Share

Bab 5

Author: Alita novel
last update Last Updated: 2024-04-13 16:10:04

Kedua orang itu terus menggedor pintu rumah Ibu mertua. Hingga membuat para tetangga juga keluar dari rumah mereka. Aku kembali masuk ke dalam untuk mencari Mas Aksa. Tapi, tidak bisa menemukan keberadaannya di rumah ini. Mungkinkah dia sudah berada di rumah Ibunya sejak tadi? Kakiku kembali melangkah menuju pintu depan. Sudah ada Pak RT yang bertanya alasan kedua orang itu menggedor rumah mertuaku sepagi ini. Sampai mengganggu ketenangan warga sekitar.

Dapat aku dengar salah satu pria itu sudah bicara jika Ibu punya hutang dua puluh juta pada rentenir. Dengan bunga yang sudah berlipat ganda karena jarang di bayar. Pak RT kemudian memanggil nama Ibu agar membuka pintu. Tidak lama kemudian wajah Mas Aksa sudah muncul dari rumah itu. Ternyata benar jika dia sudah lebih dulu datang ke rumah Ibunya. Mungkin masuk lewat pintu belakang karena kedatangan dua rentenir itu.

Tanpa mempedulikan keributan yang terjadi, aku masuk ke dalam rumah. Membangunkan anak-anak untuk sholat subuh. Memandikan mereka. Lalu menyiapkan sarapan. Sengaja aku hanya memasak untuk kami bertiga. Aku masih sangat marah pada Mas Aksa karena memaksaku untuk membayar biaya pernikahan adiknya. Apalagi dia juga sempat mencuri perhiasan emasku dua hari lalu. Belum lagi tamparan yang ia berikan kemarin malam. Membuatku semakin muak padanya.

Jam setengah tujuh tepat, aku sudah mengantarkan anak-anak ke sekolah dengan menaiki motor. Kedua pria itu dan perangkat desa yang lain terlihat berada di sekitar rumah Ibu. Mobil Mas Aksa juga masih terparkir di depan rumah kami. Mobil yang di cicil dengan menggunakan uangku. Tapi, aku dan anak-anak jarang menaikinya. Terlihat beberapa barang yang sudah di keluarkan. Kenapa perasaanku jadi tidak enak ya? Aku segera menggelengkan kepala agar tidak berpikir ke arah yang negatif.

Setelah mengantar anak-anak ke sekolah, aku pulang lagi ke rumah. Memasak untuk menu makan siang dan bekal yang akan di bawa ke warung nanti. Mencuci piring dan peralatan memasak yang lain. Menjemur pakaian yang sudah di keringkan dengan mesin cuci. Semua pekerjaan rumah tangga itu akhirnya selesai juga tepat jam sembilan pagi. Saatnya untuk menjemput anak-anak dari sekolah mereka.

“Kamu masukin dulu koper Ibu ke dalam kamarnya anak-anak,” kata Ibu dari ruang tengah. Segera kumasukan bekal ke dalam tas lalu berjalan ke ruang tengah.

“Apa yang kalian lakukan?” tanyaku heran melihat banyak barang Ibu yang menumpuk di rumah ini.

“Mulai sekarang Ibu dan kedua adikku akan tinggal di rumah ini Nia. Rumah Ibu sudah di ambil rentenir karena tidak mampu bayar.” Jelas Mas Aksa tidak berani memandangku.

Dia jelas tahu jika pembayaran rumah ini menggunakan uangku. Walaupun kelak sertifikat rumah akan menggunakan namanya. Aku sudah banyak bersabar dengan memberi keluarganya uang. Asal Ibu mertua dan kedua adik iparku bisa tetap tinggal di rumah mereka sendiri. Satu-satunya harta berharga setelah Ibu mengalami banyak kerugian karena di tipu.

Sekarang mereka ingin satu rumah denganku? Membayangkan akan jadi pembantu untuk mertua dan ipar sudah membuatku uring-uringan. Kutatap mata Mas Aksa tajam saat pandangan kami bertemu. Dia nekat membawa keluarganya untuk tinggal di rumah ini. Padahal kami hanya punya tiga kamar. Satu kamar utama dan satu kamar lagi di gunakan untuk anak-anak. Sedangkan kamar lain masih kosong. Paling hanya menyimpan barang bekas yang kemudian aku jual kembali. Jika Ibu dan kedua adik Mas Aksa tinggal di rumah ini, maka anak-anak harus tidur bersama kami. Membuat ruang kamar jadi semakin sempit.

