Haii Bloomy, It's finally over. Entah sudah berapa lama kisah Amira dan Alan ini ya, akhirnya hari ini kisah itu sudah menemukan akhirnya. Terimakasih sudah setia menunggu dan membaca ceritaku ini. Semoga kalian bahagia. Oh ya, jangan lupa baca bukuku yang lainnya ya. Sudah ada buku baru yang judulnya "Dua Cinta Dua Samudera". Terimakasih semuanya, lup lup lup
"Kalau begitu izin membawa Amira untuk bertemu orang tua saya." Alan sangat canggung dan formal. Bahkan sampai membungkuk di depan ayah Amira. Alan dan Amira meninggalkan rumah paman dan bibi. Mereka segera menemui orang tua Alan untuk meminta restu. Setelah kepergian mereka, keheningan menyelimuti rumah paman dan bibi. Mereka berkelut dengan pikiran masing-masing. "Apa mungkin jika hubungan mereka diteruskan?" Bibi Hanum memecah konsentrasi mereka. Ayah, ibu, dan paman Amira memandangnya intens. "Apa kalian tidak khawatir?" Ya, Bibi Hanum yang sangat khawatir jika Amira dan Alan kembali bersama. Ada perasaan tidak ikhlas jika Amira yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri berbaikan dengan Alan dan keluarganya setelah Amira disakiti batinnya berkali-kali. "Mereka saling jatuh cinta," jawab Ayah Arif. "Jangan hanya karena cinta, coba pikirkan saat....""Bu, mereka sudah berjodoh. Mereka sudah ditakdirkan untuk bersama. Semesta pun merestui mereka untuk kembali bersama lagi, jika s
Alan sudah jauh lebih sehat. Butuh waktu tiga hari untuk dirawat di rumah sakit, dan juga atas ocehan Amira yang memaksa Alan untuk makan dan minum obat setiap harinya membuat pria itu lebih cepat pulih. Akhirnya hari ini Alan sudah diperbolehkan untuk pulang. Dokter juga manusia, dia bisa sakit dan lemah. Amira tidak memperbolehkan Alan untuk bekerja setelah ini sampai benar-benar tubuhnya pulih. Alan tidak membantah, dia sangat senang karena Amira sangat perhatian padanya. Bahkan selama sakit dia tidak membiarkan Amira jauh darinya, Alan bersikap manja melebihi anak kecil. Amira merapikan barang-barang Alan di kamar, lebih tepatnya di kamar yang ada di rumah mereka dulu tinggal bersama. Amira belum memutuskan untuk tinggal dan kembali dengan Alan. Selama di rumah sakit pun mereka belum mebahasnya lagi, Amira dan Alan fokus untuk penyembuhan. "Sayang," panggil Alan sedangkan Amira terus merapikan barang-barang tanpa menoleh kesumber suara. "Kamu bersiap ya, kita makan di luar." B
Drrrtttt.... Drrrttt....Getaran di ponsel Amira mengalihkan perhatiannya. Dia kesulitan mengambil ponsel karena sebelah tangannya ia gunakan untuk mendorong koper. Ada telepon masuk dari Sandi. Amira termenung sejenak, tidak biasanya Sandi meneleponnya jika bukan sesuatu yang sangat mendesak. Perlahan-lahan Amira menggeser panel hijau dari ponselnya. Suara Sandi terdengar sangat kecil, Amira tidak bisa mendengarnya karena suara mesin kereta yang terlalu bising. Amira mencoba mencari tempat yang lega, tetapi desakan dari penumpang membuatnya kesulitan bergerak. ["Halo Amira, apa kau mendengarku?"] ucap Sandi dari seberang telepon karena beberapa kali memanggil nama Amira tidak ada sahutan darinya." Aku tidak bisa mendengarmu, aku masih di stasiun di sini sangat ramai," balas Amira dengan nadanya yang keras. ["Bisakah kamu ke rumah sakit sekarang juga?"]"Apa? Tolong yang keras!"["Bisakan kamu ke rumah sakit sekarang? Dokter Alan membutuhkanmu."]Deg....Seketika jantung Amira men
