"Suatu hari mungkin kamu akan kehilangan apa-apa yang kamu cintai. Tapi percayalah cinta akan datang dengan caranya.,"
___Mataku terbelalak dan hampir menangis. Hati ini gamang kenapa tiba-tiba dia muncul.Tetapi mengherankan orang yang kuseru namanya tidak bereaksi sebagaimana mestinya. Dia tetap berdiam di tempat. Aku menjadi ragu dengan penglihatan sendiri. Menyadari ada yang salah.“Semalam kamu terus memanggil nama itu. Sepertinya dia orang yang menyebabkan kamu seperti ini? “ ujarnya dengan nada datar dan dingin. “Tapi maaf saya bukan orang yang kamu maksud.”Dia berbalik dan berjalan menjauh seiring dengan perasaan kecewa dan malu menghinggapi. Aku menelan ludah, mengangguk samar. Ya, aku salah dia memang bukan keparat itu. Seharusnya aku mencekiknya kalau benar dia ada di hadapanku. Kuempaskan napas sembari memejamkan mata, perlahan mengadirkan kenyataan dalam kepala.Sewaktu mencoba mengangkat punggung bermaksud untuk duduk tulang punggung berderak seolah akan patah. Sakitnya menjalar sampai ke tulang ekor. Kembali menatap laki-laki yang kini duduk di kursi rotan mengahadapku. Ingatan tentang kejadian semalam melintas perlahan.“Kenapa aku disini?” Aku bertanya setelah berhasil menyandarkan punggung pada senderan ranjang berspring bed tebal itu. Laki-laki yang terlihat sudah berpakaian rapi dengan dasi berwarna biru bergaris putih itu menyinggingkan senyum. Bukan, sepertinya dia tidak sedang tersenyum tetapi mencibir. Aku menjadi sedikit tidak senang.“Lalu saya harus bawa kamu ke mana kalau bukan ke sini? Tenanglah kamu aman disini. Ini rumah saya." Dia meletakkan lembaran koran yang baru dia pegang. Menyilangkan kaki dengan sikap enggan. “Semalam sudah berusaha bertanya kemana saya harus mengantar kamu pulang. Tapi kamu Cuma diam, muntah beberapa kali dan mengotori mobil baru saya,” paparnya menampakkan raut aneh di wajahnya yang kaku.Mendengar sindirannya aku merasa tersinggung.“Oke saya minta maaf karena sudah merepotkan Anda. Sekarang saya harus pulang,” tukasku setelah diam beberapa detik dan menurunkan kaki ke lantai.“Dan saya harus tahu, Anda siapa?” Mendelik ke arahnya.“Percuma saja, sekalipun saya memperkenalkan diri kamu masih belum sadar sepenuhnya. Jadi sebaiknya saya antar kamu pulang,” jawabnya disertai tawa kecil.Sejenak aku tertegun memandaginya, menurutku ada yang istimewa dari tawanya, begitu lepas dan hangat. Seharusnya aku tidak perlu setegang ini. Dia tidak berbahaya. Tapi kenapa dia membawaku ke tempat ini. Katanya ini rumahnya, kenapa dari tadi tidak kudapati seorang pun selain kami berdua. Atau jangan-jangan dia ...Aku terkesiap, bersamaan dengan pikiran buruk yang melintas. Memeriksa ke seluruh tubuh mencari tanda-tanda kejahatan atau hal tidak senonoh yang dia perbuat padaku.“Apa yang Anda lakukan pada saya?!” Aku menundingkan telujuk ke arahnya dengan suara yang terdengar gemetar.Dia terkekeh sampai kedua sisi bahunya berguncang. Menatapku seakan aku perempuan lugu yang pantas dia tertawakan.“Jangan cemas, aku bukan seperti yang ada dalam pikiran kamu.”Kuatur napasku yang mulai tersengal. Mundur selangkah. Mencari pegangan saat tiba-tiba lututku serasa mau lepas.Dia melanjutkan kalimatnya setelah membiarkan aku menenangkan diri sejenak. “lagi pula tidak laki-laki yang baik yang menginginkan perempuan pemabuk dan suka merusak diri.”