“Santet? Kok Kang Oded bisa menyangka begitu?” Pak Madya mengerutkan dahi, sebelah tangannya menggaruk telinga kiri. Wajah Pak Madya terlihat kebingungan.
“Karena sikapnya aneh, Pak. Istri yang dulu sangat cinta pada saya sekarang berbalik membenci. Bukankah santet pengasihan begitu, Pak? Membuat istri membenci suami atau sebaliknya, hingga akhirnya suami-istri berpisah,” kataku panjang lebar.
Pak Madya mengangguk-angguk. Tapi ekspresi wajahnya tak bisa aku tebak, setuju atau tidak setuju dengan kecurigaanku barusan. Pak Madya menghela napas.
“Kita jangan berprasangka buruk dulu, Kang. Mungkin ada masalah lain yang membuat istri menjadi berubah sikap,” Pak Madya memberi nasihat.
Aku terdiam. Ya, masalahnya ada pada Rudi. Pasti Rudi yang membuat istriku berubah. Aku semakin yakin, Rudi yang sudah menyantet istriku. Kalau tidak, mana mungkin istri yang pendiam seperti Tisni bisa terjatuh dalam pelukannya?
“Bagaimana ya, Pak. Istri saya sulit diajak bicara. Dia tak mau mendengarkan saya lagi,” keluhku setengah putus asa. Wajahku tertekuk, bahuku melorot turun.
Pak Madya menatapku dengan sorot mata iba yang tak disembunyikan. Ah, apakah semenyedihkan itu aku? Sampai-sampai harus dipandang iba oleh seorang bapak tua.
“Jika istri tak bisa lagi diajak bicara, mungkin Kang Oded perlu orang yang bisa menengahi,” ujar Pak Madya bijak.
Aku menatap nanar ke arah Pak Madya. Siapa yang bisa menengahi masalahku dan Tisni?
“Orang itu harus orang yang dihormati dan ucapannya didengarkan oleh istri,” tambah Pak Madya lagi, seolah mengetahui isi pikiranku sebelumnya.
“Mertua saya!” Cetusku tiba-tiba.
Ya! Tisni pasti mau mendengarkan jika bapak dan ibunya yang memberi nasihat. Jadi betul ancamanku tempo hari kepada Tisni. Masalah ini harus aku bawa kepada kedua mertuaku.
“Bisa. Yang penting, orang yang menengahi tidak membela salah satu pihak. Jadi dia harus adil dalam menengahi.” Pak Madya mengangguk setuju.
Aku tersenyum puas. Tapi masih ada ganjalan dalam hatiku.
“Bagaimana kalau istri saya benar-benar disantet, Pak?” Aku masih mengungkit santet.
Pak Madya menepuk dahinya. Aku bingung, apa tadi ada lalat yang sempat hinggap di dahi Pak Madya?
“Jika begitu, istri Kang Oded harus dirukyah. Perbanyaklah membacakan Al-Qur’an kepada istri,” jawab Pak Madya sambil menatapku sungguh-sungguh.
Aku mengangguk paham. Ah, aku jadi malu. Aku juga sudah jarang membaca Al-Qur’an. Hmmm...
“Pak, ada yang bilang bahwa santet harus dihilangkan dengan santet juga. Bagaimana kalau saya pakai santet saja agar cepat beres?” Aku menawar.
“Astaghfirullahalaziim...” Pak Madya sontak mengusap wajah.
“Jangan, Kang! Itu jatuhnya syirik. Kang Oded nggak mau kan, keislamannya batal?” Pak Madya menatapku tajam.
Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapan Pak Madya.
“Saya pikir syirik itu cuma menyembah patung, Pak,” sahutku heran.
“Wah! Keliru itu, Kang. Pergi ke dukun dan memberi sesaji buat selain Allah juga syirik,” Pak Madya menggeleng-gelengkan kepala.
“Ohhh...” Aku terbengong. Ini pengetahuan baru buatku.
“Waduh... Saya masih harus belajar banyak, Pak.” Aku mengakui kebodohanku dengan jantan.
“Saya juga masih terus belajar, Kang. Kita belajar sama-sama saja di musala seperti dulu,” Pak Madya sudah kembali tersenyum.
“Insya Allah, Pak. Nanti jika masalah saya dengan istri sudah beres,” janjiku sambil mengangguk.
Mungkin aku juga harus memperbaiki shalatku lagi, sering shalat berjamaah ke musala.
“Saya pamit dulu, Pak Madya. Terima kasih banyak atas nasihatnya.” Aku bangkit dari duduk.
Pak Madya ikut bangkit dan mengantarku sampai ke depan pintu.
