Share

Kalah Satu Langkah

Gawat! Kang Oded mau bawa-bawa keluarga dalam masalah kami. Sejenak aku panik, teringat pada Bapak dan Ibu di rumah yang akan terkaget-kaget mendengar kabar ini.

Pikiran burukku muncul, Kang Oded tidak sekadar akan menjadikan besar persoalan ini di antara keluargaku, tapi juga di keluarganya. Terbayang olehku sorot mata marah Ibu akibat tingkahku, juga cibiran dari keluarga besar Kang Oded. Siapkah aku menanggung malu dan disalahkan oleh dua keluarga? Hatiku kebat-kebit.

Eh, tapi tunggu dulu. Tadi Kang Oded bilang akan melaporkan pada ayahku saja. Ia tak mengancam akan mengabari keluarganya juga. Pikiranku mulai berpikir jernih. Kang Oded hanya ingin mengancamku agar kembali padanya dengan bantuan dari keluargaku. Ia tak bermaksud mengabari keluarganya tentang masalah kami, setidaknya belum.

Jangan-jangan ia hanya menggertak? Baik kalau begitu. Aku juga bisa balas menggertak.

“Silakan saja, Kang. Aku tidak takut. Apa Kang Oded pikir Bapak mau membela Akang yang hanya menantu? Aku ini anak kandung Bapak lho, Kang.” Aku menekankan kata menantu dan anak kandung agar ia tahu posisinya.

Dari luar aku terlihat tegar dan tak gentar, padahal dalam hatiku tersimpan rasa takut juga. Aku takut Kang Oded melaksanakan ancamannya, sehingga aku harus mengakui semua perbuatanku pada Bapak dan Ibu di kampung.

Aku lihat mata Kang Oded berputar dari kiri ke kanan, bibirnya bergerak-gerak seperti akan mengatakan sesuatu. Namun, akhirnya bibir itu terkatup rapat. Tangan Kang Oded mengepal dua-duanya. Aku kembali takut, buat apa Kang Oded mengepalkan tangan? Apakah ia mau...

Brakkk! Aku menjerit kecil. Tangan Kang Oded menghantam meja di dekatnya. Gerakan tiba-tiba itu membuatku terlonjak dari tempat duduk.

“Aku percaya Bapak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Baik, jadi kamu ingin masalah ini sampai kepada Bapak?” Mata Kang Oded menatapku tajam.

Aku ketar-ketir juga melihat sorot matanya yang penuh tekad. Tapi aku tak berniat mengalah ataupun kalah. Aku balas tatapan matanya untuk menunjukkan bahwa aku tak takut diancam.

“Masih ada waktu untuk kamu berpikir, Dik. Ingat, kamu akan malu kalau sampai aku beritahukan hal ini kepada Bapak. Aku beri waktu seminggu,” Kang Oded memberi ultimatum.

Aku malas menjawabnya. Aku bangkit mengambil sikat gigi. Aku mau ke kamar mandi lalu tidur. Besok, aku akan kembali menginap di pabrik.

Aku berbaring di tempat tidur sambil berpikir. Aku teringat lagi ucapan Kang Oded yang terakhir, bahwa aku akan malu jika masalah kami sampai kepada Bapak. Aku rasakan ucapan Kang Oded ada benarnya. Bukan hanya aku yang akan malu pada Bapak, tapi Bapak juga pasti malu memiliki anak yang memiliki masalah rumah tangga.

Bagaimanapun, aku yang mulai berkhianat. Dari sisi mana pun aku yang akan disalahkan. Tak akan ada yang mau peduli, apa saja yang sudah aku alami sehingga akhirnya aku berbuat itu.

Tiba-tiba Kang Oded masuk ke kamar. Bau asap rokok yang melekat di bajunya menguar hingga ke sudut ruang kamar tidur yang memang sempit. Aku tahu dari tadi Kang Oded merokok di luar rumah, mungkin ia masuk karena udara yang semakin dingin. Aku saja yang di dalam kamar kedinginan, apalagi di luar.

Aku tarik selimut satu-satunya yang kami miliki ke seluruh badan. Aku berbalik  miring menghadap dinding, tak mau melihat sosoknya di dalam kamar. Aku rasakan Kang Oded berbaring di sebelahku, lalu mengambil sebagian selimut yang aku pakai.

Sekarang baru aku ingat lagi, dulu-dulu ia sering meninggalkanku tidur sendiri. Kang Oded lebih memilih begadang mengobrol dengan Mang Beben tetangga di depan rumah atau menonton sepak bola jika sedang ada tayangan di TV. Sangat jarang kami mengobrol bersama.

Tatkala aku mulai bekerja di pabrik konveksi, Kang Oded tak mengubah kebiasaannya. Jarang-jarang aku ada di rumah, sekalinya pulang malah tak semakin mesra. Itu juga salah satu penyebab yang membuatku lebih senang menginap di pabrik. Di sana aku punya banyak teman untuk mengobrol.

