Enjoy reading....
POV PARALIO"Ini adalah hasil tes DNA anakmu dan Sasha." Aku menerima hasil tes itu dengan perasaan kacau balau. Menduga-duga untuk apakah tes DNA itu?"Apa maksudnya, Ma?" "Sasha yang minta sama suster jaga.""Aku masih nggak ngerti, Ma.""Sasha pengen buktiin ke kamu kalau bayi itu anakmu, darah dagingmu. Dia nggak mau dicap pembohong atau dituduh mainin perasaanmu, Kian."Dengan tangan bergetar, aku membuka hasil tes DNA itu. Sample darah Mama yang menjadi acuan lalu dicocokkan dengan darah bayiku. Ada kecocokan DNA yang menjelaskan bahwa bayi yang baru saja dilahirkan oleh Sasha dan berada di hadapanku ini adalah benar-benar darah dagingku. "Mama nggak nyangka, setelah dia minta tes DNA lalu melahirkan, sekarang dia malah di ICU."Air mata Mama tidak terbendung lagi. "Gimana nasib cucuku? Maafin Mama, Kian. Mama teledor jagain Sasha. Sampai dia keluar rumah dalam keadaan mau lahiran pun Mama nggak tahu.""Mama nggak tahu kenapa Sasha nekat pengen pergi. Andai bukan suster rumah
POV PARALIO"Kian, ngapain kita buru-buru pulang? Sasha nggak ada yang jagain di rumah sakit." Ucap Mama.Aku masih saja fokus mengendarai mobil, bahkan sedikit mengebut agar segera sampai di rumah. Aku begitu penasaran dengan satu hal yang Sasha tinggalkan untukku di rumah. "Kata Amelia tadi, Sasha ninggalin satu hal buat aku di rumah. Aku pengen tahu apa alasan dia pengen ninggalin aku, Ma.""Apa? Ninggalin apa maksudnya, Kian?" Tanya Mama terkejut."Aku juga nggak ngerti, Ma. Yang jelas, Sasha niat pergi ninggalin aku lalu bawa anakku juga. Sampai dia abai sama kehamilannya lalu jadwal melahirkannya maju. Dia sengaja pengen lahiran tanpa ada satu pun dari kita yang tahu!"Mama mengangguk pelan. "Mama udah tahu kalau itu. Tapi sama sesuatu yang ia tinggalin di rumah, Mama nggak ngerti."Beruntung jalanan tidak ramai sehingga aku lebih cepat sampai rumah. Begitu gerbang otomatis rumah Mama terbuka, aku segera memarkir mobil di halaman lalu berlari menuju kamar. Tidak ada bayangan te
POV PARALIO Aku mengeluarkan satu benda yang kusimpan baik-baik di satu bilik lemari panjang kamarku. Sebuah buku nikah yang sengaja telah kupersiapkan secara diam-diam dengan bantuan seseorang. Satu buku milikku dan satu lagi untuk Sasha. Kupikir Sasha menemukannya karena bersebelahan dengan bilik lemari yang dipakai Sasha menata semua bajunya. Ternyata dia tidak menemukan buku nikah ini. Karena keduanya masih berada di tempat yang sama tanpa berubah posisinya. Dihadapan Rado dan Mama, aku menunjukkan kedua buku itu dengan perasaan hancur. Terserah jika Rado tidak menyukai ideku ini. Karena aku jauh lebih tidak bisa hidup tanpa Sasha dari pada tanpa Rado. "Sasha itu tulang rusukku yang sebenarnya, Ma. Dia itu sebagian dari jiwaku. Tanpa dia, mungkin aku nggak akan nikah lagi." "Kian, Sasha pasti sehat lagi, nak." Mama berucap dengan lelehan air matanya. "Aku harap Sasha kembali sehat, Ma. Aku pengen berbagi senang dan susah sama dia. Aku pengen kami besarin anak-anak kami, Ma."
