“Ce, cerai, Dik?!” Mata Kang Oded melotot, tangannya bergetar. Tubuhnya yang kurus akibat banyak merokok dan jarang makan itu goyah, lalu ia berpegangan pada televisi. Lebay!
“Iya, Kang. Kita sudahi saja semua ini.” Aku menguap lelah, rasa kantuk menyerangku. Topik tentang masa depan pernikahan ini sudah tamat buatku.
Aku tata bantal di kasur, lalu mulai bersiap tidur. Tak aku hiraukan Kang Oded yang masih berdiri terpaku, terguncang dengan keputusanku. Untuk sesaat tak ada kata-kata lain yang keluar dari bibir hitamnya yang setiap waktu mengisap rokok.
Kepala aku letakkan di atas bantal. Nyaman betul rasanya. Aku berbaring memunggungi Kang Oded. Entah apa yang dilakukannya, terserah dia saja.
Gemerisik kain sprei akibat kasur yang dinaiki terdengar di belakang punggungku. Jadi Kang Oded memutuskan bergerak mendekatiku.
“Dik, apa nggak mungkin kita mulai lagi dari awal,” bujuknya dengan suara pelan. Aku diam saja, menutup mata mencoba tak peduli. Posisi badan pun tak aku ubah. Aku bergeming.
“Aku masih cinta sama kamu, Dik...” Kang Oded berusaha berbisik di telingaku. Uh, embusan napasnya mengganggu saja.
Dulu, bisikan cintanya memang terdengar romantis di telinga. Indah dan lembut. Tapi itu dulu, sewaktu kami masih menjadi pengantin baru. Seiring berjalannya waktu, bisikan itu semakin kehilangan makna. Apalagi ditambah dengan sikapnya yang semakin ke sini bertambah abai padaku.
“Dik, lihatlah mata Akang,” pintanya memelas. Aku jadi ingin tertawa mendengarnya.
Apa-apaan, sih, pakai menyuruh melihat mata segala. Apa dia mau menghipnotisku? Macam ilusionis yang sempat ngetop beberapa tahun lalu di teve? Ada-ada saja.
“Dik,” panggilnya lagi.
Tanganku terasa ada yang menyentuh, rupanya Kang Oded tengah meraih jemariku. Secepat kilat aku kibaskan tangan, tak mau dipegang lagi oleh suami yang telah mengabaikan sekian lama.
Apa dipikirnya permintaan maaf dan janji satu malam bisa menghapus kesalahannya selama bertahun-tahun? Apa bisa luka yang sudah berbekas di kulit hilang dengan satu usapan salep?
“Kamu sangat berharga buatku, Dik. Cinta Akang tidak akan luntur meskipun kamu sudah selingkuh,” rayunya lagi. Cuih! Mau menggombal, nih?
Cinta apa yang ketika aku meminta jalan-jalan pagi berdua ke alun-alun, tapi Kang Oded memilih tidur?
Apakah cinta namanya saat aku minta jemput sehabis acara reuni teman-teman SMP, namun dia malah menyuruhku pulang diantar teman? Kang Oded tega membiarkan aku seperti gadis yang tak punya pacar, padahal aku bersuami.
Ke mana cinta itu sewaktu aku sakit dan ingin ditemani, boro-boro menemani dan menghibur, Kang Oded memilih pergi menonton bola ke rumah tetangga di depan. Aku dibiarkannya sendirian.
Makan saja itu cinta! Aku tak perlu cinta yang membiarkanku sedih sendiri saat ingin ditemani, cinta yang membuatku tak berharga sebagai istri di mata teman-teman reuni, juga cinta yang tak mau mengorbankan tidur pagi demi senyum bahagia di wajah istri.
“Dik... jawab, dong,” suara Kang Oded terdengar cemas karena aku terus diam.
