“Assalamu’alaikum...” Aku melempar salam di depan rumah Pak Madya.
Kebetulan istri Pak Madya yang keluar, wanita paruh baya berwajah teduh dan berkerudung panjang.
“Wa’alaikumussalam. Oh, Kang Oded. Cari Bapak? Masuk dulu, Kang,” kata istri Pak Madya ramah. Pintu rumah dibukanya lebar-lebar.
“Duduk dulu, ya. Bapak sedang di kamar mandi,” istri Pak Madya mempersilakan aku untuk duduk di kursi tamu.
Istri Pak Madya menghilang ke dalam lagi. Tak berapa lama, dia muncul dengan sebuah nampan berisi segelas kopi dan sepiring kecil pisang goreng.
“Silakan dinikmati dulu. Mungkin Bapak agak lama, Kang.” Istri Pak Madya masuk ke dalam lagi.
Aku duduk menunggu sambil menikmati hidangan. Aku melamun lagi. Sejak Tisni ketahuan berselingkuh, aku jadi sering melamunkan masa lalu.
Tisni, istri cantik yang aku banggakan. Aku jatuh cinta sejak pertama kali bertemu. Sepuluh tahun yang lalu, aku terpaku saat melihatnya membantu membungkus tas ransel produksi rumahan milik ayahnya.
“Adik kerja di sini?” Aku mendekatinya. Saat itu aku belum tahu dia putri pemilik usaha tas ransel yang ingin aku pasarkan.
Tisni menengadah karena terkejut, kemudian menunduk malu-malu saat menjawab,
“Bukan, Pak. Saya anak Pak Ilham,” ujarnya lirih sekali.
Pipinya bersemu merah, menambah cantik rupanya yang sudah jelita. Kemudaan dan kecantikannya memikat hatiku yang sudah lama membujang. Saat itu juga aku bertekad, ingin melamarnya menjadi istriku. Mendadak saja ada kemantapan dalam jiwa, bahwa inilah jodohku.
“Jangan panggil Pak, dong. Aku belum setua itu, panggil saja Aa atau Akang. Oya, namaku Oded,” kataku mengenalkan diri.
Tisni melirik sekilas ke arahku, kemudian mengangguk lagi dengan semu merah di pipi. Ah, manisnya.
“Ba, baik, Pak... Eh, Kang Oded,” jawabnya terbata. Aku tersenyum puas.
“Kamu belum menyebutkan nama,” kataku mengingatkan.
“Tisni...” katanya singkat, kemudian menunduk dengan pipi merona lagi.
Hmmm... Aku yakin telah jatuh cinta padanya seratus persen.
“Wah. Kamu sudah datang, Ded?” Mendadak ayah Tisni muncul, memutuskan percakapan yang sedang asyik-asyiknya.
“Iya, Pak Ilham. Barusan saja, kok. Ini putrinya Bapak? Cantik,” pujiku terang-terangan.
Aku lirik Tisni dengan sudut mata. Ah! Dia tersipu lagi. Pemalu betul gadis ini, menambah rasa sayang di dalam hati.
“Oh, jelas! Anak saya ini kembang kampung,” balas ayah Tisni bangga. Senyum lebar menghias wajahnya yang dipenuhi cambang lebat.
“Mari duduk dulu. Sulit tidak mencari alamat saya?” Ayah Tisni menunjuk kursi sofa yang ada di sudut ruangan, sofa berwarna kusam yang sudah tak jelas warna dasarnya.
“Tidak, Pak. Saya sudah diberi petunjuk jelas oleh paman Andi,” jawabku dengan senyum menghias bibir.
Aku mengetahui tentang Pak Ilham dan usahanya dari pamanku Andi. Paman Andi memiliki usaha jahitan busana tailor. Lama malang melintang di usaha jahit menjahit, hingga akhirnya kenalan dan pelanggan Paman Andi sangat banyak. Bahkan, dari Paman Andi pula aku belajar menjahit dan ikut membuka usaha jahitan.
Salah satu kenalan Paman Andi ialah Pak Ilham, pengusaha tas ransel rumahan. Pertama kali melihat tas ransel buatan Pak Ilham di ruang pamer milik Paman, aku langsung tertarik untuk memasarkannya. Aku minta alamat Pak Ilham kepada Paman Andi.
