["Jangan lupa membeli susu untuk anak kita, Mas."] Satu pesan tak dikenal itu membuat Amira resah. Sebagai seorang istri, Amira takut jika sang suami berselingkuh darinya. Tak hanya itu, Amira merasakan perubahan dari sikap Alan setelah tiga bulan pernikahan mereka. Alan lebih suka beraktifitas di luar rumah dan selalu pulang larut malam. Hingga suatu hari, datanglah seorang wanita hamil ke rumah Amira. Dia mengatakan tengah mendandung anak Alan. Dunia Amira seketika hancur, kepercayaannya dikhinati oleh sang suami. Akankah Amira mempertahankan rumah tangganya atau justru mengakhiri pernikahannya dengan Alan? Edited photo by : @connie_rabbit IG : @byrosebloom_
View MoreAmira tidak bisa tidur karena membaca sebuah pesan masuk yang dikirimkan ke ponsel suaminya. Pasalnya, bukan hanya satu kali ataupun dua kali, melainkan pesan itu dikirim hampir setiap hari membuat Amira takut setengah mati.
[Jangan lupa beli susu untuk anak kita, Mas.]
Begitulah kiranya salah satu pesan yang masuk ke dalam ponsel Alan, suami Amira. Saat membacanya tangan Amira bergetar hebat. Namun, Amira berusaha menepis pikiran buruk di otaknya.
Dia berpikir bahwa pesan itu dari orang iseng karena tidak ada nama yang tercantum. Bahkan, Alan tidak pernah membalas pesannya. Hingga jam satu malam Amira tetap terjaga karena memikirkan pesan masuk itu. Amira beringsut dari ranjang, dia bangkit menuju kamar mandi yang ada di pojok kamar.
Amira membasuh wajahnya dengan air. "Tidak mungkin Mas Alan mengkhianatiku. Kita baru menikah tiga bulan," lirih Amira menguatkan hatinya.
Tangis Amira lepas saking sesaknya. Alan sangat mencintainya, begitupun Amira. Setidaknya itu yang Amira tahu. Sebisa mungkin Amira meneguhkan hati bahwa Alan tidak akan mengkhianati kepercaaannya.
"Apa yang aku pikirkan?" gumam Amira menyesal. Tak sepatutnya dia menaruh curiga kepada sang suami. Hanya pesan anonim itu tidak membuktikan bahwa Alan berselingkuh.
Tok... Tok...
"Sayang, apa kamu ada di dalam?" Suara Alan mengejutkan Amira. Kontan dia mengusap sisa-sisa air mata yang ada di pipi.
"Iya, tunggu sebentar." Amira bangkit lalu membuka pintu kamar mandi.
Haruskah Amira bertanya kepada Alan? Jika bertanya, apa mungkin Alan akan sakit hati karena Amira mencurigainya? Amira tidak akan tenang jika tidak mendapatkan jawaban.
"Ada apa?" tanya Alan khawatir saat melihat wajah Amira begitu sendu. Kedua tangan kekar itu mengusap lembut wajah Amira.
Perhatian Alan inilah yang membuat Amira yakin bahwa suaminya itu tidak akan pernah berselingkuh. Perasaan takut itu hanya bisikan setan saja, Amira menyesal karena berperasangka buruk terhadap Alan. Namun, setiap Amira ingin mempercayai suaminya, pesan itu datang lagi. Itulah yang membuat Amira tidak memercayai Alan.
Alan mengecup dahi Amira, berangsur mengecup kedua mata, kedua pipi lalu berakhir pada bibir merah muda milik Amira. Alan memberikan pelukan hangat untuk menenangkan sang istri. Tangis Amira pecah kembali, dia benar-benar resah saat ini.
"Mimpi buruk, hem?" tanya Alan yang dibalas dengan anggukan kepala sang istri.
"Mimpi apa?" tanya Alan lagi sangat lembut. Amira melepaskan pelukannya dan menatap lekat manik mata sang suami.
"Mira bermimpi kalau Mas Alan menggandeng wanita lain."
Deg...
Raut wajah macam apa itu? Mengapa tubuh Alan seketika menegang dan matanya menatap kosong wajah Amira? Jangan bilang dugaan Amira benar bahwa Alan ada main belakang dengan wanita lain.
