Share

Aku Bukan Tulang Punggung, Mas
Aku Bukan Tulang Punggung, Mas
Penulis: Hamira Irrier

1. Suami

PLAK!!!

Sebuah pukulan mendarat di wajahku. Sontak membuatku tersentak. "Apa-apaan kau, Mas!" pekikku tak terima.

"Kau bilang apa tadi? Kau minta cerai dariku? Jangan mimpi!" timpal Mas Bram emosi.

"Kenapa tidak boleh, Mas? Kenapa? Aku sudah muak dengan semua ini."

Mas Bram kembali mendekat. "Ingat, Gita. Hutang kita belum beres. Selama hutang itu belum lunas, jangan mimpi untuk bisa cerai dariku."

"Itu hutangmu, Mas bukan hutangku! Dari awal aku sudah tidak setuju dengan ambisimu. Tapi kamu tidak pernah mau mendengarkan. Sekarang setelah semuanya terjadi dan kamu bangkrut, kamu baru menyesal, hah?"

Mata Mas Bram membulat. Wajahnya memerah. Jelas dia yang sejak pertama sudah memiliki sikap tempramental sangat terpancing oleh kata-kataku.

"Memangnya aku gagal karena siapa? Memangnya kamu tidak tahu apa penyebab orang-orang tidak memilihku, hah?" Tangan Mas Bram menunjuk tepat di keningku. "Karena kamu. Karena aku memiliki istri seperti kamu. Semua orang tidak suka dengan karakter perempuan yang sok ngatur dan berani sepertimu!"

Ucapan Mas Bram kali ini sudah keterlaluan. Aku memang terkenal berani dalam mengungkapkan pendapat, aku juga tak segan mengkritik jika ada hal-hal yang dirasa tidak sesuai dalam keluarga. Tapi, menyalahkanku atas kegagalan yang dialami sungguh berlebihan.

"Jangan pernah bermimpi, Gita. Sampai mati pun kamu bakal jadi istriku. Jangan pernah berani-berani menggugat cerai jika kamu tidak ingin mati di tanganku."

Mas Bram mengakhiri ucapannya juga mengakhiri kesenangannya. Dia yang sejak pagi memaksaku untuk melayaninya meski aku tidak mau. Tapi, tenagaku selalu kalah besar. Mas Bram seenak sendiri melampiaskan keinginannya meski aku sudah bersiap untuk bekerja. Tidak ada kata nanti saat lelaki itu menginginkan hasratnya terpenuhi.

"Jangan pulang telat. Aku gak mau orang-orang bergosip lebih banyak. Sudah gagal jadi lurah, katanya bangkrut sekarang istrinya hobi ngelayap pulang sore apa malam. Reputasiku harus terus dijaga," ujar Mas Bram sambil memakai kembali celananya yang teronggok di lantai.

Aku tak menjawab. Aku membuang muka seraya mengusir sesak yang mulai mendera. 

Sampai kapan kau begini Gita? Sampai rambutmu memutih? 

"Dompetmu mana?" tanya Mas Bram setelah memastikan penampilannya sudah rapi.

"Apalagi sekarang?" tanyaku kesal.

"Minta jatah lah. Kamu yang pegawai negri ya kamu yang harusnya ngasih uang. Duitku sudah habis buat nutup beberapa utang."

"Ini masih tengah bulan, Mas. Uangku juga mulai menipis."

"Bodo amat. Aku minta seratus ribu buat beli rokok." Mas Bram meraih tas kerjaku yang kebetulan ada di atas meja rias dan berada lebih dekat dengan jangkauannya.

"Jangan, Mas. Itu buat beli persediaan beras. Uang dapur juga sudah kurang karena kamu tidak pernah kasih uang," elakku berusaha menyambar tas itu tapi kalah cepat dengan tangan Mas Bram.

"Halah besok ya kamu gajian lagi dari sertifikasi, kan. Minta seratus aja," ucapnya sambil mengambil lembaran merah itu tanpa beban. Dia tak menghiraukan ketidaksukaanku.

"Jangan manyun Gita sayang, kamu tidak cantik kalau seperti itu. Kerja yang rajin ya. Buruan siap-siap biar kamu gak terlambat," ucapnya seraya berlalu.

Demi tuhan aku membencinya. Jika dulu aku sangat mencintainya tidak untuk sekarang. Bagaimanapun caranya aku akan berusaha. Aku harus lepas dari laki-laki penghisap darah itu. Laki-laki yang tidak bertanggung jawab dan terus-terusan membuatku tersiksa.

