Share

Kedatangan Bu Ria di Warung Nana

Bab 7 Kedatangan Bu Ria Di Warung Nana 

Sementara aku, merasa mood-ku mulai kembali setelah mendengar semangat yang disebarkan oleh teman baikku itu. Lalu bersiap di depan gerobak untuk meracik pesanan dari pelanggan pertama. 

Dari depan tungku, netra ku terus saja memperhatikan mobil yang baru saja terparkir. Dan setelah pemilik mobilnya itu turun, betapa terkejutnya aku ketika mengetahui siapa orang tersebut. Dia adalah ... Bu Intan. 

Aku benar-benar tak menyangka kalau pelanggan pertamaku adalah Bu Intan. Tentu saja mendapati hal demikian, aku akan memberikan pelayanan yang terbaik untuk wanita yang sudah membantuku itu. 

Bu Intan berjalan dengan elegan memasuki warung. 

"Assalamualaikum, Nana," sapa Bu Intan sambil tersenyum. 

"Wa'alaikumsalam, Bu Intan ...," balasku ramah seraya mengulas senyum manis ke arah wanita yang cukup berjasa untuk ku itu. 

"Tolong buatin dua puluh porsi mie ayam bakso, ya," pesan Bu Intan. 

Kedua mataku terbuka lebar seketika. "Du-dua puluh, Bu?" balasku tak percaya. Sebanyak itu kah? Sedangkan aku melihat Bu Intan hanya datang sendirian. 

"Iya, dua puluh. Mie ayam plus bakso, ya." Wanita berjilbab lebar itu mengulangi pesanannya. 

Senyumku mengembang, wajah berseri terpancar dariku setelah mendengar ucapan Bu Intan. Dan tepat setelah itu, beberapa mobil tiba-tiba datang dan berhenti di depan warung. 

Bu Intan menoleh ke arah mobil-mobil yang baru saja berhenti. Dari masing-masing mobil tersebut keluarlah beberapa ibu-ibu yang berpakaian sama dengan Bu Intan. Ada juga dari mereka yang keluar bersama anak-anak mereka. 

"Mereka teman-teman pengajian saya. Kita semua mau makan di sini. Jadi, tolong cepet buatin, ya?" ujar Bu Intan seraya menoleh ke arahku. 

"Siap, Bu!" jawabku bersemangat.

Bu Intan tersenyum. "Terima kasih, ya." Bu Intan pun berjalan menuju salah satu meja pelanggan.  

Senang bukan main tentunya. Serasa sedang kejatuhan durian runtuh pagi ini. Tak hanya satu atau dua, tapi dua puluh porsi dalam satu waktu membuatku tak berhenti bersyukur. 

Tak salah jika aku menyematkan julukan bak malaikat untuk wanita seumuran ibuku itu. Bu Intan tak hanya membantuku dalam mendirikan usahaku, beliau juga melarisi dagangan ku dengan mengajak teman-temannya. 

"Masyaa Allah ... Alhamdulillah ... Terima kasih ya Rabb .... "

Teman-teman sejawat Bu Intan satu per satu mulai memasuki warung ku. Dan tak ada satu pun dari mereka yang menunjukkan sikap angkuh atau memandang rendah diriku. Mereka semua sama baiknya dengan Bu Intan. 

"Assalamualaikum ...," ucap salah seorang wanita dengan jilbab merah marun ketika memasuki warung. 

"Wa'alaikumsalam," balasku sambil mengangguk kecil dan tersenyum. 

Hal yang sama pun juga dilakukan oleh ibu-ibu yang lainnya. Betul-betul terlihat ramah lah mereka semua. 

Sampai akhirnya dua puluh porsi mie ayam bakso telah selesai ku hidangkan. Ada rasa bangga tersendiri yang ada pada diriku lantaran berhasil menyelesaikan pesanan yang luar biasa dalam satu waktu ini. Ditambah dengan ekspresi yang tampak puas dari para pelanggan yang membuatku semakin merasa bangga dengan pencapaian ku di hari pertama warung ku buka. 

"Alhamdulillah ya, Na, baru hari pertama buka langsung diserbu gini," kata Rika yang turut senang melihat pemandangan di depan kami. 

Aku tersenyum lebar. "Iya, alhamdulillah banget, Rik," balasku. 

Aku kemudian menceritakan sosok pelanggan pertama yang tak lain tak bukan adalah Bu Intan kepada Rika. Salah satu wanita hebat yang begitu baik dan berjasa untuk ku bisa menjalankan usaha ku ini. 