Jadilah aku sekarang ada di sini, menyambangi usaha Pak Ilham untuk melebarkan pintu rezeki. Tak aku sangka, di kampung ini aku bertemu dengan gadis semenawan Tisni. Meskipun telah banyak melihat gadis di kota, Tisni yang gadis kampung justru terasa istimewa. Wajahnya sangat berkelas, tidak seperti perempuan kampung pada umumnya.
Aku bergerak bersama Pak Ilham mendekati sofa yang warnanya entah hijau zaitun entah cokelat daun kering. Aku mendaratkan pantat di salah satu sofa, terasa betul busanya sudah kempes akibat termakan usia.
“Jadi kamu ingin memasarkan tas ransel yang saya produksi?” Pak Ilham langsung membuka percakapan.
“Betul, Pak. Kebetulan saya punya beberapa teman yang memiliki toko pakaian dan alat tulis sekolah. Saya ingin mencoba memasarkannya di kota,” aku menjawab mantap.
“Saya lihat tas produksi Bapak bagus jahitannya, harganya juga bersaing. Saya yakin bisa memasarkannya,” tambahku untuk meyakinkan Pak Ilham.
Sambil mengobrol, sesekali aku melirik ke arah Tisni. Gadis itu kembali asyik membungkus tas-tas produksi ayahnya. Tangannya terlihat cekatan memasukkan tas, merapikan plastik pembungkus, dan menyematkan selotip untuk menutup rapat plastik bungkus. Tipe istri yang teliti, sempurna! Kekagumanku kepada Tisni semakin bertambah.
Aku semakin sering mengunjungi ayah Tisni untuk membicarakan bisnis tas. Selain soal bisnis, tujuanku tentu saja untuk melihat Tisni lagi. Hari demi hari berlalu, aku semakin akrab dengan Tisni dan ayahnya. Aku dan keluarganya semakin mengenal lebih dekat.
Satu hal yang sangat aku sukai dari Tisni. Dia tak hanya cantik, tapi juga santun. Makanya aku heran ketika dia berani berkata ketus kepadaku tempo hari, sampai berani mengatakan bahwa dia sudah tak ada rasa lagi padaku.
Aku tak menyangka Tisni bisa mengkhianatiku. Jujur saja, aku sangsi dengan ucapannya. Timbul kecurigaan dalam hatiku, jangan-jangan Tisni disantet oleh Rudi? Kalau tidak, mana mungkin istri yang sangat mencintaiku itu bisa berpaling kepada Rudi?
“Assalamu’alaikum. Ah, Kang Oded! Lama nggak kelihatan. Ke mana saja?” Sapaan Pak Madya membuat lamunanku buyar seperti asap tertiup angin.
“Wa’alaikumsalam, Pak. Ada di rumah, sedang banyak pekerjaan,” kataku berbohong.
“Alhamdulillah! Lancar rezekinya, Kang,” balas Pak Madya dengan senyum cerah di wajah. Beliau lalu duduk di hadapanku.
“Musala masih ramai, Pak?” Tanyaku berbasa-basi, sebelum masuk ke maksud sebenarnya.
“Yah begitulah, Kang. Masih satu shaf yang ramai waktu shalat Magrib. Kalau Zuhur sih, paling saya sendiri yang shalat. Hahahaaa...” Pak Madya tertawa miris.
Aku ikut tertawa, meskipun ada rasa sungkan karena aku juga jarang shalat di musala.
“Begini, Pak Madya. Saya mau minta saran,” kataku memulai urusan.
Aku membetulkan duduk saat mulai berbicara. Pak Madya mengamatiku dengan pandangan mata bertanya-tanya.
“Saya sedang ada masalah dengan istri. Sekarang dia nggak mau pulang ke rumah,” kataku sungguh-sungguh. Sorot mataku lurus memandang manik mata Pak Madya, untuk menunjukkan betapa aku serius.
“Wah! Sudah berapa lama istri nggak pulang, Kang?” tanya Pak Madya terkejut, bahkan alis putihnya sampai bertaut.
“Sudah seminggu ini lah, Pak. Dia pilih menginap di mess pabrik konfeksi tempat kerjanya,” jawabku sambil menghela napas berat.
“Apa mungkin hanya ngambek saja, Kang? Dijemput bisa langsung pulang, apalagi jika dijajani baju atau skin care,” balas Pak Madya dengan sedikit senyum di sudut bibir.
Aku menggeleng lemah. Andai saja Tisni hanya ngambek biasa, tentu aku tak akan segalau ini.
“Bukan hanya ngambek, Pak. Istri saya juga minta cerai,” jelasku sambil menunduk lesu.
