Share

Chapter 4

"Tentang kita pada akhirnya, menjadi sejarah yang tak tercatat. Kenangan yang tak terulang dan ingatan yang tak sampai. Tapi semua pernah ada. Hanya saja kita sedang belajar lupa."

_____

Sulit memperhatikan dia yang berjalan mendekat beberapa langkah dan mengajak berbicara. Suaranya terdengar samar seperti dengungan lebah. Aku tak mampu mengendalikan diri. Ada dorongan kuat yang berasal dalam diriku untuk melakukan perbuatan menyakiti diri.

Kemudian seperti orang kerasukan aku bangkit dan melompat dari tempat tidur, berlari dan membenturkan kepala ke dinding. Menjerit histeris disusul teriakan panjang. Dia menangkap tubuhku dengan gerakan cepat sebelum aku ambruk. Lamat-lamat kurasakan dari sisi kepala mengalir sesuatu yang hangat, membentuk garis lurus.

“Ka ... Kamu apa-apaan?! Dengan raut muka cemas dan bingung dia membentakku seraya membantuku berdiri setelah sejenak memandangiku dengan ekspresi rumit. Di perlakukan seperti itu bukannya berterima kasih aku justru bertambah marah. Kupikir kenapa dia berlagak sok peduli. Memangnya siapa dia?

Bahkan laki-laki yang dulu katanya amat mencintaiku begitu mudah melepaskan saat aku tidak bisa memberi apa yang dia inginkan. Membuatku mengerti betapa tipisnya perbedaan antara suka dan tidak suka, antara mencintai dan membenci. .

***

“Saya yakin laki-laki yang kamu tangisi itu sudah melupakan kamu. Kalau tidak mana mungkin dia tega membiarkan kamu seperti ini,” katanya pada akhirnya setelah membiarkan hening yang cukup lama dalam perjalanan mengantarku pulang. Tetapi tak urung ucapannya itu membuat dadaku kembali bergolak. Namun aku memilih berdiam diri, tak berminat merespons walaupun sebenarnya perkataannya itu tidak menyenangkan.

Setelah mengobati luka di pelipisku dan menutupinya dengan perban dia mengantarku pulang. Lantaran takut aku berbuat hal yang lebih gila lagi. Meski sebenarnya aku keberatan. Dia beralasan aku tidak cukup stabil untuk pulang seorang diri. Baik sekali pikirku orang asing ini. Tetapi maaf aku tidak berniat membalas kebaikannya. Aku benci ada yang pura-pura peduli dan lebih mudah menerima perlakukan buruk. Dengan begitu tak perlu ada hutang budi.

“Eum, nama kamu siapa?” Dia melontarkan pertanyaan yang seharusnya aku jawab. Sayang aku malas menjawabnya. Nama? Apa perlu saling tahu nama masing-masing? Rasanya norak sekali, seperti anak remaja saja. Kupandangi dia dengan muka suntuk, tapi dia malah membalas dengan senyuman tipis. Kulemparkan tatapanku pada jalanan yang dilalui. Okelah, mungkin dia ingin aku menghargainya. Ya, tenang saja aku akan mengucapkan banyak terima kasih setelah turun nanti.

Dari jarak beberapa meter rumahku sudah terlihat kukatakan padanya untuk berhenti tepat di depan pagar bercat hitam

Dia terdiam untuk sesaat dari samping kulihat wajahnya sedikit menegang. Ada kegamangan dan kelembutan terpancar. Seakan teringat masa lalu.

“Ini rumah kamu?” Dia bertanya tanpa mengalihkan tatapan entah apa yang sedang diamatinya.

Gerakanku yang hendak menekan tombol pintu terhenti saat dia memutar badan kemudian berkata, “Sebaiknya kamu mengehentikan perbuatan yang merusak diri. Belajarlah lebih peduli dengan masa depan kamu. Karena ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk bahagia dan jangan biarkan diri kamu menangisi masa lalu. Kamu masih muda, menarik dan cerdas ada banyak lelaki di luar sana yang mendambakan perempuan seperti kamu.”

Dengan bibir terkatup rapat kupandangi dia beberapa lama. Aku cukup terharu dengan apa yang dia katakan membuat dadaku mendadak sesak. Meski aku tahu itu tak lebih sekedar kalimat penghibur. Padahal jelas-jelas aku tak butuh dihibur. Aku bisa mengkondisikan diri sebagaimana yang aku ingin. Mengizinkan diriku Untuk tertawa atau menangis kapan pun aku mau.

Kuhempaskan napas dengan perasaan kesal, tergesa keluar seraya membanting pintu cukup keras. Dia sampai tercengang karena kaget.

“Bahkan nggak ada ucapan terima kasih sedikit pun?!”

Aku mengabaikannya. Tadinya begitu tapi setelah kupikir semakin lama dia semakin banyak bicara dan menyebalkan. Jadi buat apa berterima kasih.

“Oh, ya. Kamu tahu laki-laki yang baik akan mendapatkan perempuan yang baik begitu sebaliknya,” ujarnya setengah berteriak sukses membuatku kembali berbalik menghadapnya. Lalu dengan geramnya kubalas kata-katanya tak kalah tajam. Kedua tanganku sengaja kuletakkan di kedua sisi pinggang agar semakin terlihat angkuh di matanya.

“Kalau pun anda sudah merasa menjadi laki-laki baik dan ingin mendapatkan perempuan baik-baik, sepertinya saya tidak berniat menjadi perempuan baik sekalipun di muka bumi ini Cuma tersisa Anda seorang. Apa lagi harus menghabiskan waktu dengan orang memuakkan seperti Anda. Saya berharap setelah ini kita tidak pernah bertemu lagi.”

Dia menyeringai lebar. Membuatku ingin mencopot high heelsku dan melemparkan ke mukanya. Pikirku bisa-bisa aku gila meladeni dia. Kemudian dengan perasaan dongkol aku melengos menyelinap ke pintu pagar sementara suara tawanya masih terdengar jelas seakan menempel di gendang telinga.

“Nama saya Akhtar. Jangan lupa itu!” Dia masih sempat berteriak meski langkahku hampir mencapai pintu.

“Saya nggak peduli!”

“Dan saya akan memanggil kamu Bintang. Bintang jatuh, tepatnya.” Dia tertawa lagi.

Bintang. Bintang jatuh? Dia benar-benar ...

Emosiku yang sedari tadi berusaha kutahan, kembali memuncak. Kali ini tanganku gatal ingin mencakar wajahnya. Tapi sebelum keinginanku tersampaikan dia menekan klakson keras-keras membuatku tersentak kaget, lalu melajukan mobilnya meninggalkan aku yang masih terpaku dengan jantung berdegup kencang karena luar biasa geram dengan kelakuannya.

Oh, Tuhan, dosa apa yang telah kuperbuat. Kenapa aku dipertemukan dengan mahkluk yang membuat hariku menjadi sangat muram dan mengerikan. Sepertinya aku harus bertobat setelah ini dan kembali ke jalan yang lurus.

Tapi aku tidak tahu jalan yang lurus itu seperti apa.

“Dari mana aja kamu?!!!”

Bersambung 🥰

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status