Share

Chapter 4

"Mas Tio," ucapku lirih sambil menatap pria yang sedang berjalan dengan seorang wanita yang sepertinya putrinya. 

Mas Tio dan wanita itu, terlihat seperti terburu-buru masuk ke dalam rumah sakit, dan aku tidak tahu apa yang sedang terjadi kepadanya. Tapi dari raut wajah Mas Tio, terlihat sekali dia terlihat panik dan khawatir. 

"Andara, kamu kenapa?" tegur Anton mengejutkanku.

"A –aku tidak apa-apa, Dokter Anton. Aku tadi hanya melihat seseorang yang sepertinya aku kenal," jawabku masih menatap ke arah Mas Tio berada tadi, tapi kemudian aku menoleh ke arah pria yang sudah menegurku. 

Anton yang berada di sampingku terlihat kesal ketika aku menatapnya, dan dia kemudian mendekatkan kepalanya lebih dekat ke arahku. 

"Panggil aku Anton saja, Andara. Apa kamu lupa," protes Anton dengan suara sedikit berbisik. 

"Iya Dok ... Anton maksudku. Baiklah kalau begitu aku pergi dulu. Karena masih ada yang harus aku kerjakan," pamitku, dan aku pun langsung masuk ke dalam mobil tanpa menunggu jawaban dari Anton. 

Sebenarnya aku masih ingin berbicara dengan Anton dan mengetahui apa yang terjadi pada Mas Tio, tapi karena aku tidak ingin Mas Tio mendapat masalah. Jadi aku memilih untuk pergi, dan akan menanyakan apa yang terjadi tadi setelah Mas Tio pulang ke rumah. 

Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku hanya menatap ke luar jendela sambil mengusap perutku yang kini kosong. 

Andai saja aku tidak keguguran, pasti bayiku masih bersamaku. 

"Bu Andara, kita sudah sampai," tegur Mbak Ayu membubarkan lamunanku. 

Aku yang masih merasakan sedikit nyeri setelah kuret, kemudian turun perlahan dari mobil dibantu oleh Mbak Ayu. 

Begitu sampai di kamar, aku langsung merebahkan tubuhku di atas kasur di mana aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk tidur sendiri dibanding dengan Mas Tio. 

"Andai kamu ada di sini mas, pasti aku tidak akan merasa kesepian seperti ini," ucapku sambil menatap bantal yang kosong di sampingku. 

Berulang kali aku berusaha memejamkan mata untuk beristirahat dan menenangkan pikiranku, namun semua sia-sia. Sehingga aku memutuskan mengambil ponselku dan menghubungi Mas Tio. 

Namun pria itu tidak menjawab panggilanku setelah beberapa kali aku menghubunginya, dan itu membuatku khawatir dan juga kesal.

"Bu Andara, Bu Andara," panggil Mbak Ayu membangunkanku.

Aku yang tidak tahu sejak kapan aku tertidur, kemudian membuka mataku yang masih terasa berat, dan Mbak Ayu sudah berdiri di samping tempat tidurku sambil menunduk. 

"Ada apa, Mbak?" tanyaku sambil sesekali mengusap mataku yang masih mengantuk. 

"Maaf, Bu Andara. Tapi Pak Tio menghubungi ibu," ujar Mbak Ayu sambil menunjuk ponselku yang menyala di atas meja di samping tempat tidurku. 

Setelah Mbak Ayu pergi, aku yang masih setengah sadar kemudian mengambil ponsel tersebut. Tapi baru saja aku akan mengangkatnya, panggilan dari pria yang aku cintai itu mati.  Sehingga aku kemudian mencoba untuk menghubunginya. Namun, panggilan dariku malah langsung terputus. 

"Sebenarnya ada apa denganmu, Mas?" ucapku bimbang, "Mbak Ayu," panggilku, dan tak lama wanita yang aku panggil itu datang. 

"Iya, Bu Andara. Apa ada yang ibu perlukan?"

"Mbak Ayu, tolong panggilkan Andreas dan minta dia menemui saya sekarang!" perintahku.

