Share

2. Ibu Mertua

Sepanjang pembelajaran di sekolah pikiranku menjadi tidak fokus. Aku hanya menyelesaikan tugas ala kadarnya sambil menunggu jam pulang. Mendampingi anak-anak sampai sore juga kurang maksimal. Aku terus kepikiran setelah mau tak mau harus merelakan uang lima ratus ribu di pertengahan bulan. Semua itu kulakukan demi menutupi malu. Demi menjaga maruah suami dan rumah tangga yang di ujung tanduk. 

Sambil bersiap pulang aku masih terus kepikiran. Aku pun menggeleng. Ini tidak boleh terjadi lagi. Aku berjanji ini yang terakhir kali. Setelah ini tak akan ada hal-hal semacam itu lagi. Aku pun pulang dengan membawa perasaan marah.

“Apa-apaan kamu, Mas! Kamu bilang nitip uangnya ke aku? Uang apa? Uang yang mana?” cecarku begitu sampai rumah dan mendapati Mas Bram sedang bersantai di ruang TV sambil merokok.

“Besok aku ganti,” jawabnya enteng.

“Ganti kata kamu? Mau ganti pake apa? Uang belanja aja kamu gak kasih. Setiap hari kerjaanmu cuma luntang lantung gak jelas,” protesku.

Mas Bram menyesap rokoknya. Menghabiskan sampai asap terakhir lalu mematikan puntungnya di asbak. “Apa yang kamu bilang? Luntang lantung?”

“Kalau bukan luntang lantung apa? Sekarang kamu gak ngapa-ngapain. Bertani enggak, kerja di pasar juga enggak,” kataku meluapkan semua yang kerap kutahan.

Mas Bram berdiri. Sepertinya dia kembali tersulut emosi. “Yang bikin aku kayak gini siapa? Yang bikin semua usahaku gagal siapa? Kamu, Git! Kamu!” teriaknya.

Mas Bram selalu menyalahkanku atas kegagalannya. Dia berdalih aku tidak mendukung penuh usahanya. Dia selalu menganggapku terlalu sibuk bekerja dan tidak perhatian. 

“Kalau kamu nurut aja sama suami kamu Git. Kalau kamu gak maksa buat bangun rumah menjelang pemilihan gak bakal kayak gini. Orang pasti bakal milih Bram dan sekarang dia udah jadi pak lurah!” seru ibu mertuaku yang tiba-tiba muncul dari pintu penghubung. Sebuah pintu yang memisahkan rumah kami.

“Benar, Bu. Ini Gita gak pernah nurut dikasih tau. Coba uangnya gak buat bangun kayak gini. Bisa buat serangan fajar.” 

“Kamu bilang apa, Mas? Serangan fajar? Kamu mau menggunakan cara haram itu?” tanyaku tak habis pikir.

“Alah gak usah sok suci. Hari gini semua juga pake cara semacam itu biar menang. Mana ada yang enggak,” imbuh ibu mertuaku penuh percaya diri.

“Astaghfirullah, Bu. Itu gak bener.”

“Ini loh, Bram yang bikin orang malas milih kamu. Istrimu ini susah dibilangin.”

“Betul, Bu. Bram juga dengar dari orang-orang yang bikin gagal ya Gita ini.”

Selalu seperti itu. Setiap kali ada masalah Mas Bram tak pernah membelaku. Dia akan sepakat dengan pendapat ibunya dan saling kompak menyudutkanku.

Ibu mertuaku beralih duduk di sofa yang aku beli bersamaan dengan selesainya pembangunan rumah ini. Beliau meraba lapisan busanya sambil melirik ke arahku tak suka.

“Ini loh uang semua. Coba sabar dulu gak beli apa-apa. Lumayan uangnya bisa buat tambahan modal kamu, Bram. Mau nyalon lurah ya prihatin dulu gak menunjukkan kalau punya. Ini malah jor-joran bikin rumah sak isinya.”

Kata-kata ibu mertua menyentakku. Beliau terus menyalahkan keputusanku dan Mas Bram perihal membangun rumah. “Namanya juga Gita Sandika, Bu. Turunannya orang entah berantah ya begitu,” timpal Mas Bram.

“Makanya aku minta pisah, Mas. Aku mau cerai saja dari kamu daripada salah terus!” ucapku tak tahan lagi.

Ibu mertua menoleh. Beliau nampak kaget dengan ucapan tak terduga dariku. “Istrimu bilang apa, Bram?”

