Share

4. Momongan?

Tadinya aku berencana tidak pulang ke rumah dan langsung kembali ke hotel setelah mengajar. Namun, niatku gagal begitu wajah Mas Bram nampak memasuki gedung sekolahku. Dia pasti marah besar karena aku juga tidak mengaktifkan telepon.

“Kita bicara di luar gerbang. Jangan di sini,” ujarku saat Mas Bram meminta waktu.

“Kenapa harus di luar? Kamu malu punya suami kaya aku?”

Rasanya ingin kujawab iya tepat di depan wajahnya, tapi aku menahan diri mengingat aku sedang bekerja. Kuabaikan sikap Mas Bram sambil terus berjaan keluar dari gerbang sekolah.

“Kamu kemana semalam? Ngluyur kemana?” desak Mas Bram.

“Aku ke tempat Nur. Mau pulang udah kemaleman jadinya nginep.”

“Nur?”

Aku mengangguk kecil. Malas menjelaskan.

“Nur yang janda itu?” tanya Mas Bram mengingat nama temanku.

“Dia udah nikah lagi.”

“Dia yang janda di desa kita itu. Oh kamu masih bergaul sama dia? Jangan-jangan kamu mau ….”

“Diem, Mas. Gak usah sok nuduh-nuduh orang. Aku ke sana juga gara-gara kamu.”

“Gara-gara aku? Apa hubungannya?”

“Aku pinjem uang ke Nur buat nyambung hidup. Uangku udah habis buat bayar utang kamu ke pak Tio. Kamu lupa?” ujarku sengaja. Jika bukan perkara utang, Mas Bram akan menanyakan lebih banyak. Dan itu membuatku malas.

“Gak usah sok miskin begitu. Biasanya juga gajian lagi, kan?”

“Gajian dari mana? Gaji pokokku juga udah abis buat utang kan langsung ke potong. Tambah pinjaman baru yang kamu masukan atas namaku. Habis itu.”

Mas Bram mengangkat tangan. “Udah gak usah bahas utang sekarang. Jadi semalem kamu nginep di sana?”

“Iya,” jawabku ketus.

“Ya udah yang penting nanti pulang. Kalau ibu apa Mbak Norma tanya bilang aja habis diklat. Jangan bilang ke rumah temen.”

“Emangnya kenapa, Mas? Kenapa aku harus bohong ke mereka?”

Mas Bram menggeleng. “Kita masih jadi omongan di desa. Aku gak mau nambah masalah. Aku gak mau rumor yang tersebar tambah banyak. Pokoknya kita baik-baik aja.”

Sumpah aku muak dengan sikap Mas Bram. Dia masih terlalu percaya diri. Dia tidak pernah melihat dengan matanya secara benar. Dia hidup seolah-olah semua orang menyukainya termasuk aku.

Akupun  ingin membalas ucapannya namun bel tanda pembelajaran berikutnya berbunyi. 

“Kamu masuk, gih nanti telat. Kalau bisa telat datang bulan aja, Git jangan telat kerja ya.”

Astaghfirullah, di saat seperti ini Mas Bram masih sempat menyakitiku dengan ucapannya. 

“Aku pamit, Git. Pastikan pulang on time jam empat sampai rumah.”

Aku tak menjawab dan tak juga menyodorkan tangan untuk meraih punggung tangannya. Aku benar-benar muak. Kubiarkan Mas Bram pergi begitu saja seraya bersiap kembali ke kegiatanku di sekolah. Berkali-kali kuhela napas untuk menghalau sesak.

Telat datang bulan katanya? Enteng sekali Mas Bram berkata seperti itu. Mas Bram jelas sangat paham aku sangat tidak suka dengan hal-hal yang berbau seperti itu. 

Dulu, dulu sekali saat awal kami menikah kami nyaris mendapatkannya. Andai saja aku tidak kelelahan. Setelah bekerja di sekolah selama awal menikah aku harus membantu ibu mertua memilah buah. Beliau melakukan packing sendiri tanpa ada pekerja dan salah satu orang yang menjadi sasarannya adalah aku. Tak hanya membantu packing, aku juga masih harus mengurus rumah mulai dari memasak, mencuci dan membersihkan rumah. Akibatnya aku keguguran dan sampai tahun ke delapan tak kunjung datang momongan.

