"Tentang kita pada akhirnya, menjadi sejarah yang tak tercatat. Kenangan yang tak terulang dan ingatan yang tak sampai. Tapi semua pernah ada. Hanya saja kita sedang belajar lupa."
_____Sulit memperhatikan dia yang berjalan mendekat beberapa langkah dan mengajak berbicara. Suaranya terdengar samar seperti dengungan lebah. Aku tak mampu mengendalikan diri. Ada dorongan kuat yang berasal dalam diriku untuk melakukan perbuatan menyakiti diri.Kemudian seperti orang kerasukan aku bangkit dan melompat dari tempat tidur, berlari dan membenturkan kepala ke dinding. Menjerit histeris disusul teriakan panjang. Dia menangkap tubuhku dengan gerakan cepat sebelum aku ambruk. Lamat-lamat kurasakan dari sisi kepala mengalir sesuatu yang hangat, membentuk garis lurus.“Ka ... Kamu apa-apaan?! Dengan raut muka cemas dan bingung dia membentakku seraya membantuku berdiri setelah sejenak memandangiku dengan ekspresi rumit. Di perlakukan seperti itu bukannya berterima kasih aku justru bertambah marah. Kupikir kenapa dia berlagak sok peduli. Memangnya siapa dia?Bahkan laki-laki yang dulu katanya amat mencintaiku begitu mudah melepaskan saat aku tidak bisa memberi apa yang dia inginkan. Membuatku mengerti betapa tipisnya perbedaan antara suka dan tidak suka, antara mencintai dan membenci. .***“Saya yakin laki-laki yang kamu tangisi itu sudah melupakan kamu. Kalau tidak mana mungkin dia tega membiarkan kamu seperti ini,” katanya pada akhirnya setelah membiarkan hening yang cukup lama dalam perjalanan mengantarku pulang. Tetapi tak urung ucapannya itu membuat dadaku kembali bergolak. Namun aku memilih berdiam diri, tak berminat merespons walaupun sebenarnya perkataannya itu tidak menyenangkan.Setelah mengobati luka di pelipisku dan menutupinya dengan perban dia mengantarku pulang. Lantaran takut aku berbuat hal yang lebih gila lagi. Meski sebenarnya aku keberatan. Dia beralasan aku tidak cukup stabil untuk pulang seorang diri. Baik sekali pikirku orang asing ini. Tetapi maaf aku tidak berniat membalas kebaikannya. Aku benci ada yang pura-pura peduli dan lebih mudah menerima perlakukan buruk. Dengan begitu tak perlu ada hutang budi.“Eum, nama kamu siapa?” Dia melontarkan pertanyaan yang seharusnya aku jawab. Sayang aku malas menjawabnya. Nama? Apa perlu saling tahu nama masing-masing? Rasanya norak sekali, seperti anak remaja saja. Kupandangi dia dengan muka suntuk, tapi dia malah membalas dengan senyuman tipis. Kulemparkan tatapanku pada jalanan yang dilalui. Okelah, mungkin dia ingin aku menghargainya. Ya, tenang saja aku akan mengucapkan banyak terima kasih setelah turun nanti.Dari jarak beberapa meter rumahku sudah terlihat kukatakan padanya untuk berhenti tepat di depan pagar bercat hitamDia terdiam untuk sesaat dari samping kulihat wajahnya sedikit menegang. Ada kegamangan dan kelembutan terpancar. Seakan teringat masa lalu.“Ini rumah kamu?” Dia bertanya tanpa mengalihkan tatapan entah apa yang sedang diamatinya.Gerakanku yang hendak menekan tombol pintu terhenti saat dia memutar badan kemudian berkata, “Sebaiknya kamu mengehentikan perbuatan yang merusak diri. Belajarlah lebih peduli dengan masa depan kamu. Karena ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk bahagia dan jangan biarkan diri kamu menangisi masa lalu. Kamu masih muda, menarik dan cerdas ada banyak lelaki di luar sana yang mendambakan perempuan seperti kamu.”Dengan bibir terkatup rapat kupandangi dia beberapa lama. Aku cukup terharu dengan apa yang dia katakan membuat dadaku mendadak sesak. Meski aku tahu itu tak lebih sekedar kalimat penghibur. Padahal jelas-jelas aku tak butuh dihibur. Aku bisa mengkondisikan diri sebagaimana yang aku ingin. Mengizinkan diriku Untuk tertawa atau menangis kapan pun aku mau.Kuhempaskan napas dengan perasaan kesal, tergesa keluar seraya membanting pintu cukup keras. Dia sampai tercengang karena kaget.