Banyak pertanyaan yang ingin Amira sampaikan, hanya saja tercekat di dalam tenggorokannya. Amira tidak berani bahkan tidak akan mampu jika harus mendengarkan fakta terberat dari bibir suaminya itu.
"Wanita lain itu seperti apa? Cantikkah?" Alan berkata dengan dua sudut bibirnya terangkat ke atas. Amira mengernyitkan dahi.
"Ih, apa maksud Mas Alan bertanya seperti itu?" Amira mencubit lengan Alan, sedangkan pria itu hanya terkekeh melihat wajah Amira yang cemberut.
"Kalau jelek Mas gak mau, tetapi kalau cantik Mas yakin masih cantikan kamu. Jadi... Mas juga gak mau," balas Alan dengan sorot mata begitu meyakinkan.
"Jadi, Mas Alan maunya sama siapa?"
"Lah, belum cukup buktinya kalau Mas maunya kamu seorang?" kata Alan lagi seraya mencubit gemas pipi Amira.
"Mas hanya mencintai kamu, Sayang. Tekad dan kegigihan Mas waktu meminta kamu dari kedua orang tuamu, dengan tangan dan kaki yang bergetar belum lagi detak jantung yang berdegup kencang. Mas yakin bahwa kamu adalah jodoh Mas yang Tuhan kirimkan."
"Waktu kita menikah, satu yang Mas lihat dan teringat sampai sekarang," lanjut Alan lagi dan menggantung kalimatnya.
"Apa itu?" tanya Amira.
"Wajah kedua orang tuamu. Raut sedih dan bahagia mereka saat melihatmu menggandeng tangan Mas. Tugas Mas ini belum usai, bukan hanya sekedar menikahimu saja, tetapi memberi nafkah sekaligus membahagiakanmu."
"Tidak cukupkah bukti itu bahwa Mas mencintaimu dan menginginkanmu?"
Ah... Wajah Amira menghangat dan sudah pasti kedua pipinya memerah. Perkataan Alan yang panjang kali lebar itu mampu membuat hati Amira luluh kembali. Amira termenung panjang, lidahnya terasa kelu untuk menanyakan pesan itu.
"Heih... Kok bengong, sih? Mas lagi bicara serius." Alan menepuk pelan pipi Amira.
"Mas tidak selingkuh, kan? Mas tidak punya wanita simpanan lain, bukan?" tuduh Amira. Dia benar-benar tidak bisa mengontrol rasa ingin tahunya lagi. Amira ingin membahasnya malam ini.
Alan mengerutkan dahinya dalam, "Apa yang kamu bicarakan? Mas mencintai kamu, Sayang." Alan menangkup pipi Amira dengan kedua tangannya.
Tangis Amira kembali pecah, sesak yang sejak tadi ia pendam meluap begitu saja. Amira butuh pembuktian, Amira mencintai Alan dan berharap apa yang Amira pikirkan itu tidak akan pernah terjadi. Jika pun pengkhianatan yang Amira dapatkan, Amira rela mengorbankan cintanya itu.
"Kalau Mas memang punya wanita lain, biarkan Amira yang mundur, Amira akan pergi dari hidup Mas Alan." Amira sesegukan lagi, kedua tangannya terkepal kuat dan berusaha menahan isak tangisnya.
"Apa yang kamu katakan? Jangan bicara seperti itu, kita sudah berjanji untuk selalu bersama bukan? Sampai kapanpun Mas akan mencintai kamu, menyayangi kamu dan akan buat kamu bahagia."
Amira menatap lekat manik mata Alan. Amira mendapatkan keseriusan pada netra sang suami. Semakin kencang tangis Amira, dia menunduk dalam melihat kedua kakinya dan juga kaki Alan.
Mungkin selama ini hanya pikiran buruk Amira saja. Dia terlalu banyak menonton sinetron sehingga pikiran buruk itu menghantuinya.
"Maaf ya, Mas." Amira memeluk erat tubuh sang suami. Dia merasa bersalah atas pikiran-pikiran buruk dan tuduhan yang ia ucapkan tadi kepada Alan.
"Maafin Mas juga." Alan mengecup puncak kepala Amira. "Ya sudah, ayo tidur lagi."
