Share

Ancaman Kang Oded

Author: Hawa Hajari
last update Huling Na-update: 2021-08-26 17:24:07

“Kang, aku nggak ada kegiatan. Aku mau cari kerja,” pintaku sambil cemberut pada Kang Oded yang asyik menjahit. 

Biasanya, Kang Oded akan mengabulkan apapun keinginanku bila aku sudah merajuk. Kang Oded menghentikan tekanan kakinya pada pedal dinamo mesin jahit, lalu mengerutkan dahi.

“Kamu mau kerja? Kerja apa modal ijazah SMP? Apa ada perusahaan yang mau terima?” 

Aku terdiam mendengar alasan Kang Oded, benar juga.

“Sebelum kerja, kamu harus meningkatkan kemampuan. Kamu bisa komputer?” Kang Oded melirikku. Aku menggeleng lemah, pupus rasanya harapanku.

“Aku punya teman yang bisa mengajari komputer. Kamu mau?” Lanjut Kang Oded. Aku mengangguk penuh semangat.

“Teman Akang perempuan?” Tanyaku penasaran. Di mana Kang Oded kenal perempuan itu? Tiba-tiba aku menjadi curiga.

“Oh, bukan. Teman Akang laki-laki,” jawab Kang Oded santai. 

Hah? Aku terperanjat. Jadi, aku akan diajari oleh seorang lelaki? Hmmm... Apakah tidak rikuh nantinya? Mendadak hatiku ragu. Kang Oded mengamati perubahan air wajahku.

“Kenapa, Dik?” Tanya Kang Oded heran.

“Teman Akang laki-laki. Aku malu, Kang,” kataku keberatan.

“Nggak apa-apa. Dia orangnya baik, kok. Nanti juga Akang temani selama belajar. Jangan cemas,” Kang Oded menenangkan. 

Hmmm, aku masih ragu sebetulnya. Tapi kalau Kang Oded berjanji menemani selama aku belajar, mungkin aku tidak terlalu canggung.

“Iya deh, Kang.” Aku memberi persetujuan, meskipun masih ada ragu di hati.

“Besok aku bilang ke temanku untuk mengajarimu komputer,” janji Kang Oded. Aku mengangguk pelan.

***

“Tisni, ini temanku yang akan mengajarimu komputer. Namanya Rudi,” Kang Oded memperkenalkan lelaki yang datang bersamanya. Aku tersenyum dan mengangguk kaku.

Tak aku sangka teman Kang Oded masih muda dan tampan... Aku perkirakan umurnya hanya dua atau tiga tahun di atasku, belum ada tiga puluh tahun. 

“Rudi ini pintar sekali komputernya, dia bagian administrasi di kantor. Iya kan, Rud?” Kang Oded menoleh ke samping. 

“He eh. Kalau hanya mengetik dan bikin tabel saja sih gampang, tapi kalau lebih dari itu saya juga ndak bisa.” Mas Rudi berkata dengan logat Jawa yang sangat kentara. Ia lalu tersenyum, ternyata senyumnya manis juga.

“Mas asli Jawa, ya?” Tanyaku berbasa-basi.

“Iya, tepatnya saya dari Kebumen. Kalau Mbak Tisni asli mana?” Ia membalas sapa basa-basiku.

“Saya dari Cirebon, Mas. Kalau istri Mas Rudi dari Jawa juga?” Aku semakin lancar mengobrol dengannya, suasana kaku mulai mencair.

“Eh? Saya belum menikah lho, Mbak,” Mas Rudi tersenyum-senyum. Oh, ternyata teman Kang Oded masih bujangan.

“Mungkin bisa dimulai saja kursus komputernya,” potong Kang Oded tiba-tiba.

Mas Rudi terlonjak, seolah baru ingat tujuannya ke rumah kami. Ia membuka tas hitam yang sedari tadi diletakkan di atas meja. Dari dalamnya, ia mengeluarkan sebuah laptop.