“Apa?!!!”Suaraku terdengar pecah lantaran kaget dengan ucapannya. Aku perempuan pemabuk dan suka merusak diri? Tuduhan yang begitu merendahkan harga diriku sebagai wanita yang bermartabat. Kurang ajar sekali. Seumur hidup baru kali ini mendapati orang yang terang-terangan menghinaku. Apa perlu aku menunjukkan siapa diriku? Agar dia dapat pelajaran berharga.Secepat kilat kuraih buku tebal yang terletak di atas meja keca tepat di sebelahku dan melemparkan ke arahnya. Refleks dia merunduk dengan kedua tangan melindungi puncak kepala. Sial dia berhasil menghindari lemparan benda itu malah lolos ke luar jendela. Dia menatapku dengan mimik kaget. Air mukanya berubah kelam.“Kamu, memang nggak tahu diri, ya. Sudah untung ditolongi malah mau mencelakai orang.” Dia menekan suara sedemikian rupa. Kentara sekali menaham marah.“Saya nggak terima Anda mengatakan saya perempuan pemabuk!” Aku berteriak kencang berjalan mendekat, menyejajarinya. Sengaja kumajukan badan dengan sikap menantang. Membuatnya harus mundur beberapa langkah. Dia pikir bisa menghinaku begitu saja?“Dasar laki-laki sok alim. Memang Anda sebaik apa, hah?!!! Sebelum menghina orang sebaiknya introspeksi diri, apa Anda sebaik apa yang diucapkan. Atau jangan-jangan Cuma laki-laki berengsek dan nggak punya perasaan. Dan satu lagi saya nggak sudi Anda tolong, kenapa nggak biarin saya mati ditabrak mobil di jalaaannn?! Kenapa harus repot-repot bawa saya kesini?”Emosiku meletup. Tanpa kusadari ada yang jatuh dan melesat cepat di ujung mata.Memalukan sekali harus menangis di depan laki-laki yang bahkan namanya saja aku tidak tahu. Tergesa kuseka air mata. Menunduk dengan perasaan terluka. Kenapa nasibku selalu sial. Berurusan dengan orang yang belum apa-apa tapi sudah menambah daftar laki-laki yang pantas aku benci.Ruangan itu mendadak senyap. Kuraih tasku yang tergeletak dekat bantal dan berjalan menuju pintu sembari mencari high heels. Aku tak bermaksud bertanya padanya, dia hanya terpaku di tempat memgamati gerak-gerikku. Sekilas bola matanya yang hitam bagai warna malam itu berkerjap-kerjap gelisah. Mimiknya tampak merasa bersalah. Dia bergerak salah tingkah.“Eum, maaf saya nggak bermksud melukai perasaan kamu.”Kuputar badan ke arahnya. Manatap tajam kemudian berkata, “semudah itukah menyakit hati orang lalu minta maaf?”Diam. Hening ketegangan terasa berpendar di udara. Seluruh tubuhku dibasahi keringat dingin.Dia maju beberapa langkah ketukan sepatunya di lantai terdengar jelas. Aku membaca gerakannya menebak apa yang akan dia lakukan selanjutnya.“Dari sikap dan cara bicaramu saya tahu kamu perempuan baik-baik. Sebenarnya apa yang membuat kamu begitu frustasi?”“Itu bukan urusan Anda. Lagi pula kita nggak saling mengenal jadi nggak ada alasan untuk tahu urusan pribadi masing-masing.”Dia menaikkan alis dan menyunggingkan senyum lagi.“Baik, kamu benar.” Dia mendesah. Sementara aku berputar-putar tak juga menemukan yang aku cari. Setelah lebih kurang 20 menit, aku mulai putus asa sedangkan dia diam saja. Semestinya dia tahu apa yang aku cari. Atau dia sengaja mempermainkan aku. Akhirnya aku merasa lelah dan kembali mengempaskan diri di atas tempat tidur sembari mengerang keras lantaran diliputi perasaan marah.Kekacauan demi kekacauan pada tahun-tahun yang terlewati laksana benda-benda langit yang bertubrukan di kepalaku. Bayangan wajah orang yang telah mencabik-cabik hatiku kini tampak begitu jelas membuat emosiku meluap-luap. Kesadaranku kembali menipis.Bersambung 🥰"Tentang kita pada akhirnya, menjadi sejarah yang tak tercatat. Kenangan yang tak terulang dan ingatan yang tak sampai. Tapi semua pernah ada. Hanya saja kita sedang belajar lupa."