Share

3. Diri Sendiri

Dari semua hal yang kualami, masih ada yang aku syukuri. Aku bukan perempuan yang datang ke tempat Mas Bram tanpa modal. Ya, aku memang tidak memiliki keluarga tapi setidaknya aku memiliki pekerjaan. Sebuah keberuntungan dan berkah tersendiri bagiku. Maka aku tak ambil pusing saat Nur menjawab dia ada di salah satu hotel di kabupaten. Aku akan menyambanginya. Meski membutuhkan waktu tempuh selama satu jam.

“Gila. Aku pikir gak serius, Git,” ucap Nur saat melihatku ada di depan pintu kamar yang ia pesan.

“Aku tidak punya tempat, Nur. Kamu tau sendiri aku gak ada keluarga di sini.”

“Iya ngerti tapi ini hari rabu loh. Kamu besok kan ngajar.”

Aku melambaikan tangan. Lebih dulu merebahkan diri di kasur empuk di kamar itu. “Bodo amat. Aku mau kabur malam ini.”

Nur pun terperanjat. Dia ikut naik ke ranjang dengan posisi duduk. “Seorang Gita Sandika yang taatnya luar biasa sama suami dan ibu mertua?”

Lagi aku mengibaskan tangan. “Aku udah gak kuat, Nur. Aku lama-lama bisa gila kalau terus-terusan di sana.”

Nur menggeleng. Dia cukup tahu kisahku karena satu-satunya orang di desa yang akrab denganku hanya dia. Sayangnya, Nur pindah saat dia memutuskan menikah lagi dengan salah satu juragan di kabupaten.

“Kamu mantep, Git?”

Aku mengangguk untuk kemudian duduk bersila di atas ranjang. Menghadap langsung ke sahabatku. “Cuma aku punya banyak masalah.”

Kening Nur berkerut. “Maksudmu?”

“Kamu tau aku habis bangun rumah kan? Tau itu bangunnya pake uang siapa?”

“Uangmu lah siapa lagi.”

Aku mengangguk-ngangguk. “Sayangnya itu rumah ada di tanah mertua dan belum ada sertifikat rumahnya,” ujarku. Selama ini aku belum sempat mengurus karena terlalu sibuk dengan banyak hal.

“Terus?”

“Aku pengen pisah. Aku pengen pergi dari rumah itu tapi aku gak mau nanggung utang sendiri. Aku pengennya Mas Bram sama keluarganya juga mikir buat ngelunasin utang itu.”

Nur menggeleng. Dia keheranan dengan ideku yang tiba-tiba datang minta pisah tapi juga memikirkan harta. Mungkin seperti itu. “Kamu mau mulai dari mana?”

Aku mengangkat bahu. “Sayangnya aku gak tau, Nur.”

Nur pun terkekeh. “Gita, Gita dari dulu aku bilangin jangan buta sama cinta gak percaya. Gini kan ujungnya.”

Aku mengangguk setuju. Sekarang aku menyesal karena sudah menghabiskan tabungan dan menambah beban utang. Sungguh hal yang tidak kupikirkan dengan matang sebelumnya.

Nur turun dari ranjang. Dia yang akan bersiap mandi itu mengikat rambut panjangnya. Dia mulai duduk di depan meja rias dan memoles wajahnya dengan kapas.

“Kamu mau mandi ngapain pake make up, Nur?” tanyaku heran. Biasanya saat akan mandi aku hanya menyambar handuk.

“Inih maksudmu?” tanya Nur seraya mengangkat tinggi sebuah botol berukuran sedang.

“Iya.”

“Ini make up remover, Gita. Dipakainya sebelum mandi biar wajah tambah bersih.”

“Ribet amat,” ketusku sambil ikut turun dari ranjang. Seharian mengenakan baju dan kerudung yang sama. Aku berniat melepasnya. Minimal kerudung sebelum nanti mandi.

Nur menggeleng sambil melanjutkan aktivitasnya. “Gini nih kalau kodrat seorang istri yang harusnya jadi tulang rusuk malah beralih jadi tulang punggung. Ya mana tau soal per make upan,” kelakar Nur dengan gaya khasnya.

“Kamu nyindir, Nur?”

“Kamu nggak ngerasa?” tanya Nur seraya menoleh ke arahku. 

Aku pun tertunduk. Diam di tepian ranjang. Benar katanya selama ini aku bahkan menjadi tulang punggung. Selama hampir delapan tahun membina rumah tangga dengan Mas Bram.

“Eh, eh kenapa?” tanya Nur yang menyadari sikapku berubah.

