“Kang, aku nggak ada kegiatan. Aku mau cari kerja,” pintaku sambil cemberut pada Kang Oded yang asyik menjahit.
Biasanya, Kang Oded akan mengabulkan apapun keinginanku bila aku sudah merajuk. Kang Oded menghentikan tekanan kakinya pada pedal dinamo mesin jahit, lalu mengerutkan dahi.
“Kamu mau kerja? Kerja apa modal ijazah SMP? Apa ada perusahaan yang mau terima?”
Aku terdiam mendengar alasan Kang Oded, benar juga.
“Sebelum kerja, kamu harus meningkatkan kemampuan. Kamu bisa komputer?” Kang Oded melirikku. Aku menggeleng lemah, pupus rasanya harapanku.
“Aku punya teman yang bisa mengajari komputer. Kamu mau?” Lanjut Kang Oded. Aku mengangguk penuh semangat.
“Teman Akang perempuan?” Tanyaku penasaran. Di mana Kang Oded kenal perempuan itu? Tiba-tiba aku menjadi curiga.
“Oh, bukan. Teman Akang laki-laki,” jawab Kang Oded santai.
Hah? Aku terperanjat. Jadi, aku akan diajari oleh seorang lelaki? Hmmm... Apakah tidak rikuh nantinya? Mendadak hatiku ragu. Kang Oded mengamati perubahan air wajahku.
“Kenapa, Dik?” Tanya Kang Oded heran.
“Teman Akang laki-laki. Aku malu, Kang,” kataku keberatan.
“Nggak apa-apa. Dia orangnya baik, kok. Nanti juga Akang temani selama belajar. Jangan cemas,” Kang Oded menenangkan.
Hmmm, aku masih ragu sebetulnya. Tapi kalau Kang Oded berjanji menemani selama aku belajar, mungkin aku tidak terlalu canggung.
“Iya deh, Kang.” Aku memberi persetujuan, meskipun masih ada ragu di hati.
“Besok aku bilang ke temanku untuk mengajarimu komputer,” janji Kang Oded. Aku mengangguk pelan.
***
“Tisni, ini temanku yang akan mengajarimu komputer. Namanya Rudi,” Kang Oded memperkenalkan lelaki yang datang bersamanya. Aku tersenyum dan mengangguk kaku.
Tak aku sangka teman Kang Oded masih muda dan tampan... Aku perkirakan umurnya hanya dua atau tiga tahun di atasku, belum ada tiga puluh tahun.
“Rudi ini pintar sekali komputernya, dia bagian administrasi di kantor. Iya kan, Rud?” Kang Oded menoleh ke samping.
“He eh. Kalau hanya mengetik dan bikin tabel saja sih gampang, tapi kalau lebih dari itu saya juga ndak bisa.” Mas Rudi berkata dengan logat Jawa yang sangat kentara. Ia lalu tersenyum, ternyata senyumnya manis juga.
“Mas asli Jawa, ya?” Tanyaku berbasa-basi.
“Iya, tepatnya saya dari Kebumen. Kalau Mbak Tisni asli mana?” Ia membalas sapa basa-basiku.
“Saya dari Cirebon, Mas. Kalau istri Mas Rudi dari Jawa juga?” Aku semakin lancar mengobrol dengannya, suasana kaku mulai mencair.
“Eh? Saya belum menikah lho, Mbak,” Mas Rudi tersenyum-senyum. Oh, ternyata teman Kang Oded masih bujangan.
“Mungkin bisa dimulai saja kursus komputernya,” potong Kang Oded tiba-tiba.
Mas Rudi terlonjak, seolah baru ingat tujuannya ke rumah kami. Ia membuka tas hitam yang sedari tadi diletakkan di atas meja. Dari dalamnya, ia mengeluarkan sebuah laptop.
Aku mengamati Mas Rudi yang membuka laptop dan memasang kabel pada stop kontak. Lalu, aku disuruh mendekat.
“Ini namanya keyboard, Mbak,” Mas Rudi mulai mengenalkan tombol-tombol dan fungsi yang ada pada laptop.
Seperti janjinya, Kang Oded menemaniku belajar komputer pada Mas Rudi. Sambil aku belajar, Kang Oded mengobrol dengan Mas Rudi. Suasana belajar jadi terasa lebih santai karena diselingi obrolan ringan.
