Share

Tamu yang Datang

“Dik,” panggil Kang Oded mesra. Matanya melirik ke arahku di sebelahnya.

“Hmmm,” gumamku sambil terus mengunyah nasi. Apa boleh buat, aku terpaksa harus mendengar ocehannya lagi sepagi ini.

“Mau tidak setiap pagi aku yang belikan sarapan? Lalu kita makan bersama seperti ini.” Kentara sekali rayuannya agar aku mau kembali dengannya.

Bujukan Kang Oded terdengar sesejuk angin surga, indah, menggoda, dan melambungkan wanita. Sayangnya, aku sudah tak percaya lagi kepadanya. Bukan apa-apa, aku ragu ia mampu melaksanakan rayuannya sesuai janji. Jika memang menghargaiku sedari awal, mengapa tidak dari dulu saja ia semanis ini.

“Mau kan, Dik?” Kang Oded melirikku penuh harap. Aku balas melirik dari sudut mata, dingin dan malas.

Aku memutar otak. Jika aku jawab langsung tak mau, ia pasti membujuk dan merayuku terus. Akibatnya, aku bisa terlambat masuk kerja. Bisa-bisa aku kena tegur atasan nanti. Hm, sebaiknya aku bermain tarik ulur dulu. Paling tidak, aku bisa lolos dari Kang Oded pagi ini.

“Aku pikirkan dulu, Kang,” jawabku pendek. Aku percepat makan nasi agar bisa segera pergi dari rumah yang sekarang terasa seperti sarang burung ini, sumpek.

“Betul ya, Dik. Akang tunggu,” katanya dengan senyum lega di bibir. Mungkin dipikirnya akan mudah merebut hatiku lagi. Kamu salah, Kang. Hatiku terlanjur sakit, perasaanku terlanjur beku.

Suapan nasi terakhir sudah masuk ke dalam perutku. Aku mengelap bibir dengan tisu yang selalu tersedia dalam tas. Kursi berderit ketika aku bangkit hendak pergi.

“Aku pergi dulu, Kang. Oya, aku akan menginap di pabrik seperti biasa,” ujarku sebelum melangkah. Sengaja aku tekankan kata menginap agar ia tak berharap aku pulang dalam waktu dekat. Biar saja ia datang ke pabrik jika ingin bicara denganku. Di sana, aku punya lebih banyak alasan untuk menghindarinya.

“Aku antarkan ya, Dik?” Kang Oded ternyata masih berusaha mengambil hatiku.

“Nggak usah, Kang. Biasanya juga aku naik angkot sendiri,” tolakku kalem. Lekas-lekas aku tarik langkah keluar rumah, takut Kang Oded menahanku lagi dengan berjuta alasan tak penting.

Aku tahu Kang Oded mengawasi saat langkahku menjauh dari rumah, hal yang tak pernah dilakukannya sejak pertama aku diterima bekerja di pabrik. Selama ini, aku selalu berangkat sendiri dengan angkot. Kang Oded hanya mau mengantarkan aku hingga ke pabrik apabila aku minta, itu pun dia melakukannya ogah-ogahan. Alasannya selalu, pabrik tempat kerjaku jauh dan dia lelah bila harus mengantarku kemudian pulang lagi. 

Heran aku, bukankah sudah kewajiban suami mengantarkan istrinya pergi kemana-mana? Lantas kewajiban siapa mengantarku kemana-mana? Babang gojek? Huh... Padahal Kang Oded bekerja sendiri berwiraswasta, menjadi penjahit baju rumahan. Tak ada kewajiban jam kerja yang menghalanginya mengantar aku.

Sepulang kerja dari pabrik juga sama. Awal-awal bekerja, Kang Oded setiap hari menjemputku pulang. Tapi hanya bertahan seminggu, kemudian dia mulai ogah-ogahan menjemput. Aku disuruh pulang sendiri dengan angkot. Sudahlah lelah bekerja, pulang harus naik angkot yang berputar-putar keliling kota dulu, sampai di rumah masih disuruh beli makanan dan mencuci piring dan baju. Capek, deh.

Lamunanku terputus bersamaan dengan berhentinya angkot di depan pabrik konveksi tempat kerjaku. Hampir saja aku terpental saking mendadaknya abang supir mengerem angkotnya.

