak Baron sebelum mengantar dokter kepercayaan keluarganya yang akan pulang. Sepeninggal dua orang itu, Pak Baron menatap istrinya sendu. Lalu beralih pada putrinya yang masih memakai kebaya putih. Tanpa kata dia menyeret Nada keluar dari kamar. "Pak—" Panggilan dari Nada tidak sama sekali dia