“Sebulan suamimu kasih berapa, Nur?”

“Suamiku?” 

Aku mengangguk. Aku ingin mencari tahu untuk meyakinkan perasaanku.

“Nggak etis nyebutin angka, Git. Yang pasti uang dapur, belanja dan kebutuhan pribadi sudah ada pos masing-masing. Gak kecampur dan alhamdulillah cukup.”

“Setiap bulan?”

Nur mengangguk. “Termasuk perlengkapan ini,” ujarnya menunjuk satu set skincare yang dia bawa.

“Pantas wajahmu bersih dan cantik begitu Nur sekarang. Kamu perawatan juga?”

Nur kembali melanjutkan aktivitasnya di depan cermin. “Umumnya istri ya begini, Git. Emangnya kamu yang pake lipstik aja kagak. Yang padahal tiap bulan punya gaji tapi habis buat suami sama keluarganya?”

Kata-kata Nur semuanya benar. Itu adalah fakta yang aku alami selama ini. Tapi rasanya diingatkan oleh orang terdekat membuat hatiku nyeri.

“Ya ampun, Git kamu nangis? Kamu tersinggung?” tanya Nur panik. Dia segera mendekat.

Aku menggeleng. Aku tidak tersinggung aku hanya sedang merasa kalau apa yang diucapkan sahabatku adalah kenyataan pahit yang harus kujalani. 

“Lah terus kenapa?”

“Kamu bener, Nur. Kamu bener. Aku gajian tapi aku gak bisa menikmatinya. Beli gincu aja jarang. Tiap mau dandan Mas Bram marah sama curiga. Kalau aku punya baju apa kerudung bagus pasti diambil sama ibu mertuaku apa Mbak Norma. Aku gak pernah mikirin diri sendiri. Aku bodoh banget.”

Nur mengusap lenganku. Dia turut prihatin dengan apa yang kualami. “Ini momen yang tepat, Git. Lakukan apa yang seharusnya kamu lakukan. Jangan mau terus terusan dibodohi.”

Mulai sore ini aku berjanji akan mengumpulkan semua keberanian untuk melawan mereka. Aku tidak boleh terus-terusan diinjak.

“Kapanpun kamu butuh bantuan aku siap, Git. Kalau emang kamu mau ke pengadilan aku tau tata caranya karena aku pernah ngalamin. Yang pasti gak mudah tapi perlu dicoba.”

“Iya, Nur. Makasih.”

Dering ponsel dari tasku membuat fokus kami terpecah. Aku tidak langsung mengambilnya karena aku yakin itu dari Mas Bram. Sekarang sudah mau lewat waktu maghrib, pasti Mas Bram sedang kelabakan mengingat aku tidak di rumah. Dalam waktu delapan tahun ini pertama kalinya aku kabur. Ya, kabur dalam arti yang sebenarnya.

“Tidak kamu cek dulu?”

Aku menggeleng. “Aku sedang malas diganggu.”

“Apa kamu mau nyoba berenang, Git?”

“Berenang?” tanyaku heran. Mana ada berenang menjelang malam pikirku. 

Nur mengangguk mantap. “Kita ke kolam aja sekalian nyantai.”

“Aku gak bawa ganti, Nur. Gak ada baju renang juga.”

“Nanti kita sewa. Aku carikan yang hijab deh.”

“Beneran?”

Nur mengangguk lagi. “Cus ayo!”

Maka ini juga salah satu ide gila yang aku ambil. Sejenak menepi dari peliknya masalah hidup memang perlu dicoba. Sesekali menyenangkan diri tanpa memikirkan orang lain adalah hal yang seharusnya dilakukan. Dorongan itu tiba-tiba muncul. Aku merasa antusias.

“Sudah waktunya, Git kamu meluangkan waktu untuk mengurus dirimu. Kamu berhak untuk itu semua,” ujar Nur begitu kami sampai di kolam yang cukup privat itu.

Aku mengangguk-angguk. Segera menenggelamkan kepala ke air untuk menikmati semua. Gita Sandika-kamu tidak salah. Kamu tidak pantas menanggung semua. Kekalahan suamimu di pilkades bukan karenamu. Mas Bram memang tidak layak jadi pemimpin. Dan keinginanmu untuk berpisah juga bukan sebuah dosa. Selama ini kamu merasakannya. Bagaimana penghinaan itu terus terjadi baik dari suami, mertua dan iparmu sendiri. Saatnya menolong dirimu sendiri, Git. Lakukan dan beranikan diri untuk terlepas dari belenggu ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status