"Mas Tio, ini 'kan."
Melihat darah yang mengalir di kakiku, aku dan Mas Tio langsung panik.Sehingga Mas Tio kemudian membopongku masuk ke dalam mobil dan membawaku ke rumah sakit. Aku yang takut melihat darah akhirnya merasa lemas dan tak lama pandanganku pun kabur lalu semua terlihat gelap. ***"Dara, apa kamu mendengar mas? Dara," panggil Mas Tio terdengar samar-samar. Aku yang masih merasa pusing, akhirnya membuka mataku yang masih terasa berat, dan aku lihat Mas Tio berada di sampingku sambil menggenggam tanganku. "Ma –Mas Tio, aku di mana?" tanyaku pada pria yang saat ini terlihat sedih. "Kita di rumah sakit, Sayang. Kamu perdarahan," jelas Mas Tio. Mendengar kata pendarahan pikiranku langsung mengarah pada bayiku, dan aku langsung menatap dan mengusap perutku. "Terus bayi kita bagaimana, Mas?"Mas Tio bukannya langsung menjawab pertanyaanku tapi bungkam dan itu membuatku takut. "Mas, bayiku bagaimana? Apa bayiku baik-baik saja?" bentakku khawatir, "Mas, jawab aku!" teriakku sambil menatap Mas Tio. Mas Tio yang awalnya terlihat sedih kini menunduk, dan itu membuat pikiranku semakin kacau dan tubuhku terasa lemas. Apakah bayiku? Itu tidak mungkin. Aku berusaha mengelak pikiran buruk tentang bayiku. "Ba –bayi kita, dia."Mas Tio bukannya melanjutkan kata-katanya tapi dia malah menangis. "Mas, apa yang terjadi dengan bayi kita?" tanyaku panik. Tangis Mas Tio yang pecah saat ini membuatku semakin gila dengan pikiranku sendiri. Tapi aku tetap berusaha berpikir positip tentang bayiku. Walaupun dari tangis yang ditunjukkan pria yang kini bersamaku menunjukkan hal yang berbeda. "Bayi kita sudah tidak ada, Dara. Kamu keguguran."Mendengar apa yang Mas Tio katakan aku hanya bisa terdiam karena terkejut, dan tak lama air mataku langsung tumpah begitu saja. Aku tidak percaya bayiku akan pergi secepat ini, padahal aku sangat mengharapkannya. Bukan karena aku mengharapkannya untuk mempertahankan Mas Tio. Tapi karena aku memang mengharapkannya karena itu adalah buah cinta kami yang sudah lama aku tunggu. Tapi sekarang dia sudah tidak ada, dan semua harapanku runtuh bersama dengan berita itu. "Sudah, Sayang. Kamu harus ikhlas. Sekarang anak kita sudah bahagia di surga.""Tapi, Mas. Aku sudah lama menunggunya, dan kamu tahu sendiri 'kan aku sangat menginginkan bayi kita ini," ujarku masih sambil terisak."Mas tahu, Sayang. Tapi Tuhan lebih sayang sama anak kita."Aku yang masih bersedih, masih saja terisak sambil memegang perutku dan Mas Tio lalu memelukku. ***Tiga hari aku di rawat di rumah sakit setelah aku mengalami keguguran, dan selama itu pula Mas Tio selalu menemaniku. Walaupun terkadang dia harus pergi karena pekerjaannya, tapi dia menyuruh seorang wanita untuk menjagaku dan merawatku selama dia pergi. Hari ini aku sudah diperbolehkan dokter pulang, dan aku dibantu oleh Mbak Ayu yang menjagaku membereskan semua barang-barang yang akan aku bawa pulang, walau itu tidak banyak. Derttt ... derttt. "Siapa yang menghubungiku, Mbak Ayu?" tanyaku pada wanita yang sedang membereskan baju-bajuku. "Dari Pak Tio, Bu Dara." Jawab Mbak Ayu sambil mengambil ponselku di atas meja dan memberikannya kepadaku. Aku yang masih sarapan pagi, akhirnya tidak melanjutkan sarapanku dan menjawab panggilan dari pria yang sangat aku cintai itu. "Jadi mas tidak akan datang? Mas tega!" ucapku, lalu menutup panggilan telepon dan meletakkan