Hah...! Apa Ma? Mama minta aku untuk membuat menantu Mama itu, keguguran?" Bella yang mendapat perintah dari ibunya tak menyangka, jika saran yang ibunya berikan begitu kejam.
"Jangan kamu sebut dia sebagai menantu Mama, Bella!" bentak bu Susy.Ia merasa tak Sudi jika menjadi mertua dari wanita yang dibencinya."Maaf...! Tapi 'kan, dia memang menantu Mama. Secara, dia istri dari anak Mama, 'kan?" jawab Bella pelan, yang merasa ngeri dengan kemarahan ibunya."Sudah, sudah! Pokoknya, sampai kapan pun, Mama nggak akan sudi memiliki menantu seperti dia!""Iya, iya..! Tapi Ma, aku gak tau gimana caranya buat wanita itu keguguran!" ungkap Bella takut."Aakhhh...! Masa' gitu aja nggak tau, sih! Percuma sekolah tinggi-tinggi, gitu aja nggak bisa!" jawab bu Susy ketus sambil menahan emosi pada putrinya."Jangan bawa-bawa pendidikan aku donk, Ma!" jawab Bella tak terima dikatakan bodoh secara tidak langsung."Mama pikir, aku nuntuNisa..!" panggil Arman tak percaya.Arman seolah tak percaya melihat kemarahan istrinya kali ini. Istri yang selama ini selalu berkata dengan tutur kata lembut, saat ini berubah kasar dan arogan."Apa..! Apa kamu pikir karena aku ini hanya orang luar dari keluargamu, kamu bisa menyalahkan aku begitu saja, hah! Kamu pikir aku bodoh, Mas?" Bentak Nisa kesal. Ia tak menyangka jika ucapan yang dikatakan suaminya, yang ingin membela dan berpihak padanya, itu hanya ucapan belaka tanpa ada pembuktian."Nisa..! Aku gak bermaksud begitu Nis!" ungkap Arman yang mulai tak terima dengan bentakan istrinya."Lalu bagaimana, Mas?" tanya Nisa tak kalah emosinya."Kamu itu istri aku, wajar donk jika aku meminta kamu menuruti perkataanku!" jawab Arman menegaskan."Jika itu berupa nasihat, aku akan turuti Mas! Namun jika itu sebagai bentuk menyudutkanku, ya jelas aku gak akan mau!" ungkap Nisa memandang suami dan iparnya secara bergantian.
Aku Arman Santoso suami dari Annisa Hafizah, dengan ini menjatuhkan talak satu untuk istriku. Maka dengan ini, kamu bukan lagi istriku." Arman pun terduduk di kursi.Setelah mendengar kata talak terucap jelas dari bibir suaminya, untuk sesaat tubuh Nisa pun bergetar, ia pun beranjak dari duduknya. Ia berjalan lamban, menaiki anak tangga satu persatu, dengan tubuh yang seakan tak mampu ia bawa. Bukan karena menyesali keputusan yang ia ambil, namun kembali harus merasakan hidup sendiri, dan harus melihat anak yang ia kandung akan merasakan hal yang sama seperti yang terjadi pada anak pertamanya. Di mana harus merasa dihina dan diperlakukan beda oleh orang sekitar.Namun Nisa telah bertekad dan berjanji pada dirinya sendiri, bahwa hal yang pernah terjadi di masa lalu tak akan terulang kembali.Ia harus berjuang demi kebahagiaan dan masa depan anak-anaknya. Dan ia pun bertekad untuk hidup sendiri membesarkan kedua buah hatinya nanti. Nisa merasa trau
Arman mengejar Nisa yang sudah sampai di ambang pintu. Nisa yang mendengar panggilan dari Arman pun menghentikan langkahnya, Nisa menoleh ke belakang dan melihat Arman mengejarnya."Apalagi Mas? Kamu ingin menarik kata-katamu?" tanya Nisa memandang wajah sedih suaminya. "Aku mohon...!" ucap Arman dengan suara serak sambil memegang tangan istrinya."Mas...! Apa-apaan sih, Mas? Biarkan saja mereka pergi, memang sudah seharusnya mereka meninggalkan rumah ini!" seru Bella memotong ucapan kakaknya."Diam kamu Bella..!" bentak Arman pada adiknya."Kamu yang harus sadar, Mas! Wanita seperti itu tidak pantas berada di keluarga kita! Wanita kampung seperti dia memang pantasnya jadi gembel di kota ini!" kata-kata kasar dan hinaan kembali terdengar dari bibir Bella.Arman kembali ragu dengan rencananya yang ingin membuat istrinya tak pergi dari rumah. Ia pun hanya diam dan melepaskan tangan istrinya dari genggamannya.Ni
Ayo jawab Bell, kamu bilang aku keterlaluan? Katakan, apa tujuan kamu datang ke rumahku, hanya ingin menghancurkan rumahtangga kami 'kan?" tanya Arman bertambah berang."Kamu kelewatan, Mas!" ucap Bella berusaha berpura-pura sedih."Kamu yang sudah kelewatan. Kamu pikir, rumah tanggaku milik bersama, hingga kamu seolah merasa berhak memberi keputusan!" Kekesalan Arman yang tak dapat mengejar istrinya pun, ia tumpahkan pada adiknya."Huh...! Dasar laki-laki nggak konsisten!" gerutu Bella pada Arman."Apa kamu bilang? Aku nggak konsisten?" tanya Arman lagi "Kalau nggak gara-gara kamu mencegahku tadi, nggak mungkin aku ditinggalkan oleh istriku!" ucap Arman membela diri."Yee, mana nggak mau dibilang nggak konsisten, lagi! Padahal udah jelas, dia sendiri yang menceraikan, dia juga yang ingin membatalkan!" jawab Bella santai " Udah ah, aku mau pulang!" lanjut Bella beranjak dan berlalu pergi.Bella begitu bahagia karena usahanya untu
