Share

Niat Baik Berbuah Luka

Bunyi derit pintu membangunkan aku dari alam mimpi. Sebelah mata aku mengintip, mencoba mencari bayang dari pintu depan yang baru saja menutup. Samar-samar, aku lihat baju biru milik Tisni. Rupanya ia pergi diam-diam selagi aku tidur.

Aku diam terpekur di atas pembaringan. Sisa kantuk tadi malam sudah lenyap, seiring dengan bunyi perut yang menjerit minta diisi. Akan tetapi, aku malas keluar mencari sarapan. Aku pilih melamun memikirkan pernikahan bersama Tisni yang berada di ujung tanduk.

Aku memang salah langkah sejak awal. Tidak seharusnya aku biarkan Tisni lama berduaan dengan Rudi. Niat awalku hanya ingin agar istri cantikku itu bertambah pintar, aku tidak menyangka akan begini akhirnya.

Aku mengenal Rudi ketika mendapat proyek menjahit seragam pegawai salah satu kantor pemerintah. Di kantor itu, Rudi merupakan pegawai administrasi keuangan yang bertugas untuk membayar upahku. Oleh karena itu, kami sering berkomunikasi mengenai proyek yang aku tangani.

Pekerjaan itu sendiri memakan waktu satu bulan, lantaran begitu banyaknya pegawai yang akan dibuatkan seragam. Apalagi ukuran tubuh mereka bervariasi dari ukuran S sampai XL. Pembayaran upah dilakukan dua kali, sekali saat setengah pekerjaan selesai dan terakhir ketika seluruh seragam sudah diberikan.

Rudi teman mengobrol yang asyik. Jarang-jarang aku cocok mengobrol dengan seseorang, namun dengan Rudi berbeda. Pikiranku dan pikiran Rudi seolah sejalan, kami klop hampir dalam segala hal termasuk topik candaan.

Tatkala Tisni mengatakan ingin bekerja, aku ingin dia mendapatkan pekerjaan bergaji lumayan. Dalam hematku, pekerjaan yang menghasilkan uang besar adalah pekerjaan kantoran.

Sayangnya, Tisni hanya berijazah SMP. Jika bekerja di kantor, paling-paling dia hanya akan diterima menjadi petugas di bagian bersih-bersih atau pembantu dapur. Berapalah gaji petugas bersih-bersih. Daripada kerja di luar dengan gaji tak seberapa, lebih baik dia di rumah saja membantuku menjahit.

Agar bisa mendapat pekerjaan yang baik, Tisni harus memiliki kemampuan yang lebih elit. Langsung terpikir olehku, kemampuan itu berupa mengoperasikan komputer. Tisni harus belajar komputer! Tapi, kami tidak punya komputer apalagi laptop. Mau kursus juga sulit, karena kursus komputer sudah menjadi pendidikan langka di kota kembang ini.

Pikir punya pikir, akhirnya aku putuskan untuk meminta bantuan Rudi saja. Bukankah ia pegawai administrasi di kantornya? Tentu bukan hal yang sulit untuk mengajari komputer dasar kepada Tisni. Lagipula, dia teman yang aku percaya.

Awalnya aku berpikir, dengan meminta bantuan Rudi akan mendapatkan dua keuntungan. Keuntungan pertama, Tisni bisa belajar komputer secara gratis. Aku tersenyum sendiri saat itu, mengingat betapa cerdik pemikiranku.

Kedua, aku ada teman mengobrol untuk menemani menjahit. Orang tidak akan tahu betapa bosannya duduk di meja mesin seharian hanya menjahit tanpa teman bicara. Sekali memanggil Rudi, dua masalahku terpecahkan.

Menjadikan Tisni sebagai teman bicara bukan pilihan. Selama pernikahan dengan Tisni, aku hapal arah pembicaraannya pasti itu-itu saja. Membosankan. Aku perlu teman mengobrol yang sepadan.

Selain itu, obrolan lelaki dan perempuan pastilah berbeda. Tisni tidak akan sanggup mengimbangi pembicaraanku. Mana dia paham soal sepak bola atau ilmu-ilmu supranatural yang menjadi kegemaranku. Paling jauh Tisni hanya bisa menjadi pendengar yang baik, tanpa banyak tanggapan. Memang dia lebih cocok menonton sinetron saja, daripada diajak bicara tidak pernah nyambung.

Tapi aku bersyukur Tisni wanita pendiam, tidak cerewet seperti kebanyakan ibu-ibu di gang tempat kami tinggal. Memang seharusnya jadi perempuan itu tidak perlu kebanyakan bicara, yang penting mendengarkan dan melayani suami dengan baik. Itu baru namanya istri yang berbakti.