ponselku di atas meja. Aku yang kesal karena Mas Tio tidak akan datang hari ini ketika aku pulang, hanya bisa pasrah. Karena kalaupun aku memaksanya, dia juga tidak akan bisa datang karena pekerjaannya lebih penting dari aku, dan aku harus memaklumi hal itu. Tanpa pekerjaannya yang sekarang, Mas Tio tidak mungkin bisa menghidupiku seperti sekarang. Walaupun aku juga nemiliki butik sebagai mata pencaharianku, tapi selama aku bersama Mas Tio dia yang selama ini membiayai hidupku. Walaupun aku sudah mengatakan kepadanya itu tidqk perlu, tapi Mas Tio memaksa dan memintaku menurutinya bila aku memang cinta kepadanya, dan aku pun akhirnya mengikuti permintaan Mas Tio. "Selamat pagi, Bu Andara. Bagaimana kabar anda, apa sudah siap untuk pulang?" ucap seorang dokter yang bernama Tri kepadaku. "Selamat pagi, Dokter. Saya sudah merasa lebih baik, Dok.""Kalau begitu, biar saya periksa dulu sebelum anda pulang, Bu Andara" ucap Dokter Tri. Aku yang masih duduk di sofa akhirnya kembali ke tempat tidur untuk di periksa, dan dokter mengatakan semua baik-baik saja. Setelah dokter dan perawat pergi, tiba-tiba seorang pria datang menemuiku. "Permisi, Bu Andara. Perkenalkan saya Andreas. Saya diminta Pak Tio untuk menemui ibu dan mengantar ibu untuk pulang ke rumah," sapa pria yang bernama Andreas. Aku tidak tahu siapa Andreas, tapi ketika Mas Tio tadi menghubungiku, dia mengatakan ada orang yang akan datang menjemputku dan mengantarku pulang. Mungkin orang ini yang di maksud oleh Mas Tio tadi. Pria yang bernama Andreas ini sepertinya seumuran denganku, selain memiliki badan yang tegap dan berwajah tampan dia juga bisa aku bilang cukup sopan. Walaupun harus aku akui dibanding dengan Mas Tio, Andreas lebih tampan. Setelah Andreas menyapaku, dia kemudian pamit kepadaku untuk menyelesaikan administrasi rumah sakit, dan tak lama dia kemudian kembali dengan membawa sebuah amplop yang sepertinya berisi kuitansi. "Apa anda ingin pulang sekarang, Bu Andara?" tanya Andreas yang baru saja tiba, dan aku mengangguk. Setelah Mbak Ayu selesai membereskan semuanya, aku, Mbak Ayu dan Andreas kemudian keluar dari ruangan setelah perawat memberiku obat n menjelaskan kapan aku harus kontrol kembali. Tapi pada saat aku baru saja keluar dari ruanganku, aku melihat seseorang yang sangat aku kenal. Sehingga aku lalu berbalik agar orang itu tidak melihatku. "Ada apa, Bu Andara? Apa ada yang sakit?" tanya Mbak Ayu dengan wajah khawatir. "Tidak ada, Mbak Ayu. Saya hanya melupakan sesuatu," jawabku berbohong sambil melirik orang yang melangkah menuju ke arahku. Aku yang tidak ingin orang itu tahu keadaanku. Akhirnya aku memilih untuk masuk kembali ke dalam ruanganku ketika orang itu semakin dekat lagi. Setelah melihat orang itu jauh dari ruanganku, aku baru bisa bernapas lega, dan aku kemudian mengajak Mbak Ayu dan Andreas untuk pergi. Sampai di lobi rumah sakit, Andreas memintaku dan Mbak Ayu untuk menunggunya. Sedangkan dia mengambil mobil di parkiran. Selama menunggu Andreas aku membuka ponselku dan berharap Mas Tio akan menghubungiku, tapi aku harus kecewa. Karena Mas Tio tidak mengirimi aku pesan ataupun menghubungiku. "Bu Andara," panggil Mbak Ayu menyadarkanku. "Iya, Mbak Ayu ada apa?""Itu, Bu. Mobilnya sudah siap," jawab Mbak Ayu sambil menunjuk mobil yang tidak jauh dari tempatku berada saat ini. Aku yang masih duduk menunggu Andreas