Segera aku kumpulkan energi untuk melawan rasa sakit ini. Aku harus bekerja, aku harus tetap datang ke sekolah. Jika hari ini izin hanya akan mempersulit keadaan. Maka kusempatkan diri untuk mandi lagi seraya mengulang apa yang sudah kulakukan pagi tadi.

Motor hasil bekerja saat masih jadi honorer aku keluarkan. Dan sialnya tepat di samping rumah aku harus bertemu dengan Mbak Norma.

"Jam segini baru mau berangkat? Enak banget ya jadi PNS bisa telat kayak gitu. Kerja siang, pulang santai seenak sendiri tapi gajian," ucap Mbak Norma kakak iparku. 

Sebenarnya aku malas menangggapi karena perangai Mbak Norma tak kalah menyebalkannya dengan Mas Bram. Dia bahkan kerap menyiram bensin saat aku dan Mas Bram terlibat cekcok.

"Iya, Mbak. Kebetulan kesiangan."

"Dari dulu kesiangan terus. Dari jaman masih serumah sama mertua sampe sekarang udah misah tetep aja. Pantes Bram gak ada yang milih orang istrinya pemalas begitu."

Sumpah ingin kusumpal mulut Mbak Norma yang suka seenak sendiri. Tapi aku harus menahan diri. Aku harus bekerja. Satu-satunya hal yang membuatku berdaya dan diakui untuk saat ini.

"Aku berangkat, ya Mbak," ujarku seraya menaiki motor kesayangan berusaha untuk tidak terpancing.

"Lagak pamitan biasanya juga main kabur saja."

Astagfirullah, sabar Gita, sabar. Kamu tidak boleh terpancing. Kamu harus selalu sabar biar semuanya bisa cepat kelar. Tanpa memikirkan respon dari Mbak Norma aku memilih pergi. 

Nasib buruk memang punya suami yang kerap membela keluarganya. Bahkan saat aku meminta akan membangun rumah, Mas Bram menyarankan agar kami membangun di tanah yang bersebelahan dan hanya berjarak satu pintu saja dengan rumah ibunya. Semua tabunganku habis untuk memenuhi standar rumah ala Mas Bram yang sejatinya tidak sesuai dengan keinginanku. Tapi aku tidak bisa melawan karena aku dibutakan oleh cinta. 

Motor kesayangan kuparkir begitu sampai di sekolah yang kebetulan berbeda kecamatan tapi tidak terlalu jauh. Aku harus bergegas agar rekap presensiku tidak buruk sayangnya seseorang mencegahku.

“Pak Tio,” ujarku cukup terkejut.

“Maaf Mbak Gita ini mendesak,” ucap Pak Tio yang juga rekan kerjaku dan teman sekolah Mas Bram.

“Ya bagaimana, Pak?” tanyaku sambil melirik jam tangan.

“Sebelumnya mohon maaf, Mbak Gita. Sebenarnya saya tidak enak mau menyampaikan tapi saya butuh banget, Mbak. Apalagi ini sudah mau akhir bulan.”

Perasaanku mulai tidak enak. “Maksud Pak Tio bagaimana, ya? Saya tidak paham.”

“Anu Mbak, Bram dua bulan lalu minjam uang ke saya lima ratus ribu katanya mau dibayar awal bulan ini. Tapi sampai sekarang belum ngasih. Tadi saya ketemu sama Bram katanya uangnya udah dititipin Mbak Gita. Apa Mbak Gita lupa?”

Dua bulan lalu? Uang? Yang benar saja?

“Maaf ini loh, Mbak. Saya butuh banget mendesak. Kalau bisa uangnya mau saya ambil sekarang.”

“Sebentar, Pak. Mas Bram bilang uangnya ada di saya?”

Pak Tio mengangguk. Beliau menunjukkan chat terakhir Mas Bram di ponselnya.

[Minta saja ke Gita udah aku kasih. Kalau enggak dia kasih berarti uangnya dia tilep. Kalau perlu kasih tau ke semua warga sekolah kalau Gita gak ngasih uang yang aku titipin.]

Saat itu juga aku ingin mengumpat sejadinya tapi aku tidak bisa melakukannya. 

“Saya minta sekarang ya, Mbak,” ujar Pak Tio seraya mengangsurkan tangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status