Tisni membalik badan dan melangkah pergi, setelah sebelumnya berpamitan pada sahabatnya Dewi dan Resti di pintu gerbang mess. Dewi dan Resti sama-sama menatap tas ransel yang tergantung di punggung Tisni, menjauh bersama pemiliknya. Sosok Tisni lenyap di balik angkot yang membawanya pergi secepat kedatangannya yang mengebut.
“Kasihan Tisni ya, Res,” desah Dewi pelan. Napasnya mengembus pelan namun berat.
“Maksudmu?” sahut Resti. Bola hitam mata Resti bergulir ke sudut, melirik Dewi di sampingnya.
“Ya, Tisni hanya dikadalin Mas Rudi,” jelas Dewi. Sekarang Dewi menggeleng-gelengkan kepala dengan raut wajah prihatin.
“Hm, sebetulnya aku sudah menduga sejak lama lho, Dew,” balas Resti. Kepalanya ditelengkan miring, hingga wajahnya lurus ke arah wajah Dewi.
“Oya? Kok bisa, Res? Kamu punya firasat begitu?” kejar Dewi. Dewi bal
Terima kasih sudah membaca cerita ini sampai TAMAT. Baca juga cerita saya yang lain di GoodNovel: Terjerat Sugar Baby. Kisah Uzy, mahasiswa lugu yang terpesona pada seorang sugar baby. Cerita-cerita saya yang lain bisa dibaca di Kbmapp dan Innovel.
“Kamu selingkuh, Dik?” Mata Kang Oded menatapku lurus-lurus.Ia berdiri tegak di depan meja kamar. Meja satu-satunya dalam kamar sempit ini, tempat meletakkan rice cooker dan keranjang kecil berisi peralatan makan yang berbilang tak sampai sepuluh.Aku yang baru keluar dari kamar mandi, tertegun. Kuusap anak rambut yang masih basah di dekat telinga.“Kenapa Akang tanya begitu?” Aku tatap balik matanya. Langkahku menuju lemari plastik kecil berisi aneka pakaian menjadi terhenti.“Ini buktinya!” Kang Oded mengacungkan ponselku. Mataku mengerjap sekali.Ponsel itu aku tinggalkan di atas kasur ketika ke kamar mandi di b
“Ce, cerai, Dik?!” Mata Kang Oded melotot, tangannya bergetar. Tubuhnya yang kurus akibat banyak merokok dan jarang makan itu goyah, lalu ia berpegangan pada televisi. Lebay!“Iya, Kang. Kita sudahi saja semua ini.” Aku menguap lelah, rasa kantuk menyerangku. Topik tentang masa depan pernikahan ini sudah tamat buatku.Aku tata bantal di kasur, lalu mulai bersiap tidur. Tak aku hiraukan Kang Oded yang masih berdiri terpaku, terguncang dengan keputusanku. Untuk sesaat tak ada kata-kata lain yang keluar dari bibir hitamnya yang setiap waktu mengisap rokok.Kepala aku letakkan di atas bantal. Nyaman betul rasanya. Aku berbaring memunggungi Kang Oded. Entah apa yang dilakukannya, terserah dia saja.