“Kenapa kamu hanya berdiri disana Nia. Cepat bantu Aksa untuk membereskan barang-barang ini. Kedua adikmu tidak bisa ikut karena harus bekerja di toko.” Perintah Ibu seenaknya lalu duduk di sofa sambil menonton TV.

“Aku juga tidak bisa karena harus menjemput anak-anak di sekolah,” jawabku ketus membuat Ibu mendelik kesal. Pandanganku lalu beralih pada Mas Aksa yang masih berdiri di tempatnya.

“Oh iya Mas. Hari ini aku dan anak-anak akan langsung pergi ke warung. Aku harus mencuci bahan makanan untuk nanti sore. Agar pekerjaan tidak menumpuk. Saat pulang nanti malam, aku harap rumah dalam keadaan rapi. Termasuk dengan tempat tidur anak-anak yang di pindahkan ke kamar kita.” Perintahku tidak mau di bantah.

“Tapi, Dan_”

“Dasar istri kurang ajar. Yang seharusnya mengurus semua barang ini itu kamu. Bukan Aksa,” bela Ibu tidak terima. Ia sudah memarahiku sebelum Mas Aksa selesai bicara.

“Aku memang istri kurang ajar. Karena aku yang memenuhi kebutuhan hidup kalian Bu. Rumah dan mobil juga di bayar dengan menggunakan uangku. Padahal dulu Ibu sempat menghina usahaku. Kalau aku lebih memilih untuk membereskan barang-barang kalian yang tidak berguna, aku tidak akan bisa bekerja. Memang Ibu mau makan pakai apa kalau aku tidak bekerja. Gaji Mas Aksa hanya cukup untuk foya-foya,” jawabku yang membuat Ibu sudah berdiri. Matanya menatapku nyalang.

“Sudahlah Dania. Jangan membuat masalah. Kamu bisa pergi sekarang,” bentak Mas Aksa kesal.

Ia sudah berlalu lalang memindahkan barang anak-anak menuju kamar kami. Aku tersenyum sinis pada Ibu lalu berjalan menuju dapur. Tanganku dengan cepat mengambil makanan yang sempat terhidang di bawah tutup saji. Mengemasnya ke dalam wadah makanan. Bekas piring segera kucuci agar mereka tidak curiga. Toh Mas Aksa tidak hapal jamku memasak dan beres-beres rumah. Dia hanya sibuk bermain game saat hari libur.

Kumasukan wadah makanan ke dalam jok motor yang besar. Mengendarai kendaraan ini menuju sekolah si kembar. Menjemput anak-anak yang sudah menunggu di wahana permainan tk. Mereka berseru senang saat melihatku. Mawar naik di jok belakang. Sedangkan Melati duduk di depan. Karena body motor ini besar, jadi anak bisa duduk dengan nyaman di bawah.

“Kita nggak pulang ke rumah dulu Bu?” tanya Mawar heran melihat arah jalan kami yang menuju warung. Anak-anak memang sudah hafal di luar kepala tentang jadwalku dalam bekerja. Sedangkan Melati hanya diam saja sejak tadi. Memperhatikan pemandangan jalan.

“Iya sayang. Hari ini Ibu agak sibuk di warung. Jadi kita langsung pergi kesana sekarang.”

“Horeee.” Sorak Mawar dan Melati senang.

Anak-anakku memang lebih senang menghabiskan waktu di warung daripada di rumah kami sendiri. Itu semua karena Ibu yang suka seenaknya masuk ke dalam rumah. Mengomeli kedua buah hatiku yang suka bercerita. Dan masih banyak sikap Ibu yang membuat Mawar dan Melati terluka.

***

Aku tidak tahu pasti alasan Ibu meminjam uang sampai rumahnya di sita. Bahkan nominal yang aku dengar tadi hanya dua puluh juta. Atau mungkin lebih? Entahlah. Yang aku tahu pasti sejak dulu Ibu suka meminjam uang. Bahkan nama Ibu sudah masuk dalam daftar hitam bank besar. Sehingga membuat keluarga Mas Aksa jatuh miskin selepas Bapaknya meninggal dunia.