“Hm. Kelihatannya bukan main-main marahnya istri Kang Oded,” timpal Pak Madya, sebelah tangannya mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi segelintir janggut putih.
“Lumayan, Pak. Istri saya juga sekarang seperti membenci saya. Apa dia kena santet ya, Pak?” Aku mengungkapkan kecurigaan.
Pak Madya terkejut mendengar perkataanku, mulutnya sampai terbuka sebagian.***
Apa betul dugaan Kang Oded? Menurutmu Kang Oded ini orangnya gimana? Lanjut besok ke: Mencari Penengah.
“Santet? Kok Kang Oded bisa menyangka begitu?” Pak Madya mengerutkan dahi, sebelah tangannya menggaruk telinga kiri. Wajah Pak Madya terlihat kebingungan.“Karena sikapnya aneh, Pak. Istri yang dulu sangat cinta pada saya sekarang berbalik membenci. Bukankah santet pengasihan begitu, Pak? Membuat istri membenci suami atau sebaliknya, hingga akhirnya suami-istri berpisah,” kataku panjang lebar.Pak Madya mengangguk-angguk. Tapi ekspresi wajahnya tak bisa aku tebak, setuju atau tidak setuju dengan kecurigaanku barusan. Pak Madya menghela napas.“Kita jangan berprasangka buruk dulu, Kang. Mungkin ada masalah lain yang membuat istri menjadi berubah sikap,” Pak Madya memberi nasihat.Aku terdiam. Ya, masalahnya ada pada Rudi. Pasti Rudi yang membuat istriku berubah. Aku semakin yakin, Rudi yang sudah menyantet istriku. Kalau tidak, mana mungkin istri yang pendiam sepert
“Apa Teh Lisa tahu?” Tanyaku penasaran. “Ya. Tisni jarang ada di rumah kan, Kang?” Teh Lisa mengerjapkan mata saat berbalik tanya. Melihat gelagatnya yang mencurigakan, aku jadi punya insting bahwa Teh Lisa tidak jujur. “Tolong, Teh. Beri tahu saya apa yang Teteh tahu,” ujarku memelas, memohon kejujurannya. Kupandangi sepasang mata Teh Lisa dengan sorot permohonan yang sungguh-sungguh, berharap Teh Lisa merasa iba dan mau berpihak kepadaku. Teh Lisa menundukkan kepala, lalu melirikku takut-takut. “Kang Oded jangan marah, ya?” Pintanya dengan wajah seperti tak enak. “Iya, Teh. Saya nggak akan marah,” ujarku meyakinkannya. Senyum aku bentangkan selebar mungkin, berharap sikapku akan membuatnya menjadi berani berkata yang sebenarnya. Teh Lisa menghela napas, lalu ikut duduk di kursi kosong
“Ceritakan semua yang Teh Lisa tahu. Jangan ada yang ditutupi lagi,” pintaku dengan tatapan serius.Jujur saja, jantungku berdebar keras saat mengatakan permintaan itu. Hatiku dipenuhi prasangka sekaligus ketakutan akan hal yang mungkin aku dengar. Aku takut kecurigaanku terbukti bahwa Tisni telah... Ah, tak sanggup aku memikirkannya.Teh Lisa menoleh ke arah Mang Beben yang masih menjemur pakaian penyewa kos. Mang Beben balas memandang Teh Lisa, terlihat kepalanya mengangguk kecil sebagai tanda dukungan untuk istrinya.Teh Lisa memutar kepalanya kembali kepadaku. Ia mencondongnkan tubuhnya sedikit ke arahku sambil berbisik,“Tisni sudah sering pergi berdua kemana-mana dengan Mas Rudi, Kang...” ujarnya pelan, tapi terdengar jelas di telingaku.Aku terdiam. Sering pergi berdua? Kapan itu terjadi? Ke mana saja? Menga
“Aku mau dijemput pulang. Sekarang!” Kata Tisni tegas.Mataku melotot.Tiba-tiba sudut mataku melihat bayangan berjaket merah-hitam muncul dan mematikan mesin motor di depan rumah. Sosok itu sangat familiar, lantaran kelewat sering berkunjung. Rudi melepaskan helm dari kepala, menurunkan ritsleting jaket, kemudian menyampirkan jaket dan helm di atas sepeda motor.Sebelum beranjak, ia menyugar rambutnya beberapa kali sambil bercermin di kaca spion. Melihat gelagatnya, Rudi baru pulang dari kantor dan langsung ke rumahku. Aku mendapat ide.“Oke. Nanti Rudi yang jemput kamu pulang,” kataku senang, merasa sudah menemukan jalan keluar terbaik dari masalah.“Hah?” Hanya itu reaksi Tisni. Setelah itu ia terdiam.“Kamu tunggu saja di sana, sebentar lagi Rudi yang jemput,” tegasku lagi sebelum
