“Ada ustadzah Naz yang menemani mereka di rumah.”Randy menjawab dengan tenang. Tatapannya sebentar singgah ke wajahku. Ada perasaan gugup. Entah kenapa. Anak-anak? Anak siapa? Apa yang di maksud anak-anaknya akhtar. Jika dilihat dari raut mukanya yang masih belia tidak mungkin anak adiknya, Randy. Atau anak-anak asuh, anak-anak tetangga misalnya. Tidak. Tidak mungkin.Lalu kenapa seorang ustadzah yang menemani mereka di rumah. Kemana ibu mereka. Atau tepatnya istri Akhtar?Akhtar. Sebenarnya aku belum mengenal dia sama sekali. Siapa dia?“Mai, sudah sangat larut. Kamu harus pulang.”Dia memutari ranjang mendekatiku. Aku ikut berdiri. Sementara dia berbicara pada Randy aku berdiri dekat pintu. Kemudian menggiringku keluar setelah aku berpamitan pada adiknya.***Dia lebih banyak diam selama perjalanan dan aku tidak bermaksud memecah keheningan yang membuat kaku di leherku. Kubiarkan saja seperti itu. Padahal seharusnya dia membiarkan aku pulang seorang diri. Tapi sepertinya tidak memu
"Mungkin suatu hari kelak kau tidak akan pernah menemukan aku lagi, kecuali dalam pikiranmu."___(Maikana)Pagi-pagi sekali aku menceritakan yang terjadi semalam dan mengatakan pada Kak Sarah untuk kembali menjenguk ibu Akhtar hari ini juga. Kak Sarah yang sedang fokus pada cermin mendadak berpaling padaku. Senyum terkulum di sudut bibirnya yang kini telah dipoles dengan warna nude. Terlihat sangat serasi dengan padanan hijab dan blus yang ia kenakan pagi ini. Ah, Kakakku satu ini sangat memperhatikan penampilan berbanding terbalik denganku yang sedkit cuek. Tapi bukan berarti semborono. Aku tetap memperhatikan kesesuaian padu-padan make up, warna pakaian dan aksesoris yang akan kukenakan tapi tentu saja tidak serumit dan sedetil dia.“Sepertinya kamu makin dekat sama si ... siapa namaya?” Kakak Sarah berpaling padaku setelah merapikan ujung hijabnya.Mendengar pertanyaannya aku merasa tidak senang. Bukan apa-apa aku malas menyebut namanya walaupun mungkin aku harus mulai membiasakan
"Jalan hidup tak selalu mulus dan lurus adakalanya harus menemui kerikil dan duri yang memaksa kita untuk sejenak berhenti. Bukan untuk menyerah tetapi memahami satu pelajaran darinya untuk kemudian kembali bangkit dan melanjutkan cerita."“Ibu mereka meninggal sewaktu melahirkan mereka tiga tahun lalu.” Dia menjawab pertanyaanku pada akhirnya. Kontan aku mengangkat wajah memandang ke arahnya yang menghempaskan diri di kursi di sebelahku. Senyap. Beberapa saat ucapannya seakan menggantung di udara. Sekalipun sudah memperkirakan sebelumnya namun tetap saja tak mengurang perasaan syok. Pikiran itu melintas cepat, bagimana jika aku yang berada di posisi itu. Ketika takdir mengharuskan aku pergi meninggalkan dua anak yang baru saja hadir ke dunia?Akhtar aku tahu seberapa dalam luka yang kau rasakan ketika harus kehilangan selamanya.“Maaf saya nggak bermaksud membuat kamu sedih. Dan saya turut berduka cita atas kepergian kamu.”Aku menunduk dalam-dalam setelah mengungkapkan itu. Entah me
“Ayo bersiap-siap sebentar lagi Uncle Randy datang jemput kalian.” Dia memberi instruksi yang langsung direspon si kembar. Mereka sigap membereskan beberapa mainan dan alat tulis memasukannya ke dalam tas masing-masing yang berwarna merah muda dengan gambar tokoh film kartun.“Apa Tante Mai mau ikut kita pulang?” Tiba-tiba Shaili yang kini sudah tampak siap dan berdiri dekat pintu, bersuara. Membuat aku dan Akhtar agak tersentak berpaling padanya dengan wajah bingung. “Euh ...?” Akhtar menggaruk-garuk pelipis terlihat salah tingkah. Cepat aku bereaksi melangkah mendekati Shaili.“Memangnya Tante Mai boleh ikut pulang?” Aku bertanya balik yang langsung dijawabnya dengan anggukan tegas.“Tentu boleh Mama ups Tante Mai.” Shaili membekap mulut seraya meralat ucapannya. Padahal kentara sekali dia sengaja melakukan itu. Lalu dia terkikik. Menoleh pada Akhtar yang hampir melotot. Sekalipun bermkasud menahannya tetapi akhirnya aku ikut terkikik. Shaila bahkan tertawa keras. Anak-anak manis d