Dari cerita para tetangga yang sudah lama tinggal di desa ini, Bapak Mas Aksa dulu punya sawah yang luas. Cukup untuk menyekolahkan ketiga anaknya hingga jenjang SMA. Bahkan juga cukup untuk membiayai kuliah Mas Aksa. Hanya saja setelah Bapaknya meninggal setelah ia lulus kuliah, kedua adiknya memilih untuk bekerja begitu tamat SMA.

Ibu yang terbiasa hidup enak berkat suaminya mendadak butuh uang. Cara paling cepat yang bisa beliau lakukan adalah dengan berhutang. Membuat sawah yang sangat luas harus terjual demi membayar hutang. Sejak Mas Aksa bekerja, otomatis dia yang menjadi tulang punggung keluarga. Sedangkan kedua adiknya bebas menggunakan uang mereka.

“Ibu nggak turun ke bawah?” tanya Melati membuyarkan lamunanku.

Saat ini kami tengah berada di lantai dua ruko. Sengaja aku memilih tempat ini sebagai warung agar anak-anak bisa nyaman saat ikut aku bekerja. Sudah ada kasur dan TV di ruko ini. Barang-barang yang aku beli tanpa sepengetahuan Mas Aksa. Karena dia tidak pernah tertarik untuk mengunjungi ruko ini hingga naik ke lantai dua. Paling kalau datang hanya untuk meminta uang lalu langsung pergi.

“Setelah sholat dhuhur sayang. Kalian mau makan di atas atau di bawah?” tawarku mengalihkan perhatian mereka.

“Di bawah saja Bu,” ucap Mawar dan Melati kompak. Mereka memang senang melihat para pembeli yang berdatangan.

Jarum jam terus berputar hingga menunjukkan waktu setengah tujuh malam. Anak-anak sibuk bermain di lantai dua. Aku sibuk melayani para pembeli yang kebanyakan memesan kebab. Dengan beberapa pesanan burger dan sosis. Bersama dua karyawan lain untuk shift malam.

“Saya nggak mau bayar. Inikan warungnya menantuku. Biasanya juga kalau ambil makanan selalu gratis,” seru Ibu nyaring hingga membuat perhatian semua orang tertuju padanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 90

    Aku masih diam. Kaget karena lamunan yang tiba-tiba buyar. Tubuhku gemetar dengan pikiran kosong. Melihatku yang masih saja, Mas Aksa menuntunku duduk di sofa. Dia membawa teh hangat dan mengambil pisang rebus dari dandang lalu menyajikannya di meja. Wajah Mas Aksa tampak sangat khawatir melihatku yang masih diam sejak tadi. Pikiranku buntu. Aku menghela nafas berulang kali agar lebih tenang. Tanpa sadar tangisku sudah pecah. Mas Aksa membawa tubuh ini dalam pelukan. Harum parfum yang masih menempel di bajunya membuatku tenang. Baru kali ini Mas Aksa memperlakukanku selembut ini. Tidak pernah terbayang akan mendapat pelukannya setelah lima tahun pernikahan yang menyiksa. Keputusan untuk rujuk yang kulakukan demi anak-anak justru membawa hubungan kami menjadi lebih dekat lagi.“Aku minta maaf jika ada salah padamu.” Tangan besarnya mengusap punggungku lembut. Getar suaranya sangat terasa dalam setiap gerakan tangannya. Aku menggeleng. Ini semua bukan salahnya. Berusaha meredam tangisan

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 89

    Malam semakin larut. Kami sudah selesai makan malam bersama. Setelah bicara dengan Mas Aksa, Ibu akhirnya mau menginap di rumah ini bersama Rosi dan Syntia. Walaupun besok pagi harus bangun pagi sekali untuk pulang agar bisa jualan di rumah. Alhamdulillah dari berjualan Ibu punya uang yang lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Penghasilan Rosi dan Syntia juga membantu. Sehingga uang dari Mas Aksa bisa ditabung untuk biaya persalinan Rosi kelak. Semuanya akan terasa cukup jika tidak berfoya-foya. "Besok libur jualan saja dulu Bu," kata Mas Aksa begitu kami pindah ke ruang tengah. Aku masih sibuk mencuci piring dibantu Rosi dan Syntia. Rani sudah kembali ke rumahnya sebelum adzan maghrib berkumandang. Memastikan jika keluarganya juga aman di rumah. "Kalau libur pelanggan Ibu jadi pergi Sa. Ibu sudah tidak sakit lagi. Saat badan masih sehati, lebih enak dibuat bekerja. Lagipula setelah jualan, badan Ibu jadi lebih segar karena terus bergerak." "Jualan Ibu sudah mulai habis?

