Share

Bukan Luka Yang Pertama

Saat siang hari tiba dan kebetulan mereka bisa pulang lebih cepat, segera saja Grace pergi menuju tempat bekerja paruh waktunya.

“Pulang cepat ya?” ucap Melani sebagai atasannya di pekerja paruh waktu tersebut.

Selama ini sudah beberapa tempat Grace untuk bekerja paruh waktu, akan tetapi ini yang paling lama ia kerja, yakni di sebuah toko seperti minimarket kecil yang memang pemiliknya ini mengerti semua kehidupan dari Grace, ia juga memahami bagaimana kehidupan Grace dengan Ibunya.

Sebelum berada di balik tempat kasir, Grace akan terbiasa untuk menyapu lantai bagian depan lalu mengepelnya, tidak lupa mengelap kaca-kaca yang terkena debu. Grace terlihat senang saja melakukan pekerjaan tersebut meski uangnya tidak seberapa dibandingkan dengan uang yang Ibunya hasilkan dari pekerjaan seperti itu.

“Jangan terlalu bersih, nanti kotor lagi.”

Seperti itulah yang sering Melani katakan pada Grace, mengingat rajinnya Grace, padahal sekali saja saat pagi hari oleh Melani atau saat menutup toko sebenarnya tidak masalah sama sekali.

“Sudah makan siang?”

“Nanti saja, Kak.”

“Makanlah dulu, aku nggak mau punya pelayan toko tiba-tiba kejang di sini, bisa panjang urusannya nanti.”

Ada sekilas tawa dari Grace karena ucapan pemilik toko tersebut. Melani memang cukup dekat dengan Grace, selama ini juga ia nyaman saja bekerja di sana, meski sesekali ia merasa pekerjaannya tersebut sangat melelahkan karena harus mengangkat barang-barang yang berat.

Jika ada beberapa barang-barang toko yang baru datang, Grace sudah harus mengangkatnya ke dalam gudang toko tersebut, tidak hanya sendiri, tetapi juga dibantu oleh tim yang mengantarkan barang belanjaan tersebut.

“Grace, aku pergi dulu, mungkin kembali nanti sebelum tutup toko.”

“Baik, Kak.”

“Oh iya, nanti ada orang yang akan mengantarkan stok beberapa barang dagangan, bantu ya.”

Tidak ada jawaban dari Grace selain ‘iya, siap, baik’ semuanya berupa penyanggupan darinya. Tidak mungkin juga bagi Grace untuk menolaknya.

Pukul 20.00

Sebuah mobil box berhenti di depan minimarket tersebut, banyak orang yang memang menyebutnya sebagai toko saja.

Kali ini sepertinya barang yang datang tidak sebanyak biasanya, Grace cukupberuntung karena tubuhnya tidak akan terlalu lelah sekali nantinya.

“Sendirian?” tanya Arlan, seorang supir mobil box pengantar barang dagangan di toko tersebut.

“Iya.”

“Memangnya Bu Melani enggak rekrut pegawai laki-laki apa?”

“Kalau itu aku juga enggak tahu, itu urusannya.”

“Kasihan saja kamu terus yang bantu begini.”

“Enggak masalah juga kali, lagi pula aku juga bisa kok.”

“Masalahnya kamu itu perempuan Grace.”

“Aku tidak keberatan.”

Sebenarnya Edwin juga sering merasa kasihan pada Grace yang selalu siap siaga juga membawa barang dagangan ke gudang toko tersebut. maka ia juga dengan keras membantunya supaya meringankan bebannya Grace.

Kapasitas kekuatan laki-laki dan perempuan tentu sangat berbeda sekali. Meski begitu, Grace tetaplah perempuan yang memang merasakan lemah.

Usai bekerja malam hari ini, pukul sepuluh malam Grace tiba di rumah. Namun, saat itu Grace sempat heran karena asing melihat mobil yang berada di depan rumah kontrakannya tersebut. biasanya Grace tahu laki-laki mana saja yang berlangganan dengan Ibunya.

Langkah kaki Grace semakin ragu memasuki rumahnya, tetapi ia juga tetap penasaran.

“Hei sayang!” sapa Ibunya Grace dengan penuh riang gembira merangkul bahunya Grace, ini tidak seperti biasanya.

