“Dik,” panggil Kang Oded mesra. Matanya melirik ke arahku di sebelahnya.
“Hmmm,” gumamku sambil terus mengunyah nasi. Apa boleh buat, aku terpaksa harus mendengar ocehannya lagi sepagi ini.
“Mau tidak setiap pagi aku yang belikan sarapan? Lalu kita makan bersama seperti ini.” Kentara sekali rayuannya agar aku mau kembali dengannya.
Bujukan Kang Oded terdengar sesejuk angin surga, indah, menggoda, dan melambungkan wanita. Sayangnya, aku sudah tak percaya lagi kepadanya. Bukan apa-apa, aku ragu ia mampu melaksanakan rayuannya sesuai janji. Jika memang menghargaiku sedari awal, mengapa tidak dari dulu saja ia semanis ini.
“Mau kan, Dik?” Kang Oded melirikku penuh harap. Aku balas melirik dari sudut mata, dingin dan malas.
Aku memutar otak. Jika aku jawab langsung tak mau, ia pasti membujuk dan merayuku terus. Akibatnya, aku bisa terlambat masuk kerja. Bisa-bisa aku kena tegur atasan nanti. Hm, sebaiknya aku bermain tarik ulur dulu. Paling tidak, aku bisa lolos dari Kang Oded pagi ini.
“Aku pikirkan dulu, Kang,” jawabku pendek. Aku percepat makan nasi agar bisa segera pergi dari rumah yang sekarang terasa seperti sarang burung ini, sumpek.
“Betul ya, Dik. Akang tunggu,” katanya dengan senyum lega di bibir. Mungkin dipikirnya akan mudah merebut hatiku lagi. Kamu salah, Kang. Hatiku terlanjur sakit, perasaanku terlanjur beku.
Suapan nasi terakhir sudah masuk ke dalam perutku. Aku mengelap bibir dengan tisu yang selalu tersedia dalam tas. Kursi berderit ketika aku bangkit hendak pergi.
“Aku pergi dulu, Kang. Oya, aku akan menginap di pabrik seperti biasa,” ujarku sebelum melangkah. Sengaja aku tekankan kata menginap agar ia tak berharap aku pulang dalam waktu dekat. Biar saja ia datang ke pabrik jika ingin bicara denganku. Di sana, aku punya lebih banyak alasan untuk menghindarinya.
“Aku antarkan ya, Dik?” Kang Oded ternyata masih berusaha mengambil hatiku.
“Nggak usah, Kang. Biasanya juga aku naik angkot sendiri,” tolakku kalem. Lekas-lekas aku tarik langkah keluar rumah, takut Kang Oded menahanku lagi dengan berjuta alasan tak penting.
Aku tahu Kang Oded mengawasi saat langkahku menjauh dari rumah, hal yang tak pernah dilakukannya sejak pertama aku diterima bekerja di pabrik. Selama ini, aku selalu berangkat sendiri dengan angkot. Kang Oded hanya mau mengantarkan aku hingga ke pabrik apabila aku minta, itu pun dia melakukannya ogah-ogahan. Alasannya selalu, pabrik tempat kerjaku jauh dan dia lelah bila harus mengantarku kemudian pulang lagi.
Heran aku, bukankah sudah kewajiban suami mengantarkan istrinya pergi kemana-mana? Lantas kewajiban siapa mengantarku kemana-mana? Babang gojek? Huh... Padahal Kang Oded bekerja sendiri berwiraswasta, menjadi penjahit baju rumahan. Tak ada kewajiban jam kerja yang menghalanginya mengantar aku.
Sepulang kerja dari pabrik juga sama. Awal-awal bekerja, Kang Oded setiap hari menjemputku pulang. Tapi hanya bertahan seminggu, kemudian dia mulai ogah-ogahan menjemput. Aku disuruh pulang sendiri dengan angkot. Sudahlah lelah bekerja, pulang harus naik angkot yang berputar-putar keliling kota dulu, sampai di rumah masih disuruh beli makanan dan mencuci piring dan baju. Capek, deh.
Lamunanku terputus bersamaan dengan berhentinya angkot di depan pabrik konveksi tempat kerjaku. Hampir saja aku terpental saking mendadaknya abang supir mengerem angkotnya.
“Sudah sampai, Neng,” kata abang supir sambil menoleh ke arahku yang duduk tepat di belakangnya. Ternyata tinggal aku sendiri yang menumpang di angkotnya, penumpang lain sudah turun sebelum aku.
“Ya, Bang. Ini ongkosnya. Makasih ya, Bang.” Aku turun sambil menyerahkan ongkos. Setengah berlari aku memasuki gerbang pabrik yang hampir ditutup.
“Tunggu, Pak!” Teriakku pada Pak Satpam yang sedang menarik pintu gerbang. Aku lari tergesa-gesa melewati pagar pabrik. Bisa gawat kalau aku terlambat, uang makanku bisa dipotong nanti.