“Bahkan nggak ada ucapan terima kasih sedikit pun?!”Aku mengabaikannya. Tadinya begitu tapi setelah kupikir semakin lama dia semakin banyak bicara dan menyebalkan. Jadi buat apa berterima kasih.“Oh, ya. Kamu tahu laki-laki yang baik akan mendapatkan perempuan yang baik begitu sebaliknya,” ujarnya setengah berteriak sukses membuatku kembali berbalik menghadapnya. Lalu dengan geramnya kubalas kata-katanya tak kalah tajam. Kedua tanganku sengaja kuletakkan di kedua sisi pinggang agar semakin terlihat angkuh di matanya.“Kalau pun anda sudah merasa menjadi laki-laki baik dan ingin mendapatkan perempuan baik-baik, sepertinya saya tidak berniat menjadi perempuan baik sekalipun di muka bumi ini Cuma tersisa Anda seorang. Apa lagi harus menghabiskan waktu dengan orang memuakkan seperti Anda. Saya berharap setelah ini kita tidak pernah bertemu lagi.”Dia menyeringai lebar. Membuatku ingin mencopot high heelsku dan melemparkan ke mukanya. Pikirku bisa-bisa aku gila meladeni dia. Kemudian dengan perasaan dongkol aku melengos menyelinap ke pintu pagar sementara suara tawanya masih terdengar jelas seakan menempel di gendang telinga.“Nama saya Akhtar. Jangan lupa itu!” Dia masih sempat berteriak meski langkahku hampir mencapai pintu.“Saya nggak peduli!”“Dan saya akan memanggil kamu Bintang. Bintang jatuh, tepatnya.” Dia tertawa lagi.Bintang. Bintang jatuh? Dia benar-benar ...Emosiku yang sedari tadi berusaha kutahan, kembali memuncak. Kali ini tanganku gatal ingin mencakar wajahnya. Tapi sebelum keinginanku tersampaikan dia menekan klakson keras-keras membuatku tersentak kaget, lalu melajukan mobilnya meninggalkan aku yang masih terpaku dengan jantung berdegup kencang karena luar biasa geram dengan kelakuannya.Oh, Tuhan, dosa apa yang telah kuperbuat. Kenapa aku dipertemukan dengan mahkluk yang membuat hariku menjadi sangat muram dan mengerikan. Sepertinya aku harus bertobat setelah ini dan kembali ke jalan yang lurus.Tapi aku tidak tahu jalan yang lurus itu seperti apa.“Dari mana aja kamu?!!!”Bersambung 🥰Daun pintu berayun dan baru sedikit terbuka. Tapi bentakkan Kak sarah langsung menyerbuku. Kakiku lemas lantaran kaget setengah mati. Meski sudah berdandan rapi tapi air mukanya tampak kacau ditambah lingkaran hitam kebiruan di bawah matanya membuat wajah oval itu kian terlihat letih. Aku tak menyahut bermaksud menghindari pertengkaran. Aku sangat lelah dan ingin beristirahat. Maksudku kalau mau menginterogasi nanti saja. Aku tidak punya cukup energi untuk menghadapi cercaannya.“Mai, jawab. Kamu punya mulutkan?!”Kumiringkan kepala memandanginya beberapa detik meski tetap tak berminat menjawab pertanyaanya.“Semalaman aku cari kamu. Kayaknya kamu seneng banget ya, bikin orang panik dan hampir mati berdiri karena mencemaskan kamu?!”“Siapa suruh nyari-nyariin aku?!”Aku menebak amarahnya akan meledak saat itu juga mendapakan aku mengabaikannya dan berjalan tertatih menuju kamar.