akhirnya berdiri dan melangkah untuk masuk ke dalam mobil. Tapi tiba-tiba terdengar seseorang memanggil namaku dan itu membuatku terkejut. "Andara, apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu sedang memeriksakan kandunganmu?" tanya Anton yang sudah ada di sampingku. Aku benar-benar tidak percaya yang memanggil aku itu adalah Anton, padahal sejak tadi aku sudah menghindarinya tapi ternyata Tuhan menginginkan yang lain. Orang yang aku hindari ketika akan pulang tadi adalah dia, dan ternyata dia masih saja melihatku. "A –Anton kamu di sini?""Iya, Andara. Aku bekerja di rumah sakit ini. Kamu sendiri sedang apa? Apa kamu memeriksakan kandunganmu?" tanya Anton yang membuatku binggung untuk menjawabnya. Aku hanya tersenyum menjawab pertanyaan dari Anton. Setelah itu aku kemudian pamit kepadanya, tapi ketika aku akan masuk ke dalam mobil tiba-tiba pandanganku teralihkan pada seseorang yang sedang panik masuk ke dalam rumah sakit ini bersama seorang wanita muda.“Mas Utomo?” ucapku spontan.Melihat Mas Utomo datang ke rumahku membuatku terkejut. Karena aku tidak menyangka dia akan datang ke sini. Bukankah dia tadi mengatakan kepadaku bahwa dia sedang di luar kota? Dan sekarang?“Apa yang anda tunggu lagi Nyonya Clara? Bukankah Tuan Utomo sudah memerintahkan anda untuk pergi dari sini?” usir Alan.Clara yang masih terlihat marah menatap kami semua secara bergantian. Dia lalu pergi dari tempat ini dengan penuh amarah.“Mas Utomo,” sapa Anton ketika kakak tertuaku itu sudah berdiri di hadapan kami.“Apa kalian baik-baik saja?” tanya Mas Utomo sambil menatapku dari atas ke bawah.Aku yang kesal karena sudah dibohongi, memilih untuk masuk ke dalam rumah tanpa menjawab pertanyaan dari kakak tertuaku itu.Di dalam rumah aku lalu meminta Mbak Ayu untuk menyiapkan sarapan untuk kami semua, termasuk Alan. Sedangkan Anton dan Mas Utomo masih berada d
“Ternyata kamu kalau makan seperti anak kecil, Andara.” Ucap Anton ketika aku memejamkan mata.Mata yang tadinya terpejam langsung terbuka lebar begitu Anton mengusap ujung bibirku dengan tangannya, dan saat itu juga kedua mata kami saling menatap untuk beberapa detik.“Maaf,” ucapku ketika tersadar.Aku segera mengambil gelas yang berisi susu untuk mengalihkan rasa gugupku. Aku teguk perlahan sambil mengalihkan pandanganku ke arah lain untuk mengurangi rasa canggung yang aku rasakan saat ini.“Ehmmm … Andara, boleh aku tanya sesuatu?” tanya Anton memecah keheningan di antara kami.“Hmmm.”“Maaf, kalau pertanyaanku ini akan menyinggungmu. Tapi aku hanya ingin tahu, alasan apa yang membuatmu mau menikah siri dengan Martio? Bukankah dulu kalian sama-sama saling menyintai, tapi mengapa kalian hanya menikah siri saja, bukan menikah resmi?”Pertanyaan Anton bagai belati yan
“Anton?” ucapku terkejut ketika melihat siapa yang baru saja berteriak menghentikan Mas Tio dari balik tirai jendela.Melihat dua pria yang saling membenci itu berhadapan, membuatku tidak tenang. Namun, aku juga binggung bagaimana menghentikan semua kekacauan ini.“Siapa kamu berani menghentikanku! Ini rumahku! Dan aku berhak melakukan apapun di rumahku sendiri!” teriak Mas Tio.“Aku tidak tahu ini rumah siapa. Tapi membuat keributan seperti ini sangat mengganggu warga,” ucap Anton.Dua pria yang saling berhadapan itu saling menatap tanpa berkedip, dan itu membuatku semakin khawatir akan terjadi sesuatu. Apalagi aku sangat hapal sekali sikap Mas Tio bila dia marah.“Mbak Ayu, hubungi keamanan lagi. Minta mereka untuk segera ke sini,” perintahku lagi.“Ba –baik, Bu Andara.”Mbak Ayu langsung menghubungi keamanan lagi sesuai apa yang aku perintahkan. Namun, panggilan itu justru tidak diangkat dan itu membuatku semakin panik. Apalagi di luar sana, dua pria yang saling membenci itu tidak