Andai saja bisa, ingin rasanya aku pergi tidur ke ruang depan. Hatiku sudah tak sudi tidur bersama dengannya, apa daya di luar kamar jauh lebih dingin daripada di dalam kamar. Aku terpaksa berdamai dengan keadaan.

***

Pagi-pagi sekali, aku sudah bangun dan menyiapkan tas untuk pergi bekerja dan menginap. Sebelum beranjak ke kamar mandi, aku lirik Kang Oded yang masih mengorok di atas kasur. Mulutnya setengah terbuka, cairan bening meleleh dari celah bibirnya ke atas bantal.

Aku keluar pergi mandi. Kamar mandi rumah RSSS sewaan ini memang berada di luar rumah, tetapi bukan kamar mandi umum. Kami memiliki kunci kamar mandi sendiri, sehingga hanya kami yang dapat menggunakan kamar mandi di luar itu.

Aku berganti baju dan berdandan dengan hati-hati, agar tak membangunkan Kang Oded yang masih pulas. Aku ingin pergi tanpa ketahuan olehnya, takut diajak berselisih lagi.

Langkah pertamaku keluar rumah, aman. Aku menarik napas lega. Aku rapatkan pintu dengan sangat perlahan, sebelum berjalan cepat menuju jalan raya. Sebuah angkot berhenti di depanku, tepat saat aku tiba di tepi jalan. Kebetulan.

***

Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel saat aku sedang menjahit. Saat itu matahari baru mulai memancarkan sinar terang yang menyilaukan.

Dik, pergi kok nggak bilang-bilang? Pesan itu dari Kang Oded.

Maaf, Kang. Akang tadi sedang tidur, jadi tidak aku bangunkan. Balasku mencoba manis.

Padahal Akang kan mau mengantarmu pergi kerja, balasnya lagi.

Aku tersenyum sinis. Kentara sekali Kang Oded ingin membujukku dengan sikap sok perhatian. Aku sudah tak memerlukan perhatian Kang Oded yang terlambat itu. Dulu, Kang Oded sering menyuruhku pergi kerja dengan naik angkot. Sangat jarang ia bersedia mengantarku ke pabrik. Jadi, apa salah jika aku merasa perhatiannya itu palsu?

Tidak apa-apa, Kang, jawabku singkat. Malas berpanjang kata. Ponsel aku letakkan kembali ke dalam laci meja. Terdengar lagi bunyi pesan masuk, tapi tak aku pedulikan.

Aku teringat lagi pada ancaman Kang Oded. Sebelum ia melaksanakan ancaman itu, aku harus lebih dulu mengabari Bapak dan Ibu. Biar Bapak dan Ibu mengetahui masalah ini dari aku langsung.

Aku menghitung hari,  Kang Oded memberiku waktu seminggu. Artinya, ia baru akan mengadu pada Bapak setelah seminggu. Sekarang baru hari Kamis, sedangkan aku baru bisa bebas kerja mulai Sabtu siang yang akan datang. Masih ada cukup waktu sebelum Kang Oded melaksanakan ancamannya.

Rasanya aku ingin terbang sekarang juga ke kampung halaman. Tapi apa boleh buat, aku harus menunggu beberapa hari lagi untuk bisa pulang. Aku harus bersabar.

***

Sabtu siang yang aku tunggu tiba. Selepas jam kerja usai, aku sandang tas ransel yang berat penuh beban di punggung. Kakiku melangkah mantap menuju terminal bus antar kota.

Aku sangat lega setelah turun dari bus dan memasuki tapal batas kampung kelahiran. Tidak banyak yang berubah dari kampung kecil ini, masih sepi dan lengang. Mungkin malah bertambah sepi, karena para anak muda semakin banyak yang merantau pergi ke kota.

Aku berjalan pelan-pelan, akibat beban berat di punggungku. Isi tas ransel membuat jalanku terseok-seok, hampir tak sanggup menanggung beban isi tas yang berat. Akan tetapi, beratnya tas tak seberat hatiku yang dipenuhi beban masalah rumah tangga.

Senyumku merekah cerah tatkala melihat pagar rumah kayu yang aku rindu. Tiba-tiba saja aku mendapat tenaga baru untuk mempercepat langkah. Aku ingin segera melepas rindu kepada Bapak dan Ibu.

Sebuah sepeda motor butut yang amat aku kenal parkir di bagian dalam halaman rumah. Senyum menguap dari wajahku. Aku tertegun, lalu mengerjapkan mata beberapa kali. Aku sedang tak berhalusinasi, kan? Apakah betul itu sepeda motor...

“Tisni!” Sebuah suara yang aku hapal memanggil namaku.***

Hawa Hajari

Kira-kira, bagaimana masalah ini dari sisi Kang Oded, ya? Yuk, baca ceritanya besok. Bersambung ke: Niat Baik Berbuah Luka. Tunggu terbitnya besok, ya.

| 1

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status