_____Sulit memperhatikan dia yang berjalan mendekat beberapa langkah dan mengajak berbicara. Suaranya terdengar samar seperti dengungan lebah. Aku tak mampu mengendalikan diri. Ada dorongan kuat yang berasal dalam diriku untuk melakukan perbuatan menyakiti diri.Kemudian seperti orang kerasukan aku bangkit dan melompat dari tempat tidur, berlari dan membenturkan kepala ke dinding. Menjerit histeris disusul teriakan panjang. Dia menangkap tubuhku dengan gerakan cepat sebelum aku ambruk. Lamat-lamat kurasakan dari sisi kepala mengalir sesuatu yang hangat, membentuk garis lurus.“Ka ... Kamu apa-apaan?! Dengan raut muka cemas dan bingung dia membentakku seraya membantuku berdiri setelah sejenak memandangiku dengan ekspresi rumit. Di perlakukan seperti itu bukannya berterima kasih aku justru bertambah marah. Ku
Daun pintu berayun dan baru sedikit terbuka. Tapi bentakkan Kak sarah langsung menyerbuku. Kakiku lemas lantaran kaget setengah mati. Meski sudah berdandan rapi tapi air mukanya tampak kacau ditambah lingkaran hitam kebiruan di bawah matanya membuat wajah oval itu kian terlihat letih. Aku tak menyahut bermaksud menghindari pertengkaran. Aku sangat lelah dan ingin beristirahat. Maksudku kalau mau menginterogasi nanti saja. Aku tidak punya cukup energi untuk menghadapi cercaannya.“Mai, jawab. Kamu punya mulutkan?!”Kumiringkan kepala memandanginya beberapa detik meski tetap tak berminat menjawab pertanyaanya.“Semalaman aku cari kamu. Kayaknya kamu seneng banget ya, bikin orang panik dan hampir mati berdiri karena mencemaskan kamu?!”“Siapa suruh nyari-nyariin aku?!”Aku menebak amarahnya akan meledak saat itu juga mendapakan aku mengabaikannya dan berjalan tertatih menuju kamar.“Aku sama Papa cemas, kamu tahu? Apalagi Papa nggak bisa tidur sampai pagi ini nungguin kamu pulang. Kamu pu
Aku terperanjat saat pintu kamar diketuk. “Buka pintunya, kamu baik-baik aja, kan? Suara Kak Sarah terdengar cemas. Sepertinya amarahnya sudah mereda. Sekali pun sikapnya terkadang keras padaku tapi sesungguhnya dia amat penyayang. Dia selalu mengkhawatirkan aku apalagi saat aku berlama-lama mengurung diri di kamar. Pernah ada satu kejadian yang membuatku sangat percaya akan kasih sayang Kak Sarah padaku. Masih teringat saat minggu-minggu pertama usai perceraian, yang menurutku adalah hari-hari yang paling kritis dalam hidup. Aku pernah mengunci diri di kamar mandi dari pagi sampai malam. Sejak Kak Sarah berangkat kerja hingga dia pulang, aku tak kunjung keluar. Dia sangat panik dan menangis sembari menggedor-gedor pintu memanggilku tapi aku tak kunjung bersuara. Akhirnya dia memanggil tetangga untuk mendobrak pintu kamar mandi dan mendapati aku terkulai lemas di bawa shower yang menyala. Aku di bawa ke rumah sakit dan menjalani perawatan selama satu minggu lantaran hypothermia. Tubu