“Semoga masalah Kang Oded lekas beres. Saya doakan, Kang.” Pak Madya menepuk bahuku sebelum aku pergi.
“Terima kasih, Pak. Assalamu’alaikum,” Aku beranjak pergi. Lamat-lamat aku dengar Pak Madya menjawab salam.
Aku langkahkan kaki kembali ke rumah. Aku teringat lagi pada Tisni. Sedang apa dia sekarang? Mungkin sedang bekerja.
Tiba-tiba aku dilanda rindu kepadanya. Biar aku kirimi dia pesan, mungkin dia sudah tak marah lagi. Siapa tahu hatinya berubah dan mau kembali padaku jika aku terus menghubunginya, seperti masa pacaran dulu.
Aku duduk mencangkung di depan rumah sewaan kami yang kecil. Aku akui hanya sebegini kemampuanku memberikan papan buat Tisni. Rumah sewaan ini memang kelewat kecil, mirip dengan pos ronda.
Aku mulai mengetikkan pesan untuk Tisni. Langsung dibalas, Alhamdulillah. Tapi aku kecewa. Ternyata jawaban Tisni pendek-pendek, seolah terganggu dengan pesan dariku. Bahkan, pesan terakhirku hanya dibaca olehnya, tidak dibalas. Wajahku langsung murung. Semangat hidupku langsung hilang.
Aku putuskan masuk saja ke dalam rumah. Aku memikirkan lagi saran Pak Madya untuk mencari penengah. Semakin lama aku renungkan, semakin yakin aku bahwa mertua memang orang yang paling tepat.
Sebaiknya segera saja aku pergi ke kampung Tisni. Tapi... aku terlanjur memberi Tisni waktu seminggu sebelum melaporkan perbuatannya kepada Bapak. Aku mengangkat sepuluh jari untuk berhitung. Baru tiga hari semenjak aku mengeluarkan ancaman.
Ah! Pikiranku ruwet. Aku putuskan untuk menyambangi tetangga di depan rumah, Mang Beben. Aku tarik langkah keluar rumah.
“Mang, lagi sibuk?” Aku menyapa Mang Beben yang tengah mengepel teras.
“Eh, Kang Oded. Ya biasalah, Kang,” sambut Mang Beben sambil terus mengepel teras kamar dengan cekatan.
Mang Beben tinggal di sebuah rumah kos berisi dua puluh buah kamar. Dia dan istrinya, Teh Lisa, merupakan asisten pengurus di rumah kos tersebut. Pemilik rumah kos, Eyang Surti, tinggal hanya beberapa rumah dari rumah kos. Lantaran telah berusia lanjut, Mang Beben dan Teh Lisa yang dipercaya sepenuhnya mengurus rumah kos.
Sehari-hari, Mang Beben dan Teh Lisa bertanggung jawab atas kebersihan sekaligus menerima uang bulanan anak kos yang kebanyakannya para mahasiswa. Rumah kos ini memberika layanan yang cukup manjur menggaet anak kos, yaitu layanan cuci dan setrika pakaian. Oleh karena itu, rumah kos ini hampir selalu penuh penyewa.
Dengan daftar pekerjaan yang cukup banyak, Mang Beben hampir selalu sibuk. Seperti saat ini, Mang Beben sibuk mengepel teras di depan kamar-kamar kos.
“Masuk, Kang. Saya sambil mengepel, ya. Setelah ini saya mau memberi makan ikan di kolam,” lanjut Mang Beben santai.
Aku sudah biasa mengobrol dengan Mang Beben sementara dia bekerja. Persahabatan kami sudah terbina semenjak Mang Beben pertama kali bekerja di rumah kos Eyang Surti tujuh tahun yang lalu.
Teh Lisa juga akrab denganku. Menurutku Teh Lisa baik dan tidak cerewet, sehingga Tisni aku izinkan berteman dengannya.
“Wah, ada Kang Oded. Lama nggak kelihatan,” Tiba-tiba Teh Lisa datang.
Dilihat dari gelagatnya, dia baru pulang dari membersihkan rumah Eyang Surti.
“Saya baru diberi kue lumpur oleh Eyang. Mau, Kang?” Teh Lisa mengangkat kotak makanan di tangannya.
Nah, betul kan dugaanku.
Tanpa menunggu jawaban, Teh Lisa meletakkan kotak berisi kue lumpur di atas meja di sebelah kursi yang aku duduki.
Eyang Surti sering mendapatkan kiriman makanan. Lantaran sudah renta, banyak pantangan makanan yang tak boleh lagi dimakannya. Berkah buat Teh Lisa dan Mang Beben, biasanya makanan yang tak bisa Eyang Surti makan akan beralih menjadi rezeki Mang Beben dan keluarganya.