POV PARALIO "Saya ingin meminta ijin sama Ayah kandung Audrey untuk menikahinya, Om.""Iya, akan aku sampaikan sama Mamanya Audrey.""Tidak, Om. Maksudnya saya minta nomer beliau sekarang.""Lho, mau kamu telfon langsung?""Iya, Om.""Kok ndadak banget, Kian? Bukannya kalian nikahnya setelah Audrey lahiran?"Dengan hati yang masih remuk redam karena kembali teringat kondisi Sasha yang tidak baik-baik saja di rumah sakit pasca melahirkan, aku menguatkan hati untuk menjawab pertanyaan Ayah tiri Audrey."Audrey, sudah melahirkan, Om."Mama dan Ayah tirinya berhak sekali tahu kondisi Sasha karena mereka adalah orang tuanya, keluarganya. "Benarkah? Kok kamu nggak ngasih kabar sih, Kian?!" Tanyanya kesal."Maaf, Om. Tadi... masih repot. Karena Audrey jadwal lahirannya maju dua minggu.""Terus gimana kabarnya sekarang? Bayinya laki-laki apa perempuan?"Sejak awal USG, Sasha tidak pernah meminta dokter kandungan mengatakan jenis kelamin calon bayinya. Wajar jika kami semua tidak tahu pasti j
POV PARALIO Akad nikah sedang berlangsung. Tapi tanpa mempelai wanita yang biasanya akan duduk di samping calon imamnya. Tidak! Acara akad nikahku kali ini begitu unik dan mengharukan. Saat aku sudah bersiap dengan batik parang yang tersetrika rapi, berikut dengan mahar seperangkat alat ibadah dan perhiasan, juga saksi yang bukan berasal dari orang spesial karena mereka hanya petugas KUA. Tidak ada dekorasi yang indah sebagai perlambang kebahagiaan kami mengikat janji suci lalu bersama-sama mengarungi bahterah rumah tangga. Semuanya serba sederhana. Karena yang terpenting adalah kata 'sah' yang diucapkan para saksi atas akad nikah yang kulafalkan. Ada Mama, calon ibu dan ayah mertuaku, wali hakim yang akan menggantikan peran ayah kandung Sasha, dan adikku Rado. Kehadiran Rado di acara akad nikahku tanpa drama seperti biasanya. Mungkin ia tahu jika aku benar-benar terluka dan hancur karena keadaan Sasha yang masih kritis di ruang ICU. Ada raut ketakutan di wajahnya ketika tempo h
POV PARALIO Masa bodoh dengan panggilan dari Pak Affar. Dia tidak lebih penting dari istriku yang tengah berjuang di ruang ICU. Masih setia aku menemani Sasha disisinya hingga seorang perawat menyuruhku untuk keluar dari ruangan. Jam besuk untuk para pasien di ruang ICU hanya beberapa menit saja dan itu sangat berarti untukku. Baru keluar dari ruang ICU, dering ponselku kembali terdengar dan Pak Affar masih setia menghubungiku. Lalu jemariku menggeser tombol hijau dan mendekatkannya di telinga. "Selamat siang, Pak Lio." "Siang, Pak Affar." Jawabku sekenanya dengan nada tidak bersemangat. "Gimana keadaan Audrey sama bayinya?" Aku cemburu karena baru saja aku menikahi Sasha, sang pemuja rahasianya sudah mengkhawatirkan keadaannya. "Saya minta doanya saja." "Bayinya?" "Sehat." "Audrey? Apa saya bisa bicara sama dia? Kebetulan ponselnya nggak aktif." Suami mana yang tidak berang ketika istrinya dikhawatirkan lelaki lain? Dan aku rasa jika merasa cemburu adalah hal yang san
POV PARALIO "Jawab, Rado! Kamu kan yang bikin Sasha keluar dari rumah?" Aku setengah berteriak pada Rado. Satu hal yang selama ini hampir jarang kulakukan karena aku tidak mau membuat traumanya kembali, juga karena kasih sayangku untuknya yang teramat besar. Hingga aku sadar bahwa kemanjaan yang selama ini kuberikan padanya adalah bom waktu yang membuat Rado menjadi tidak mandiri dan berubah seenaknya. Dan kali ini Sasha dan anakku menjadi korbannya. Aku terlambat menyelamatkan mereka. Lebih tepatnya Sasha hampir terlepas dari genggamanku meski hidupnya masih bisa diselamatkan dengan bergantung pada alat-alat medis di ruang ICU. "Kalau kamu masih nggak mau ngaku, mending Mas nggak usah ketemu kamu selamanya! Sekalian kamu akan Mas kirim ke rumah konseling!" Ancamku tidak main-main. Wajahnya berubah pias lalu bergegas menggenggam tanganku. "Jangan, Mas! Jangan bawa aku ke rumah konseling." "Mas nggak punya cara lain, Do! Kamu berubah egois dan mulai nyakitin orang lain! Kalau
POV PARALIO Hari ini, dokter memberi kabar jika putriku sudah diperbolehkan pulang. Sudah tiga hari dua malam ia berada di ruang khusus bayi ditemani para suster dan aku hanya diperbolehkan menjenguk sesekali untuk melihat perkembangannya. "Kasihan cucuku, nggak bisa ketemu Audrey. Nggak dapat asi pertama, juga nggak dapat sentuhan Audrey." Itu suara ibu mertuaku. Air matanya berlinang kembali mengingat keadaan Sasha yang belum pulih. Dia masih senantiasa tidur begitu lelap sedang aku dan yang lain sudah sangat menanti ia pulih kembali. "Jangan sedih, Ma. Audrey pasti sembuh. Sekarang, kita pulang dulu ke rumah Mamanya Kian." Itu suara ayah tiri Sasha yang berusaha menenangkan istrinya. "Kian, kamu jaga di rumah sakit ya? Mama sama mertua dan anakmu balik dulu." Putriku sudah berada di dekapan ibu mertua. Bayi mungil cantik yang masih berusia tiga hari itu belum memiliki nama karena aku ingin Sasha sendiri yang memberinya nama. "Ya, Ma. Hati-hati." Kamar tamu telah disiap