Dia tak tahu, meskipun mulutku sunyi, tapi hati dan otakku lebih gemuruh daripada kawah Gunung Lawu. Andai saja sebutir telur dipecahkan ke atas kepalaku, pasti telur itu sudah jadi telur ceplok dalam waktu satu menit.
“Dik, Akang nggak bisa kamu tinggalkan. Kamu itu hal terbaik dalam hidup Akang,” suara Kang Oded kembali lembut merayu.
Aku takjub! Aku heran, di mana Kang Oded memungut kata-kata pemikat itu? Apa dari lagu-lagu cinta picisan yang sering diputar di radio kuno yang menemaninya bekerja sepanjang hari? Atau dari tetangga pujangga yang rumahnya beberapa meter saja dari rumah kami?
Ah, tak penting! Rayuan itu terdengar seperti lagu usang yang sudah sumbang. Aku mulai jengah mendengar bujuk rayu Kang Oded. Aku lelah dan ingin tidur.
“Aku ngantuk, Kang,” aku berkata pendek. Semoga kali ini dia paham bahwa keputusan untuk meninggalkannya sudah bulat.
Tak ada jawabannya, hanya bunyi napas naik dan turun yang terdengar. Aku senang, akhirnya makhluk bebal ini punya rasa pengertian juga. Aku perbaiki posisi kepala untuk tidur, lalu guling aku peluk.
Aku sempat terkejut saat sehelai kain tipis menutupi tubuhku hingga ke pundak. Ternyata Kang Oded menyelimutiku tanpa suara. O-ho! Gagal merayu dengan kata-kata, ia ganti haluan merayu dengan tindakan. Sok perhatian. Terserah, deh. Aku mau tidur.
***
Pagi harinya aku bangun agak terlambat, tapi badan terasa segar. Aku dapati tempat di sebelahku kosong, tak ada bekas kusut sebab bekas tidur pada kain sprei. Jadi Kang Oded tidak tidur di sebelahku tadi malam. Bagus, aku malah senang.
Aku menyeret kaki memasuki kamar mandi, lekas berwudhu dan mandi. Tak ada niat terbetik untuk mencari tahu keberadaan Kang Oded. Dia boleh berbuat semaunya, aku tak peduli dengan kegiatannya.
Sambil melipat mukena, otakku bekerja memikirkan rencana hari ini. Aku masukkan mukena berbahan parasut ke dalam tas ransel, juga beberapa baju ganti dan peralatan mandi.
Hari ini aku akan menginap lagi di pabrik selama beberapa hari, seperti biasa yang aku lakukan selama beberapa bulan terakhir. Sejujurnya, aku lebih betah berada di pabrik daripada di rumah ini. Kamar mandi di sana saja lebih mewah daripada kamar tidur rumah kos ini. Maklum saja, RSSS (Rumah Sangat Sempit Sekali).
Aku kenakan pakaian yang pantas untuk bekerja, tidak elegan tapi cukuplah sebagai karyawan pabrik konveksi. Mudah-mudahan saja rencana perusahaan untuk mengadakan pakaian seragam buat pegawainya segera terlaksana, jadi aku tak perlu pusing memikirkan pakaian yang pantas dikenakan untuk bekerja setiap hari.
Aku sapukan bedak tipis ke wajah, selanjutnya lipstik aku poles tipis sekadar bibir tidak terlihat pucat. Aku siap, tas ransel kusandang di punggung. Langkah kaki aku tarik keluar kamar.
“Dik!” Cegat Kang Oded di ruang tamu sekaligus ruang kerjanya.
Astaga! Mau copot jantungku mendengar suaranya. Tak aku sangka ia ada di dalam rumah, aku pikir dia pergi entah ke mana. Lantaran dari tadi tak aku dengar bunyi apapun selain gerakanku sendiri.
“Mau kerja? Makan dulu, Dik. Ini sudah Akang belikan nasi kuning.” Tangan Kang Oded mengulurkan sepiring nasi kuning yang masih mengepulkan uap panas.