Sekali, dua kali, Kang Oded masih sabar menemaniku belajar. Lama kelamaan, Kang Oded bosan juga menungguiku. Hingga pada suatu hari...
“Akang mau ke depan dulu ya, Tis. Ada yang mau diobrolkan dengan Mang Beben,” kata Kang Oded mengejutkanku. Ternyata aku ditinggalkan berdua dengan Mas Rudi.
Suasana yang awalnya santai dan nyaman, kembali kaku karena kepergian Kang Oded. Tapi kekakuan itu ternyata hanya sementara, sebentar saja aku dan Mas Rudi kembali santai. Malah dengan kepergian Kang Oded, kami bisa lebih bebas mengobrol dan bercanda.
Aku pikir, itulah awal mula tumbuhnya rasa diantara kami. Jangan salahkan aku yang selingkuh, bukankah ada peran Kang Oded juga dalam hal ini?
***
Seperti janjinya kemarin, Kang Oded datang menjemputku tepat pukul empat sore. Seharusnya hari ini aku lembur lagi, tapi aku sudah izin pada supervisor untuk tidak lembur karena ada urusan keluarga.
Aku sudah menyiapkan mental untuk pertempuran nanti malam. Jika harus bertengkar, biarlah pertengkaran itu kami lakukan di rumah. Jangan sampai aku dan Kang Oded bertengkar di kantor, aku takut dipecat nantinya.
Sebelum pulang ke rumah, Kang Oded mampir di warung soto langganan kami. Kang Oded memesan soto dan kami makan bersama. Selama makan, kami lebih banyak diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Setelah sampai di rumah, barulah Kang Oded kembali membicarakan kemelut rumah tangga kami.
“Jangan sampai kita bercerai ya, Dik,” bujuknya lagi.
Aku mulai putus asa dengan Kang Oded. Sepertinya, sampai kapan pun dia tak akan mau mengerti bahwa aku sudah tak ingin lagi bersamanya.
“Kang, perasaanku sudah mati. Titik.” Aku kembali menegaskan.
“Kamu tahu kan, Dik. Perceraian itu perbuatan yang dibenci Allah,” imbuhnya sungguh-sungguh.
Oh, bagus betul omongannya. Sekarang Kang Oded bawa-bawa nama Allah. Mengapa dia tidak ingat Allah saat meminta Mas Rudi yang menjemputku pulang dari pabrik?
“Ya... Bagaimana ya, Kang. Kalau aku terus jadi istrimu, aku takut durhaka,” balasku tak kalah lihai.
“Akang nggak mau kan, aku berdosa setiap hari? Lebih baik kita cerai saja agar sama-sama bebas dari dosa,” tambahku semakin mantap.
Kang Oded menghela napas, ia pasti sadar sudah kalah bicara. Aku menunggu dengan sabar jurus apa lagi yang ingin dikeluarkan Kang Oded.
“Dik, kamu pasti kesepian di rumah, ya. Aku ingat dulu kamu minta kerja karena bosan di rumah,” suara Kang Oded terdengar melembut lagi.
Aku diam, mencoba mengira-ngira ke mana arah pembicaraannya kali ini.
“Kita ke dokter yuk, Dik. Cari tahu penyebab mengapa kamu belum hamil juga,” Kang Oded tersenyum membujuk.
Oh, jadi sekarang Kang Oded mau membujukku dengan anak. Tapi tunggu, bukankah selama ini Kang Oded berprinsip bahwa anak diberikan Allah jika sudah dikehendaki-Nya? Mengapa sekarang Kang Oded berubah pikiran? Ini pasti hanya akal-akalannya agar aku membatalkan niat menggugat cerai.
“Anak itu urusan Allah, Kang. Manusia nggak bisa mengatur kapan punya anak, termasuk dokter.” Santai aku menyahut, mengembalikan ucapan yang dulu sering digaungkannya setiap kali aku mengeluh karena tak kunjung hamil.
Aku pikir ada baiknya juga kami tak punya anak, jadi ketika akan cerai tak perlu berebut hak asuh anak.
Aku amati wajah Kang Oded yang terdiam, terlihat sekali Kang Oded tengah berpikir keras. Ingin tertawa aku dibuatnya, mati-matian ia mencari alasan dan dalih agar aku batal menggugat cerai.
