Bab 16 Si Pengkhianat Itu ..."Emang sepenting apa, sih?" tanya Tiyem dengan nada meremehkan.Aku menatap secara bergantian tiga orang di hadapanku ini. Lalu mulai bersuara untuk menjelaskan maksud dari perkataanku sebelumnya. Namun sebelum itu, aku mengajukan syarat kepada Bu Ria untuk menelepon Mas Indra agar secepatnya pulang."Kenapa harus ada Indra?" tanya Bu Ria."Gak usah banyak tanya, tinggal mau gak Buuu?" balasku.Dengan menghela napas kesal akhirnya Bu Ria menuruti kemauanku. Ia menelepon anaknya untuk segera pulang.Dan benar saja, kurang dari dua puluh menit setelah Bu Ria menghubungi anak lelakinya itu, Mas Indra sudah srumah. Tentu saja hal itu semakin memperkuat dugaanku kalau suamiku itu pasti sudah tidak bekerja lagi. Sebab, normalnya jarak tempuh yang dilalui Mas Indra dari rumah ke tempat kerjanya itu bisa sampai tiga puluh hingga empat puluh menit."Ada apa, Bu? kok mendadak minta Indra pulang?" tanya Mas Indra sesaat setelah ia sampai."Loh, ada Tiyem juga to?" M
Bab 17 Pergi Tanpa Pamit"Udah lah, Na, jangan marah terus," ujar Mas Indra. "Aku ke sini mau tanya sesuatu ke kamu."Aku tersenyum kecut. Dugaanku benar rupanya. Mas Indra mendatangiku bukan untukku melainkan karena hal lain. Dasar laki-laki kampret!Tapi ... kira-kira hal apa ya yang ingin ditanyakan suamiku itu?"Udah lah, Mas, kamu ngapain ke sini?" tanyaku ketus.Mas Indra tak langsung menjawab. Ia malah tampak ragu namun pada akhirnya berucap juga."Ibu ... nanyain soal sawah kamu gimana?""Ha?!" aku terkejut. Baru saja mengomeliku dan sekarang sudah menanyakan soal sawah. Betul-betul mertua mata duitan!"Emang kenapa sawahnya? lupa ya tadi abis marahin aku?""Udah dong, Na ... maafin ibu, ya? ibu tadi cuma gak pengen kamu berantem sama Tiyem.""Terus kenapa yang dibela Tiyem? bukannya aku? aku masih menantunya, kan?" tukasku.Mas Indra menelan ludahnya mendengar ucapanku barusan. Dari ekspresinya aku bisa menebak kalau ia mulai tak nyaman dengan sikapku. Biarlah, lagian siapa s
Bab 18 Di UsirMendapati hal tersebut aku hanya tersenyum senang. Benar-benar merasa di atas angin lantaran pihak musuh yang akhirnya membutuhkanku. Sampai tiba-tiba panggilan telepon dari Mas Indra kembali masuk. Karena penasaran dengan apa yang ingin dikatakan suamiku itu, aku pun mengangkat panggilannya tersebut."PULANG!!!" bentak Mas Indra tepat setelah aku menerima panggilannya.Terkejut. Jelas aku terkejut karena dari satu kata yang keluar dari mulut pria jelek itu membuatku langsung naik pitam. Apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan sehingga membentakku seperti itu? mungkinkah karena aku pergi tanpa pamit?"Gak usah teriak, Mas, aku gak budeg!" balasku. Enak saja mau marah-marah tak jelas."Alah udah lah! mending kamu pulang sekarang atau kamu bakal menyesal." Tanpa menunggu respon dari ku, Mas Indra malah mematikan hp nya begitu saja."Dasar mokondo! awas aja ya lu!" gerutuku."Kenapa, Na?" tanya Rika.Aku menoleh ke arah sahabatku itu. Menghela napas sejenak lalu menjelaska
Bab 1 Suamiku Ijab Qobul"Kondangan?" tanyaku pada suamiku, Mas Indra yang sedang bersiap di depan cermin lemari."Iya. Di ajak Ibu," balasnya melihat ke arah ku dari cermin di depannya."Kenapa mendadak? pekerjaan rumah kan belum selesai," kata ku seraya mendekati Mas Indra yang kini telah menyelesaikan akivitasnya.Mas Indra mengubah posisinya menghadap ke arahku. "Maaf ya, Na, kata Ibu cukup Mas aja yang mewakili. Jadi, kamu gak perlu ikut," ujar Mas Indra.Ada rasa menjanggal. Karena biasanya, acara apapun yang dihadiri Mas Indra pasti ia mengajak diriku. Sekalipun acara itu ibunya yang mengajak. Aku tak pernah absen meskipun ibu mertuaku itu tak menyukai keberadaanku."Ini kan Mas juga cuma diminta buat nemenin Ibu aja. Maaf, ya," ucap Mas Indra lagi, lalu mengecup keningku.Aku hanya bisa terdiam tanpa memberi respon. Meski merasa janggal, namun aku mencoba mengabaikan kecurigaanku itu. Mas Indra tak mungkin mengkhianatiku.Kami sudah menikah selama tiga tahun. Meski belum diber