Aku mengusap wajah. Mataku juga mulai menghangat. Meski episode itu sudah lewat, pedihnya masih kerap kurasakan. Apalagi saat Mbak Norma dan Mas Galih membanggakan anak mereka yang baru lahir di tahun ketiga pernikahan kami.

“Kok bisa ya kita yang nikahnya telat udah agak tua malah cepet dapat anak. Kalian yang masih muda dan bugar kok gak ada hasilnya.”

“Gita kerja terus, Mas. Kadang lembur sampai malam ngurus administrasi segala. Ya gitu lah jadinya kurang maksimal,” timpal Mas Bram tanpa merasa risih.

“Dikurangin, Git. Jangan kecapean kalau mau cepet dapet momongan. Kaya aku fokus di rumah kan langsung nih,” jawab Mbak Norma. 

Kalau tidak karena keharusan aku sudah pergi. Aku tidak akan ikut menjenguk Mbak Norma karena pasti mereka hanya mengolok ku saja. 

“Ada ramuan khusus gak, Mbak? Herbal apa jamu gitu biar Gita subur?” tanya Mas Bram yang malah lebih antusias.

“Ramuannya cukup satu kok. Layani suami dengan sepenuh hati.”

Seketika aku ingin muntah mengingat percakapan itu. Benar-benar memuakkan. 

“Mbak Gita kenapa?” tanya salah satu rekan kerjaku.

“Oh, enggak apa-apa, Bu. Ini kok tiba-tiba eneg aja, Bu.”

“Jangan-jangan Mbak Gita ….”

Segera aku menggeleng. Tidak aku tidak mungkin hamil. Selama ini melakukan hubungan badan dengan Mas Bram kami selalu gagal. Aku sedang tidak mengharapkan momongan di momen-momen sekarang. Aku sedang ingin bercerai.

“Masuk angin kayaknya, Bu,” timpalku seraya bersiap pergi dari meja kerja. “Saya ngajar dulu ya, Bu.”

“Oke, Mbak. Semoga tebakan saya benar, ya.”

***

Moodku menjadi sangat berantakan setelah Mas Bram datang ke sekolah dan obrolan tak penting soal momongan tadi. Aku juga ingin kembali ke hotel tapi Nur sudah lebih dulu mengirim WA.

[Tarik ulur dulu, Git. Kamu juga harus ngecek rumah. Jangan-jangan pas kamu pergi misal barang-barang kamu ada yang raib. Kan sayang.]

Ucapan Nur benar sekali. Aku tetap harus terlihat di rumah dan menunjukkan hakku atas rumah itu sebelum semuanya selesai kuurus. Perihal sertifikat dan lain lain aku juga belum begitu paham. Akhirnya aku kembali ke tempat itu dengan segenap perasaan yang berusaha aku tebalkan. Apapun tanggapan mereka nanti aku tidak boleh memikirkannya.

Baru memarkirkan motor sudah terdengar keramaian dari dalam. Cukup menyebalkan karena Mas Bram menerima tamu di jam kepulanganku. Setelah mengucap salam dan tersenyum sekenanya aku langsung masuk. Dan betapa terkejutnya aku saat mendapati kamar yang sebelum kutinggalkan sudah rapi jadi berantakan.

“Mas, Mas ke sini sebentar!” teriakku dari dalam. Aku malas kalau harus keluar dan berbasa basi dengan orang-orang yang jelas tidak mendukung Mas Bram tapi masih berpura-pura baik.

“Ada apa, Git? Berisik banget manggil-manggil.”

“Ini kamarku kenapa? Siapa yang ngacak-acak baju sama kerudung aku di lemari?” tanyaku penuh kekesalan. Bahkan sprei juga sangat berantakan.

“Oh tadi Mbak Norma mau minjem kerudung katanya nyari yg warna apa gitu tapi aku gak ngerti jadi ya udah aku suruh ambil sendiri.”

“Terus kamu biarin diacak-acak kayak gini?!” tanyaku setengah berteriak.

“Jangan kenceng-kenceng, Git. Lagi ada tamu. Itu paling Aidan ikut makanya berantakan.”

“Nggak mungkin. Aidan gak mungkin ngacak-acak begini. Ini pasti Mbak Norma,” protesku.

Tiba-tiba Mas Bram menutup pintu. Dia mendorongku ke tembok sambil membekap mulutku. “Kamu bisa diam gak? Udah pulang telat sekarang bikin gaduh. Aku lagi ada tamu,” desisnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status