تسجيل الدخول"Kamu beneran mau berhenti kerja, Al?" tanya Evan. Mereka sudah ada di ruangan pria itu. Duduk berhadapan dengan dibatasi sebuah meja."Iya, Bang. Aku dan Keyla, akan kembali ke Jakarta.""Bukankah kamu bilang, tak mau dipoligami?" Sedikit banyak, Evan sudah tahu apa yang terjadi pada Aleya."Maaf, bukannya aku mau ikut campur, tapi.... " Dia bingung menjelaskan. Tapi yang pasti, dia ingin Aleya tetap disini. "Kamu gak mau fikir ulang, Al?""Udah aku_" Kalimat Aleya terpotong karena dering ponsel di dalam tasnya. "Aku angkat dulu ya, Bang." Setelah Evan mengangguk, Aleya mengambil ponsel yang ada di dalam tas. Melihat nama Harun di layar, dia menghela nafas."Lama banget! Udah belum?" Harun langsung nyerocos begitu sambungan terhubung."Bentar lagi." Tak enak pada Evan, Aleya segera mengakhiri panggilan."Siapa, suami kamu?" tebak Evan.Aleya hanya menjawab dengan anggukan sambil kembali memasukkan ponsel ke dalam tas."Kamu yakin, mau kembali sama dia, Al?"Sebenarnya Aleya tak ingi
Snowman restoran, tempat itu sudah sangat familiar bagi Aleya. Hampir setiap hari selama lebih 5 tahun ini, dia ada disana. Bekerja sebagai pelayan untuk menghidupi dia dan Keyla. Tapi hari ini, masuk kesana terasa sedikit canggung. Apalagi dia masuk tidak hanya bersama Keyla, melainkan dengan Harun juga.Harun memaksa ikut saat Aleya hendak datang untuk berpamitan pada rekan kerja dan atasannya. Alasannya karena mau langsung ke privat beach untuk menikmati sunset, agar mereka tidak perlu bolak balik lagi ke kosan Aleya. Tapi entahlah, Aleya merasa jika bukan itu alasan utamanya, tapi suaminya itu memang pengen ngintilin dia terus.Aleya merasa canggung saat beberapa temannya menatap kearahnya dan Harun yang baru masuk. Tak perlu dijelaskan, Harun pernah bikin rusuh, teriak-teriak dan bikin drama menculik Keyla, sudah tentu teman-temannya ingat jelas wajah pria itu.Beberapa dari mereka menyapa, tapi dibalik sapaan itu, mereka sebenarnya sedang memperhatikan Harun. Sosok yang baru beb
Sepanjang mengantar Keyla ke sekolah, belum pernah Aleya melihat putrinya itu sebahagia ini. Pagi ini, sepanjang jalan bocah itu terus bercerita. Apapun dia ceritakan pada papanya yang sedang fokus mengemudi sambil sesekali menoleh kearahnya. Harun menunjukkan antusiasnya, membuat Keyla makin semangat bercerita. Mungkin memang sangat antusias, mengingat pria itu tidak pernah tahu seperti apa Keyla sejak kecil."Nanti, Papa ikut aku ke dalam sekolah ya?" pinta Keyla."Boleh," sahut Harun sambil tersenyum."Yeee..." Bocah itu memekik girang sambil mengangkat kedua tangan ke atas.Entah apa yang dia fikirkan saat ini, kenapa sampai ingin mengajak papanya masuk ke sekolah. Tidak tahu saja dia, Harun memang sudah berencana ikut masuk, menemani Aleya yang hendak pamit pada pihak sekolah. Keyla akan pindah sekolah di Jakarta."Pah, nanti saat sekolah di Jakarta. Setiap hari, aku diantar Papa ke sekolah kayak gini gak?""Keyla," Aleya menginterupsi. "Papa kan harus kerja. Mana bisa nganter Ke
Aqilah mendecih, mendengar perkataan papanya barusan. Jika memang papanya setia, ada banyak cara untuk mendapatkan anak laki-laki. Salah satunya dengan cara adopsi."Nanti akan tiba masanya, kamu akan faham. Saat ini, yang harus kamu tahu, papa sayang sama Aqilah. Papa tidak membedakan kamu dengan keyla, kalian berdua sama-sama anak papa.""Tapi Aqilah tetap gak bisa menerima Tante Aleya, Pah. Aqilah kecewa sama papa.""Aqilah ngga harus Nerima Tante Aleya kok, Papa akan pisah sama Tante Aleya.""Papa yakin?" tanya Aqilah tidak sepenuhnya percaya."Hem," Harun mengangguk. "Papa tidak mau kehilangan cinta anak papa demi mempertahankan cinta papa ke Tante Aleya. Kami akan berpisah. Tapi, boleh gak, papa minta satu hal?""Apa?" tanya Aqilah."Tolong terima keyla sebagai saudara kalian. keyla tidak salah apa-apa. Dia nggak ngerti apa-apa. Sejak lahir, dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang papa. Apa kalian gak kasihan, sama dia?"Aqilah menatap lurus hamparan gelombang yang silih berga
Deburan ombak dan kicauan burung terdengar mendominasi. Seorang pria dengan putrinya, duduk di hamparan pasir putih yang luas. Sepi, pantai ini memang tidak terbuka umum. Privat beach, salah satu fasilitas hotel tempat mereka menginap. Untuk beberapa saat, tidak ada yang bicara diantara mereka berdua. Menatap hamparan laut luas, dengan hati yang bergejolak.Harun, dia duduk berjarak dengan Aqilah. Bukan keinginannya, melainkan putrinya itu yang tidak ingin dekat dengan dirinya saat ini. Sejak kedatangannya tadi Aqilah menunjukkan ekspresi tidak bersahabat."Kenapa dia manggil Papa dengan sebutan papa?" Tanya Aqilah memecah keheningan."Karena keyla juga anak papa." Jawaban Harun itu sontak membuat Aqilah mengepalkan kedua telapak tangannya mengepal kuat. Gurat kemarahan tampak jelas diwajahnya. Bahkan lebih jelas ketimbang saat ia datang dan duduk disebelah putrinya.Harun mengulurkan tangan, ingin mengelus kepala Aqilah. Namun dengan cepat gadis remaja itu menepisnya dengan kasar."K
"Apa kabar, Mbak?" Kalimat Aleya itu menjadi pembuka obrolannya dengan Aisyah.Rasa canggung, malu, bersalah, dan masih banyak lagi yang rasa yang membuat dia terlalu malu untuk menatap Aisyah.Dia bukan pelakor. Sudah berkali-kali kalimat itu dia tekankan pada diri sendiri, namun tetap saja, rasa bersalah itu tetap ada, malah kian membuncah. Harun dan Aisyah berpisah, sedikit banyak karena kehadirannya. Tapi lagi-lagi dia tekankan, bukan dia yang sengaja hadir, tapi takdir yang membuat dia ada diantara mereka.Ah... sudahlah, membela diri seperti apapun, dia akan tetap dicap sebagai wanita kedua. Wanita yang kehadirannya dianggap sebagai perusak rumah tangga orang lain. Seperti yang terngiang dikepala Aqilah, mungkin.Mereka berdua berada di pantry mini yang ada di kamar Aisyah. Memilih tempat itu karna Keyla sedang menonton TV. Bocah itu tidak masih ingin menonton dan rasanya tidak enak jika meninggalkan Keyla sendirian, sementara Aqilah pergi karna emosi yang sedang disusul keluar