Nisa yang merasa perih dan ngilu di bagian perutnya, tak mampu lagi menahan rasa sakit. Ia hanya mengikuti langkah Dinda yang memapahnya untuk sampai ke kamar."Kamu kenapa Nis? Kamu sakit ya, wajah kamu sampai pucat gitu, lho!?" tanya Dinda khawatir akan kesehatan sahabatnya."Nggak apa-apa kok, Din! Mungkin karena terlalu capek makanya kayak gini!" jawab Nisa tak ingin membuat khawatir sahabatnya.Nisa sebisa mungkin tak ingin merepotkan sahabatnya itu, dia sudah bertekad untuk memperjuangkan masa depan anak-anaknya dan harus kuat. Apalagi dia sudah tidak bisa meminta pertolongan pada siapa pun. "Ada yang kamu sembunyikan dari aku ya, Nis?" tanya Dinda, sambil memandang lekat wajah Nisa. Ia tau bagaimana Nisa, dia bukanlah wanita lemah. Aneh rasanya, jika hanya karena perjalanan dari rumah ke tempatnya udah membuat ia kecapean."Maaf...! Saat ini aku memang lagi hamil, Din!" jawab Nisa perlahan."Apa....!" seru Dinda kaget men
"Kamu ini, aku aja blm resmi bercerai sudah kamu suruh menikah lagi, Din!" jawab Nisa cemberut."Hehe...! Maaf deh, habis kamu gak cerita sepenuhnya masalah kamu, jadi mana aku tau!" ujar Dinda nyengir.Nisa menarik napas panjang, dadanya seketika merasa terhimpit oleh rasa sakit dan kecewa. Sejenak dia hanya memandang ke arah sahabatnya tanpa berkata! Sebenarnya, Nisa tak ingin menceritakan masalah rumah tangganya pada siapapun, namun untuk merahasiakan dengan orang yang telah menolongnya, bukanlah sesuatu yang baik menurut Nisa. Setelah menghembuskan napas panjang berulang kali, Nisa pun kembali memandang wajah sahabat karibnya tersebut."Sebelumnya, aku mau minta maaf jika aku udah merepotkan kamu, Din!" ucap Nisa mengawali pembicaraannya."Apaan sih, Nis! Kita itu udah kenal lama lho! Dan, apabila aku saat ini membantu kamu, itu udah kewajiban aku sebagai seorang sahabat, dan aku nggak mau kamu merasa nggak enakan gitu!" jawab Dinda
"Sejujurnya, aku mulai mencintai mas Arman, Din! Tapi...! Mengapa kebahagiaan seolah tak berpihak padaku, Din!Apa aku tak berhak untuk bahagia?" tanya Nisa lirih.Nisa menangis terisak! Harapan dan impiannya yang dahulu sempat memberi semangat dalam dirinya, kini telah sirna, hilang bersama perselingkuhan dan ketidakpedulian suaminya."Jika itu semua menjadi beban untukmu! Lepaskan saja, Nis! Kamu dan anakmu juga berhak bahagia!" ujar Dinda sambil memeluk sahabatnya.Dinda merasa semakin prihatin melihat kehidupan rumah tangga sahabatnya.Lama Nisa hanya menangis dalam pelukan sahabat satu-satunya, yang ia miliki di kota ini. Perasaan sesak yang menghimpit pun terasa sedikit berkurang.Setelah merasa sedikit lega, Nisa melepaskan diri dari pelukan, dan memegang tangan Dinda sambil memandang sendu."Apa aku salah, Din? Apa aku istri durhaka, jika meminta pisah dari suamiku?" tanya Nisa sambil menahan tetesan airmata yang ingin kem
Arman bergegas menghampiri, dia merasa dipermainkan oleh wanita yang selama ini mengatakan cinta kepadanya."Sherly tunggu?" teriak Arman nampak tak suka. Ia yang masih lumayan jauh pun, melangkahkan kakinya dengan buru-buru.Sherly yang tak menyangka akan kehadiran Arman pun nampak panik, ia bergegas membawa pria yang bersamanya masuk ke dalam mobil "Ayo om!" ajak Sherly sambil bergegas memasuki mobilnya.Laki-laki yang bersama Sherly pun tak banyak tanya, karena ia juga tidak melihat keberadaan Arman. Ia hanya mengikuti keinginan wanita yang beberapa bulan ini, menjadi teman kencannya.Mobil yang dikendarai Sherly pun meninggalkan parkiran dan melaju kencang.Arman yang ditinggalkan tak mampu berbuat banyak, ia hanya mengepalkan tangannya dengan gigi yang mengancing keras."Brengsek...! Ternyata begini kelakuan kamu di belakangku, Sherly! Kita lihat saja, apa kamu masih bisa mengelak lagi!" ucap Arman sambil berlalu kembali ke