“Minta cerai, Bu. Gita mau pisah dari aku. Dari kemarin ngomong kaya gitu,” jawab Mas Bram jemawa. Seolah aku tak bisa mewujudkan niat itu.

Ibu mertua pun terkekeh. Beliau menutup mulutnya agar tawanya tidak pecah. “Ngimpi kali, ya. Enak aja cerai dari anakku. Lagian mau hidup di mana kamu? Mau sama siapa? Keluarga aja gak punya. Anak yatim piatu.”

Oh Tuhan kenapa harus frasa itu yang keluar dari mulutnya?

Kenapa tidak yang lain?

“Makanya, Bu. Lagian bangun rumah ini ya dia gadaikan SK-nya. Mana bisa dia cerai,” timpal Mas Bram tak kalah mengejeknya seperti yang disampaikan ibunya.

“Dah lah, Git. Kamu gak usah aneh-aneh. Sekarang yang penting kamu ngajar kaya biasanya. Gak usah mikir macem-macem apa lagi minta pisah dari Bram. Gak usah nyuruh nyuruh Bram buat kerja juga. Dia lagi pusing karena habis gagal. Sebagai istri kamu harusnya suport sama kasih dukungan bukan malah nambah masalah. Kalau memang kamu mau pisah nih, berani gugat ke pengadilan lunasi dulu utang-utangmu. Termasuk utang kalian ke Ibu.”

“Utang apa, Bu? Gita gak ada utang ke ibu.”

“Loh lupa kamu? Yang kamu injak itu apa?” tanya Ibu mertuaku sambil melihat ke arah kaki.

“Injak?”

“Lah iya. Emangnya kalian bangun rumah di sini pake tanah siapa?”

Ya Tuhan aku benar-benar bodoh. Tidak hanya suamiku yang memanipulasi semuanya tapi ibu mertuaku juga. Mereka tak ada yang tulus dan hanya memanfaatkan kebaikanku saja.

“Kamu pikir ya ini gratis, Bram?” 

Mas Bram menggeleng. “Bram ya mikir, Bu. Besok kalau ada uang Bram bayar ke ibu. Ibu masih sehat belum waktunya bagi-bagi warisan. Gita aja yang kepedean ngira ini tanah Bram.”

Ibu mertuaku tersenyum simpul. “Syukurlah Bram kalau kamu paham. Sudah, sudah kalian jangan ribut. Ini belum pelantikan orang-orang masih ada yang suka datang karena kecewa. Kalian harus terus siap menerima tamu dan tunjukkan kalau kalian gak ada masalah.”

“Iya, Bu.”

“Ibu gak masak udah capek dari pasar. Mbakmu kayaknya ya lagi pergi. Ibu punya mantu cewek kan ya. Makan malam biasanya ada yang nyiapin?” tanya Ibu mertua seraya menyindirku.

“Tenang, Bu. Nanti Gita masak sama Gita antar ke rumah,” jawab Mas Bram tanpa meminta persetujuanku.

“Sip, sip. Ibu mau rebahan dulu,” ujar ibu mertua seraya berlalu.

Kali ini aku benar-benar marah. Bahkan tak bisa berkata-kata lagi untuk menanggapi obrolan ibu mertua dan suamiku. Mereka sudah sangat keterlaluan. Dalam hati aku menggeram. Lihat saja aku akan membalas semua perlakuan kalian. Aku akan berpisah denganmu Mas Bram. Lihat saja nanti.

“Mau kemana kamu, Git?” tanya Mas Bram saat aku ikut pergi dari ruang TV. Meski belum berganti pakaian aku tak tahan lagi berada di sini.

“Nyari lauk!” jawabku seraya membawa tas yang masih berisi laptop itu pergi.

Jujur aku tak punya tempat tujuan. Di desa ini aku seorang pendatang. Orang tuaku memang sudah meninggal. Karena ditugaskan di sini dan tidak berminat kembali ke kota saat ada pemuda yang mendekati, aku langsung terkesan. Akhirnya aku menikah dengan Mas Bram dan berakhir seperti ini. 

Sebisa mungkin ku tepis perasaan sedih walau air mata sudah ingin melesak menampakkan wujudnya. Tapi aku hanyalah seorang diri kalau tidak diri sendiri yang berupaya, mau siapa lagi. Akhirnya ku tepikan motor kesayangan lalu menghubungi nomor seseorang.

“Halo, Nur aku butuh bantuanmu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status