Share

Mencari Penengah

Author: Hawa Hajari
last update Last Updated: 2021-09-04 20:25:40

“Santet? Kok Kang Oded bisa menyangka begitu?” Pak Madya mengerutkan dahi, sebelah tangannya menggaruk telinga kiri. Wajah Pak Madya terlihat kebingungan.

“Karena sikapnya aneh, Pak. Istri yang dulu sangat cinta pada saya sekarang berbalik membenci. Bukankah santet pengasihan begitu, Pak? Membuat istri membenci suami atau sebaliknya, hingga akhirnya suami-istri berpisah,” kataku panjang lebar.

Pak Madya mengangguk-angguk. Tapi ekspresi wajahnya tak bisa aku tebak, setuju atau tidak setuju dengan kecurigaanku barusan. Pak Madya menghela napas.

“Kita jangan berprasangka buruk dulu, Kang. Mungkin ada masalah lain yang membuat istri menjadi berubah sikap,” Pak Madya memberi nasihat.

Aku terdiam. Ya, masalahnya ada pada Rudi. Pasti Rudi yang membuat istriku berubah. Aku semakin yakin, Rudi yang sudah menyantet istriku. Kalau tidak, mana mungkin istri yang pendiam seperti Tisni bisa terjatuh dalam pelukannya?

“Bagaimana ya, Pak. Istri saya sulit diajak bicara. Dia tak mau mendengarkan saya lagi,” keluhku setengah putus asa. Wajahku tertekuk, bahuku melorot turun.

Pak Madya menatapku dengan sorot mata iba yang tak disembunyikan. Ah, apakah semenyedihkan itu aku? Sampai-sampai harus dipandang iba oleh seorang bapak tua.

“Jika istri tak bisa lagi diajak bicara, mungkin Kang Oded perlu orang yang bisa menengahi,” ujar Pak Madya bijak.

Aku menatap nanar ke arah Pak Madya. Siapa yang bisa menengahi masalahku dan Tisni?

“Orang itu harus orang yang dihormati dan ucapannya didengarkan oleh istri,” tambah Pak Madya lagi, seolah mengetahui isi pikiranku sebelumnya.

“Mertua saya!” Cetusku tiba-tiba.

Ya! Tisni pasti mau mendengarkan jika bapak dan ibunya yang memberi nasihat. Jadi betul ancamanku tempo hari kepada Tisni. Masalah ini harus aku bawa kepada kedua mertuaku.

“Bisa. Yang penting, orang yang menengahi tidak membela salah satu pihak. Jadi dia harus adil dalam menengahi.” Pak Madya mengangguk setuju.

Aku tersenyum puas. Tapi masih ada ganjalan dalam hatiku.

“Bagaimana kalau istri saya benar-benar disantet, Pak?” Aku masih mengungkit santet.

Pak Madya menepuk dahinya. Aku bingung, apa tadi ada lalat yang sempat hinggap di dahi Pak Madya?

“Jika begitu, istri Kang Oded harus dirukyah. Perbanyaklah membacakan Al-Qur’an kepada istri,” jawab Pak Madya sambil menatapku sungguh-sungguh.

Aku mengangguk paham. Ah, aku jadi malu. Aku juga sudah jarang membaca Al-Qur’an. Hmmm...

“Pak, ada yang bilang bahwa santet harus dihilangkan dengan santet juga. Bagaimana kalau saya pakai santet saja agar cepat beres?” Aku menawar.

“Astaghfirullahalaziim...” Pak Madya sontak mengusap wajah.

“Jangan, Kang! Itu jatuhnya syirik. Kang Oded nggak mau kan, keislamannya batal?” Pak Madya menatapku tajam.

Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapan Pak Madya.

“Saya pikir syirik itu cuma menyembah patung, Pak,” sahutku heran.

“Wah! Keliru itu, Kang. Pergi ke dukun dan memberi sesaji buat selain Allah juga syirik,” Pak Madya menggeleng-gelengkan kepala.

“Ohhh...” Aku terbengong. Ini pengetahuan baru buatku.

“Waduh... Saya masih harus belajar banyak, Pak.” Aku mengakui kebodohanku dengan jantan.