Harum santan berpadu bumbu serai dan daun salam menguar ke penjuru kamar yang kecil. Aku terperangkap dalam ruang penuh aroma. Cuping hidungku bergerak-gerak mengendus uap hangat yang menggugah selera. Memalukan sekali, tubuhku telah mengkhianati kehendakku. Seolah masih kurang memalukan, perutku ikut berbunyi kemruyuk minta diisi. Kalau sudah begini, aku tak bisa berbohong bahwa perutku belum lapar.
“Kasihan, kamu lapar. Ayo sarapan bersama,” Kang Oded memojokkan piring nasi kuning ke dekat tanganku. Otomatis tangan ini mengambil piring yang terulur.
Tanpa menunggu jawaban, Kang Oded menarik kursi di sebelahnya untuk aku duduki. Ia sendiri duduk di kursi yang lain, menghadapi meja potong kain yang sudah dirapikannya agar kami bisa makan berdua.
Rayuan untuk kembali rupanya masih berlanjut. Aku letakkan piring nasi kuning di meja, lalu duduk di kursi yang disediakan Kang Oded. Baru satu suapan masuk ke mulutku, suara Kang Oded sudah kembali meluncur ke telinga.
“Dik,” panggilnya mesra, atau aku pikir ia berusaha terdengar mesra. Apa lagi maunya kali ini.***
Tisni membalik badan dan melangkah pergi, setelah sebelumnya berpamitan pada sahabatnya Dewi dan Resti di pintu gerbang mess. Dewi dan Resti sama-sama menatap tas ransel yang tergantung di punggung Tisni, menjauh bersama pemiliknya. Sosok Tisni lenyap di balik angkot yang membawanya pergi secepat kedatangannya yang mengebut.“Kasihan Tisni ya, Res,” desah Dewi pelan. Napasnya mengembus pelan namun berat.“Maksudmu?” sahut Resti. Bola hitam mata Resti bergulir ke sudut, melirik Dewi di sampingnya.“Ya, Tisni hanya dikadalin Mas Rudi,” jelas Dewi. Sekarang Dewi menggeleng-gelengkan kepala dengan raut wajah prihatin.“Hm, sebetulnya aku sudah menduga sejak lama lho, Dew,” balas Resti. Kepalanya ditelengkan miring, hingga wajahnya lurus ke arah wajah Dewi.“Oya? Kok bisa, Res? Kamu punya firasat begitu?” kejar Dewi. Dewi bal
Pasrah. Itulah sikap yang kupilih. Biar saja semua orang membicarakanku sekehendak hati. Lebih baik aku fokus pada pekerjaan. Meskipun dalam hati kecil, terbersit rasa penasaran. Siapa dalang penyebar fitnah ini?Suatu hari, aku ungkapkan ganjalan hati tentang hal ini pada Boy dan Beni. Mereka berdua sudah aku percaya, karena terbukti berulang kali tak pernah mencampuri urusan orang lain jika tak diminta.“Kalau menurutku, penyebar fitnah itu ya Santi sendiri,” ujar Beni sambil merokok.Usai satu kalimat, ia mengisap benda haram itu dengan nikmat. Asap keluar dari dua lubang hidungnya membentuk dua jalur asap.“Menurutku juga begitu. Santi sakit hati, makanya mengarang kisah untuk menyudutkanmu, Kang,” timpal Beni.Beni seorang perokok berat, levelnya melebihi Boy. Sekarang saja ia mengeluarkan bungkus rokok kedua, lalu sebatang rokok berpindah