“Apa kabar Tisni, Kang? Lama saya nggak ketemu. Kangen,” ujar Teh Lisa sambil membuka kotak kue agar mudah diambil.
“Tisni dan saya ada masalah, Teh,” kataku berterus terang.
Gerakan tangan Teh Lisa yang membuka kotak terhenti. Ia menoleh dengan mata membulat ke arahku.
“Sudah saya duga,” cetus Teh Lisa. Aku kaget. Apa Teh Lisa sudah tahu masalahku?***
Apa iya Teh Lisa sudah tahu semua tentang Tisni? Kok Kang Oded bisa nggak tahu, ya? Hmmm. Lanjut besok ke: Tetangga Saja Tahu.
“Apa Teh Lisa tahu?” Tanyaku penasaran. “Ya. Tisni jarang ada di rumah kan, Kang?” Teh Lisa mengerjapkan mata saat berbalik tanya. Melihat gelagatnya yang mencurigakan, aku jadi punya insting bahwa Teh Lisa tidak jujur. “Tolong, Teh. Beri tahu saya apa yang Teteh tahu,” ujarku memelas, memohon kejujurannya. Kupandangi sepasang mata Teh Lisa dengan sorot permohonan yang sungguh-sungguh, berharap Teh Lisa merasa iba dan mau berpihak kepadaku. Teh Lisa menundukkan kepala, lalu melirikku takut-takut. “Kang Oded jangan marah, ya?” Pintanya dengan wajah seperti tak enak. “Iya, Teh. Saya nggak akan marah,” ujarku meyakinkannya. Senyum aku bentangkan selebar mungkin, berharap sikapku akan membuatnya menjadi berani berkata yang sebenarnya. Teh Lisa menghela napas, lalu ikut duduk di kursi kosong
“Ceritakan semua yang Teh Lisa tahu. Jangan ada yang ditutupi lagi,” pintaku dengan tatapan serius.Jujur saja, jantungku berdebar keras saat mengatakan permintaan itu. Hatiku dipenuhi prasangka sekaligus ketakutan akan hal yang mungkin aku dengar. Aku takut kecurigaanku terbukti bahwa Tisni telah... Ah, tak sanggup aku memikirkannya.Teh Lisa menoleh ke arah Mang Beben yang masih menjemur pakaian penyewa kos. Mang Beben balas memandang Teh Lisa, terlihat kepalanya mengangguk kecil sebagai tanda dukungan untuk istrinya.Teh Lisa memutar kepalanya kembali kepadaku. Ia mencondongnkan tubuhnya sedikit ke arahku sambil berbisik,“Tisni sudah sering pergi berdua kemana-mana dengan Mas Rudi, Kang...” ujarnya pelan, tapi terdengar jelas di telingaku.Aku terdiam. Sering pergi berdua? Kapan itu terjadi? Ke mana saja? Menga
“Aku mau dijemput pulang. Sekarang!” Kata Tisni tegas.Mataku melotot.Tiba-tiba sudut mataku melihat bayangan berjaket merah-hitam muncul dan mematikan mesin motor di depan rumah. Sosok itu sangat familiar, lantaran kelewat sering berkunjung. Rudi melepaskan helm dari kepala, menurunkan ritsleting jaket, kemudian menyampirkan jaket dan helm di atas sepeda motor.Sebelum beranjak, ia menyugar rambutnya beberapa kali sambil bercermin di kaca spion. Melihat gelagatnya, Rudi baru pulang dari kantor dan langsung ke rumahku. Aku mendapat ide.“Oke. Nanti Rudi yang jemput kamu pulang,” kataku senang, merasa sudah menemukan jalan keluar terbaik dari masalah.“Hah?” Hanya itu reaksi Tisni. Setelah itu ia terdiam.“Kamu tunggu saja di sana, sebentar lagi Rudi yang jemput,” tegasku lagi sebelum
Hari berganti.“Mengapa usaha tas nggak jalan lagi, Pak?” Akhirnya kesampaian juga niatku untuk bertanya, saat Bapak duduk santai di depan rumah setelah bangun tidur. Ya, bangun tidur. Selepas shalat subuh tadi, Bapak tidur lagi. Alasannya mengantuk akibat bangun sebelum subuh.“Bapak kena tipu!” Jawab mertuaku langsung, kemudian mengembuskan napas sedih.Aku terkesiap. Mengapa aku tidak tahu kabar berita ini? Tepatnya, Tisni tidak bercerita apa-apa.“Apa ada toko yang ingkar bayar, Pak?” Telisikku lebih jauh.“Ceritanya cukup panjang,” Bapak membetulkan letak duduknya, kakinya yang semula terangkat satu di atas kursi kini diturunkan.“Enam bulan sebelum bangkrut ada kenalan yang menyarankan untuk menambah pemasaran tas sampai ke luar kota. Dia lalu menge