“Saya juga masih terus belajar, Kang. Kita belajar sama-sama saja di musala seperti dulu,” Pak Madya sudah kembali tersenyum.

“Insya Allah, Pak. Nanti jika masalah saya dengan istri sudah beres,” janjiku sambil mengangguk.

Mungkin aku juga harus memperbaiki shalatku lagi, sering shalat berjamaah ke musala.

“Saya pamit dulu, Pak Madya. Terima kasih banyak atas nasihatnya.” Aku bangkit dari duduk.

Pak Madya ikut bangkit dan mengantarku sampai ke depan pintu.

“Semoga masalah Kang Oded lekas beres. Saya doakan, Kang.” Pak Madya menepuk bahuku sebelum aku pergi.

“Terima kasih, Pak. Assalamu’alaikum,” Aku beranjak pergi. Lamat-lamat aku dengar Pak Madya menjawab salam.

Aku langkahkan kaki kembali ke rumah. Aku teringat lagi pada Tisni. Sedang apa dia sekarang? Mungkin sedang bekerja.

Tiba-tiba aku dilanda rindu kepadanya. Biar aku kirimi dia pesan, mungkin dia sudah tak marah lagi. Siapa tahu hatinya berubah dan mau kembali padaku jika aku terus menghubunginya, seperti masa pacaran dulu.

Aku duduk mencangkung di depan rumah sewaan kami yang kecil. Aku akui hanya sebegini kemampuanku memberikan papan buat Tisni. Rumah sewaan ini memang kelewat kecil, mirip dengan pos ronda.

Aku mulai mengetikkan pesan untuk Tisni. Langsung dibalas, Alhamdulillah. Tapi aku kecewa. Ternyata jawaban Tisni pendek-pendek, seolah terganggu dengan pesan dariku. Bahkan, pesan terakhirku hanya dibaca olehnya, tidak dibalas. Wajahku langsung murung. Semangat hidupku langsung hilang.

Aku putuskan masuk saja ke dalam rumah. Aku memikirkan lagi saran Pak Madya untuk mencari penengah. Semakin lama aku renungkan, semakin yakin aku bahwa mertua memang orang yang paling tepat.

Sebaiknya segera saja aku pergi ke kampung Tisni. Tapi... aku terlanjur memberi Tisni waktu seminggu sebelum melaporkan perbuatannya kepada Bapak. Aku mengangkat sepuluh jari untuk berhitung. Baru tiga hari semenjak aku mengeluarkan ancaman.

Ah! Pikiranku ruwet. Aku putuskan untuk menyambangi tetangga di depan rumah, Mang Beben. Aku tarik langkah keluar rumah.

“Mang, lagi sibuk?” Aku menyapa Mang Beben yang tengah mengepel teras.

“Eh, Kang Oded. Ya biasalah, Kang,” sambut Mang Beben sambil terus mengepel teras kamar dengan cekatan.

Mang Beben tinggal di sebuah rumah kos berisi dua puluh buah kamar. Dia dan istrinya, Teh Lisa, merupakan asisten pengurus di rumah kos tersebut. Pemilik rumah kos, Eyang Surti, tinggal hanya beberapa rumah dari rumah kos. Lantaran telah berusia lanjut, Mang Beben dan Teh Lisa yang dipercaya sepenuhnya mengurus rumah kos.

Sehari-hari, Mang Beben dan Teh Lisa bertanggung jawab atas kebersihan sekaligus menerima uang bulanan anak kos yang kebanyakannya para mahasiswa. Rumah kos ini memberika layanan yang cukup manjur menggaet anak kos, yaitu layanan cuci dan setrika pakaian. Oleh karena itu, rumah kos ini hampir selalu penuh penyewa.

Dengan daftar pekerjaan yang cukup banyak, Mang Beben hampir selalu sibuk. Seperti saat ini, Mang Beben sibuk mengepel teras di depan kamar-kamar kos.

“Masuk, Kang. Saya sambil mengepel, ya. Setelah ini saya mau memberi makan ikan di kolam,” lanjut Mang Beben santai.

Aku sudah biasa mengobrol dengan Mang Beben sementara dia bekerja. Persahabatan kami sudah terbina semenjak Mang Beben pertama kali bekerja di rumah kos Eyang Surti tujuh tahun yang lalu.