“Dik, Bapak dulu sangat mendukung kita menikah. Jika kamu masih ingin cerai, akan aku laporkan perselingkuhanmu pada Bapak,” ancam Kang Oded dengan wajah mengeras.
Aku terkejut.***
Gawat! Kang Oded mau bawa-bawa keluarga dalam masalah kami. Sejenak aku panik, teringat pada Bapak dan Ibu di rumah yang akan terkaget-kaget mendengar kabar ini. Pikiran burukku muncul, Kang Oded tidak sekadar akan menjadikan besar persoalan ini di antara keluargaku, tapi juga di keluarganya. Terbayang olehku sorot mata marah Ibu akibat tingkahku, juga cibiran dari keluarga besar Kang Oded. Siapkah aku menanggung malu dan disalahkan oleh dua keluarga? Hatiku kebat-kebit. Eh, tapi tunggu dulu. Tadi Kang Oded bilang akan melaporkan pada ayahku saja. Ia tak mengancam akan mengabari keluarganya juga. Pikiranku mulai berpikir jernih. Kang Oded hanya ingin mengancamku agar kembali padanya dengan bantuan dari keluargaku. Ia tak bermaksud mengabari keluarganya tentang masalah kami, setidaknya belum. Jangan-jangan ia hanya menggertak? Baik kalau begitu. Aku juga bisa balas menggertak. &
Bunyi derit pintu membangunkan aku dari alam mimpi. Sebelah mata aku mengintip, mencoba mencari bayang dari pintu depan yang baru saja menutup. Samar-samar, aku lihat baju biru milik Tisni. Rupanya ia pergi diam-diam selagi aku tidur.Aku diam terpekur di atas pembaringan. Sisa kantuk tadi malam sudah lenyap, seiring dengan bunyi perut yang menjerit minta diisi. Akan tetapi, aku malas keluar mencari sarapan. Aku pilih melamun memikirkan pernikahan bersama Tisni yang berada di ujung tanduk.Aku memang salah langkah sejak awal. Tidak seharusnya aku biarkan Tisni lama berduaan dengan Rudi. Niat awalku hanya ingin agar istri cantikku itu bertambah pintar, aku tidak menyangka akan begini akhirnya.Aku mengenal Rudi ketika mendapat proyek menjahit seragam pegawai salah satu kantor pemerintah. Di kantor itu, Rudi merupakan pegawai administrasi keuangan yang bertugas untuk membayar upahku. Oleh karena
“Assalamu’alaikum...” Aku melempar salam di depan rumah Pak Madya.Kebetulan istri Pak Madya yang keluar, wanita paruh baya berwajah teduh dan berkerudung panjang.“Wa’alaikumussalam. Oh, Kang Oded. Cari Bapak? Masuk dulu, Kang,” kata istri Pak Madya ramah. Pintu rumah dibukanya lebar-lebar.“Duduk dulu, ya. Bapak sedang di kamar mandi,” istri Pak Madya mempersilakan aku untuk duduk di kursi tamu.Istri Pak Madya menghilang ke dalam lagi. Tak berapa lama, dia muncul dengan sebuah nampan berisi segelas kopi dan sepiring kecil pisang goreng.“Silakan dinikmati dulu. Mungkin Bapak agak lama, Kang.” Istri Pak Madya masuk ke dalam lagi.Aku duduk menunggu sambil menikmati hidangan. Aku melamun lagi. Sejak Tisni ketahuan berselingkuh, aku jadi sering melamunkan masa lalu.
