Share

Mendapat Siksaan

Lemparan heels milik Grace membuat Edwin naik pitam. Ia sangat kesal dengan perbuatan Grace yang seperti itu. Tidak setimpal dengan bayaran yang diberikan kepada Ibunya.

Setelah Grace pergi dari sana, ia menemukan warung yang kondisinya cukup ramai dan dengan sengaja ia mampir ke warung tersebut dengan tujuan Edwin tidak akan berani mendekatikan jika ada banyak orang.

Sepertinya strategi Grace itu berhasil, Edwin tidak berani mendekat dan menarik paksa Grace. Hal itu membuat lega Grace yang berlari dengan kaki telanjang.

Setelah tengah malam, barulah Grace sampai di rumahnya. Sengaja ia pulang saat tengah malam berharap pula jika Ibunya sudah tertidur dan tidak akan memarahinya karena ia telah meninggalkan pelanggannya.

Klik! Grace membuka pintu tersebut.

Gelap. Ruang tamunya sudah gelap, artinya Ibu Grace sudah tertidur.

Satu langkah, dua langkah dan langkah berikutnya ia berhenti.

“Bagus sekali kerjamu hari ini,” ucap seorang perempuan yang kini sudah menghidupkan lampu di ruang tamu tersebut, tidak lupa kedua tangannya disilangkan ke depan.

“Siapa bilang aku mau bekerja seperti Ibu?”

“Tidak perlu bilang, tetapi kamu memang harus mengikuti jejak Ibumu. Tugasmu itu mulia mengikuti perintah seorang Ibu.”

Grace tersenyum sinis dan terlihat sangat jijik sekali dengan ucapan Ibunyang yang bersikap sangat paling benar sekali.

“Ibu menganggap itu pekerjaan mulia?”

“Tentu, daripada kamu mengemis di jalanan atau hanya menjual gorengan di pinggir jalan, sudah seharian uangnya sedikit.”

Saat itu Grace hanya bisa menggelengkan kepalanya saja, ia benar-benar tidak habis pikir dengan Ibunya. Bisa-bisanya memiliki pendapat yang seperti itu, menurut Grace itu sudah sangat salah kaprah sekali.

“Ibu salah. Justru mereka yang hanya menjual Koran, gorengan di pinggir jalan termasuk yang mulia dibandingkan Ibu yang hanya berdiam diri di dalam kamar, mendesah lalu mendapatkan uang banyak tetapi tidak pernah berguna!”

Plak!

Tamparan mendarat dengan kasar pada pipi bersihanya Grace.

“Jaga ucapanmu! Kamu lahir dari orang yang ada di hadapanmu!”

“Aku tidak pernah meminta dilahirkan dari Ibu, jika bisa memilih dan jika aku tahu siapa Ayahku, aku akan ikut dengannya.”

“Ayah? Kamu sebut Ayah juga laki-laki hidung belang itu?”

“Siapa? Yang mana? Yang pakai mobil atau motor apa? Ibu saja tidak pernah bicara padaku, bahkan Ibu selalu marah kalau aku ingin mencari tahu tentang Ayah.”

Wajah Ibunya sangat memerah sekali, ia tidak tahan lagi menahan amarahnya pada Grace. Hingga pandangannya pun beralih pada sapu yang ada di sana. Ibunya mengambil lalu memegangi pergelangan tangan Grace sekuat mungkin.

“Lepas! Ibu hanya akan memukuliku bukan?”

“Kamu memang harus diberi pejaran!”

Entah mengapa dari awal Grace yang begitu kuat dan keras melawan Ibunya kini meneteskan air mata. Grace benar-benar merasa sangat hancur sekali.

“Kamu tidak pantas menanyakan siapa Ayahmu! Ibu sudah katakan berulang kali jangan pernah menanyakannya, ini akibat anak nakal sepertimu!”

Semakin lama pukulan gagang sapu pada sekujur tubuh Grace memerah dan akan emmbiru pada keesokan harinya.

Malam itu benar-benar membuat Grace sakit sekali, memar di mana-mana. Bukan hanya memar di tubuhnya, tetapi juga hatinya.

Perlahan Grace bercermin, memandangi dirinya di depan cermin dengan luka yang sudah membiru, luka itu ia dapatkan setiap kali menanyakan Ayahnya. Entah mengapa Ibunya menggila dan akan menyiksanya habis-habisan.