“Tisni dan Oded sedang ada masalah,” kata Bapak memulai, mata beliau memandang Ibu lama.Ibu yang dipandangi seserius itu memiringkan sedikit kepalanya, kemudian memerhatikan ekspresi Bapak dengan dahi berkerut.“Serius ya, Pak? Bapak sampai muram begini,” sahut Ibu sambil terus mengamati ekspresi Bapak.“Kata Oded Tisni sudah melakukan... perbuatan jahat, Bu,” Bapak tersendat. Melihat gayanya, Bapak tampak tidak tega mengatakan kata “selingkuh”.“Perbuatan jahat apa, Pak? Bicaranya yang jelas, dong.” Ibu terlihat penasaran tingkat tinggi. Andai dewa dewi itu nyata, pasti rasa penasaran Ibu sudah sampai ke tempat tinggal para dewa di kahyangan.“Iya, maksud Bapak...”Kriettt! Bunyi pagar rumah yang dibuka memotong ucapan Bapak.Sontak kami
“Bu!” Bapak meraih tubuh Ibu yang lunglai, kemudian membaringkan pada sofa panjang.“Cepat ambil minyak kayu putih, Tis,” perintah Bapak sembari menoleh ke arah Tisni.Tisni tergeragap, ia sadar dari sikap terbengong akibat terkejut melihat Ibu jatuh. Tergopoh-gopoh, Tisni memasuki kamarnya dan mencari barang yang diinginkan Bapak.Aku mematung di tempat, tak tahu apa yang harus dilakukan. Aku menatap ke arah Ibu yang tengah dikipasi oleh Bapak.“Ini minyak kayu putihnya, Pak,” Tisni datang setengah berlari, di tangannya teracung sebotol kecil minyak kayu putih dan sehelai tisu.Bapak menyambut botol yang diulurkan Tisni, lalu membuka tutupnya. Cairan beraroma kuat di dalam botol dituangkan sedikit ke tisu. Tisu yang sudah basah oleh minyak itu lalu digerak-gerakkan di depan hidung Ibu.Entah kar
Di dalam kamar, di atas kasur, mataku terbuka tiba-tiba. Tak ada keributan yang membuat terjaga, tapi seolah ada yang membangunkanku dari mimpi. Tidurku tak nyenyak lantaran mimpi buruk yang tak jelas.Hawa dingin masih terasa menyiksa di kulit, bahkan azan Subuh belum berkumandang.Pertengkaran semalam dengan Kang Oded masih berbekas di jiwaku. Aku tak mengira Kang Oded bersikukuh tak mau menceraikan. Mengapa ia tak mau mengikhlaskan semua yang sudah terjadi agar kami dapat berpisah baik-baik?Aku tak habis pikir dengan keinginan Kang Oded. Apakah ia tak memikirkan perasaanku sama sekali? Apakah ia tak sadar bahwa aku sudah membencinya, hingga tak mungkin aku melayaninya sebagai istri.Masih segar dalam ingatan, mata merah Kang Oded saat mengatakan tak mau menceraikan aku.“Buku nikah ada padaku, kamu nggak akan bisa cerai dariku!”Astaga! Kang O
Sudah seminggu aku kembali dari rumah Tisni. Setiap hari pekerjaanku hanya murung dan menyalahkan diri. Rasanya semangat hidupku sudah pergi, sampai-sampai aku tak punya semangat lagi untuk menerima jahitan. Buat apa bekerja keras dan capai, bila tak ada istri yang bisa aku ajak berbagi susah dan senang.Ya Allah, aku patah hati!Untuk menghibur diri, aku sering mengunjungi Mang Beben di rumah kos yang diurusnya.“Lho, ini ada kamar kosong, Mang?” Mataku mengamati sebuah kamar terkunci di bagian depan, pintunya langsung terlihat jika seseorang melewati pagar.“Iya. Tadinya itu kamar Mirza, mahasiswa yang kuliah di politeknik sana. Seminggu yang lalu dia wisuda, lalu langsung pulang ke Aceh,” Mang Beben menerangkan tanpa memandang ke arahku.Tangannya sibuk menyirami tanaman seledri dan pakcoy milik Eyang Surti yang ditanam di belakang pagar, sedangka