Aku sering jengah melihat para suami takut istri di kampung ini, mau-maunya mereka dimarahi dan diomeli oleh istri-istri mereka. Seolah-olah kedudukan para lelaki itu berada di bawah ketiak istri.

Makanya, aku juga melarang Tisni ikut pengajian di musala setempat. Aku takut sifat cerewet ibu-ibu di sini menular padanya. Bisa-bisa aku diceramahinya setiap hari. Tentu saja dia boleh berteman, tapi hanya dengan orang-orang tertentu yang aku pilihkan. Aku memang membatasinya bergaul, demi ketenangan rumah tangga kami.

Akan tetapi, rupanya perhitunganku salah besar. Saat Rudi mengajari Tisni, aku sedang sepi orderan. Lama-lama bosan juga mengobrol dengan Rudi sambil menemani Tisni belajar. Aku tinggalkan saja mereka berdua belajar, sementara aku pilih mengobrol dengan tetangga di depan rumah.

Aku pikir mereka tidak akan berbuat macam-macam di rumahku sendiri. Lagipula, bukankah Rudi temanku? Tisni itu wanita pasif, mana mungkin dia akan merayu temanku. Pemikiranku ternyata meleset, Rudi yang aku percaya malah mencaplok istriku.

Krucuk, krucukkk! Perutku semakin keras berbunyi, melayangkan protes atas diabaikannya rasa lapar. Aku tersadar. Aku bangkit dari kasur untuk pergi mencuci muka ke kamar mandi.

Wajahku terasa segar selepas membasuh muka, membuat pikiranku semakin terbuka. Aku sengaja tidak mandi. Malas. Tak ada semangat lagi untuk beraktivitas.

“Kang Oded! Kang Oded!”

Aku dengar pintu rumahku diketuk-ketuk seseorang. Tanpa tergesa aku membuka pintu. Di depan ada Pak Doni yang rumahnya selang dua rumah dari rumahku.

“Kang, saya mau menjahitkan celana. Bisa?” Pak Doni langsung bertanya sambil mengacungkan kantung plastik hitam di tangannya.

“Wah, maaf sekali Pak Doni. Saya belum bisa menerima jahitan, sedang ada kesibukan,” tolakku dengan raut wajah menyesal.

“Oh. Ya sudah kalau begitu. Permisi, Kang Oded.” Pak Doni tampak kecewa, tapi berlalu juga tanpa banyak tanya. Syukurlah Pak Doni tidak mempertanyakan kesibukan yang membuat aku berhenti menerima jahitan.

Aku sudah memutuskan untuk tidak menerima pesanan jahitan untuk sementara. Siapa juga yang bisa berkonsentrasi bekerja di tengah terjangan badai rumah tangga begini. Hatiku galau, tindak tandukku tak tenang. Aku yakin tidak bisa menjahit dengan betul nantinya, salah-salah malah membuat marah pelanggan. Lebih baik aku berhenti dulu bekerja hingga persoalanku dengan Tisni beres.

Aku langkahkan kaki keluar gang, mencari penjual bubur ayam yang biasa mangkal di pertigaan jalan.

Sambil makan bubur ayam, aku berpikir-pikir lagi. Apa yang harus aku lakukan agar Tisni kembali padaku? Mungkin aku harus membujuknya dengan perhatian, atau aku rayu dia dengan perhiasan?

Aku sudah mencoba membujuk Tisni dengan perhatian, tapi usahaku tampaknya gagal. Terbukti sikapnya tak berubah ketika aku belikan nasi kuning dan gorengan, tetap dingin dan bersikukuh minta cerai.

Apa sebaiknya Tisni aku belikan kalung dan gelang emas? Konon katanya, perempuan bisa langsung berubah sikap jika dihadiahi benda-benda yang berkilau. Tapi, bagaimana jika Tisni menolak hadiahku itu? Sia-sia kuhabiskan uang untuk sesuatu yang tak pasti. Lebih parah lagi, bagaimana jika ia ambil hadiahku namun tetap tak mau kembali? Bisa tekor aku. Sudah jatuh tertimpa tangga.

Sebaiknya aku meminta nasihat seseorang. Tapi siapa? Ah! Tiba-tiba aku teringat pada Pak Madya, orang tua yang sering menjadi imam di musala perkampungan. Dulu aku sering mengobrolkan persoalan agama dengan beliau. Tiba-tiba aku baru sadar, sudah lama tidak pernah shalat di musala lagi.***

Hawa Hajari

Berhasil nggak ya usaha Kang Oded? Apa menurutmu Kang Oded salah? Tunggu lanjutannya besok: Santet Pengasihan.

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status