Teh Lisa juga akrab denganku. Menurutku Teh Lisa baik dan tidak cerewet, sehingga Tisni aku izinkan berteman dengannya.

“Wah, ada Kang Oded. Lama nggak kelihatan,” Tiba-tiba Teh Lisa datang.

Dilihat dari gelagatnya, dia baru pulang dari membersihkan rumah Eyang Surti.

“Saya baru diberi kue lumpur oleh Eyang. Mau, Kang?” Teh Lisa mengangkat kotak makanan di tangannya.

Nah, betul kan dugaanku.

Tanpa menunggu jawaban, Teh Lisa meletakkan kotak berisi kue lumpur di atas meja di sebelah kursi yang aku duduki.

Eyang Surti sering mendapatkan kiriman makanan. Lantaran sudah renta, banyak pantangan makanan yang tak boleh lagi dimakannya. Berkah buat Teh Lisa dan Mang Beben, biasanya makanan yang tak bisa Eyang Surti makan akan beralih menjadi rezeki Mang Beben dan keluarganya.

“Apa kabar Tisni, Kang? Lama saya nggak ketemu. Kangen,” ujar Teh Lisa sambil membuka kotak kue agar mudah diambil.

“Tisni dan saya ada masalah, Teh,” kataku berterus terang.

Gerakan tangan Teh Lisa yang membuka kotak terhenti. Ia menoleh dengan mata membulat ke arahku.

“Sudah saya duga,” cetus Teh Lisa. Aku kaget. Apa Teh Lisa sudah tahu masalahku?***

Hawa Hajari

Apa iya Teh Lisa sudah tahu semua tentang Tisni? Kok Kang Oded bisa nggak tahu, ya? Hmmm. Lanjut besok ke: Tetangga Saja Tahu.

| 1
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Ekstra Part 4: Resti dan Dewi

    Tisni membalik badan dan melangkah pergi, setelah sebelumnya berpamitan pada sahabatnya Dewi dan Resti di pintu gerbang mess. Dewi dan Resti sama-sama menatap tas ransel yang tergantung di punggung Tisni, menjauh bersama pemiliknya. Sosok Tisni lenyap di balik angkot yang membawanya pergi secepat kedatangannya yang mengebut.“Kasihan Tisni ya, Res,” desah Dewi pelan. Napasnya mengembus pelan namun berat.“Maksudmu?” sahut Resti. Bola hitam mata Resti bergulir ke sudut, melirik Dewi di sampingnya.“Ya, Tisni hanya dikadalin Mas Rudi,” jelas Dewi. Sekarang Dewi menggeleng-gelengkan kepala dengan raut wajah prihatin.“Hm, sebetulnya aku sudah menduga sejak lama lho, Dew,” balas Resti. Kepalanya ditelengkan miring, hingga wajahnya lurus ke arah wajah Dewi.“Oya? Kok bisa, Res? Kamu punya firasat begitu?” kejar Dewi. Dewi bal

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Ekstra Part 3: Kang Oded Mengejar Cinta

    Pasrah. Itulah sikap yang kupilih. Biar saja semua orang membicarakanku sekehendak hati. Lebih baik aku fokus pada pekerjaan. Meskipun dalam hati kecil, terbersit rasa penasaran. Siapa dalang penyebar fitnah ini?Suatu hari, aku ungkapkan ganjalan hati tentang hal ini pada Boy dan Beni. Mereka berdua sudah aku percaya, karena terbukti berulang kali tak pernah mencampuri urusan orang lain jika tak diminta.“Kalau menurutku, penyebar fitnah itu ya Santi sendiri,” ujar Beni sambil merokok.Usai satu kalimat, ia mengisap benda haram itu dengan nikmat. Asap keluar dari dua lubang hidungnya membentuk dua jalur asap.“Menurutku juga begitu. Santi sakit hati, makanya mengarang kisah untuk menyudutkanmu, Kang,” timpal Beni.Beni seorang perokok berat, levelnya melebihi Boy. Sekarang saja ia mengeluarkan bungkus rokok kedua, lalu sebatang rokok berpindah

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Ekstra Part 2: Kang Oded Mencari Pengganti