Aku mengamati Mas Rudi yang membuka laptop dan memasang kabel pada stop kontak. Lalu, aku disuruh mendekat.

“Ini namanya keyboard, Mbak,” Mas Rudi mulai mengenalkan tombol-tombol dan fungsi yang ada pada laptop.

Seperti janjinya, Kang Oded menemaniku belajar komputer pada Mas Rudi. Sambil aku belajar, Kang Oded mengobrol dengan Mas Rudi. Suasana belajar jadi terasa lebih santai karena diselingi obrolan ringan.

Sekali, dua kali, Kang Oded masih sabar menemaniku belajar. Lama kelamaan, Kang Oded bosan juga menungguiku. Hingga pada suatu hari...

“Akang mau ke depan dulu ya, Tis. Ada yang mau diobrolkan dengan Mang Beben,” kata Kang Oded mengejutkanku. Ternyata aku ditinggalkan berdua dengan Mas Rudi.

Suasana yang awalnya santai dan nyaman, kembali kaku karena kepergian Kang Oded. Tapi kekakuan itu ternyata hanya sementara, sebentar saja aku dan Mas Rudi kembali santai. Malah dengan kepergian Kang Oded, kami bisa lebih bebas mengobrol dan bercanda.

Aku pikir, itulah awal mula tumbuhnya rasa diantara kami. Jangan salahkan aku yang selingkuh, bukankah ada peran Kang Oded juga dalam hal ini?

***

Seperti janjinya kemarin, Kang Oded datang menjemputku tepat pukul empat sore. Seharusnya hari ini aku lembur lagi, tapi aku sudah izin pada supervisor untuk tidak lembur karena ada urusan keluarga.

Aku sudah menyiapkan mental untuk pertempuran nanti malam. Jika harus bertengkar, biarlah pertengkaran itu kami lakukan di rumah. Jangan sampai aku dan Kang Oded bertengkar di kantor, aku takut dipecat nantinya.

Sebelum pulang ke rumah, Kang Oded mampir di warung soto langganan kami. Kang Oded memesan soto dan kami makan bersama. Selama makan, kami lebih banyak diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

Setelah sampai di rumah, barulah Kang Oded kembali membicarakan kemelut rumah tangga kami.

“Jangan sampai kita bercerai ya, Dik,” bujuknya lagi. 

Aku mulai putus asa dengan Kang Oded. Sepertinya, sampai kapan pun dia tak akan mau mengerti bahwa aku sudah tak ingin lagi bersamanya. 

“Kang, perasaanku sudah mati. Titik.” Aku kembali menegaskan.

“Kamu tahu kan, Dik. Perceraian itu perbuatan yang dibenci Allah,” imbuhnya sungguh-sungguh.

Oh, bagus betul omongannya. Sekarang Kang Oded bawa-bawa nama Allah. Mengapa dia tidak ingat Allah saat meminta Mas Rudi yang menjemputku pulang dari pabrik?

“Ya... Bagaimana ya, Kang. Kalau aku terus jadi istrimu, aku takut durhaka,” balasku tak kalah lihai.

“Akang nggak mau kan, aku berdosa setiap hari? Lebih baik kita cerai saja agar sama-sama bebas dari dosa,” tambahku semakin mantap.

Kang Oded menghela napas, ia pasti sadar sudah kalah bicara. Aku menunggu dengan sabar jurus apa lagi yang ingin dikeluarkan Kang Oded.

“Dik, kamu pasti kesepian di rumah, ya. Aku ingat dulu kamu minta kerja karena bosan di rumah,” suara Kang Oded terdengar melembut lagi. 

Aku diam, mencoba mengira-ngira ke mana arah pembicaraannya kali ini.

“Kita ke dokter yuk, Dik. Cari tahu penyebab mengapa kamu belum hamil juga,” Kang Oded tersenyum membujuk.