“Sudah sampai, Neng,” kata abang supir sambil menoleh ke arahku yang duduk tepat di belakangnya. Ternyata tinggal aku sendiri yang menumpang di angkotnya, penumpang lain sudah turun sebelum aku.

“Ya, Bang. Ini ongkosnya. Makasih ya, Bang.” Aku turun sambil menyerahkan ongkos. Setengah berlari aku memasuki gerbang pabrik yang hampir ditutup. 

“Tunggu, Pak!” Teriakku pada Pak Satpam yang sedang menarik pintu gerbang. Aku lari tergesa-gesa melewati pagar pabrik. Bisa gawat kalau aku terlambat, uang makanku bisa dipotong nanti.

“Tumben telat, Mbak Tisni,” sapa Pak Satpam yang dari wajahnya, aku tebak umurnya sepantaran denganku.

“Iya, Pak. Kesiangan,” ujarku tersipu. Aku pilih memanggil “Pak” agar mas satpam tidak ge-er. Konon kata teman-temanku, banyak satpam yang gampang baper jika dipanggil “Mas” oleh pegawai wanita yang masih muda.

***

Sudah tiga hari aku tidak pulang ke rumah. Aku betah di pabrik ini, teman-temanku banyak. Meskipun aku kerja lembur, tapi suasana di sini sangat akrab dan kekeluargaan. 

Apalagi bos pabrik ini sangat baik, setiap pegawai yang lembur disiapkan makan malam tanpa mengurangi uang lembur. Soal tidur malam, bukan kendala sama sekali. Di belakang pabrik ada mess khusus bagi pegawai yang belum menikah. Aku sering menumpang di salah satu bilik milik teman perempuanku.

Makanya aku jarang pulang. Menginap seminggu bukan masalah bagiku, bahkan kalau bisa aku ingin tinggal di mess saja. Buat apa pulang jika di rumah aku lebih sering diabaikan dan ditinggal pergi. Seolah-olah aku ada atau tak ada sama saja buat Kang Oded. Lebih baik aku di pabrik saja, selain bekerja diupah uang juga ada teman-teman yang tingkahnya selalu menghibur.

Mas Rudi sudah aku kabari tentang Kang Oded yang telah mengetahui hubungan kami. Dia berjanji akan datang untuk membahas kelanjutan masalah kami sore ini. 

“Tisni! Ada yang cari!” Teriak Dewi, salah seorang temanku sesama penjahit yang masih gadis. 

Dewi baru datang dengan baju bersih sehabis mandi sore di mess tempat tinggalnya. Hari ini, kami akan lembur seperti hari-hari kerja lainnya. Pastilah tadi dia dimintai Pak Satpam untuk mengabariku bahwa aku kedatangan tamu.

“Oke! Makasih, Dew!” Aku bangkit dari kursi tempatku menjahit. 

Sebelum keluar, aku kibaskan helaina-helaian sisa benang jahit yang menempel pada baju. Malu kan kalau menemui tamu dengan tempelan helaian benang jahit di sana-sini, apalagi ini tamu istimewa. Cermin kecil aku keluarkan dari dalam tas, penampilanku yang terpantul masih rapi dan pantas. Aku puas.

Langkah kakiku ringan mengayun keluar, dan hatiku berbunga. Mungkin itu Mas Rudi yang datang sesuai janji. Omongan Mas Rudi selalu bisa aku percaya, janjinya jarang sekali diingkari. Biasanya, selain bertamu dia juga akan membawa oleh-oleh martabak manis kesukaanku. Mas Rudi memang perhatian, sehingga tak sulit untuk menerima dia dalam hatiku.

Pintu aku pentangkan agar terbuka. Wajahku cerah siap menyapa, tapi bukan sosok Mas Rudi yang aku lihat. Aku kecewa, senyumku pudar dari bibir.

“Kang Oded?” desisku pelan. Wajahku yang muram berkebalikan dengan wajah Kang Oded di depanku yang bersinar-sinar senang. 

“Dik, Akang datang mau bicara,” senyumnya lebar saat melihat aku datang. Di tangannya ada bungkusan plastik hitam entah berisi apa.

Mau apa lagi dia ke sini. Kalau tahu dia yang datang, pasti aku tak mau keluar. Sekarang terpaksa aku melayani omongannya.***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status