"Sebaik itu?!" tanya Rika tak percaya. 

Aku mengangguk mantap. "Iya. Baik banget, kan?" aku menatap Bu Intan dengan bangga. 

Rika menghela napasnya. Menggeleng tak percaya seraya menjuruskan pandangannya ke arah Bu Intan yang sedang menikmati semangkuk mie ayam bakso buatan ku. 

"Masyaa Allah, sih, Na. Beruntung banget kamu kenal dia," puji Rika. 

Benar apa yang dikatakan teman baikku itu. Aku memang beruntung bisa mengenal sosok Bu Intan. Dalam pandangan yang belum teralihkan, tiba-tiba aku mendengar suara seseorang yang memanggil namaku dengan  agak lantang. 

"Mbak Nana!" 

Aku dan Rika kompak menoleh ke arah sumber suara yang memanggil namaku. Rupanya Ayuk yang berdiri di depan warung dengan wajah yang terlihat cemas. 

Ayuk berjalan terburu-buru mendekatiku. Dengan napas yang terengah-engah, gadis itu mencoba untuk membuka suaranya. 

"Tenang dulu, Yuk," kataku. 

Ayuk mengatur napasnya. Menarik dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan agak kasar. 

"Ada apa?" kok kamu kelihatan panik gitu?" tanyaku. 

Ayuk menunjuk ke arah jalanan. "Itu, Mbak, Bu Ria sama Bik Inah lagi jalan ke arah sini," jelasnya. 

Aku dan Rika seketika terperanjat mendengar penjelasan Ayuk barusan, sontak menoleh ke arah yang dimaksud gadis bertubuh kecil itu. Ternyata ibu mertuaku dan anak buahnya itu sudah berhasil menyebrangi jalan raya yang membatasi antara warung miliknya dan ruko-ruko yang ada. 

"Na, kamu cepet ke dalem!" seru Rika. Aku lantas meninggalkan tempatku dan segera bersembunyi. 

Dari balik tirai yang membatasi dapur dan tempat makan pelanggan, dengan jelas aku bisa melihat keberadaan Bu Ria dan Bik Inah. Dua orang wanita yang sama-sama memasang wajah angkuhnya. 

Rika sendiri meminta Ayuk untuk duduk di kursi pelanggan yang masih kosong. Sepertinya sahabatku itu akan menghadapi wanita gil* itu sendirian. 

"Selamat datang Ibu .... " Sambil tersenyum ramah Rika menyambut kedatangan Bu Ria dan Bik Inah. 

Sayangnya, sambutan yang diberikan rekan kerja ku itu tidak direspon dengan baik oleh dua wanita sombong itu. 

Sambil melipat tangan di depan dada, Bu Ria membuang muka. "Aku mau ketemu pemilik warung ini," ucap Bu Ria ketus. Lalu secara tiba-tiba menoleh ke arah Rika. "Di mana dia?!" bentak ibu mertuaku itu, membuat Rika terkejut. 

Tak hanya Rika, semua pelanggan yang tadinya sedang menikmati hidangannya pun langsung mengalihkan perhatian mereka ke arah depan. Di mana Bu Ria dan Rika berada. 

Di momen itu juga, dari tempat ku berada, dengan jelas aku mendengar obrolan dari para ibu-ibu yang mempertanyakan pemandangan di hadapannya itu. Bahkan, ada juga yang beristighfar berulang kali melihat sikap angkuh dari wanita bertubuh gemuk itu. 

"Siapa, sih, dia?" tanya seseibu pada temannya yang lain. 

"Angkuh banget, ya," sahut yang lainnya. 

"Iya, ih. Astaghfirullah hal'adzim ... kok ada sih orang kek gitu," timpal lainnya. 

Melepas perhatian terhadap ibu-ibu yang ada, netra ku kembali teralihkan ke arah Rika yang membalas pertanyaan dari ibu mertuaku itu. 

Dengan memasang wajah tegap, Rika berkata, "memangnya ada urusan apa sampai mencari pemilik warung ini? Ada masalah kah?" Rika menatap tajam ke arah Bu Ria. 

Setelah mendapat balasan demikian, aku pikir ibu mertuaku itu akan menciut nyalinya. Tapi ternyata aku salah. Malah, Bu Ria bertindak di luar sangkaan ku yang membuatku tercengang.  

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status