“Apa kamu yakin dengan berita itu, Johan?” tanyaku memastikan.Setelah mendengar jawaban dari Johan, aku segera bergegas mengganti pakaianku dan menuju ke tempat di mana aku akan menemui pria itu.“Mari, Bu Andara.” Ujar Johan begitu melihatku datang.Dari kejauhan aku bisa melihat Mas Tio sedang bertengkar dengan istrinya. Berkali-kali Clara terlihat memaki Mas Tio, dan pria itu hanya diam.“Apa kamu sudah merekam apa yang sedang mereka bicarakan, Johan?”“Sudah, Bu Andara. Saya sudah menyuruh anak buah saya untuk merekamnya.”“Dan, Tuan Peter?”“Tuan Peter ada di ruangannya, Bu Andara.”Aku yang tidak ingin membuang waktu lagi segera menuju ke ruangan orang yang Johan sebut. Dan, orang tersebut juga ternyata sudah menungguku.“Apa semua baik-baik saja, Bu Andara?” tanya Tuan Peter sambil menujuk ke arah leherku.Mengetahui orang lain melihat luka di leherku, rasanya sungguh tidak nyaman, dan aku segera merapikan kembali syal yang aku gunakan untuk menutupi luka itu.“Apa bisa kita l
“Dokter Ricci?” ucapku terkejut ketika melihat orang yang ada di depanku.Pria yang berdiri di depanku terlihat salah tingkah ketika aku menatapnya. Dia lalu pergi dengan tergesa-gesa tanpa mengatakan sepatah katapun kepadaku setelah menatapku beberapa saat.Tapi, mengapa dia tadi memanggilku hanya dengan memanggil namaku? Bukankah dia biasanya memanggilku dengan panggilan ‘Bu Andara’?Memikirkan Dokter Ricci membuatku lupa akan tujuanku datang ke tempat ini. Sehingga aku memilih mengabaikan tentang pria itu dan segera masuk ke dalam kafe.Di dalam kafe, aku mencoba mengirim pesan kepada Dita kembali. Kali ini pesanku dibalas olehnya. Dita memberitahuku bahwa Mas Tio baru saja pergi setelah mendapat telepon dari seseorang. Mengetahui hal itu, aku lalu menghubungi Dita dan memintanya untuk membawa mobil milikku ke kafe di mana aku menunggunya saat ini.“Bu Andara,” panggil Dita ketika aku masih fokus dengan ponselku.Aku yang masih membaca email, meminta Dita untuk duduk dan menungguku
“Pernah, bahkan sering.” Jawab ibu membuatku terkejut, “Dia juga orang yang merekomendasikan dokter untuk ayahmu ketika berobat keluar negeri kemarin,” lanjut ibu sambil menatap ke arah Anton.Aku yang berdiri di samping ibu hanya bisa membeku mendengar apa yang baru saja ibu katakan. Karena aku tidak menyangka pria yang sedang berbincang dengan ayah saat ini, ternyata sudah sangat dekat dengan keluargaku.“Andara,” panggil Anton membubarkan lamunanku, “Apa kamu mau pergi?” lanjutnya.Aku yang enggan untuk menanggapi pertanyaan Anton memilih mengabaikannya dan segera berpamitan dengan ibu dan ayah. Tapi baru saja aku keluar, wanita yang mengaku kakak iparku tiba-tiba mencegahku dan memintaku untuk menunggunya.“Bawa ini, Andara.” Ucap wanita yang mengaku kakak iparku sambil memberi papar bag kepadaku.“Apa ini, Mbak?”“Bawa saja, nanti kamu juga pasti akan membutuhkannya.”Aku yang terburu-buru akhirnya menerima paper bag yang sudah ada di tanganku. Setelah itu aku pamit, dan segera k