Air mataku jatuh membuat basah lengan kemejaku. Andai dia melihat aku menangis bisa kutebak dia akan terkekeh-kekeh menertawakan kecengenganku. Mungkin saja dia tidak akan percaya ini. Tetapi pada kenyataannya aku benar-benar menangis untuknya. Untuk sebuah penyesalan yang terjal karena telah membuangnya.Mai, adakah ruang dihatimu yang kau sediakan untuk memberiku sepotong kata maaf?Kuhela napas lagi, kali ini lebih dalam. Lalu setengah sadar dan setengahnya lagi memaksakan diri kutinggalkan kesemerawutan di atas spring bed. Melangkah menuju kamar mandi. Mengabaikan perut yang perlahan terasa mililit karena sejak kemarin belum terisi dengan benar. Di depan kaca aku tertegun memandang pantulan sosok yang ada di depan. Aku tercekat. Mengernyitkan dahi seolah tak benar-benar mengenalinya. Dia mengikuti setiap gerakku. Wajahnya tak terurus dengan cambang yang bertumbuh liar bagai belukar yang menyemak. Sorot matanya kelam, rautnya pucat dan muram, semuram mendung di ujung petang. Baran
Akhtar apa dia akan salah paham. Tentu saja semua ini tidak seperti yang dia kira. Aku hanya bersedia menjadi Mama mereka bukan dalam arti sesungguhnya. Hanya mengizinkan mereka memanggilku mama tidak lebih dari itu. Tetapi sebelum aku berhasil menemukan gagasan sebagai penjelasan dia sudah muncul tanpa anak-anak. Berdiri memenuhi pintu yang terhalang selembar tirai transfaran dengan motif kupu-kupu di kedua tepinya. Tiga detik pertama kami hanya saling menatap. Dia berdiri kaku memandangi seolah hendak menembus pikiranku. Membuatku mengerut dipenuhi rasa bersalah.Buru-buru aku mundur ketika dia menyibak tirai dan berjalan mendekat. Terus mundur. Sementara tatapannya lekat padaku. Dan langkahku terhenti saat membentur sesuatu yang ternyata sebuah meja belajar aku tidak tahu apa ini kepunyaan Shaila atau Shaili yang jelas aku merasa sangat takut. Tidak jelas apa yang sebenarnya aku takutkan.Dia berhenti mendekat menyisakan jarak tak lebih sedepa. Bahkan dia berdiri terlalu dekat. Me
Tidak tahu kenapa meski dia tersenyum dan mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri padaku, aku melihat perubahan tidak wajar ekspresi wajahnya. Sorot matanya yang semula cerah menjadi suram. Sekilas dia melirik pada Akhtar dengan ekor matanya.“Nazira.” Dia mengangguk dan tersenyum seraya menyebut namanya. Meski senyumnya kentara sekali dipaksakan. “Maikana.”“Ini Mama kita.” Shaili menautkan jemarinya di sela-sela jemariku. “Ya, sudah siap berangkatkan?” Akhtar memecah kebekuan. Setelah menciumi keduanya Akhtar mempersilakan mereka berangkat dengan dibonceng menggunakan sepeda motor oleh guru mengaji mereka. Sedangkan aku memandangi mereka menjauh sampai benar-benar lenyap diujung jalan. “Biasanya mereka mengaji privat di rumah jadi guru mengaji mereka yang datang ke rumah.” Tiba-tiba Akhtar bersuara membuyarkan lamunan. “Tapi sejak ibu di rawat saya berinisiatif agar mereka belajar di rumah ustadzahnya saja.”Aku mengangguk. Sejenak tatapannya terpancang di mataku membuatku
"Aku sengaja berdiri di bawah hujan, agar kau tidak tahu aku sedang menangisi kenangan yang pernah ada di bawah derainya."_____(Ryu Anggara)Hujan menghantam kuat atap mobil. Bergemeratak. Menderu-deru menghampakan hati. Menyengkapku pada sudut paling sunyi. Jalanan bising oleh suara-suara klakson dari barisan kendaraan yang padat. Mengular. Terjebak pada satu lajur menanti lampu rambu berganti warna. Tapi aku tak terlampau peduli. Sebab aku memang tidak sedang buru-buru. Tak ada yang aku kejar tidak pula ada yang menunggu kedatanganku. Dalam hidupku kini waktu hanyalah bangkai yang akan membusuk bersama kepedihan dan penyesalan. Tak ada yang benar-benar berarti.Nyaris sepuluh menit kira-kira, lampu lalu lintas menyala hijau. Mengurai perlahan simpul-simpul kepadatan jalan yang seringkali memusingkan. Tapi tidak untuk saat ini. Ketika suara hujan terdengar riuh. Syahdu. Aku menyukainya. Selalu suka. Seperti halnya dia.Mai, kau suka hujan. Selalu suka katamu. Setiap kali.‘Aku suka