Oh, jadi sekarang Kang Oded mau membujukku dengan anak. Tapi tunggu, bukankah selama ini Kang Oded berprinsip bahwa anak diberikan Allah jika sudah dikehendaki-Nya? Mengapa sekarang Kang Oded berubah pikiran? Ini pasti hanya akal-akalannya agar aku membatalkan niat menggugat cerai.

“Anak itu urusan Allah, Kang. Manusia nggak bisa mengatur kapan punya anak, termasuk dokter.” Santai aku menyahut, mengembalikan ucapan yang dulu sering digaungkannya setiap kali aku mengeluh karena tak kunjung hamil.

Aku pikir ada baiknya juga kami tak punya anak, jadi ketika akan cerai tak perlu berebut hak asuh anak. 

Aku amati wajah Kang Oded yang terdiam, terlihat sekali Kang Oded tengah berpikir keras. Ingin tertawa aku dibuatnya, mati-matian ia mencari alasan dan dalih agar aku batal menggugat cerai.

“Dik, Bapak dulu sangat mendukung kita menikah. Jika kamu masih ingin cerai, akan aku laporkan perselingkuhanmu pada Bapak,” ancam Kang Oded dengan wajah mengeras. 

Aku terkejut.***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Ekstra Part 4: Resti dan Dewi

    Tisni membalik badan dan melangkah pergi, setelah sebelumnya berpamitan pada sahabatnya Dewi dan Resti di pintu gerbang mess. Dewi dan Resti sama-sama menatap tas ransel yang tergantung di punggung Tisni, menjauh bersama pemiliknya. Sosok Tisni lenyap di balik angkot yang membawanya pergi secepat kedatangannya yang mengebut.“Kasihan Tisni ya, Res,” desah Dewi pelan. Napasnya mengembus pelan namun berat.“Maksudmu?” sahut Resti. Bola hitam mata Resti bergulir ke sudut, melirik Dewi di sampingnya.“Ya, Tisni hanya dikadalin Mas Rudi,” jelas Dewi. Sekarang Dewi menggeleng-gelengkan kepala dengan raut wajah prihatin.“Hm, sebetulnya aku sudah menduga sejak lama lho, Dew,” balas Resti. Kepalanya ditelengkan miring, hingga wajahnya lurus ke arah wajah Dewi.“Oya? Kok bisa, Res? Kamu punya firasat begitu?” kejar Dewi. Dewi bal

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Ekstra Part 3: Kang Oded Mengejar Cinta

    Pasrah. Itulah sikap yang kupilih. Biar saja semua orang membicarakanku sekehendak hati. Lebih baik aku fokus pada pekerjaan. Meskipun dalam hati kecil, terbersit rasa penasaran. Siapa dalang penyebar fitnah ini?Suatu hari, aku ungkapkan ganjalan hati tentang hal ini pada Boy dan Beni. Mereka berdua sudah aku percaya, karena terbukti berulang kali tak pernah mencampuri urusan orang lain jika tak diminta.“Kalau menurutku, penyebar fitnah itu ya Santi sendiri,” ujar Beni sambil merokok.Usai satu kalimat, ia mengisap benda haram itu dengan nikmat. Asap keluar dari dua lubang hidungnya membentuk dua jalur asap.“Menurutku juga begitu. Santi sakit hati, makanya mengarang kisah untuk menyudutkanmu, Kang,” timpal Beni.Beni seorang perokok berat, levelnya melebihi Boy. Sekarang saja ia mengeluarkan bungkus rokok kedua, lalu sebatang rokok berpindah

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Ekstra Part 2: Kang Oded Mencari Pengganti