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 88

    Kami turun ke lantai satu bersama setelah mengambil wudhu. Salat berjamaah di musola. Selain Rani, Bapak dan anak-anak, hanya Rosi yang ikut karena Ibu dan Syntia masih tertidur. Kami memutuskan membiarkan mereka tidur sebentar lagi sampai setengah jam ke depan. Setelah salat ashar, anak-anak sudah mengajak Mas Aksa untuk melihat tanaman mereka.“Besok kita jadi beli tanaman baru Yah?” tanya Mawar bersemangat.“Jadi dong.”“Aku dan Mawar juga mau beli pakai uang tabungan kita sendiri Yah.” Melati sudah memekik senang memikirkan ide itu. Aku hanya bisa menggeleng mendengar ocehan anak-anak yang sangat bersemangat setiap kali bermain dengan ayah mereka. Pandanganku sempat teralih sebentar ke teras.Melihat Bapak bersantai di teras samping melihat menantu dan kedua cucunya. Rosi yang kembali masuk kamar, Rani duduk di sofa ruang tengah untuk mengetik novel dengan tangan lain yang kadang memegang ponsel lain yang menampilkan rekaman kamera CCTV di rumahnya. Agar bisa tetap memantau keadaa

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 87

    Usai cairan infus Ibu sudah habis, kami pulang ke rumah dua lantai untuk sementara waktu agar bisa memantai keadaan Ibu yang belum sepenuhnya pulih. Ibu dan Syntia menatap bingung saat mobil sudah berhenti di depan pagar. Ibu terlihat tidak enak, tetapi tidak bicara apapun. Aku menekan bel agar Rani membukakan pagar. Tidak lama kemudian gadis itu sudah keluar. Saat pagar terbuka, mobil pegawai Hanin masuk. Aku berjalan mengikuti di belakang. “Kamu turun dulu Don. Pasti capek nunggu kita seharian ini,” ucapku pada pegawai Hanin yang siang ini bertugas sebagai sopir dadakan kami. Aku memang sudah mengenal beberapa pegawai Hanin yang sudah lama bekerja dengannya. Salah satunya adalah Doni. Karena Doni sering menemani Hanin jika ada pekerjaan di luar. Dia juga sudah di angkat sebagai manajer toko dan memegang semua pekerjaan saat Hanin sibuk menyelesaikan pekerjaannya sebagai programmer. “Terima kasih Mbak. Maaf merepotkan.” Meski bicara seperti itu, Doni tetap terkekeh pelan. “Nggak

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 86

    “Apa maksud kalian? Adik saya sudah berpisah dari suaminya sejak sebulan lalu. Dia sudah tidak ada tanggung jawab atas semua hutang yang ditinggalkan Varo. Apa buktinya jika adik saya juga terlibat?” kata Mas Aksa menengahi. Dia berhasil meredam emosi berkat Pak RT yang memanggil Limas agar kedua rentenir itu tidak melanjutkan keributan. Suasana ruang tamu benar-benar kacau. Tidak hanya keluarga dan dua preman itu, banyak tetangga yang melihat dari luar sehingga ruang tamu terasa sesak. Aku tidak lagi mendengar apa saja yang mereka bicarakan karena sudah membawa Ibu ke kamar. Membaringkan beliau di tempat tidur, melepas sandalnya lalu menaikan selimut. Wajah Ibu tampak kesakitan. Ia terus memegang pinggul sebelah kanan sejak tadi. Tubuhnya juga terasa dingin dengan keringat yang tampak di dahi dan seluruh tubuh. Erangan kesakitan Ibu sudah tidak terdengar separah tadi saat aku baru saja datang. Hanya wajahnya yang masih tampak pucat. Aku berjongkok agar bisa sejajar dengan Ibu. “A