Grace hanya bisa terdiam saja, ia bingung dengan keadaan seperti itu, apalagi di sana ada laki-laki paruh baya yang tampaknya kaya, seperti juragan tanah. Namun, entah juragan tanah atau juragan yang lainnya, yang jelas ia terliat laki-laki paruh baya yang kaya saja.

“Perkenalkan ini Om Edwin.”

Saat itu Grace hanya tersenyum kaku sekilas saja. Bahkan, ketika Pria tersebut mengulurkan tangannya untuk sekadar berjabat tangan sebagai perkenalannya dengan Grace, tetap saja Grace tidak menerimanya. Ia hanya menganggukkan kepalanya perlahan.

“Grace, sopanlah sedikit!” bisik Ibunya pada Grace.

Mau tidak mau Grace kembali menampakkan senyuman palsunya.

“Cantik sekali, tidak salah aku menerima tawaranmu.”

“Tawaran? Tawaran apa maksudnya?” tanya Grace heran yang memandangi Ibunya.

“Ikut Ibu sekarang.”

Tangan Grace dipaksa oleh Ibunya ditarik ke dalam kamarnya.

“Sekarang, gantilan pakaianmu dengan pakaian yang sudah Ibu sediakan.”

Grace mengambil pakaian tersebut yang sebenarnya menurut Grace tidak layak disebut dengan pakaian karena terlihat di sana sini lekuk tubuhnya.

“Aku tidak mau! Oh, sekarang aku paham maksud tawaran tadi. Jadi, Ibu menjualku ke laki-laki tua itu?” Grace sudah tidak tahan untuk menahan emosinya.

“Jangan sembarangan, dia itu kaya, Grace.”

“Mau kaya mau tidak aku sama sekali tidak peduli!”

“Pakai ini atau Ibu paksa melucuti pakaianmu dan siap dipaksa oleh Om Edwin di sini!” Ibunya Grace memberikan ancaman yang luar biasa membuat Grace semakin membencinya.

“Ibu gila ya?”

“Ibu memang gila, kapan kamu pernah anggao Ibu waras hah? Cepat pakai!”

Karena Grace sangat enggan memakainya, maka dengan kekerasan pula dan dengan campur tangan Ibunya, Grace berganti pakaian.

Saat itu pakaian yang digunakan oleh Grace adalah dress sebatas paha tanpa lengan berwarna merah menyala, tidak lupa pewarna bibir yang merona, bahkan lekuk tubuhnya Grace sangat terlihat sekali.

Wajah pria tersebut alias Edwin sangat sumringah sekali melihat Grace berpakaian seperti itu, matanya begitu berbinar seperti menemukan makanan enak malam itu.

“Ikutlah malam ini bersama Om Edwin, hanya malam ini saja.”

Bola mata Grace hampir saja keluar, baru saja ia berhenti bekerja, dan sekarang Ibunya alih-alih menyuruhnya bekerja kembali namun ini bukanlah pekerjaan yang Grace inginkan.

“Aku tidak mau!”

“Grace! Uangnya sudah Ibu terima, kamu tidak bisa menolak.”

Seperti sudah kehilangan rasa malu, Edwin menggenggam pergelangan tangan Grace yang masih diam di tempat untuk kembali ke kamarnya. Namun, karena cengkeraman tangan Edwin terlalu kuat maka Grace tetap terpaksa dibawa menuju mobilnya.

Yang bisa dilakukan oleh Grace hanya menangis dan memberontak untuk pergi dari sana.

“Hey, tenanglah sebentar, hanya malam hari ini saja, sampai fajar nanti tiba akan Om kembalikan ke rumah, tidak lama bukan?”

“Tidak lama apanya, kamu ini tua Bangka gila ya! Sama saja dengan Ibu!”

“Terserah apa yang mau kamu katakan, yang jelas Om sudah lunas membayarmu untuk malam ini pada Ibumu.”

Grace mengepalkan jemarinya dengan kesal, amarahnya benar-benar memuncak sekali. Hingga mereka tiba di parkiran hotel, pintu otomatis terbuka, saat itulah Grace gunakan untuk berlari, namun sayang, ia tidak bisa berlari.

“Heels sialan!”

“Mau ke mana? Kamu tidak bisa pergi, sayang. Kita belum bersenang-senang.”

“Aku tidak akan pernah bersenang-senang denganmu!”

Saat itu Grace meraih heelsnya lalu ia lemparkan tempat pada muka Edwin hingga membuat lebam di area bibirnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status