Share

Kemarahan Kang Oded

“Ini Akang bawakan gorengan,” Kang Oded mengulurkan bungkusan hitam di tangannya. 

Oh, ternyata isi bungkusan itu gorengan. Tapi, tapi... Aku tak begitu suka gorengan yang asin. Gorengan memang camilan kesukaan Kang Oded, tapi bukan kesukaanku. Aku suka yang manis-manis seperti terang bulan. Satu bukti lagi betapa tak perhatiannya Kang Oded padaku. Masa menikah sepuluh tahun masih tak tahu makanan kesukaanku? Aku menepuk jidat.

“Ada apa, Dik?” Kang Oded bingung melihat aku menepuk jidat.

“Nggak, Kang. Aku kira ada nyamuk di dahiku,” kataku berbohong. 

“Terima kasih gorengannya. Ayo ke ruang tamu, Kang.” Aku berjalan mendahului Kang Oded menuju ruangan khusus menerima tamu bagi pegawai. Aku tak ingin pembicaraanku didengar oleh para satpam di luar. 

Kami duduk berhadapan. Senyum dan tatapan Kang Oded tak lepas dariku saat berbicara.

“Ada apa, Kang? Jangan lama-lama, aku sedang lembur. Nanti bisa ditegur supervisor,” aku memperingatkan Kang Oded dengan tatapan dingin.

Sebetulnya, hatiku resah kalau-kalau Mas Rudi tiba-tiba datang. Bisa berabe jika dua lelaki ini bertemu dan bertengkar di pabrik. Aku tak mau jadi bahan gunjingan teman-teman nantinya.

“Bagaimana, Dik. Dik Tisni mau kan berbaikan? Jangan cerai ya, Dik.” Kang Oded menatap penuh harap ke arahku. 

“Maaf, Kang. Sepertinya aku nggak bisa lagi,” kataku sambil membuang pandang. Senyum Kang Oded langsung lenyap.

“Dik, apa hanya kesalahanku saja yang kamu besar-besarkan? Apa aku nggak pernah berbuat baik sama kamu?” Suara Kang Oded mulai terdengar frustrasi.

Aku berpikir dan mengingat. Ya, tentu saja ada banyak kebaikan Kang Oded padaku. Aku menyadari dan mengakuinya.

“Aku biayai kamu main ke Ancol saat ingin jalan-jalan bersama teman SD. Ingat?” Kang Oded menyegarkan ingatanku. 

Aku mengangguk-angguk. Ya, memang aku pernah bertamasya ke Ancol atas biaya penuh Kang Oded. Dia sendiri tidak ikut kala itu, karena sedang ada proyek menjahit seragam sekolah.

“Aku juga memberimu hadiah ulang tahun kalung emas saat kamu berulang tahun yang ke-26. Ingat?” Kang Oded mengingatkan lagi.

Aku terus mengangguk-angguk. Aku ingat, akulah yang minta diberi hadiah ulang tahun. Jika aku tak minta hadiah, maka Kang Oded pasti lupa bahwa pada hari itu aku berulang tahun. Kang Oded memberi hadiah bukan atas inisiatif dirinya sendiri. 

Ya, dia baik. Tapi, dia kurang peka. Anehnya, Kang Oded tak pernah sadar bahwa sikap kurang pekanya sering membuatku geram.

“Aku tak seburuk yang kamu pikirkan, Dik,” katanya semakin berani.

Eh, apa-apaan? Jadi dia mau memaksakan pendapat bahwa dirinya tak seburuk yang aku pikir? Enak saja Kang Oded bicara. 

“Iya, Akang memang sebetulnya baik...” Aku sengaja membuatnya melambung. Kang Oded tersenyum puas, rasa percaya dirinya kembali membesar seperti balon.

“Sayangnya aku sudah nggak cinta kamu lagi, Kang.” Kemudian aku mengempaskannya keras-keras. Senyum di wajah Kang Oded kembali jatuh. Rasakan!

“Aku percaya Akang akan menemukan orang yang lebih baik dariku,” lanjutku halus, menolak ajakannya untuk kembali. 

Siapapun tahu, kalimat klise itu memiliki arti yang berkebalikan. Maksudku yang sebenarnya adalah aku akan menemukan orang yang lebih baik dari dirinya.

“Kamu nggak adil sama aku, Dik! Kamu nggak memberi kesempatan buatku untuk berubah,” Kang Oded mulai marah. Emosiku jadi ikut tersulut mendengar ucapannya.

“Jadi aku harus bagaimana agar adil?” Tantangku gemas.