Bab 2 Peringatan Dari Ibu Mertua"Saya terima nikah dan kawinnya Tiyem Lestari binti Suparman dengan mas kawin seperangkat alat salat dan emas 10 gram dibayar tunai.""Bagaimana para saksi?" Sah?""Sah!"Tubuhku seketika terasa lunglai disaat terdengar jelas prosesi ijab qobul yang dilakukan Mas Indra, suamiku. Perlahan aku pun memundurkan langkahku dan berbalik berjalan dengan gontai meninggalkan gedung dengan perasaan hancur sekaligus tak percaya. "Loh, bukannya itu Nana, istrinya Indra?" bisik orang-orang saat aku melewati mereka. "Aku pikir dia ada di sana sama mereka. Duh, kasihan, ya."Aku terus berjalan di tengah bisikan orang-orang yang menatapku iba. Ku abaikan mereka demi kebaikan hatiku. Tubuhku tergoncang hebat dan tangisanku semakin menjadi-jadi ketika aku sampai di dekat motor milik Ayuk. Aku terlambat. Mas Indra telah menikah lagi dengan wanita yang juga aku kenal.Tiyem Lestari, atau yang bisa dipanggil Tiyem, dia adalah pemilik salon yang berada di salah satu ruko
Bab 3 Bantuan Dari Bu Intan Tak perlu menunggu lama, balasan dari Ayuk pun datang. [Besok ya kita ketemu bos ku] [Iya, siap] Tak henti-hentinya aku berucap syukur. Lalu meminta hatiku untuk berhenti merasa sakit. Karena dengan bantuan Bu Intan, semoga saja apa yang aku usahakan ini akan menjadi langkah awal diriku memulai kehidupan baru yang lebih baik. Serta menjadi jalan untuk ku membalikkan kehidupan orang-orang licik seperti mereka. ***"Nana!" Aku terperanjat mendenger panggilan dari Bu Ria. Segera aku menemui ibu mertuaku itu yang kini sedang sibuk menghitung uang di meja kasir. Yaa begitulah. Meski kesehariannya sama dengan ku, tetapi wanita yang telah melahirkan Mas Indra itu hanya menghabiskan waktunya duduk manis di depan meja kasir. Jarang sekali ia membantuku sekalipun keadaan warung sedang ramai-ramainya. "Iya, Bu?" tanyaku. Tanpa menoleh dan tetap sibuk dengan lebaran-lebaran rupiahnya, ibu mertuaku itu pun berkata," Bu Intan pesen dua mie ayam. Cepet kamu buatk
Bab 4 Izin Pulang Kampung"Iyaa ...," jawabku dengan suara lemah. Lantas berjalan ke arah gerobak yang tak jauh dari ku seraya menatap tajam ke arah Mas Indra yang malah ikut memerintah ku dan bukannya membantuku. Di momen itu, aku melihat jelas perubahan suamiku. Wajar, mungkin karena sekarang bukan aku lagi yang mengisi hatinya. Tak apa, toh, setelah ini aku akan berpisah dengannya. "Tunggu saja, Mas. Pernikahan keduamu ini adalah langkah awal menuju kesuksesanku."Dengan perasaan yang harus dipaksa untuk kuat, aku mengantarkan pesanan untuk Tiyem dan lainnya. "Permisi, Mbak," ucapku seraya meletakkan satu per satu mangkok bergambar ayam jago di atas meja. "Makasih, ya, Na," balas Tiyem sambil mengembangkan senyumannya. Betul-betul merasa tak bersalah pada ku. Aku menyunggingkan senyumku. "Iya, Mbak.""Oya, kamu gabung sekalian aja, soalnya kan aku mau bahas kerja sama antara salonku sama warungnya Bu Ria," ujar Tiyem yang membuatku terheran-heran. Kerja sama? kerja sama apa y
Bab 5 Usaha Sendir Mulai BerdiriTanpa berkata lagi, Bu Ria lantas meninggalkan ku. Jelas sekali raut wajahnya tampak kesal sekaligus khawatir. Sebab, dengan apa yang barusan aku sampaikan, hal itu pasti membuat Bu Ria takut lantaran akan ada orang yang menyaingi usahanya."Ini baru awal, Bu," batinku. Menatap ibu mertuaku yang dilanda kegelisahan.***Di pagi harinya, ketika fajar mulai menampakkan sinarnya, aku telah bersiap untuk menjalankan rencanaku hari ini. Dengan berpura-pura akan balik ke kampung halamanku, yang padahal sebenarnya akuingin menemuiseseorang untuk kumintai bantuannya."Aku pamit, ya, Mas," kataku saat melewati Mas Indra yang baru saja keluar dari kamar mandi."Loh, sepagi ini kamu berangkatnya?" tanya Mas Indra heran. Langkahku pun terhenti seketika."Iya, biar gak macet di jalan. Lagian kan jauh. Dah, ya, aku pergi. Assalamualaikum." Aku kembali melanjutkan langkahku."Gak salim dulu?!" tanya Mas Indra sedikit berteriak. Namun, aku abaikan karena memang tak