Setelah memberikan siksaan tersebut, Ibunya tidak akan pernah meminta maaf atau juga memberinya obat.

Grace sudah terbiasa mengobati dirinya sendiri, ia sudah menyiapkan obat salep untuk tubuhnya yang lebam membiru. Meski tidak dapat menyembuhkan cepat, setidaknya ada sedikit rasa sakitnya hilang. Belum lagi ia juga harus tetap kuliah dan bekerja.

Sembari mengobati luka pada tubuhnya, ia iringi dengan tangisan tanpa suara. Ia juga takut jika sampai Ibunya mendengar tangisannya, bisa-bisa ia disiksa kembali.

Pagi hari, waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB

Saat itu Grace sudah memasak juga untuk Ibunya dan untuk dirinya, namun tidak makan di rumah, ia bawa ke kampus.

“Aku pergi,” ucap Grace datar, meski sebenarnya enggan, namun ia masih menghormati jika itu adalah Ibunya.

“Belikan sarapan.”

“Aku sudah masak.”

Hanya percakapan singkat, padat, dan penuh kekesalan menghiasi setiap paginya Grace.

Di sepanjang perjalanannya menuju kampus tidaklah mudah. Setiap pagi ia harus naik bus angkutan kota dahulu, mungkin 10 menit saja, kemudian berjalan kaki menuju kampusnya 5 menit saja.

Tidak begitu jauh, namun terkedang melelahkan karena di rumah ia selalu mendapat hal-hal yang tidak terduga.

Masih pagi sekali, kelas sangat kosong, saat itulah Grace memanfaatkan untuk sarapan terlebih dahulu seraya membaca buku mata kuliahnya yang akan ia pelajari nantinya. Terkadang ia tidak sempat membacanya jika di rumah.

“Hei, masih pagi sudah belajar saja.”

“Demi sebuah masa depan yang sedikit cerah, Sil. You know me.”

“Sedikit doang ya cerahnya? Kenapa enggak banyak sekalian?”

“Jangan kebanyakan, nanti ditutup sama Ibu, percuma.”

Seketika Sisil sangat ingin tertawa, namun ia menahannya dengan melipat bibir atasnya ke dalam. Sebenarnya itu candaan gelap dari Grace, tetapi ia juga tidak terlalu memikirkannya karena ia sendiri yang membuatnya.

“Eh hari ini kayaknya aku bakal izin nih di mata kuliah akhir, soalnya mau periksa Ibu ke rumah sakit, kasihan kalau sendiri.”

Grace mengangguk-anggukkan kepalanya. Sisil, sahabatnya ini memang hanya tinggal dengan Ibunya saja. Ayahnya meninggal sejak ia berada di bangku SMP, namun beruntungnya ia dari Grace adalah masih bisa melihat dan mengingat Ayahnya dengan baik.

Jadi, ketika rindu pada Ayahnya, ia bisa melihat fotonya. Lain halnya dengan Grace yang hanya bisa menerka-nerka.

Perkuliahan berlangsung hingga siang hari. Setelahnya masih ada satu mata kuliah lagi dan akan berakhir pada pukul 16.00.

Setelahnya, Gcace harus kembali menuju tempat kerja paruh waktunya.

“Grace, kamu sakit?”

“Enggak, Kak, ini karena kuliahnya full banget tadi.”

“Makanlah atau istirahat dulu, baru bekerja.”

Biasanya pemilik toko tersebut akan sangat perhatian pada Grace. Saat malam harinya ketika suasana toko sepi, berhubung di depan toko tersebut ada tempat duduk dan meja, Grace dan Melani sangat pemilik toko duduk bersama di sana.

“Lah mau ngapain buka buku di sini? Jangan tanya apa pun denganku ya, aku kan enggak kuliah kayak kamu.”

“Enggak, kak. Aku mau ngerjain tugas kuliah, besok dikumpulkan.”

“Gila dah, dosen kamu jahat banget, ngasih waktu mepet begitu.”

Grace hanya tersenyum saja. “Aku sengaja ngerjain di sini, lagi pula kalau di rumah yang ada tidak akan bisa fokus.”

“Silakan saja, asalkan nanti kalau ada pelanggan tinggalkan dulu tugasnya.”

“Siap!”

“Oh iya sebentar, Ibumu masih bekerja yang itu?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status