Amira digiring menuju tempat tidur mereka. Baru saja Amira mendudukkan tubuhnya di atas kasur, ponsel Alan berdering nyaring. Kontan keduanya saling melirik ke arah ponsel yang tergeletak di atas nakas.
Alan memang sering mendapatkan panggilan mendadak bahkan tengah malam pun harus siaga menerima panggilan itu. Sebagai dokter dia harus siap menangani pasien bahkan tengah malam sekalipun.
Alan mengangkat panggilan teleponnya, namun yang membuat Amira tak suka suaminya itu menjauhkan diri. Padahal Alan tidak pernah seperti itu, Amira selalu tahu siapa yang menelepon Alan. Kali ini Alan seperti tidak ingin Amira tahu siapa peneleponnya.
"Apa? Aku akan segera ke sana."
Alan mengambil jaketnya di lemari, lalu menuju nakas di samping tempat tidur untuk mengambil kunci mobil. Alan menatap sekilas Amira dan menghembuskan napasnya panjang.
"Mas akan kembali." Hanya itu yang Alan ucapkan.
Amira kembali dibuat takut, dia memegang dadanya yang ke sesak. Amira tidak tahu perasaan macam apa ini? Rasa takutnya berubah menjadi sembilu pilu. Dia benar-benar takut kehilangan Alan.
"Kalau begitu izin membawa Amira untuk bertemu orang tua saya." Alan sangat canggung dan formal. Bahkan sampai membungkuk di depan ayah Amira. Alan dan Amira meninggalkan rumah paman dan bibi. Mereka segera menemui orang tua Alan untuk meminta restu. Setelah kepergian mereka, keheningan menyelimuti rumah paman dan bibi. Mereka berkelut dengan pikiran masing-masing. "Apa mungkin jika hubungan mereka diteruskan?" Bibi Hanum memecah konsentrasi mereka. Ayah, ibu, dan paman Amira memandangnya intens. "Apa kalian tidak khawatir?" Ya, Bibi Hanum yang sangat khawatir jika Amira dan Alan kembali bersama. Ada perasaan tidak ikhlas jika Amira yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri berbaikan dengan Alan dan keluarganya setelah Amira disakiti batinnya berkali-kali. "Mereka saling jatuh cinta," jawab Ayah Arif. "Jangan hanya karena cinta, coba pikirkan saat....""Bu, mereka sudah berjodoh. Mereka sudah ditakdirkan untuk bersama. Semesta pun merestui mereka untuk kembali bersama lagi, jika s
Alan sudah jauh lebih sehat. Butuh waktu tiga hari untuk dirawat di rumah sakit, dan juga atas ocehan Amira yang memaksa Alan untuk makan dan minum obat setiap harinya membuat pria itu lebih cepat pulih. Akhirnya hari ini Alan sudah diperbolehkan untuk pulang. Dokter juga manusia, dia bisa sakit dan lemah. Amira tidak memperbolehkan Alan untuk bekerja setelah ini sampai benar-benar tubuhnya pulih. Alan tidak membantah, dia sangat senang karena Amira sangat perhatian padanya. Bahkan selama sakit dia tidak membiarkan Amira jauh darinya, Alan bersikap manja melebihi anak kecil. Amira merapikan barang-barang Alan di kamar, lebih tepatnya di kamar yang ada di rumah mereka dulu tinggal bersama. Amira belum memutuskan untuk tinggal dan kembali dengan Alan. Selama di rumah sakit pun mereka belum mebahasnya lagi, Amira dan Alan fokus untuk penyembuhan. "Sayang," panggil Alan sedangkan Amira terus merapikan barang-barang tanpa menoleh kesumber suara. "Kamu bersiap ya, kita makan di luar." B