“Tumben telat, Mbak Tisni,” sapa Pak Satpam yang dari wajahnya, aku tebak umurnya sepantaran denganku.
“Iya, Pak. Kesiangan,” ujarku tersipu. Aku pilih memanggil “Pak” agar mas satpam tidak ge-er. Konon kata teman-temanku, banyak satpam yang gampang baper jika dipanggil “Mas” oleh pegawai wanita yang masih muda.
***
Sudah tiga hari aku tidak pulang ke rumah. Aku betah di pabrik ini, teman-temanku banyak. Meskipun aku kerja lembur, tapi suasana di sini sangat akrab dan kekeluargaan.
Apalagi bos pabrik ini sangat baik, setiap pegawai yang lembur disiapkan makan malam tanpa mengurangi uang lembur. Soal tidur malam, bukan kendala sama sekali. Di belakang pabrik ada mess khusus bagi pegawai yang belum menikah. Aku sering menumpang di salah satu bilik milik teman perempuanku.
Makanya aku jarang pulang. Menginap seminggu bukan masalah bagiku, bahkan kalau bisa aku ingin tinggal di mess saja. Buat apa pulang jika di rumah aku lebih sering diabaikan dan ditinggal pergi. Seolah-olah aku ada atau tak ada sama saja buat Kang Oded. Lebih baik aku di pabrik saja, selain bekerja diupah uang juga ada teman-teman yang tingkahnya selalu menghibur.
Mas Rudi sudah aku kabari tentang Kang Oded yang telah mengetahui hubungan kami. Dia berjanji akan datang untuk membahas kelanjutan masalah kami sore ini.
“Tisni! Ada yang cari!” Teriak Dewi, salah seorang temanku sesama penjahit yang masih gadis.
Dewi baru datang dengan baju bersih sehabis mandi sore di mess tempat tinggalnya. Hari ini, kami akan lembur seperti hari-hari kerja lainnya. Pastilah tadi dia dimintai Pak Satpam untuk mengabariku bahwa aku kedatangan tamu.
“Oke! Makasih, Dew!” Aku bangkit dari kursi tempatku menjahit.
Sebelum keluar, aku kibaskan helaina-helaian sisa benang jahit yang menempel pada baju. Malu kan kalau menemui tamu dengan tempelan helaian benang jahit di sana-sini, apalagi ini tamu istimewa. Cermin kecil aku keluarkan dari dalam tas, penampilanku yang terpantul masih rapi dan pantas. Aku puas.
Langkah kakiku ringan mengayun keluar, dan hatiku berbunga. Mungkin itu Mas Rudi yang datang sesuai janji. Omongan Mas Rudi selalu bisa aku percaya, janjinya jarang sekali diingkari. Biasanya, selain bertamu dia juga akan membawa oleh-oleh martabak manis kesukaanku. Mas Rudi memang perhatian, sehingga tak sulit untuk menerima dia dalam hatiku.
Pintu aku pentangkan agar terbuka. Wajahku cerah siap menyapa, tapi bukan sosok Mas Rudi yang aku lihat. Aku kecewa, senyumku pudar dari bibir.
“Kang Oded?” desisku pelan. Wajahku yang muram berkebalikan dengan wajah Kang Oded di depanku yang bersinar-sinar senang.
“Dik, Akang datang mau bicara,” senyumnya lebar saat melihat aku datang. Di tangannya ada bungkusan plastik hitam entah berisi apa.
Mau apa lagi dia ke sini. Kalau tahu dia yang datang, pasti aku tak mau keluar. Sekarang terpaksa aku melayani omongannya.***
Tisni membalik badan dan melangkah pergi, setelah sebelumnya berpamitan pada sahabatnya Dewi dan Resti di pintu gerbang mess. Dewi dan Resti sama-sama menatap tas ransel yang tergantung di punggung Tisni, menjauh bersama pemiliknya. Sosok Tisni lenyap di balik angkot yang membawanya pergi secepat kedatangannya yang mengebut.“Kasihan Tisni ya, Res,” desah Dewi pelan. Napasnya mengembus pelan namun berat.“Maksudmu?” sahut Resti. Bola hitam mata Resti bergulir ke sudut, melirik Dewi di sampingnya.“Ya, Tisni hanya dikadalin Mas Rudi,” jelas Dewi. Sekarang Dewi menggeleng-gelengkan kepala dengan raut wajah prihatin.“Hm, sebetulnya aku sudah menduga sejak lama lho, Dew,” balas Resti. Kepalanya ditelengkan miring, hingga wajahnya lurus ke arah wajah Dewi.“Oya? Kok bisa, Res? Kamu punya firasat begitu?” kejar Dewi. Dewi bal