    Tiada hari tanpa penyesalan. Menyesal kurang memerhatikan Tisni, menyesal kurang menunjukkan rasa cintaku padanya, menyesal menganggap keluhannya sebagai angin lalu, menyesal dan menyesali banyak hal. Ribuan penyesalan silih berganti menghinggapi benak, hingga aku tenggelam dalam lautan keputusasaan.“Sudah, Ded. Jangan terlalu dipikirkan. Semua yang telah berlalu, anggaplah masa lalu kelabu. Pikirkan langkah baru,” nasihat Paman Andi kepadaku, sok bergaya menjadi pujangga.Tak aku jawab perhatian kakak ayahku itu. Hanya sorot mata pilu yang kuberikan sebagai tanggapan. Meskipun mulutku terkunci, sejatinya hatiku ingin menampik.“Mudah bagi Paman bicara itu, karena bukan Paman yang patah hati,” bisik hati kecilku.Lepasnya Tisni sebagai istri merupakan kehilangan besar yang berdampak hebat bagi jiwa dan ragaku. Baru dua minggu surat cerai dari Pengadilan Agama kuterima, berat

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Ekstra Part 1: Isi Hati Mas Rudi

    Cantik. Itu yang kulihat ketika pertama kali mengenal Tisni. Wajahnya lugu khas gadis kampung, namun ia tak terlihat kampungan. Kulitnya putih bersih dan halus, matanya tidak liar jelalatan, bahkan ia lebih sering menunduk jika berbicara dengan lelaki atau orang yang lebih tua.Kang Oded sendiri teman yang cukup menyenangkan. Sejak kantorku menyewa jasanya untuk membuat seragam kantor, kami mulai dekat. Awalnya aku ke rumahnya untuk urusan proyek baju seragam, lalu kunjunganku berlanjut untuk sekedar mengobrol santai.Keberadaan Tisni yang cantik menjadi daya tarik tersendiri bagiku untuk terus berkunjung ke rumah Kang Oded. Dengan bertandang ke rumahnya, aku berharap dapat menikmati wajah cantik Tisni.Saat Kang Oded meminta bantuanku untuk mengajari Tisni komputer, aku langsung menyanggupi. Ini kesempatan untuk berdekat-dekatan dengan Tisni. Siapa yang tak suka berdekatan dengan perempuan cantik yang harumnya melambung

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Syarat

    Keesokan harinya, sebuah paket besar datang ke rumah. Saat itu, kami sekeluarga sedang makan siang bersama.“Paket!” seru Abang pengantar paket dari ekspedisi.Aku menghambur ke pintu depan, lantaran tahu Ibu sudah cukup tua untuk berlari menyambut paket.“Ya?” Sapaku pada Abang paket.“Paket buat Ibu Tisni?” tanyanya, sementara mata Abang paket terpaku pada label di atas paket besar yang ditopang oleh kedua tangannya.“Saya sendiri,” jawabku antusias.“Silakan,” ujar Abang paket seraya menyerahkan paket besar seukuran kardus minuman mineral ke arahku.Aku menyambut paket terbungkus kertas tebal cokelat itu, sedangkan Abang paket mencatat sesuatu dalam notesnya.“Terima kasih,” ujarku otomatis.Aku berjalan masuk kembali sambi

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Nenek Minum Jamu

    Haruskah aku menerima Kang Oded kembali, setelah semua kekecewaan yang ia berikan? Rasanya tak mungkin aku menjilat ludah sendiri. Egoku mengajak untuk menolak tawaran Kang Oded.Tetapi ... Bukankah aku juga gegabah? Aku balas semua kelakuannya dengan pengkhianatan, sebelum kami resmi berpisah. Kalau dipikir-pikir lagi, aku pun sama bersalahnya dengan Kang Oded.Aku bingung.“Aku pikirkan dulu, Kang,” kataku akhirnya.Kang Oded mengangguk pelan. Tak kulihat kemarahan ataupun kekecewaan dari raut wajahnya. Mungkin reaksiku sudah diperkirakan olehnya.“Akang tunggu, Dik,” balasnya, tatapannya penuh ke arah mataku.“Oya, Akang mau berpantun dulu. Boleh?” tambahnya, tak terduga.“Boleh, Kang,” jawabku sambil mengangguk.“Ke Cikini membeli dukuhWayah gini masih

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status