"Kamu yakin akan pergi hari ini juga?"Bibi Hanum membantu Amira memasukkan barang-barang penting ke koper yang akan ia bawa ke desa. Amira hanya menganggukkan kepala, suasana hatinya sedang buruk. Apa yang dia harapkan tidak muncul juga hingga detik ini. Amira ikhlas jika kisah cintanya harus berakhir sekarang, lebih tepatnya benar-benar berakhir tanpa ada pemikiran kedua kalinya. Dia berhenti menunggu Alan dan memilih untuk pergi dari kota. Dia akan merasa nyaman jika tinggal dari desa, mungkin Amira bisa melupakan Alan jika jauh dari pria itu. "Kamu tidak perlu memikirkan hal yang tidak penting, buang jauh-jauh pemikiran buruk. Sudah jangan berpikiran buruk atau yang lainnya, yang penting kamu dan dedek bayi sehat." Bibi Hanum mengatakan seperti itu agar membuat Amira tenang. Amira hanya terkekeh kecil mendengar bibinya yang begitu cerewet sejak kemarin. Dia khawatir Amira akan berlarut-larut sedih karena Alan tidak datang lagi ke rumah ini. "Apa sudah siap?" Paman Oki yang suda
"Paman izinkan aku bertemu dengan Amira." Alan memohon bahkan hampir bersujud di kaki Paman Oki. Namun, Paman Oki mencegah Alan melakukannya. Sebagai suami Alan sangat khawatir dengan keadaan Amira apalagi saat ini istrinya sedang mengandung. Amira pasti membutuhkan Alan di sisinya. Sayangnya, setiap datang ke rumah paman Amira, mereka tidak mengizinkan Alan untuk bertemu walau hanya satu menit saja. Paman dan Bibi Amira selalu mengusir Alan, atau mengunci rumah dan tidak menemui Alan hingga dia sendiri pergi dari rumah itu. Tampak kekecewaan yang teramat besar dari paman dan bibi Amira. Tentu saja, siapa yang tidak kecewa saat seseorang yang sudah mereka anggap sebagai anak sendiri disakiti hatinya berulang kali. Alan mengakui kesalahannya, jika ia disuruh bersujud pun akan ia lakukan. Alan akan merendahkan dirinya untuk menebus segala kesalahan yang telah ia perbuat pada Amira."Pergilah! Jangan datang lagi ke sini, biarkan Amira hidup tenang," ucap Paman Oki memalingkan wajahnya
"Amira... Amira... Tunggu dengarkan Mas dulu."Alan mengejar Amira yang baru saja turun dari mobil taxi. Hampir lima kali lebih Alan mengunjungi rumah paman dan bibi Amira, tetapi dia tidak pernah diizinkan untuk bertemu dengan Amira. Alan tidak menyerah, dia selalu datang ke rumah ini. Dan beruntungnya saat dia baru sampai, Amira pun juga baru datang entah dari mana. Alan menahan lengan Amira, wanitanya itu sama sekali tidak mau memandang Alan. Seolah tak sudi berurusan dengan Alan lagi. Alan hanya ingin membuktikan bahwa dirinya masih pria yang sama seperti awal pertama kali mereka bertemu. "Sayang, kita perbaiki lagi dari awal ya." Amira masih membelakangi Alan, tak kuasa menahan rindu Alan memeluk tubuh mungil Amira dari belakang. "Bukan kita yang harus diperbaiki, Mas. Tapi kamu sendiri yang harus diperbaiki." Amira berkata lantang, padahal dia berusaha mengontrol emosinya, sayangnya melihat Alan membuatnya muak. "Aku tahu, terus di sampingku, bimbing aku. Aku memang keterlal