Tiada hari tanpa penyesalan. Menyesal kurang memerhatikan Tisni, menyesal kurang menunjukkan rasa cintaku padanya, menyesal menganggap keluhannya sebagai angin lalu, menyesal dan menyesali banyak hal. Ribuan penyesalan silih berganti menghinggapi benak, hingga aku tenggelam dalam lautan keputusasaan.“Sudah, Ded. Jangan terlalu dipikirkan. Semua yang telah berlalu, anggaplah masa lalu kelabu. Pikirkan langkah baru,” nasihat Paman Andi kepadaku, sok bergaya menjadi pujangga.Tak aku jawab perhatian kakak ayahku itu. Hanya sorot mata pilu yang kuberikan sebagai tanggapan. Meskipun mulutku terkunci, sejatinya hatiku ingin menampik.“Mudah bagi Paman bicara itu, karena bukan Paman yang patah hati,” bisik hati kecilku.Lepasnya Tisni sebagai istri merupakan kehilangan besar yang berdampak hebat bagi jiwa dan ragaku. Baru dua minggu surat cerai dari Pengadilan Agama kuterima, berat
Cantik. Itu yang kulihat ketika pertama kali mengenal Tisni. Wajahnya lugu khas gadis kampung, namun ia tak terlihat kampungan. Kulitnya putih bersih dan halus, matanya tidak liar jelalatan, bahkan ia lebih sering menunduk jika berbicara dengan lelaki atau orang yang lebih tua.Kang Oded sendiri teman yang cukup menyenangkan. Sejak kantorku menyewa jasanya untuk membuat seragam kantor, kami mulai dekat. Awalnya aku ke rumahnya untuk urusan proyek baju seragam, lalu kunjunganku berlanjut untuk sekedar mengobrol santai.Keberadaan Tisni yang cantik menjadi daya tarik tersendiri bagiku untuk terus berkunjung ke rumah Kang Oded. Dengan bertandang ke rumahnya, aku berharap dapat menikmati wajah cantik Tisni.Saat Kang Oded meminta bantuanku untuk mengajari Tisni komputer, aku langsung menyanggupi. Ini kesempatan untuk berdekat-dekatan dengan Tisni. Siapa yang tak suka berdekatan dengan perempuan cantik yang harumnya melambung
Keesokan harinya, sebuah paket besar datang ke rumah. Saat itu, kami sekeluarga sedang makan siang bersama.“Paket!” seru Abang pengantar paket dari ekspedisi.Aku menghambur ke pintu depan, lantaran tahu Ibu sudah cukup tua untuk berlari menyambut paket.“Ya?” Sapaku pada Abang paket.“Paket buat Ibu Tisni?” tanyanya, sementara mata Abang paket terpaku pada label di atas paket besar yang ditopang oleh kedua tangannya.“Saya sendiri,” jawabku antusias.“Silakan,” ujar Abang paket seraya menyerahkan paket besar seukuran kardus minuman mineral ke arahku.Aku menyambut paket terbungkus kertas tebal cokelat itu, sedangkan Abang paket mencatat sesuatu dalam notesnya.“Terima kasih,” ujarku otomatis.Aku berjalan masuk kembali sambi
Haruskah aku menerima Kang Oded kembali, setelah semua kekecewaan yang ia berikan? Rasanya tak mungkin aku menjilat ludah sendiri. Egoku mengajak untuk menolak tawaran Kang Oded.Tetapi ... Bukankah aku juga gegabah? Aku balas semua kelakuannya dengan pengkhianatan, sebelum kami resmi berpisah. Kalau dipikir-pikir lagi, aku pun sama bersalahnya dengan Kang Oded.Aku bingung.“Aku pikirkan dulu, Kang,” kataku akhirnya.Kang Oded mengangguk pelan. Tak kulihat kemarahan ataupun kekecewaan dari raut wajahnya. Mungkin reaksiku sudah diperkirakan olehnya.“Akang tunggu, Dik,” balasnya, tatapannya penuh ke arah mataku.“Oya, Akang mau berpantun dulu. Boleh?” tambahnya, tak terduga.“Boleh, Kang,” jawabku sambil mengangguk.“Ke Cikini membeli dukuhWayah gini masih