"Tapi kini aku sadar, aku bukan lah kandidat terbaik. Bukan kandidat yang kamu dan keluargamu butuhkan." Tatapan Kian melunak.
Lalu Elea melepas cengkeraman tangannya di kemeja Kian.
Akhirnya Kian menggunakan logikanya, jika ia bukanlah sosok yang pantas bersanding dengan Elea.
Benar kata Alfonso, bagi keluarga Elea, harta adalah yang utama. Aku mulai mempercayai kembali ucapan Alfonso, jika ia memang benar benar ingin menyelamatkan Kian dari patah hati yang mendalam.
"Sekarang jawab aku, apa kamu menerima Alfonso saat kita masih jalan kan?!""M....maksudnya?"
"Jangan pura pura nggak paham!" Kian menatap Elea tajam.
Begitu aku sudah di meja dengan pura pura memainkan ponsel, Kian datang dengan wajah emosi. Mengambil tas dan kunci mobilnya dengan kasar, meletakkan dua lembar uang berwarna merah di meja nongkrong lalu pergi. Tanpa basa basi aku pun mengikutinya pergi. Aku tahu ia sedang sangat marah dan kecewa. Sepanjang perjalanan hanya hening yang terjadi. Aku tidak berani mengajaknya ngobrol atau sebaliknya. Bahkan aku yakin jika Kian menyetir tanpa tujuan. Begitu sampai di taman hutan kota, ponsel Kian berdering. Itu dari Elea tapi Kian tidak mau menerimanya. Women quickly explode and soften. Perempuan akan bersikap demikian ketika marah, dia ingin dipuja puja kekasihnya ketika marah. Jika tidak demikian maka ia sendiri yang akan datang sambil mengucap kata maaf.
Hari sudah sore, acara kuliner yang dijanjikan Kian pun berakhir tidak menyenangkan. Lebih tepatnya amat sangat tidak menyenangkan!Aku menjadi saksi putusnya Kian dengan perempuan yang amat ia cintai. Lagi lagi aku berperan menjadi pihak ketiga, hanya saja kali ini hanya pura-pura. Padahal aku ingin menjadi lakon utama sebagai perempuan yang dicintai sungguh sungguh oleh Kian.Tapi sepertinya aku terlalu banyak bermimpi dengan mendapatkan hati Kian. Jika dulu aku pernah berkata pada Amelia jika tidak memiliki debaran hanya dengan melihat Kian, kini itu semua terbalik, aku sangat jatuh cinta padanya dan mengharapkan dia sepenuhnya. Bodoh? Iya, aku terlalu buta akan cinta hingga tidak bisa melepas bayangan Kian dari otakku.Apa aku sedih melihat Kian putus dengan Elea? Tidak sama sekali, malah aku bersor
Setelah acara Kian membentakku dua minggu lalu, aku memaksa untuk kembali ke kota ini dengan menggunakan travel agensi saja. Dia memaksa mengantarku kembali tapi aku juga punya hak untuk mempertahankan keinginan.Alasannya simpel, aku tidak mau dekat-dekat dengan Kian yang masih diliputi amarah. Dibentak seorang yang disayangi akan jauh lebih menyakitkan dari pada dimarahi bosKian bersikap dewasa ketika berhadapan dengan para sahabatnya, tapi ketus jika berhadapan denganku.Mengapa dia begitu jahat padaku?Sudah dua minggu ini juga, kami tidak bertukar pesan. Tidak ada suara lembutnya yang menyapa telingaku selepas pulang kerja seperti sebelumnya. Perhatian hangat yang mengingatkanku untuk tidak telat makan.Ah.... Biarl
"Kalau orang yang melakukan itu adalah orang yang didepan Lo ini, gimana?"Aku memandangnya tidak percaya. Lalu kutarik tanganku namun ditahan.Aku menatapnya geram. "Bohong kalau kamu yang lakuin!""Gue yang minta Lo balik." Ucapnya polos."Berarti kamu yang mindah aku kesini? Iya!?" Tanyaku berang."Enggak tuh." Jawab Kian bingung."Apa maumu heh?! Mindah mindah orang seenak dengkul kamu!" Nadaku meninggi sambil menarik paksa tanganku yang ia genggam."Aku tahu kamu memang punya jabatan, kamu kesayangan Pak Rudy, kamu kesayangan kantor, beda sama aku yang cuma staff biasa. Kacung Antara Karya. Aku cuma akuntan receh yang posisinya nggak seberapa. Tapi kamu nggak ada h
Setelah bersusah payah merayu Kian, akhirnya ia berujar, secara exclusive ia memintaku kembali ke kantor cabang induk pada Pak Rudi untuk dijadikan tim dalam setiap proyeknya.Bahagia??? Pastiiii!!"Siap?" Tanya Kian saat aku sudah rapi dengan setelan kerja terbaik lalu duduk di kursi penumpang.Semalam aku benar benar kembali tidur di kamarnya, di atas ranjangnya yang selalu wangi dan menguarkan parfum khas Paralio. Yang hanya dengan mencium wanginya saja aku tahu jika itu Kian.Lelaki yang amat kucintai denban segala baik buruk dan kekurangannya.Bahkan aku tidak peduli dengan statusnya sebagi seorang duda."Siap sekali Bapak Asmen."Kian terkekeh. "Maksud gue, udah siap ketemu kembali?"
"Ini lucu deh." Aku melihat gantungan kunci flamingo pink yang terjajar rapi."Kertas kertas ini juga. Tapi gue beli buat apa coba.""Duuuuh bolpoint ini juga lucu lucu."Tanpa pikir panjang aku segera memasukkannya ke keranjang belanjaan. Kelakuanku bak anak masih SMA ketika melihat alat tulis menulis yang sangat eye catching."Sudah?" Bisiknya.Aku terkejut. "Ngagetin! Kayak siluman.""Sorry." Ucapnya sambil tersenyum."Beli apa aja kamu Kian?"Kian mengangkat keranjang belanjaannya. "Ini, perlengkapan ngajarin adik gue bikin desain rumah sederhana."
"Harusnya aku yang nanya. Siapa kamu?" Ucapnya dengan tatapan tajam."A...aku temannya Kian.""Teman?" Beonya tidak percaya."Ka...kamu siapa? Apa maumu? Cepat pergi!" Usirku.Dia menelisikku secara total dengan tatapan tajamnya yang mirip.... Kian."Kamu siapa?!!!!" Bentakku takut."Aku adiknya Mas Kian. Kenapa kamu bisa sama mas Kian?!"Aku terkejut. Dan merasa bodoh membentak adiknya sendiri."Ka....kami tadi belanja bareng." Suaraku melunak."Kenapa Mas Kian nggak ngajak kamu masuk?"
Menyalahkan mulutku yang lemas karena berani menyebut status Kian sebagai seorang duda. Aku merasa layak dihukum. Tapi bukankah memang itu kenyataannya?Lagi pula aku siap dihukum kalau memang aku menghina statusnya. Tapi aku hanya menyebutnya, bukan menghina.'Oooh okey cukup berburuk sangkamu Sasha. Percuma kamu merasa bersalah karena nyatanya ibu Kian tidak menyalahkan juga tidak membenarkan.' Batinku.Tapi tetap saja perasaan tidak enak dan bersalah ini membelengguku. Aku mulai takut kalau acara pdkt-ku akan berakhir disini.Bagaimanapun aku masih berharap ada di hati Kian dengan cara berdekatan seperti ini.Tidak terasa sudah satu setengah jam aku duduk di