HAI READERS, MAAF EPISODE SEBELUMNYA ITU SALAH UPLOAD. AUTHOR TADI MASIH NGANTUK. HEHEHEHE
Affar menatapku dengan dahi berkerut. "Aku hamil Far." Affar langsung melepas genggaman tangan dengan raut wajah terkejut. Mungkin ia berpikir bila aku ini wanita nakal dan tidak seharusnya didekati. Namun belum sempat aku memperhatikan baik-baik bagaimana keterkejutan di wajah Affar, tiba-tiba saja Devan membuat ulah dengan menaiki kursi. Aku khawatir dia terjatuh lalu segera berlari ke arahnya. "Awas Dev. Nanti jatuh sayang." Devan malah berontak dari peganganku dan tetap menaiki kursi. "Ma....ma....ma...." Ocehnya. Aku melengkungkan senyuman termanis untuknya. "Apa?" Aku melirik wajah Affar yang masih syok menatapku dan Devan bergantian. Pasti ia menyesal mengajari anaknya memanggilku dengan sebutan 'mama'. Jika ia mundur dengan kenyataan ini, maka itu lebih baik. Lagi pula aku tidak mungkin menerima tawaran menikah dengannya yang tidak seharusnya terkena aibku. Kecuali Affar setuju setelah mengetahui kehamilanku. Aku tetap menjaga Devan agar tetap aman disampingku. "Cari
"Maksudmu?" Tanyaku dengan raut ingin tahu. Bahkan kedua mataku menatapnya lekat yang kini tengah duduk disisiku. "Kalau Devan aja bisa ngerasain kasih sayangmu, lalu apa lagi yang bisa kulakukan selain belajar mencintaimu? Bukankah hati seorang anak itu sangat tulus dan putih?" Kali ini aku sangat terkejut dengan ungkapan hatinya yang terang-terangan. Berbeda saat kami terlibat dalam hubungan gelap, Affar menolak keras segala bentuk cinta yang muncul di hatiku. Alasannya dia tidak ingin aku terluka karena statusnya yang masih beristri. Kedua alisku berkerut dalam dengan garis muka yang begitu ingin tahu kelanjutan ungkapan hatinya yang selama ini tidak pernah kuketahui. Bahkan terkesan disembunyikan dan aku tidak diperkenankan tahu barang secuil pun. "Kalau Devan aja nyaman sama kamu, lalu apa lagi yang kucari? Terlepas dari masa lalumu, setiap orang pasti pernah salah Drey. Aku pun begitu." "Aku nggak ngerti Far." Aku berusaha membuatnya mengatakan semua isi hatinya tanpa ditut
Affar masih bersimpuh dibawahku dengan tatapan penuh permohonan. Mengabaikan gengsi dan harga dirinya yang selama ini dijunjung setinggi langit. "Aku nggak akan ninggalin kamu Drey. Nggak ada alasan aku ninggalin kamu kalau Devan udah milih kamu. Nyaman sama kamu. Maafin salahku Drey, aku mohon." Melihat permohonannya yang nampak jujur dan tulus, hatiku perlahan goyah. Lalu kuputus pandangan mata kami demi meyakinkan hatiku jika sekali buaya tetaplah buaya. Wajahnya yang menyiratkan kelelahan karena tidak berhasil merayuku tampak begitu memuaskan bagiku. Tubuhnya dibiarkan lunglai diatas kakinya yang tetap bersimpuh. Wajahnya disembunyikan dengan menunduk dalam. "Aku udah bilang, aku bakal belajar mencintai kamu. Membangun keluarga kecil kita." "Keluarga kecil katamu? Apa ini Affar yang kukenal?" Nada bertanyaku terdengar menyepelekan dirinya namun Affar tidak tersinggung. "Aku serius kalau kamu nggak percaya." "Tapi aku ragu, Far." Sejauh mana dia bersedia meyakinkanku yang
Cinta? Ah! Ini sudah bukan masanya lagi bagiku untuk berucap 'aku mencintaimu'. Kenyataannya hidup beralaskan cinta semata tidak akan cukup membuat hidupku bahagia atau aibku tertutupi. Aku membutuhkan Affar untuk membantuku bangkit dari jurang kenistaan yang pernah kuselami hingga aku tenggelam ke dasarnya. Begitu juga Affar, dia membutuhkanku demi pertumbuhan putranya yang selalu ingin merasakan hangatnya sentuhan dari seseorang yang ia panggil 'mama'. Selama beberapa bulan ini, kami menjalin hubungan yang intens dan saling mengenal satu sama lain. Belajar terbuka jika memiliki pertanyaan yang mengganjal hati. Setiap akhir pekan Affar selalu mengunjungiku dengan membawa serta Devan bersama baby sitternya. Namun sudah satu bulan ini dia meninggalkan baby sitternya di rumah. Dan jadilah Affar mengunjungiku bersama sopir dan Devan saja. Affar terlalu enggan menyetir sendiri mobil mewahnya yang berharga lebih dari satu milyar itu. Ah, apalah daya. Dia manusia beruntung dengan ting