“Beri aku kesempatan kedua! Beri waktu untuk membuktikan bahwa aku bisa jadi suami yang kamu inginkan!” Tangan Kang Oded menggebrak meja. 

Gawat! Apa bunyi gebrakan itu terdengar sampai ke luar? Suara Kang Oded juga bertambah tinggi. Aku jadi takut pertengkaran kami terdengar oleh teman-temanku. Aku harus lebih berhati-hati bicara padanya. 

Otakku berpikir keras, mencari cara agar Kang Oded mau pulang secepatnya. Kalau terjadi keributan, mau ditaruh di mana mukaku di hadapan teman-teman. Selain itu, penilaian bos terhadapku bisa berubah miring. Aku tak mau dianggap membawa masalah pribadi ke tempat kerja. Aku harus...

“Baik. Aku mau memberi Akang kesempatan. Besok aku pulang, kita bicarakan di rumah. Jangan di sini,” pungkasku tegas.

“Sekarang saja kita pulang bersama,” Kang Oded mulai memaksa.

“Aku harus lembur hari ini. Akang mau aku dapat masalah?” Aku tatap tajam matanya, untuk melihat reaksinya.

Kang Oded mengangguk-angguk. Pasti dia tak mau aku mendapat masalah gara-gara dia. Kalau sampai berbuat begitu, aku akan langsung menolak bertemu lagi.

“Baik, Dik. Besok Akang jemput kamu sepulang kerja,” suara Kang Oded kembali merayu. 

Aku mengangguk, berharap dia segera pergi dari hadapanku. Hatiku sudah ketar-ketir memikirkan Mas Rudi yang mungkin datang kapan saja. 

“Akang pulang dulu,” pamitnya sebelum berdiri. 

Aku keluar bersama Kang Oded dari ruang tamu pabrik. Aku amati punggung kurus Kang Oded sampai sosoknya menaiki sepeda motor. Bunyi knalpot sepeda motor butut Kang Oded semakin menjauh. Aku menarik napas panjang karena lega.

“Dik Tisni!” Aku menoleh ke arah sumber suara. Mas Rudi datang mendekat dengan senyum menghias wajah. Aku melongo kaget. Ternyata Mas Rudi sudah datang.

“Baru datang, Mas?” Tanyaku heran.

“Sudah setengah jam yang lalu. Kata Pak Satpam kamu sedang ada tamu, jadi aku menunggu di pos.” 

Mas Rudi menoleh ke arah pos satpam. Seorang satpam mengamati percakapan kami dari kejauhan. Mas Rudi mengangguk dan tersenyum ke arahnya, sebagai tanda ucapan terima kasih. Pak Satpam tersenyum kembali lalu masuk ke dalam pos jaganya.

“Ini, Mas bawakan martabak manis kesukaanmu,” Mas Rudi menyerahkan kotak makanan yang terbungkus plastik putih. 

Aku tersenyum senang, tanganku bergerak mengambil bungkusan yang terulur.

“Ayo ke ruang tamu, Mas,” ajakku pada Mas Rudi. Beriringan kami menuju ruang tamu.

“Mas Rudi tahu siapa tamuku?” Pancingku karena ingin tahu.

“Tahu,” jawabnya singkat. Aku mengangguk, kami tahu sama tahu. Tak perlu membahasnya lebih jauh.

“Kang Oded sudah tahu tentang kita,” kataku sambil mencomot sepotong martabak manis.

“Dari mana Kang Oded tahu?” Mas Rudi tampak penasaran.

“Ponselku dibuka oleh Kang Oded. Aku sih senang, nggak bisa selamanya kita kucing-kucingan.” Aku menggigit potongan martabak manis dengan nikmat.

“Tadi apa kata Kang Oded?” Mas Rudi menatapku serius.

“Dia mengajakku berbaikan. Besok sore aku dijemput pulang untuk membicarakan itu di rumah,” aku berkata terus terang dan apa adanya.

Wajah Mas Rudi tampak aneh, entah apa yang dipikirkannya. Aku harus tahu apa itu.

“Kenapa, Mas?” Aku menghentikan kunyahan di mulut.

“Aku sebetulnya nggak enak sama Kang Oded, aku sudah mengkhianati kepercayaannya,” Mas Rudi menunduk terpekur. Aku diam sambil mengunyah martabak manis pelan-pelan. Mulut kami sama-sama terkunci.

Ingatanku mundur ke beberapa bulan yang lalu, pada momen awal perkenalanku dengan Mas Rudi. Saat itu, aku belum bekerja di pabrik konveksi. Aku masih menganggur dan merasa bosan luar biasa. ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status