“Aku sama Papa cemas, kamu tahu? Apalagi Papa nggak bisa tidur sampai pagi ini nungguin kamu pulang. Kamu pu
Aku terperanjat saat pintu kamar diketuk. “Buka pintunya, kamu baik-baik aja, kan? Suara Kak Sarah terdengar cemas. Sepertinya amarahnya sudah mereda. Sekali pun sikapnya terkadang keras padaku tapi sesungguhnya dia amat penyayang. Dia selalu mengkhawatirkan aku apalagi saat aku berlama-lama mengurung diri di kamar. Pernah ada satu kejadian yang membuatku sangat percaya akan kasih sayang Kak Sarah padaku. Masih teringat saat minggu-minggu pertama usai perceraian, yang menurutku adalah hari-hari yang paling kritis dalam hidup. Aku pernah mengunci diri di kamar mandi dari pagi sampai malam. Sejak Kak Sarah berangkat kerja hingga dia pulang, aku tak kunjung keluar. Dia sangat panik dan menangis sembari menggedor-gedor pintu memanggilku tapi aku tak kunjung bersuara. Akhirnya dia memanggil tetangga untuk mendobrak pintu kamar mandi dan mendapati aku terkulai lemas di bawa shower yang menyala. Aku di bawa ke rumah sakit dan menjalani perawatan selama satu minggu lantaran hypothermia. Tubu
"Aku mengerti saat kita sudah sedekat nadi kau malah memilih untuk pergi. Sungguh menyakitkan. Aku hanya berharap semoga setelah ini tidak ada hari untukmu datang kembali dengan sesal yang sudah lama basi."___“Pulang jangan terlalu malam, ya. Hati-hati. Bilangin sama dia jangan lupa anterin kamu sampai rumah.”“Iiih, Kakak Sarah apa-apaan?!”Dia terkikik lagi. Terdengar senang sekali. Sepertinya dia sangat berharap aku kembali menemukan hidupku. Dan seharusnya memang begitu. Tapi aku tidak mau memaksakan diri. Menginginkan segala hal berjalan apa adanya. Kalau memang kembali dipertemukan dengan orang berikutnya yang berhak mendapat tempat di hati mungkin aku tidak akan menghalanginya.“Maaf, lama ya nunggu?”Dia tersenyum, menarik kursi lalu duduk dan meletakkan dua cangkir kopi. Cappuccino dalam cangkir berkapasitas 88 mililiter dia dorong kehadapanku. Sedangkan secangkir espresso dengan crema di atasnya tetap di depannya. Dari teksturnya terlihat pekat dan pahit. Aneh, padahal tadi
“Kamu?” Dia terpana. Tatapannya terpaku beberapa saat di wajahku. Rasanya ingin pingsan detik ini juga. Kenapa dia lagi?“Bintang. Senang sekali bisa ketemu disini. Apa kabar? Apa sudah baikan sekarang?”Bintang? Dia masih memanggilku Bintang? Pikiranku tiba-tiba kosong.Saking bingungnya merespon pertanyaannya, aku terdiam di tempat. Tubuhku membeku mendadak. Untunglah hanya berlangsung sebentar. Aku cepat tersadar memasang mimik datar.“Oh, iya. Saya baru ingat ternyata Anda lagi. Bumi memang tak selebar daun pisang, ya? Ada banyak manusia di kota ini, tapi bisa-bisanya kita dipertemukan di sini. Menurutku ini sedikit aneh.”Tawanya berderai setelah mendengar penuturanku. Sementara aku mendengus samar. Memangnya apa yang lucu? Apa dia seorang yang kaku sehingga mendengar kalimat seperti itu saja membuatnya geli? Orang aneh. Kedua matanya yang besar kemudian menyipit seakan ingin menyelami pikiranku.“Kamu bisa bercanda juga. Saya kira Cuma bisa marah-marah.” Ah, aku tidak tahan. Ku
‘Sayang, nanti kalau kita menikah aku mau kita punya banyak anak.’Keinginan yang dia diutarakan padaku dua bulan sebelum kami menikah. Saat itu aku tak melihat mendung sedikit pun meski mungkin ketika dia mengatakan itu saat langit sedang sangat muram. Bumi serasa terang benderang. Segala yang ada di bawah matahari terlihat menyenangkan hati. Kunikmati kebahagiaan yang begitu sempurna sampai tiba hari dia menghalalkan. Bagiku ikatan suci kami adalah surga dunia. Dia laki-laki yang nyaris tanpa cela di mataku. Empat tahun kebersamaan tak sekalipun dia menyakiti, berkata kasar apalagi. Dia seorang yang lemah lembut dan pandai menyenangkan hati. Aku merasa beruntung bisa memilikinya. Sampai-sampai beberapa rekan wanitanya terangan-terangan menyatakan kecemburuan mereka saat hadir di resepsi pernikahan kami. Meski disampaikan dengan nada bercanda.Hal yang sangat wajar, aku menyadari itu. Dia tampan, dengan mata yang bulat cemerlang. Terlihat cerdas dan berwawasan. Dan yang terpenting di