“Santet? Kok Kang Oded bisa menyangka begitu?” Pak Madya mengerutkan dahi, sebelah tangannya menggaruk telinga kiri. Wajah Pak Madya terlihat kebingungan.“Karena sikapnya aneh, Pak. Istri yang dulu sangat cinta pada saya sekarang berbalik membenci. Bukankah santet pengasihan begitu, Pak? Membuat istri membenci suami atau sebaliknya, hingga akhirnya suami-istri berpisah,” kataku panjang lebar.Pak Madya mengangguk-angguk. Tapi ekspresi wajahnya tak bisa aku tebak, setuju atau tidak setuju dengan kecurigaanku barusan. Pak Madya menghela napas.“Kita jangan berprasangka buruk dulu, Kang. Mungkin ada masalah lain yang membuat istri menjadi berubah sikap,” Pak Madya memberi nasihat.Aku terdiam. Ya, masalahnya ada pada Rudi. Pasti Rudi yang membuat istriku berubah. Aku semakin yakin, Rudi yang sudah menyantet istriku. Kalau tidak, mana mungkin istri yang pendiam sepert
“Apa Teh Lisa tahu?” Tanyaku penasaran. “Ya. Tisni jarang ada di rumah kan, Kang?” Teh Lisa mengerjapkan mata saat berbalik tanya. Melihat gelagatnya yang mencurigakan, aku jadi punya insting bahwa Teh Lisa tidak jujur. “Tolong, Teh. Beri tahu saya apa yang Teteh tahu,” ujarku memelas, memohon kejujurannya. Kupandangi sepasang mata Teh Lisa dengan sorot permohonan yang sungguh-sungguh, berharap Teh Lisa merasa iba dan mau berpihak kepadaku. Teh Lisa menundukkan kepala, lalu melirikku takut-takut. “Kang Oded jangan marah, ya?” Pintanya dengan wajah seperti tak enak. “Iya, Teh. Saya nggak akan marah,” ujarku meyakinkannya. Senyum aku bentangkan selebar mungkin, berharap sikapku akan membuatnya menjadi berani berkata yang sebenarnya. Teh Lisa menghela napas, lalu ikut duduk di kursi kosong
“Ceritakan semua yang Teh Lisa tahu. Jangan ada yang ditutupi lagi,” pintaku dengan tatapan serius.Jujur saja, jantungku berdebar keras saat mengatakan permintaan itu. Hatiku dipenuhi prasangka sekaligus ketakutan akan hal yang mungkin aku dengar. Aku takut kecurigaanku terbukti bahwa Tisni telah... Ah, tak sanggup aku memikirkannya.Teh Lisa menoleh ke arah Mang Beben yang masih menjemur pakaian penyewa kos. Mang Beben balas memandang Teh Lisa, terlihat kepalanya mengangguk kecil sebagai tanda dukungan untuk istrinya.Teh Lisa memutar kepalanya kembali kepadaku. Ia mencondongnkan tubuhnya sedikit ke arahku sambil berbisik,“Tisni sudah sering pergi berdua kemana-mana dengan Mas Rudi, Kang...” ujarnya pelan, tapi terdengar jelas di telingaku.Aku terdiam. Sering pergi berdua? Kapan itu terjadi? Ke mana saja? Menga
“Aku mau dijemput pulang. Sekarang!” Kata Tisni tegas.Mataku melotot.Tiba-tiba sudut mataku melihat bayangan berjaket merah-hitam muncul dan mematikan mesin motor di depan rumah. Sosok itu sangat familiar, lantaran kelewat sering berkunjung. Rudi melepaskan helm dari kepala, menurunkan ritsleting jaket, kemudian menyampirkan jaket dan helm di atas sepeda motor.Sebelum beranjak, ia menyugar rambutnya beberapa kali sambil bercermin di kaca spion. Melihat gelagatnya, Rudi baru pulang dari kantor dan langsung ke rumahku. Aku mendapat ide.“Oke. Nanti Rudi yang jemput kamu pulang,” kataku senang, merasa sudah menemukan jalan keluar terbaik dari masalah.“Hah?” Hanya itu reaksi Tisni. Setelah itu ia terdiam.“Kamu tunggu saja di sana, sebentar lagi Rudi yang jemput,” tegasku lagi sebelum
Hari berganti.“Mengapa usaha tas nggak jalan lagi, Pak?” Akhirnya kesampaian juga niatku untuk bertanya, saat Bapak duduk santai di depan rumah setelah bangun tidur. Ya, bangun tidur. Selepas shalat subuh tadi, Bapak tidur lagi. Alasannya mengantuk akibat bangun sebelum subuh.“Bapak kena tipu!” Jawab mertuaku langsung, kemudian mengembuskan napas sedih.Aku terkesiap. Mengapa aku tidak tahu kabar berita ini? Tepatnya, Tisni tidak bercerita apa-apa.“Apa ada toko yang ingkar bayar, Pak?” Telisikku lebih jauh.“Ceritanya cukup panjang,” Bapak membetulkan letak duduknya, kakinya yang semula terangkat satu di atas kursi kini diturunkan.“Enam bulan sebelum bangkrut ada kenalan yang menyarankan untuk menambah pemasaran tas sampai ke luar kota. Dia lalu menge