    Tiada hari tanpa penyesalan. Menyesal kurang memerhatikan Tisni, menyesal kurang menunjukkan rasa cintaku padanya, menyesal menganggap keluhannya sebagai angin lalu, menyesal dan menyesali banyak hal. Ribuan penyesalan silih berganti menghinggapi benak, hingga aku tenggelam dalam lautan keputusasaan.“Sudah, Ded. Jangan terlalu dipikirkan. Semua yang telah berlalu, anggaplah masa lalu kelabu. Pikirkan langkah baru,” nasihat Paman Andi kepadaku, sok bergaya menjadi pujangga.Tak aku jawab perhatian kakak ayahku itu. Hanya sorot mata pilu yang kuberikan sebagai tanggapan. Meskipun mulutku terkunci, sejatinya hatiku ingin menampik.“Mudah bagi Paman bicara itu, karena bukan Paman yang patah hati,” bisik hati kecilku.Lepasnya Tisni sebagai istri merupakan kehilangan besar yang berdampak hebat bagi jiwa dan ragaku. Baru dua minggu surat cerai dari Pengadilan Agama kuterima, berat

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Ekstra Part 1: Isi Hati Mas Rudi

    Cantik. Itu yang kulihat ketika pertama kali mengenal Tisni. Wajahnya lugu khas gadis kampung, namun ia tak terlihat kampungan. Kulitnya putih bersih dan halus, matanya tidak liar jelalatan, bahkan ia lebih sering menunduk jika berbicara dengan lelaki atau orang yang lebih tua.Kang Oded sendiri teman yang cukup menyenangkan. Sejak kantorku menyewa jasanya untuk membuat seragam kantor, kami mulai dekat. Awalnya aku ke rumahnya untuk urusan proyek baju seragam, lalu kunjunganku berlanjut untuk sekedar mengobrol santai.Keberadaan Tisni yang cantik menjadi daya tarik tersendiri bagiku untuk terus berkunjung ke rumah Kang Oded. Dengan bertandang ke rumahnya, aku berharap dapat menikmati wajah cantik Tisni.Saat Kang Oded meminta bantuanku untuk mengajari Tisni komputer, aku langsung menyanggupi. Ini kesempatan untuk berdekat-dekatan dengan Tisni. Siapa yang tak suka berdekatan dengan perempuan cantik yang harumnya melambung

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Syarat

    Keesokan harinya, sebuah paket besar datang ke rumah. Saat itu, kami sekeluarga sedang makan siang bersama.“Paket!” seru Abang pengantar paket dari ekspedisi.Aku menghambur ke pintu depan, lantaran tahu Ibu sudah cukup tua untuk berlari menyambut paket.“Ya?” Sapaku pada Abang paket.“Paket buat Ibu Tisni?” tanyanya, sementara mata Abang paket terpaku pada label di atas paket besar yang ditopang oleh kedua tangannya.“Saya sendiri,” jawabku antusias.“Silakan,” ujar Abang paket seraya menyerahkan paket besar seukuran kardus minuman mineral ke arahku.Aku menyambut paket terbungkus kertas tebal cokelat itu, sedangkan Abang paket mencatat sesuatu dalam notesnya.“Terima kasih,” ujarku otomatis.Aku berjalan masuk kembali sambi

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Nenek Minum Jamu

    Haruskah aku menerima Kang Oded kembali, setelah semua kekecewaan yang ia berikan? Rasanya tak mungkin aku menjilat ludah sendiri. Egoku mengajak untuk menolak tawaran Kang Oded.Tetapi ... Bukankah aku juga gegabah? Aku balas semua kelakuannya dengan pengkhianatan, sebelum kami resmi berpisah. Kalau dipikir-pikir lagi, aku pun sama bersalahnya dengan Kang Oded.Aku bingung.“Aku pikirkan dulu, Kang,” kataku akhirnya.Kang Oded mengangguk pelan. Tak kulihat kemarahan ataupun kekecewaan dari raut wajahnya. Mungkin reaksiku sudah diperkirakan olehnya.“Akang tunggu, Dik,” balasnya, tatapannya penuh ke arah mataku.“Oya, Akang mau berpantun dulu. Boleh?” tambahnya, tak terduga.“Boleh, Kang,” jawabku sambil mengangguk.“Ke Cikini membeli dukuhWayah gini masih

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status