"Tak butuh waktu lama untuk bisa mencintai. Tapi mengapa butuh waktu yang begitu panjang untuk bisa melupakan."___"Ya Allah, apa kabar?"Dia memeluk sangat erat. Wanita paru baya yang kupanggil Bu Tamy memandangiku lekat-lekat. Ribuan pertanyaan terpancar dari sorot matanya yang di bingkai alis tebal itu.“Alhamdulilah, aku baik, Bu. Bu Tamy sehat?”Dia mengangguk antusias. “Udah kangen banget. Ke mana aja selama ini?”“Ada Bu, biasa sibuk bantu Kak Sarah di restoran. Anak-anak gimana masih suka nginep di rumah?”Dia mengangguk lagi. Yang kumaksud anak-anak adalah empat cucunya yang hampir setiap hari beliau urus saat orang tua mereka bekerja.Bu Tamy tetangga terdekatku. Sebenarnya aku betah tinggal di kompleks ini. Lingkungannya yang nyaman, teratur dan bersih juga orang-orangnya yang ramah dan saling peduli. Betapa berat saat aku harus meninggalkan kehidupan disini. Tapi apa mau di kata, ada keputusan yang lebih penting yang harua segera diambil.Kami mengobrol kurang dari setenga
Kuhempaskan kepala pada sandaran jok. Apa-apaan ini? Jangan ... Jangan mogok. Ya Allah tolonglah jangan mogok sekarang apa lagi malam begini. Aku gelapan. Terserang panik mendadak. Mencari ponsel dalam benak berpikir cepat siapa yang bisa membantuku dalam keadaan darurat.Ryu ...?Dialah orang pertama yang harus kuhubungi ketika aku terjebak dalam keadaan yang sangat tidak menguntungkan seperti ini. Tapi itu dulu ... Kupejamkan mata dengan sedih.Jangan ingatkan aku padanya. Dia dan aku tidak lagi saling mengenal.Jemariku sibuk mencari memilih nama di daftar kontak sampai tak menyadari seseorang mendekat dan mengetuk kaca mobil. Aku terperanjat. Jantungku berdegup kencang. Rupanya aku terlalu cemas. Suara sepelan itu pun nyaris membuat jantungku melorot ke mata kaki.Aku menoleh dengan gerakan cepat membuka pintu mobil tetapi kemudian lebih terkejut lagi ketika kudapati yang berdiri di depanku adalah laki-laki itu.“Anda ...?!”Dia menyungingkan senyum di bibirnya membuat lubang di
"Ketika kau memilih pergi, kau harus tahu; jalan kembali memang akan selalu ada, tapi tempat untuk pulang seringkali sudah tak lagi tersedia."_____“Euh, iya. Ada yang menunggu saya. Jadi saya harus segera tiba di rumah,” aku menyahut dengan geragapan. Berharap dia tidak mengajukan pertanyaan berikutnya. Tapi aku salah.“Siapa. Apa suami kamu?” Raut kecewa terlihat samar di garis wajahnya. Ya, jika aku tidak salah.Ini menyebalkan sekali. Aku paling benci memberi jawaban untuk pertanyaan semacam ini. Seakan membongkar aib yang seharusnya tersimpan rapi.“Maikana, jawablah. Saya menunggu.”“Memangnya apa kepentingan anda terhadap saya. Terserah saya mau jawab apa nggak,” tukasku dengan geram. Apa-apaan dia? Dia kira siapa merasa punya hak memaksa orang?“Baiklah. Kalau kamu nggak mau jawab. Saya tahu kok jawabannya.” Dia menyengir menjengkelkan membuatku refleks menoleh padanya.“Apa maksud Anda?!”Dia terkekeh menampakan deretan giginya yang rata. Namun sebelum dia merespon terdengar