Mbak Ayu yang berdiri di sampingku tidak langsung menjawabku, tapi dia terlihat seperti orang binggung. 

"Hmmm ... maaf, Bu Andara. Tapi Pak Andreas sudah pergi setelah mengantar Bu Andara pulang tadi."

"Pergi? Pergi ke mana dia, Mbak?"

"Saya juga tidak tahu, Bu Andara. Tadi setelah saya mengantar ibu ke kamar dan kembali untuk memberinya minum, pria itu sudah tidak ada," jelas Mbak Ayu.

Aku yang merasa aneh dengan sikap Andreas kemudian mencoba menghubunginya dengan meminta nomor teleponnya kepada Mbak Ayu. Ternyata nomor Andreas tidak bisa dihubungi. 

"Jadi sekarang bagaimana, Bu Andara? Apa perlu saya mencoba mengubunginya lagi?"

"Tidak usah, Mbak Ayu. Biarkan saja, tapi nanti kalau dia datang suruh dia menemui saya. Sekarang Mbak siapkan saja makan malam hari ini, dan masak makanan kesukaan bapak saja ya, Mbak." Jawabku, dan Mbak Ayu mengangguk kemudian pergi. 

Aku yang masih merasa lemah setelah bangun tidur, segera bergegas pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri. Karena aku berharap ketika Mas Tio datang nanti, aku sudah cantik seperti biasanya. 

Namun, apa yang aku harapkan tidak menjadi kenyataan. Karena sampai lewat jam makan siang Mas Tio tidak kunjung datang, dan itu membuatku kesal. 

"Mbak Ayu, tolong bereskan semua makanan ini," perintahku sambil bangkit dari kursi. 

"Tapi, Bu Andara. Ibu 'kan belum makan apa-apa sejak datang tadi? Apa ibu ingin saya membuatkan yang lain untuk ibu?"

Apa yang Mbak Ayu katakan memang benar. Aku belum menelan satu pun makanan sejak aku pulang dari rumah sakit. Tapi karena Mas Tio tidak datang atau menghubungiku, selera makanku hilang bersama dengan tidak datangnya pria yang aku cintai itu. 

"Tidak perlu, Mbak. Tapi kalau boleh, tolong mbak buatkan saya susu saja."

"Tapi, Bu Andara. Kalau anda tidak makan, nanti ibu akan sakit lagi dan Pak Tio akan marah pada saya."

"Tenang saja, Mbak Ayu. Hal itu tidak akan terjadi. Jadi, sekarang tolong buatkan saya susu dan bawakan obat saya," ujarku berusaha menenangkan wanita yang sedang bersamaku saat ini. 

Setelah mengatakan hal itu, aku lalu melangkah meninggalkan wanita itu dan menuju ke ruang keluarga untuk menunggu Mas Tio. 

"Bu Andara, ini susu dan obat ibu. Apa ada yang ibu butuhkan lagi?" ucap Mbak Ayu sambil meletakkan susu dan obat di atas meja di depanku. 

"Tidak ada, Mbak. Ini saja sudah cukup, sekarang mbak bisa istirahat dan melanjutkan pekerjaan yang lain."

Mbak Ayu bukannya langsung pergi setelah aku mengatakan hal itu. Dia masih saja berdiri di depanku dengan wajah khawatir, sehingga aku kemudian menyakinkannya bahwa aku baik-baik saja dan dia bisa meninggalkanku sendiri. 

Setelah meneguk habis susu yang Mbak Ayu buatkan untukku dan meminum obat, aku kemudian mencoba menghubungi Mas Tio lagi, ternyata nomornya tidak aktip. 

Ada rasa kecewa dan marah ketika aku tidak bisa menghubungi Mas Tio. Tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa, karena pria itu bukan hanya milikku tapi juga milik wanita lain. 

"Dara, bangun. Ini mas sudah pulang," panggil seseorang membangunkanku. 

"Mas Tio," ucapku setelah membuka mataku yang masih mengantuk, "Kapan mas datang?" lanjutku. 

"Baru saja, Dara. Tapi kenapa kamu tidur di sini bukannya di kamar?"