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 85

    Rasanya seperti kembali saat kami masih pacaran. Pergi bedua hanya untuk ke minimarket sambil bergandengan tangan. Melibat banyak orang yang juga datang bersama pasangan masing-masing sambil bergandengan tangan seperti kami. Membuat tidak banyak orang yang mengamati kami. Bedanya dulu aku dan Mas Aksa hanya akan berjalan bersisian karena tidak mau bergandengan tangan dengannya sebelum menikah. Sekarang kami menunjukkan kemesraan di depan umum. Setelah belanja di minimarket aku memesan taksi online lagi. Kami menunggu di parkiran. Mas Aksa menenteng satu kantung plastik besar di tangan kanan dan tangan kiri menggenggam tanganku. Banyak orang yang melihat dengan beragam pandangan. Ada yang tersenyum melihat kemesraan kami. Ada juga yang menggeleng dengan wajah jengah. Seolah sudah sering melihat pemandangan serupa. Ada juga yang merengut sebal."Maaf aku belum bisa menjadi kepala keluarga yang baik. Doakan rejekiku lancar ya agar bisa membelikan barang apapun yang kau mau." Tiba-tiba s

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 84

    Kami pergi ke rumah Pak RT bersama. Bapak di rumah bersama anak-anak. Aku memastikan Bapak mengunci pagar dari dalam lalu keluar. Tidak lupa kuingatkan Bapak untuk mengunci semua pintu di rumah termasuk menambahkan gembok. Walau dengan perasaan tidak nyam, kami tetap harus pergi ke rumah Pak RT. Di rumah Pak RT, Varo diikat dengan tali tambang dan mulut yang ditutup serbet. Melihat kedatanganku, mata pria itu melotot tajam. Salah satu warga lalu melepas serbet yang menutup mulutnya agar dia bisa bicara saat di interogasi. Setelah penutup mulutnya terlepas, Varo justru terdiam. Dia tidak lagi mengerang seperti tadi.“Kenapa anda berusaha masuk ke rumah Bu Nia dengan membawa pisau kecil? Anda tahu itu termasuk tindak kejahatan yang bisa membuat anda dijebloskan ke penjara?” tanya Pak RT langsung pada intinya. Varo tidak menjawab apapun. Dia hanya menunduk. Entah kenapa sekarang dia justru diam. Padahal sosok Varo yang kukenal tidak seperti ini.“Tindakan anda bisa dikatakan sebagai aksi

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 83

    Pekerjaan hari ini tidak banyak setelah aku dan Rani pulang dari sekolah bersama anak-anak. Bapak yang tengah menonton TV hanya menyapa kami lalu bermain bersama kedua cucunya seperti biasa. "Bagaimana sekolah hari ini?" tanya Bapak lembut seperti saat aku masih kecil dulu. Kenangan indah yang hampir saja terlupakan setelah puluhan tahun berlalu. "Seru Kung," jawab Mawar dan Melati pendek. Tidak pernah tertarik jika ditanya tentang sekolah. Justru mereka susah meletakan tas di sofa lalu menarik tangan Bapak untuk pergi ke kamar beliau mengambil mainan mereka. Aku membawa tas anak-anak naik ke lantau dua. Membiarkan anak-anak bersama Rani dan Bapak lalu turun ke bawah. Bapak tidak menceritakan masalah apapun. Berarti tidak ada orang yang mencoba bertamu karena tadi pagi aku melihat Ana yang mengintai rumah ini. Aku duduk di sofa ruang tengah untuk menonton TV yang seperti biasa menayangkan kartun kesukaan anak-anak. Walaupun tidak ditonton karena mereka sibuk bermain kartu bergamba

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 82

    “Ada yang mau aku bicarakan denganmu Mas,” ucapku begitu kami masuk kamar usai melaksanakan salat subuh berjamaah. Waktu kami tidak banyak karena anak-anak sudah mengajak ayah mereka untuk menyiram bunga bersama dengan Bapak. Mungkin kami hanya bisa bicara di kamar untuk beberapa hari ke depan. Selama Mawar dan Melati masih ingin menikmati waktu dengan ayah mereka sepenuhnya, tidak akan ada waktu berdua untuk kami. “Ada apa Nia?” tanya Mas Aksa lembut. Dia mencatolkan kemeja dan sarung lalu meletakan kopiah di dalam nakas. Padahal dulu Mas Aksa adalah tipe orang yang berantakan. Dia akan menyuruhku mencatolkan baju yang diletakan begitu saja di atas tempat tidur. Tidak lupa Mas Aksa berganti baju dengan memakai kaos oblong berwarna hitam dan celana pendek. Pakaian bersantai yang sudah ia pakai sejak lama. Mas Aksa lalu duduk disampingku. Dari jarak sedekat ini aku bisa mencium aroma parfumnya yang tidak berubah. Sungguh wajah Mas Aksa terlihat berkal-kali lipat lebih keren saat dia

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status