“Dik,” panggil Kang Oded mesra. Matanya melirik ke arahku di sebelahnya.“Hmmm,” gumamku sambil terus mengunyah nasi. Apa boleh buat, aku terpaksa harus mendengar ocehannya lagi sepagi ini.“Mau tidak setiap pagi aku yang belikan sarapan? Lalu kita makan bersama seperti ini.” Kentara sekali rayuannya agar aku mau kembali dengannya.Bujukan Kang Oded terdengar sesejuk angin surga, indah, menggoda, dan melambungkan wanita. Sayangnya, aku sudah tak percaya lagi kepadanya. Bukan apa-apa, aku ragu ia mampu melaksanakan rayuannya sesuai janji. Jika memang menghargaiku sedari awal, mengapa tidak dari dulu saja ia semanis ini.“Mau kan, Dik?” Kang Oded melirikku
“Ini Akang bawakan gorengan,” Kang Oded mengulurkan bungkusan hitam di tangannya.Oh, ternyata isi bungkusan itu gorengan. Tapi, tapi... Aku tak begitu suka gorengan yang asin. Gorengan memang camilan kesukaan Kang Oded, tapi bukan kesukaanku. Aku suka yang manis-manis seperti terang bulan. Satu bukti lagi betapa tak perhatiannya Kang Oded padaku. Masa menikah sepuluh tahun masih tak tahu makanan kesukaanku? Aku menepuk jidat.“Ada apa, Dik?” Kang Oded bingung melihat aku menepuk jidat.“Nggak, Kang. Aku kira ada nyamuk di dahiku,” kataku berbohong.“Terima kasih gorengannya. Ayo ke ruang tamu, Kang.” Aku berjalan mendahului Kang Oded menuju r
“Kang, aku nggak ada kegiatan. Aku mau cari kerja,” pintaku sambil cemberut pada Kang Oded yang asyik menjahit.Biasanya, Kang Oded akan mengabulkan apapun keinginanku bila aku sudah merajuk. Kang Oded menghentikan tekanan kakinya pada pedal dinamo mesin jahit, lalu mengerutkan dahi.“Kamu mau kerja? Kerja apa modal ijazah SMP? Apa ada perusahaan yang mau terima?”Aku terdiam mendengar alasan Kang Oded, benar juga.“Sebelum kerja, kamu harus meningkatkan kemampuan. Kamu bisa komputer?” Kang Oded melirikku. Aku menggeleng lemah, pupus rasanya harapanku.“Aku punya teman yang bisa mengajari komputer. Kamu
Gawat! Kang Oded mau bawa-bawa keluarga dalam masalah kami. Sejenak aku panik, teringat pada Bapak dan Ibu di rumah yang akan terkaget-kaget mendengar kabar ini. Pikiran burukku muncul, Kang Oded tidak sekadar akan menjadikan besar persoalan ini di antara keluargaku, tapi juga di keluarganya. Terbayang olehku sorot mata marah Ibu akibat tingkahku, juga cibiran dari keluarga besar Kang Oded. Siapkah aku menanggung malu dan disalahkan oleh dua keluarga? Hatiku kebat-kebit. Eh, tapi tunggu dulu. Tadi Kang Oded bilang akan melaporkan pada ayahku saja. Ia tak mengancam akan mengabari keluarganya juga. Pikiranku mulai berpikir jernih. Kang Oded hanya ingin mengancamku agar kembali padanya dengan bantuan dari keluargaku. Ia tak bermaksud mengabari keluarganya tentang masalah kami, setidaknya belum. Jangan-jangan ia hanya menggertak? Baik kalau begitu. Aku juga bisa balas menggertak. &
Bunyi derit pintu membangunkan aku dari alam mimpi. Sebelah mata aku mengintip, mencoba mencari bayang dari pintu depan yang baru saja menutup. Samar-samar, aku lihat baju biru milik Tisni. Rupanya ia pergi diam-diam selagi aku tidur.Aku diam terpekur di atas pembaringan. Sisa kantuk tadi malam sudah lenyap, seiring dengan bunyi perut yang menjerit minta diisi. Akan tetapi, aku malas keluar mencari sarapan. Aku pilih melamun memikirkan pernikahan bersama Tisni yang berada di ujung tanduk.Aku memang salah langkah sejak awal. Tidak seharusnya aku biarkan Tisni lama berduaan dengan Rudi. Niat awalku hanya ingin agar istri cantikku itu bertambah pintar, aku tidak menyangka akan begini akhirnya.Aku mengenal Rudi ketika mendapat proyek menjahit seragam pegawai salah satu kantor pemerintah. Di kantor itu, Rudi merupakan pegawai administrasi keuangan yang bertugas untuk membayar upahku. Oleh karena
“Assalamu’alaikum...” Aku melempar salam di depan rumah Pak Madya.Kebetulan istri Pak Madya yang keluar, wanita paruh baya berwajah teduh dan berkerudung panjang.“Wa’alaikumussalam. Oh, Kang Oded. Cari Bapak? Masuk dulu, Kang,” kata istri Pak Madya ramah. Pintu rumah dibukanya lebar-lebar.“Duduk dulu, ya. Bapak sedang di kamar mandi,” istri Pak Madya mempersilakan aku untuk duduk di kursi tamu.Istri Pak Madya menghilang ke dalam lagi. Tak berapa lama, dia muncul dengan sebuah nampan berisi segelas kopi dan sepiring kecil pisang goreng.“Silakan dinikmati dulu. Mungkin Bapak agak lama, Kang.” Istri Pak Madya masuk ke dalam lagi.Aku duduk menunggu sambil menikmati hidangan. Aku melamun lagi. Sejak Tisni ketahuan berselingkuh, aku jadi sering melamunkan masa lalu.