Aku yang sudah sangat merindukan Mas Tio dan menunggunya sejak tadi, bukannya menjawab pertanyaan pria itu, tapi aku lebih memilih untuk langsung memeluknya. Tapi anehnya, Mas Tio malah langsung melepas pelukanku. 

"Mas, ada apa? Kenapa mas bersikap seperti ini? Bukannya biasanya mas suka sekali aku peluk, dan sekarang?" tanyaku heran. 

"Mas ingin kita berpisah, Dara."

Bak disambar petir di siang bolong, itulah yang aku rasakan saat ini. Karena aku tidak menyangka pria yang ada di hadapanku saat ini mengatakan kata berpisah. 

"Mas!" bentakku tidak terima, "Kenapa mas berkata seperti itu? Bukankah mas mencintaiku? Kenapa sekarang mas ingin meninggalkanku?" imbuhku. 

"Karena mas tidak bisa meninggalkan istri mas, Dara. Dia sangat membutuhkan mas, dan dia meminta mas untuk meninggalkanmu."

Mendengar alasan Mas Tio, kakiku rasanya langsung lemas. Bahkan aku hampir aja terjatuh, tapi Mas Tio segera menangkapku. Namun, aku langsung mendorongnya. 

"Tapi mengapa, Mas. Bukankah mas sudah tidak mencintai istri mas lagi, dan sekarang mengapa mas ingin bersamanya? Apa karena aku tidak bisa memberi mas keturunan? Atau memang selama ini mas menganggapku mainan mas saja?" tanyaku, dan tak terasa air mataku pun tumpah bersama rasa sesak yang menyeruak di dadaku. 

"Bukan itu alasannya, Dara. Tapi mas ter—."

Belum juga Mas Tio menyelesaikan apa yang ingin dia katakan, tiba-tiba terdengar suara pintu digedor dari luar. Sehingga aku dan Mas Tio langsung menoleh ke arah sumber suara itu. 

"Buka pintunya pelakor! Cepat buka! Aku tahu kamu ada di dalam!" teriak seorang wanita sambil mengedor pintu. 

Aku yang tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya memegang tangan Mas Tio yang akan membuka pintu. Tapi belum juga Mas Tio sempat membuka pintu, pintu rumahku itu sudah roboh dan terlihat dua anak Mas Tio berdiri di depan pintu dengan wajah memerah bersama beberapa orang warga. 

"Putri, Putra, kenapa kalian di sini? Apa yang kalian lakukan?" teriak Mas Tio. 

"Seharusnya kami yang bertanya, Yah! Untuk apa ayah menemui wanita hina itu!" teriak Putra, anak sulung Mas Tio. 

"Sudah, arak saja mereka! Mereka sudah membuat malu komplek kita ini!" teriak seorang pria yang berdiri di belakang kedua anak Mas Tio. 

Aku dan Mas Tio yang sudah seperti maling yang tertangkap basah akhirnya diseret paksa oleh warga untuk keluar dari rumahku. Tapi kemudian anak sulung Mas Tio meminta agar ayahnya dilepaskan, dan mereka sendiri yang akan menghukumnya. Sedangkan aku, mereka serahkan kepada warga untuk diarak. 

"Dasar pelakor tidak tahu diri, bisanya cuma merebut suami orang! Dasar wanita gatal!" hina Putri, anak bungsu Mas Tio. 

"Cukup, Putri! Lepaskan Dara, dan ayah akan ikut dengan kalian!" cegah Mas Tio dengan wajah memerah. 

"Apa kata ayah? Kami harus melepaskan wanita itu? Apa ayah sadar, ayah dan wanita itu sudah menyakiti ibu?" geram Putri. 

Tidak terima dengan apa yang ayah mereka lakukan untuk menyelamatkanku, Putra tiba-tiba maju dan langsung menyeret Mas Tio untuk ikut dengan mereka dan meninggalkan aku sendiri. 

"Mas Tio, jangan pergi mas. Jangan tinggalkan aku!" teriakku sambil berusaha menggapai tangan Mas Tio yang ditarik paksa oleh Putra. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status