Senyumku berseri melihat nomer yang menelfon saat melahap makan siang kali ini. Wanita berumur yang mendadak memiliki hubungan denganku akibat varian darahnya berada di tubuh janinku. Cucu pertamanya dari putra pertama bajingannya yang kini kabarnya berada di Jepang. Tempo hari Anjar mengatakan hal ini padaku secara eksklusif dengan mimik penuh kesengitan. Keberhasilannya menapaki karir membuatku makin sentimen, sedang aku merasa makin tersuruk oleh keadaan. Padahal kelalaian ini diperbuat oleh kami berdua. Apakah sumpah serapahku belum bekerja dengan baik Tuhan?! "Halo, Sasha?" Suara landainya begitu kalem menyapa telinga. Beliau selalu hangat dan berpikiran terbuka akan segala kesalahan dan keputusan yang kulakukan. Berikut dengan kedua putranya yang eksentrik. "Halo, Tante." "Lagi apa, Sha?" "Makan siang. Tante gimana kabarnya? Maaf Tante, aku sambil makan." "Iya, makan aja. Kabar Tante baik Sha. Oh ya, gimana kabar cucu Tante? Kamu udah USG lagi kan?!" "Sudah Tante, kata
"Hem? Kamu ini kenapa kok tiba-tiba ngomong begini?" "Udah deh Mas bilang aja. Kamu jadi nikahin aku apa enggak?!" Kali ini suaraku terdengar lebih kencang disertai tuntutan agar Affar segera memberi jawaban yang melegakan hati. "Kan kita emang mau nikah." Aku menghela nafas lega karena Affar tidak berubah pikiran sesuai kesepakatan diawal. Biarlah menikah dengannya yang jelas-jelas tidak lagi kucintai. Masa bodoh dengan cinta. Aku butuh kasih sayang dan kemapanannya untuk menjamin kehidupan kami ke depan. Hidup itu butuh uang, apa lagi setelah melahirkan. "Ya udah Mas. Aku ngantor lagi." "Kamu aneh deh Drey." Anakku membutuhkan status dan sosok ayah sambung yang mencintainya. Jika dibandingkan dengan Rado, sepertinya Affar adalah kandidat terbaik. Dia mapan dengan segala gelimangan hartanya, dewasa, matang lahir batin, tidak memiliki gangguan kesehatan mental, dan berpengalaman dalam rumah tangga. Walau kami tidak saling mencintai setidaknya jika menikah dengan Affar aku t
Kedua mata lelahku yang belum ingin memejam hanya bisa menyipit kala lampu kamar hotel bersinar remang-remang. Maklum, aku memiliki fobia dengan kegelapan. Gelap? Fobia? Di awal perkenalan kami, aku pernah begitu takut akan gelap hingga dengan terpaksa menggenggam tangannya untuk membimbingku ke tempat yang lebih terang, saat perayaan ulang tahun pernikahan orang tua Alfonso. Dan satu kenangan manis yang masih terkenang, kala aku memeluknya erat di toko aquarium saat lampu mati. Hanya Kian yang berada di dekatku waktu itu dan aku melakukannya secara spontan. Apalah daya, terkadang naluri ketakutan yang mendominasi tidak bisa membuat seseorang berpikir jernih. Rasa bahagia mengenang itu kuenyahkan dengan menatap Affar dari kejauhan. Dia akan menjadi nahkoda bahterah rumah tangga kami. Dan sudah sepantasnya aku menghapus masa lalu dengan menggunakan Affar sebagai pelipurnya. Setelah memastikan Devan tertidur pulas hingga mulutnya terbuka lucu khas balita, senyum geli menghiasi bi
"Halo Njar.""Hai Drey, gimana kabar lo?" Tanyanya dengan nada ceria."Fine girl. Gue sama Amelia di rumah. Lo lagi ngapain?""Rebahan aja dikamar. Oh ya Drey, lo mau denger cerita heroik dari gue nggak?"Aku mengerutkan dahi. "Apaan? Habis nampol maling lo?"Anjar terkekeh. "Bosnya maling malah.""Maksudnya?"Flashback...Saat itu, jarum jam kantor menunjukkan pukul 14.15 kemudian Anjar mengetuk ruangan Kian yang menjadi satu bersama Pak Rudy. Dua tumpuk dokumen pembelian dalam dekapan Anjar diletakkan dihadapan Kian dengan sopan meski hatinya bergelung marah.Tanpa menyadari perubahan pada ekspresi wajah Anjar, Kian bergegas mengecek dokumen. Beruntung, sebuah panggilan dalam silent mode yang muncul di layar ponsel Kian terbaca jelas oleh kedua mata Anjar.'Lovely Amanda'Anjar, dia bukan perempuan bodoh yang tidak mengerti sebuah panggilan sayang seorang pria pada wanitanya. Hanya saja, Anjar yang dulu dengan yang sekarang sudah berbeda penilaian pada setiap lelaki yang dikenal sej