Seperti kemarin, hari ini pun Tere harus duduk diam di sofa sambil memainkan ponselnya. Tidak ada yang menarik untuknya, tapi dia hanya diam saja. Hari-harinya sangat melelahkan sekali karena terasa hampa.Tujuan hidup tidak ada, menjalani dengan kehampaan dan hidup dengan orang yang tidak dia inginkan.Menyedihkan.Tere sudah putus asa, menurutnya tak ada lagi cahaya kebahagiaan untuk dirinya selamanya akan terkurung seperti ini. "Selamat pagi, Bos." Zidan pun menatap arah pintu dimana ada Reza di sana. Begitu juga dengan Tere. Reza yang memilih aman pun tidak menatap Tere sama sekali. Dia hanya fokus menatap sang Bos. Tapi Zidan yang sejenak berpikir keras jika mungkin Tere masih memiliki perasaan pada Reza. Tidak bisa dibiarkan.Reza pernah dicintai oleh Tere? Dia juga harus bisa, jika tidak hingga harga dirinya dihadapan Reza. "Bos, saya hanya ingin melaporkan tentang rumah nyonya Miska," kata Reza yang mengutarakan tujuannya. Tere yang semula sudah kembali m
Benar saja saat malam harinya Zidan tidur di kamar, bahkan dia tidur lebih awal dengan alasan lelah. Padahal Tere ingin tidur dengan Wina. "Ma, Tere tidur di kamar tamu aja ya," pintanya pada Wina. "Kok di kamar tamu?" Tere tidak bisa mengungkapkan bahwa dirinya takut tidur satu ranjang dengan Zidan, dia takut peristiwa itu terulang lagi. Dia takut jika hamil lagi. "Sekarang kamu tidur sana, sebenarnya Papa sedang sakit. Jadi, Mama juga was-was jika tidak menjaganya," terang Wina. Tere pun merasa tidak enak hati mendengar ucapan Wina. "Ya udah, Mama balik ke kamar aja, Tere minta maaf ya, Ma." "Tidak perlu minta maaf, ingat! Kamu anak Mama." Tere pun mengangguk, dia sangat menyayangi Wina. Setelah Wina pergi kini dia pun menatap ranjang dimana ada Zidan di sana. Kemudian dia pun memilih untuk duduk di sisi lain. Dia masih menimbang-nimbang tidur di samping Zidan atau tidak. Sedangkan sofa sudah dipindahkan. Hingga Sesaat kemudian Zidan pun bangun, dia duduk
"Kita kembali ke kantor ya?" kata Zidan dengan penuh harap. Tere pun menatapnya dengan tatapan nanar, dia ingin di rumah saja tapi bisakah Zidan mengerti. "Yuk," Zidan pun segera meraih tangannya agar segera pergi. "Aku di sini aja, pengen istirahat," Tere pun mencoba untuk menolak. "Ayolah, temani Mas ya," Zidan sedikit memaksa karena tidak bisa meninggalkan Tere sendiri. Mungkin di rumah tersebut ada banyak orang, tapi pasti Tere lebih memilih untuk berada di kamar dan sudah pasti dia hanya sendiri. Zidan takut Tere mencoba mengakhiri hidupnya lagi, Tere sudah putus asa. Jalan hidupnya seperti buntu, dia benar-benar tidak ingin melanjutkan hidupnya lagi. Sudah berulangkali dia mencoba untuk mengakhiri hidupnya tapi masih bisa dicegah. "Ayo," kata Zidan lagi yang tidak bisa mengambil resiko. Dengan terpaksa Tere pun kembali mengikuti Zidan, meskipun rasanya sangat lelah. Dimobil dia hanya diam, begitupun juga saat kembali ke kantor. Dia hanya diam sambil duduk di
"Mas Zidan mode cemburu," celetuk Ayunda yang sudah berada di kamar sang Kakak. Bahkan Zidan juga baru menyadari, tapi tentunya Ayunda bisa masuk dengan mudah karena pintu masih terbuka lebar. Zidan pun segera melepas pelukannya dan dia mendekati sang adik, tanpa bicara dia mendorong sang adik untuk keluar dari kamarnya. "Cemburu tanda apa? Marah tanda apa? Kalau curiga itu karna.....nananaaaaaa......" sambil ditarik Ayunda mengejek Zidan sambil bernyanyi dan itu semakin membuat Zidan kesal bukan main. Setelah itu pintu pun terkunci, Zidan kembali menghampiri Tere yang kini masih berdiri di tempatnya dengan punggung yang bergetar. "Tere, bisa kan kamu maafin, Mas? Mas, nggak marah," kata Zidan lagi. "Aku udah cape hidup, kayaknya aku hidup cuma nyusahin orang aja. Hari ini Reza orang yang nggak bersalah sama sekali karena aku kehilangan pekerjaannya," jawab Tere. "Dia bersalah." "Dimana salahnya? Terlihat dia sangat membutuhkan pekerjaannya. Kamu ceraikan saja aku, aku
Ting. Zidan pun tiba di lobi, dia pun mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaan Tere. Ternyata matanya melihat orang tersebut yang sedang setengah berlari keluar dari lobi. Dengan cepat Zidan pun mengejarnya dan akhirnya dia pun berhasil meraih tangan Tere. "Kamu mau kemana?" tanya Zidan. Meskipun tangan Tere berusaha untuk lepas tapi Zidan tetap memegangnya dengan erat. "Aku capek, aku nggak ngerti lagi sama kamu. Aku udah nyerah, kayaknya aku mati aja," jawaban sambil menangis. "Kamu bicara apa? Aku minta maaf," Zidan terus berusaha untuk meredam emosi Tere. "Aku cape." "Aku minta maaf, kita balik ke dalam ya. Nggak enak dilihat sama orang." Tere pun menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Aku mau pulang, dan aku bisa pulang sendiri," ucapnya. "Tere, biar Mas antar." Zidan tak lagi melepaskan tangan Tere, dia tak mau Tere pulang sendiri. Zidan yakin jika dibiarkan dia tidak akan pulang ke rumah. Bahkan sepanjang perjalanan menuju rumah pun Tere ter