Hari berganti.“Mengapa usaha tas nggak jalan lagi, Pak?” Akhirnya kesampaian juga niatku untuk bertanya, saat Bapak duduk santai di depan rumah setelah bangun tidur. Ya, bangun tidur. Selepas shalat subuh tadi, Bapak tidur lagi. Alasannya mengantuk akibat bangun sebelum subuh.“Bapak kena tipu!” Jawab mertuaku langsung, kemudian mengembuskan napas sedih.Aku terkesiap. Mengapa aku tidak tahu kabar berita ini? Tepatnya, Tisni tidak bercerita apa-apa.“Apa ada toko yang ingkar bayar, Pak?” Telisikku lebih jauh.“Ceritanya cukup panjang,” Bapak membetulkan letak duduknya, kakinya yang semula terangkat satu di atas kursi kini diturunkan.“Enam bulan sebelum bangkrut ada kenalan yang menyarankan untuk menambah pemasaran tas sampai ke luar kota. Dia lalu menge
“Tisni dan Oded sedang ada masalah,” kata Bapak memulai, mata beliau memandang Ibu lama.Ibu yang dipandangi seserius itu memiringkan sedikit kepalanya, kemudian memerhatikan ekspresi Bapak dengan dahi berkerut.“Serius ya, Pak? Bapak sampai muram begini,” sahut Ibu sambil terus mengamati ekspresi Bapak.“Kata Oded Tisni sudah melakukan... perbuatan jahat, Bu,” Bapak tersendat. Melihat gayanya, Bapak tampak tidak tega mengatakan kata “selingkuh”.“Perbuatan jahat apa, Pak? Bicaranya yang jelas, dong.” Ibu terlihat penasaran tingkat tinggi. Andai dewa dewi itu nyata, pasti rasa penasaran Ibu sudah sampai ke tempat tinggal para dewa di kahyangan.“Iya, maksud Bapak...”Kriettt! Bunyi pagar rumah yang dibuka memotong ucapan Bapak.Sontak kami
“Bu!” Bapak meraih tubuh Ibu yang lunglai, kemudian membaringkan pada sofa panjang.“Cepat ambil minyak kayu putih, Tis,” perintah Bapak sembari menoleh ke arah Tisni.Tisni tergeragap, ia sadar dari sikap terbengong akibat terkejut melihat Ibu jatuh. Tergopoh-gopoh, Tisni memasuki kamarnya dan mencari barang yang diinginkan Bapak.Aku mematung di tempat, tak tahu apa yang harus dilakukan. Aku menatap ke arah Ibu yang tengah dikipasi oleh Bapak.“Ini minyak kayu putihnya, Pak,” Tisni datang setengah berlari, di tangannya teracung sebotol kecil minyak kayu putih dan sehelai tisu.Bapak menyambut botol yang diulurkan Tisni, lalu membuka tutupnya. Cairan beraroma kuat di dalam botol dituangkan sedikit ke tisu. Tisu yang sudah basah oleh minyak itu lalu digerak-gerakkan di depan hidung Ibu.Entah kar
Di dalam kamar, di atas kasur, mataku terbuka tiba-tiba. Tak ada keributan yang membuat terjaga, tapi seolah ada yang membangunkanku dari mimpi. Tidurku tak nyenyak lantaran mimpi buruk yang tak jelas.Hawa dingin masih terasa menyiksa di kulit, bahkan azan Subuh belum berkumandang.Pertengkaran semalam dengan Kang Oded masih berbekas di jiwaku. Aku tak mengira Kang Oded bersikukuh tak mau menceraikan. Mengapa ia tak mau mengikhlaskan semua yang sudah terjadi agar kami dapat berpisah baik-baik?Aku tak habis pikir dengan keinginan Kang Oded. Apakah ia tak memikirkan perasaanku sama sekali? Apakah ia tak sadar bahwa aku sudah membencinya, hingga tak mungkin aku melayaninya sebagai istri.Masih segar dalam ingatan, mata merah Kang Oded saat mengatakan tak mau menceraikan aku.“Buku nikah ada padaku, kamu nggak akan bisa cerai dariku!”Astaga! Kang O