Drrrtttt.... Drrrttt....Getaran di ponsel Amira mengalihkan perhatiannya. Dia kesulitan mengambil ponsel karena sebelah tangannya ia gunakan untuk mendorong koper. Ada telepon masuk dari Sandi. Amira termenung sejenak, tidak biasanya Sandi meneleponnya jika bukan sesuatu yang sangat mendesak. Perlahan-lahan Amira menggeser panel hijau dari ponselnya. Suara Sandi terdengar sangat kecil, Amira tidak bisa mendengarnya karena suara mesin kereta yang terlalu bising. Amira mencoba mencari tempat yang lega, tetapi desakan dari penumpang membuatnya kesulitan bergerak. ["Halo Amira, apa kau mendengarku?"] ucap Sandi dari seberang telepon karena beberapa kali memanggil nama Amira tidak ada sahutan darinya." Aku tidak bisa mendengarmu, aku masih di stasiun di sini sangat ramai," balas Amira dengan nadanya yang keras. ["Bisakah kamu ke rumah sakit sekarang juga?"]"Apa? Tolong yang keras!"["Bisakan kamu ke rumah sakit sekarang? Dokter Alan membutuhkanmu."]Deg....Seketika jantung Amira men
"Kamu yakin akan pergi hari ini juga?"Bibi Hanum membantu Amira memasukkan barang-barang penting ke koper yang akan ia bawa ke desa. Amira hanya menganggukkan kepala, suasana hatinya sedang buruk. Apa yang dia harapkan tidak muncul juga hingga detik ini. Amira ikhlas jika kisah cintanya harus berakhir sekarang, lebih tepatnya benar-benar berakhir tanpa ada pemikiran kedua kalinya. Dia berhenti menunggu Alan dan memilih untuk pergi dari kota. Dia akan merasa nyaman jika tinggal dari desa, mungkin Amira bisa melupakan Alan jika jauh dari pria itu. "Kamu tidak perlu memikirkan hal yang tidak penting, buang jauh-jauh pemikiran buruk. Sudah jangan berpikiran buruk atau yang lainnya, yang penting kamu dan dedek bayi sehat." Bibi Hanum mengatakan seperti itu agar membuat Amira tenang. Amira hanya terkekeh kecil mendengar bibinya yang begitu cerewet sejak kemarin. Dia khawatir Amira akan berlarut-larut sedih karena Alan tidak datang lagi ke rumah ini. "Apa sudah siap?" Paman Oki yang suda
"Paman izinkan aku bertemu dengan Amira." Alan memohon bahkan hampir bersujud di kaki Paman Oki. Namun, Paman Oki mencegah Alan melakukannya. Sebagai suami Alan sangat khawatir dengan keadaan Amira apalagi saat ini istrinya sedang mengandung. Amira pasti membutuhkan Alan di sisinya. Sayangnya, setiap datang ke rumah paman Amira, mereka tidak mengizinkan Alan untuk bertemu walau hanya satu menit saja. Paman dan Bibi Amira selalu mengusir Alan, atau mengunci rumah dan tidak menemui Alan hingga dia sendiri pergi dari rumah itu. Tampak kekecewaan yang teramat besar dari paman dan bibi Amira. Tentu saja, siapa yang tidak kecewa saat seseorang yang sudah mereka anggap sebagai anak sendiri disakiti hatinya berulang kali. Alan mengakui kesalahannya, jika ia disuruh bersujud pun akan ia lakukan. Alan akan merendahkan dirinya untuk menebus segala kesalahan yang telah ia perbuat pada Amira."Pergilah! Jangan datang lagi ke sini, biarkan Amira hidup tenang," ucap Paman Oki memalingkan wajahnya
"Amira... Amira... Tunggu dengarkan Mas dulu."Alan mengejar Amira yang baru saja turun dari mobil taxi. Hampir lima kali lebih Alan mengunjungi rumah paman dan bibi Amira, tetapi dia tidak pernah diizinkan untuk bertemu dengan Amira. Alan tidak menyerah, dia selalu datang ke rumah ini. Dan beruntungnya saat dia baru sampai, Amira pun juga baru datang entah dari mana. Alan menahan lengan Amira, wanitanya itu sama sekali tidak mau memandang Alan. Seolah tak sudi berurusan dengan Alan lagi. Alan hanya ingin membuktikan bahwa dirinya masih pria yang sama seperti awal pertama kali mereka bertemu. "Sayang, kita perbaiki lagi dari awal ya." Amira masih membelakangi Alan, tak kuasa menahan rindu Alan memeluk tubuh mungil Amira dari belakang. "Bukan kita yang harus diperbaiki, Mas. Tapi kamu sendiri yang harus diperbaiki." Amira berkata lantang, padahal dia berusaha mengontrol emosinya, sayangnya melihat Alan membuatnya muak. "Aku tahu, terus di sampingku, bimbing aku. Aku memang keterlal
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments