"Ketika kau memilih pergi, kau harus tahu; jalan kembali memang akan selalu ada, tapi tempat untuk pulang seringkali sudah tak lagi tersedia."___Saat langkahku mendekat dia membuka pintu mobil. Senyum lebarnya menyambut. Sulit kupungkiri dan dengan agak berat hati kuakui bahwa setiap kali dia menatap kudapati ketenangan di cahaya matanya yang teduh. Tapi bukan berati aku terpesona. Bagaimanapun dia tetap mahluk yang menjengkelkan. Seakan-akan bisa memaksa orang menuruti setiap kemauannya.“Hai ...”Kupasang ekspresi sedingin mungkin tidak ingin dia berpikir kalau aku senang hati menerima kedatangannya.“Kamu nggak perlu ke rumah. Sekarang juga kita berangkat ke bengkel dan mengambil mobil saya.”Diam sejenak. Dia bersender pada mobil menyilangkan tangan di dada sementara matanya lekat di wajahku. Membuat buku-buku jemariku serasa membeku. Tak lama senyumnya kembali terbit dan dia berkata dengan nada tegas. “ Oke, sepertinya ide bagus. Tadinya saya kepingin mampir ke rumahmu.” Mendesa
Ada perasaan senang menyeruak cepat memenuhi dada. Dia berdiri tegak dengan sebelah tangan tenggelam di saku celananya. Sesekali jemarinya naik ke atas menggaruk sisi lehernya. Berkali-kali mengulas senyum. Dari cara dia berbicara dan bahasa tubuh, kurasa dia sosok yang menyenangkan. Menenangkan tepatnya. Lamunanku buyar ketika dia berdeham keras dan kembali duduk di tempatnya semula.“Sudah malam apa kamu mau pulang sekarang?”Aku mengangguk. Menenggelamkan senyum yang hampir mengembang di sudut bibir. Entalah kenapa tiba-tiba aku merasa ganjil. Luapan emosi yang aneh.“Oke, saya antar ya?” Dia menatap sejenak menunggu persetujuanku. Tetapi aku menggeleng. Agak ragu sebenarnya. Hati kecilku menginginkan bersamanya lebih lama lagi. Berbeda jauh dari perasaan sebelumnya. Apa ini berarti tanpa sengaja pintu hatiku mulai terbuka?Tidak. Aku belum siap. Aku belum ingin menerima siapapun setidaknya untuk waktu satu atau dua tahun ke depan. Aku takut terulang kesalahan yang sama, luka yang
“Ada ustadzah Naz yang menemani mereka di rumah.”Randy menjawab dengan tenang. Tatapannya sebentar singgah ke wajahku. Ada perasaan gugup. Entah kenapa. Anak-anak? Anak siapa? Apa yang di maksud anak-anaknya akhtar. Jika dilihat dari raut mukanya yang masih belia tidak mungkin anak adiknya, Randy. Atau anak-anak asuh, anak-anak tetangga misalnya. Tidak. Tidak mungkin.Lalu kenapa seorang ustadzah yang menemani mereka di rumah. Kemana ibu mereka. Atau tepatnya istri Akhtar?Akhtar. Sebenarnya aku belum mengenal dia sama sekali. Siapa dia?“Mai, sudah sangat larut. Kamu harus pulang.”Dia memutari ranjang mendekatiku. Aku ikut berdiri. Sementara dia berbicara pada Randy aku berdiri dekat pintu. Kemudian menggiringku keluar setelah aku berpamitan pada adiknya.***Dia lebih banyak diam selama perjalanan dan aku tidak bermaksud memecah keheningan yang membuat kaku di leherku. Kubiarkan saja seperti itu. Padahal seharusnya dia membiarkan aku pulang seorang diri. Tapi sepertinya tidak memu
"Mungkin suatu hari kelak kau tidak akan pernah menemukan aku lagi, kecuali dalam pikiranmu."___(Maikana)Pagi-pagi sekali aku menceritakan yang terjadi semalam dan mengatakan pada Kak Sarah untuk kembali menjenguk ibu Akhtar hari ini juga. Kak Sarah yang sedang fokus pada cermin mendadak berpaling padaku. Senyum terkulum di sudut bibirnya yang kini telah dipoles dengan warna nude. Terlihat sangat serasi dengan padanan hijab dan blus yang ia kenakan pagi ini. Ah, Kakakku satu ini sangat memperhatikan penampilan berbanding terbalik denganku yang sedkit cuek. Tapi bukan berarti semborono. Aku tetap memperhatikan kesesuaian padu-padan make up, warna pakaian dan aksesoris yang akan kukenakan tapi tentu saja tidak serumit dan sedetil dia.“Sepertinya kamu makin dekat sama si ... siapa namaya?” Kakak Sarah berpaling padaku setelah merapikan ujung hijabnya.Mendengar pertanyaannya aku merasa tidak senang. Bukan apa-apa aku malas menyebut namanya walaupun mungkin aku harus mulai membiasakan
"Jalan hidup tak selalu mulus dan lurus adakalanya harus menemui kerikil dan duri yang memaksa kita untuk sejenak berhenti. Bukan untuk menyerah tetapi memahami satu pelajaran darinya untuk kemudian kembali bangkit dan melanjutkan cerita."“Ibu mereka meninggal sewaktu melahirkan mereka tiga tahun lalu.” Dia menjawab pertanyaanku pada akhirnya. Kontan aku mengangkat wajah memandang ke arahnya yang menghempaskan diri di kursi di sebelahku. Senyap. Beberapa saat ucapannya seakan menggantung di udara. Sekalipun sudah memperkirakan sebelumnya namun tetap saja tak mengurang perasaan syok. Pikiran itu melintas cepat, bagimana jika aku yang berada di posisi itu. Ketika takdir mengharuskan aku pergi meninggalkan dua anak yang baru saja hadir ke dunia?Akhtar aku tahu seberapa dalam luka yang kau rasakan ketika harus kehilangan selamanya.“Maaf saya nggak bermaksud membuat kamu sedih. Dan saya turut berduka cita atas kepergian kamu.”Aku menunduk dalam-dalam setelah mengungkapkan itu. Entah me
“Ayo bersiap-siap sebentar lagi Uncle Randy datang jemput kalian.” Dia memberi instruksi yang langsung direspon si kembar. Mereka sigap membereskan beberapa mainan dan alat tulis memasukannya ke dalam tas masing-masing yang berwarna merah muda dengan gambar tokoh film kartun.“Apa Tante Mai mau ikut kita pulang?” Tiba-tiba Shaili yang kini sudah tampak siap dan berdiri dekat pintu, bersuara. Membuat aku dan Akhtar agak tersentak berpaling padanya dengan wajah bingung. “Euh ...?” Akhtar menggaruk-garuk pelipis terlihat salah tingkah. Cepat aku bereaksi melangkah mendekati Shaili.“Memangnya Tante Mai boleh ikut pulang?” Aku bertanya balik yang langsung dijawabnya dengan anggukan tegas.“Tentu boleh Mama ups Tante Mai.” Shaili membekap mulut seraya meralat ucapannya. Padahal kentara sekali dia sengaja melakukan itu. Lalu dia terkikik. Menoleh pada Akhtar yang hampir melotot. Sekalipun bermkasud menahannya tetapi akhirnya aku ikut terkikik. Shaila bahkan tertawa keras. Anak-anak manis d
Air mataku jatuh membuat basah lengan kemejaku. Andai dia melihat aku menangis bisa kutebak dia akan terkekeh-kekeh menertawakan kecengenganku. Mungkin saja dia tidak akan percaya ini. Tetapi pada kenyataannya aku benar-benar menangis untuknya. Untuk sebuah penyesalan yang terjal karena telah membuangnya.Mai, adakah ruang dihatimu yang kau sediakan untuk memberiku sepotong kata maaf?Kuhela napas lagi, kali ini lebih dalam. Lalu setengah sadar dan setengahnya lagi memaksakan diri kutinggalkan kesemerawutan di atas spring bed. Melangkah menuju kamar mandi. Mengabaikan perut yang perlahan terasa mililit karena sejak kemarin belum terisi dengan benar. Di depan kaca aku tertegun memandang pantulan sosok yang ada di depan. Aku tercekat. Mengernyitkan dahi seolah tak benar-benar mengenalinya. Dia mengikuti setiap gerakku. Wajahnya tak terurus dengan cambang yang bertumbuh liar bagai belukar yang menyemak. Sorot matanya kelam, rautnya pucat dan muram, semuram mendung di ujung petang. Baran
Akhtar apa dia akan salah paham. Tentu saja semua ini tidak seperti yang dia kira. Aku hanya bersedia menjadi Mama mereka bukan dalam arti sesungguhnya. Hanya mengizinkan mereka memanggilku mama tidak lebih dari itu. Tetapi sebelum aku berhasil menemukan gagasan sebagai penjelasan dia sudah muncul tanpa anak-anak. Berdiri memenuhi pintu yang terhalang selembar tirai transfaran dengan motif kupu-kupu di kedua tepinya. Tiga detik pertama kami hanya saling menatap. Dia berdiri kaku memandangi seolah hendak menembus pikiranku. Membuatku mengerut dipenuhi rasa bersalah.Buru-buru aku mundur ketika dia menyibak tirai dan berjalan mendekat. Terus mundur. Sementara tatapannya lekat padaku. Dan langkahku terhenti saat membentur sesuatu yang ternyata sebuah meja belajar aku tidak tahu apa ini kepunyaan Shaila atau Shaili yang jelas aku merasa sangat takut. Tidak jelas apa yang sebenarnya aku takutkan.Dia berhenti mendekat menyisakan jarak tak lebih sedepa. Bahkan dia berdiri terlalu dekat. Me