Pasrah. Itulah sikap yang kupilih. Biar saja semua orang membicarakanku sekehendak hati. Lebih baik aku fokus pada pekerjaan. Meskipun dalam hati kecil, terbersit rasa penasaran. Siapa dalang penyebar fitnah ini?Suatu hari, aku ungkapkan ganjalan hati tentang hal ini pada Boy dan Beni. Mereka berdua sudah aku percaya, karena terbukti berulang kali tak pernah mencampuri urusan orang lain jika tak diminta.“Kalau menurutku, penyebar fitnah itu ya Santi sendiri,” ujar Beni sambil merokok.Usai satu kalimat, ia mengisap benda haram itu dengan nikmat. Asap keluar dari dua lubang hidungnya membentuk dua jalur asap.“Menurutku juga begitu. Santi sakit hati, makanya mengarang kisah untuk menyudutkanmu, Kang,” timpal Beni.Beni seorang perokok berat, levelnya melebihi Boy. Sekarang saja ia mengeluarkan bungkus rokok kedua, lalu sebatang rokok berpindah
Tiada hari tanpa penyesalan. Menyesal kurang memerhatikan Tisni, menyesal kurang menunjukkan rasa cintaku padanya, menyesal menganggap keluhannya sebagai angin lalu, menyesal dan menyesali banyak hal. Ribuan penyesalan silih berganti menghinggapi benak, hingga aku tenggelam dalam lautan keputusasaan.“Sudah, Ded. Jangan terlalu dipikirkan. Semua yang telah berlalu, anggaplah masa lalu kelabu. Pikirkan langkah baru,” nasihat Paman Andi kepadaku, sok bergaya menjadi pujangga.Tak aku jawab perhatian kakak ayahku itu. Hanya sorot mata pilu yang kuberikan sebagai tanggapan. Meskipun mulutku terkunci, sejatinya hatiku ingin menampik.“Mudah bagi Paman bicara itu, karena bukan Paman yang patah hati,” bisik hati kecilku.Lepasnya Tisni sebagai istri merupakan kehilangan besar yang berdampak hebat bagi jiwa dan ragaku. Baru dua minggu surat cerai dari Pengadilan Agama kuterima, berat
Cantik. Itu yang kulihat ketika pertama kali mengenal Tisni. Wajahnya lugu khas gadis kampung, namun ia tak terlihat kampungan. Kulitnya putih bersih dan halus, matanya tidak liar jelalatan, bahkan ia lebih sering menunduk jika berbicara dengan lelaki atau orang yang lebih tua.Kang Oded sendiri teman yang cukup menyenangkan. Sejak kantorku menyewa jasanya untuk membuat seragam kantor, kami mulai dekat. Awalnya aku ke rumahnya untuk urusan proyek baju seragam, lalu kunjunganku berlanjut untuk sekedar mengobrol santai.Keberadaan Tisni yang cantik menjadi daya tarik tersendiri bagiku untuk terus berkunjung ke rumah Kang Oded. Dengan bertandang ke rumahnya, aku berharap dapat menikmati wajah cantik Tisni.Saat Kang Oded meminta bantuanku untuk mengajari Tisni komputer, aku langsung menyanggupi. Ini kesempatan untuk berdekat-dekatan dengan Tisni. Siapa yang tak suka berdekatan dengan perempuan cantik yang harumnya melambung
Keesokan harinya, sebuah paket besar datang ke rumah. Saat itu, kami sekeluarga sedang makan siang bersama.“Paket!” seru Abang pengantar paket dari ekspedisi.Aku menghambur ke pintu depan, lantaran tahu Ibu sudah cukup tua untuk berlari menyambut paket.“Ya?” Sapaku pada Abang paket.“Paket buat Ibu Tisni?” tanyanya, sementara mata Abang paket terpaku pada label di atas paket besar yang ditopang oleh kedua tangannya.“Saya sendiri,” jawabku antusias.“Silakan,” ujar Abang paket seraya menyerahkan paket besar seukuran kardus minuman mineral ke arahku.Aku menyambut paket terbungkus kertas tebal cokelat itu, sedangkan Abang paket mencatat sesuatu dalam notesnya.“Terima kasih,” ujarku otomatis.Aku berjalan masuk kembali sambi
Haruskah aku menerima Kang Oded kembali, setelah semua kekecewaan yang ia berikan? Rasanya tak mungkin aku menjilat ludah sendiri. Egoku mengajak untuk menolak tawaran Kang Oded.Tetapi ... Bukankah aku juga gegabah? Aku balas semua kelakuannya dengan pengkhianatan, sebelum kami resmi berpisah. Kalau dipikir-pikir lagi, aku pun sama bersalahnya dengan Kang Oded.Aku bingung.“Aku pikirkan dulu, Kang,” kataku akhirnya.Kang Oded mengangguk pelan. Tak kulihat kemarahan ataupun kekecewaan dari raut wajahnya. Mungkin reaksiku sudah diperkirakan olehnya.“Akang tunggu, Dik,” balasnya, tatapannya penuh ke arah mataku.“Oya, Akang mau berpantun dulu. Boleh?” tambahnya, tak terduga.“Boleh, Kang,” jawabku sambil mengangguk.“Ke Cikini membeli dukuhWayah gini masih