Zidan terus menatap wajah Tere dengan tajam, dia tak sadar dirinya sedang menahan rasa marah yang begitu besar. Dia pun berjalan ke arah Tere dengan kedua tangannya di dalam sakunya. "Apa yang dikatakan oleh Ayunda benar?" tanyanya. Tere pun mendongkak menatapnya, tapi tak mengerti kenapa Zidan bertanya hal demikian. "JAWAB!" Katanya lagi dengan suara yang meninggi. Saat itu Tere pun tersentak mendengarnya dan dia pun cepat-cepat berdiri karena ketakutan. Zidan pun mulai sadar dengan ucapannya barusan. Zidan menarik napas dalam-dalam setelah menghembus dengan perlahan. Dia harus bisa menahan dirinya, jangan sampai emosinya tak terkendali. Kenapa dia lupa dengan keadaan Tere saat ini? Padahal Tere sudah tidak begitu ketakutan lagi saat berdekatan dengannya. Kini wajah gadis itu terlihat memucat dengan mata yang berkaca-kaca. "Maaf," kata Zidan dengan nada suara yang kini lebih pelan. Kemudian mengambil mineral dan diberikan pada Tere. Dengan tangan bergetar
Zidan pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali, dia sedang tegang karena tak ingin malu pada Tere jika ketahuan berbohong. "Kemari lah," katanya menuju ranjang. Degh! Tere pun menggelengkan kepalanya karena takut. "Naik ke sini agar bisa memperbaiki dasi ini dengan benar," terang Zidan agar Tere tidak berpikir yang lainnya. Tere pun merasa lega, awalnya mengira bahwa Zidan akan melakukan hal sebelumnya. Ya, hal layaknya suami istri. Untuk satu itu dia tidak siap. Dia masih takut, Zidan kasar, selain itu dia juga takut hamil lagi, lagi-lagi dengan alasan yang sama. Entah sampai kapan dia akan seperti ini, tapi sungguh semuanya membuatnya merasa semakin was-was. "Tere," panggil Zidan. Tere pun mengangguk kemudian perlahan dia pun berdiri di atas ranjang dan kini dia yang lebih tinggi. Tere yang sedikit berjongkok membuat posisinya terlihat lebih condong. Tapi apa yang terjadi? Zidan malah memikirkan hal lain. Ya, dia memikirkan dada Tere yang sangat besar
Dengan rasa kesal Zidan pun harus tidur di sofa ruang tamu. Dia tidak berkeinginan untuk tidur di kamar tamu. Sejenak pikirannya melayang jauh menembus gelapnya malam. Dia bertanya-tanya mengapa bisa semesta membuatnya berjodoh dengan Tere. Bahkan tanpa mengenal terlebih dahulu sebelumnya. Anehnya lagi Zidan mulai bisa menerima kenyataan ini, terutama setelah mengetahui bahwa Tere hancur berantakan karena dirinya. Setelah direnungkan lagi dia juga bingung kenapa bisa begitu kejam pada wanita yang sebenarnya tidak bersalah. Dendam memang mengerikan bahkan bisa membuat siapa saja gelap mata, begitu juga dengan Zidan. Jam terus berputar tapi dia tak juga bisa memejamkan matanya. Ada apa? Semenjak Tere dalam masa pemulihan dia terbiasa memeluknya agar tidak histeris dan juga menyakiti dirinya sendiri. Kini bukan Tere yang membutuhkannya, tapi sebaliknya, dia yang membutuhkan Tere untuk dijadikan sebagai bantal guling. Anehkan? Akhirnya setelah malam berlalu pagi
Tere bergerak pelan agar bisa lebih jauh lagi dengan Zidan, tapi anehnya Zidan semakin memeluknya erat dari belakang. "Katanya kamu mau melihat ponsel baru mu?" tanya Zidan yang mengingat kembali ucapan Tere sebelumnya. Sebenarnya dia hanya ingin memecahkan ketegangan saja. "Iya, tapi...... bisa tolong lepaskan aku?" tanyanya dengan ragu. "Apa hubungannya? Aku hanya sedang ingin lebih hangat, aku merasa dingin sekali," bohongnya. "Kenapa tidak pakai selimut?" "Iya, juga ya," Zidan pun menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka berdua, "tapi masih terasa dingin," katanya lagi agar tak ada alasan untuk melepas pelukannya. "Biar aku ambilkan selimut lainnya, sebentar," ucap Tere demi bisa lepas dari Zidan. "Begini saja, aku sangat kedinginan dan terasa mulai hangat." Tubuh Tere mulai terasa bergetar, dia sangat takut dan bingung harus bagaimana lagi untuk bisa lepas dari Zidan. Dia hanya berdoa semoga saja Wina datang dan tidur bersamanya. 'Gawat, kenapa jadi gerah