"Aku mengerti saat kita sudah sedekat nadi kau malah memilih untuk pergi. Sungguh menyakitkan. Aku hanya berharap semoga setelah ini tidak ada hari untukmu datang kembali dengan sesal yang sudah lama basi."___“Pulang jangan terlalu malam, ya. Hati-hati. Bilangin sama dia jangan lupa anterin kamu sampai rumah.”“Iiih, Kakak Sarah apa-apaan?!”Dia terkikik lagi. Terdengar senang sekali. Sepertinya dia sangat berharap aku kembali menemukan hidupku. Dan seharusnya memang begitu. Tapi aku tidak mau memaksakan diri. Menginginkan segala hal berjalan apa adanya. Kalau memang kembali dipertemukan dengan orang berikutnya yang berhak mendapat tempat di hati mungkin aku tidak akan menghalanginya.“Maaf, lama ya nunggu?”Dia tersenyum, menarik kursi lalu duduk dan meletakkan dua cangkir kopi. Cappuccino dalam cangkir berkapasitas 88 mililiter dia dorong kehadapanku. Sedangkan secangkir espresso dengan crema di atasnya tetap di depannya. Dari teksturnya terlihat pekat dan pahit. Aneh, padahal tadi
“Kamu?” Dia terpana. Tatapannya terpaku beberapa saat di wajahku. Rasanya ingin pingsan detik ini juga. Kenapa dia lagi?“Bintang. Senang sekali bisa ketemu disini. Apa kabar? Apa sudah baikan sekarang?”Bintang? Dia masih memanggilku Bintang? Pikiranku tiba-tiba kosong.Saking bingungnya merespon pertanyaannya, aku terdiam di tempat. Tubuhku membeku mendadak. Untunglah hanya berlangsung sebentar. Aku cepat tersadar memasang mimik datar.“Oh, iya. Saya baru ingat ternyata Anda lagi. Bumi memang tak selebar daun pisang, ya? Ada banyak manusia di kota ini, tapi bisa-bisanya kita dipertemukan di sini. Menurutku ini sedikit aneh.”Tawanya berderai setelah mendengar penuturanku. Sementara aku mendengus samar. Memangnya apa yang lucu? Apa dia seorang yang kaku sehingga mendengar kalimat seperti itu saja membuatnya geli? Orang aneh. Kedua matanya yang besar kemudian menyipit seakan ingin menyelami pikiranku.“Kamu bisa bercanda juga. Saya kira Cuma bisa marah-marah.” Ah, aku tidak tahan. Ku
‘Sayang, nanti kalau kita menikah aku mau kita punya banyak anak.’Keinginan yang dia diutarakan padaku dua bulan sebelum kami menikah. Saat itu aku tak melihat mendung sedikit pun meski mungkin ketika dia mengatakan itu saat langit sedang sangat muram. Bumi serasa terang benderang. Segala yang ada di bawah matahari terlihat menyenangkan hati. Kunikmati kebahagiaan yang begitu sempurna sampai tiba hari dia menghalalkan. Bagiku ikatan suci kami adalah surga dunia. Dia laki-laki yang nyaris tanpa cela di mataku. Empat tahun kebersamaan tak sekalipun dia menyakiti, berkata kasar apalagi. Dia seorang yang lemah lembut dan pandai menyenangkan hati. Aku merasa beruntung bisa memilikinya. Sampai-sampai beberapa rekan wanitanya terangan-terangan menyatakan kecemburuan mereka saat hadir di resepsi pernikahan kami. Meski disampaikan dengan nada bercanda.Hal yang sangat wajar, aku menyadari itu. Dia tampan, dengan mata yang bulat cemerlang. Terlihat cerdas dan berwawasan. Dan yang terpenting di
"Tak butuh waktu lama untuk bisa mencintai. Tapi mengapa butuh waktu yang begitu panjang untuk bisa melupakan."___"Ya Allah, apa kabar?"Dia memeluk sangat erat. Wanita paru baya yang kupanggil Bu Tamy memandangiku lekat-lekat. Ribuan pertanyaan terpancar dari sorot matanya yang di bingkai alis tebal itu.“Alhamdulilah, aku baik, Bu. Bu Tamy sehat?”Dia mengangguk antusias. “Udah kangen banget. Ke mana aja selama ini?”“Ada Bu, biasa sibuk bantu Kak Sarah di restoran. Anak-anak gimana masih suka nginep di rumah?”Dia mengangguk lagi. Yang kumaksud anak-anak adalah empat cucunya yang hampir setiap hari beliau urus saat orang tua mereka bekerja.Bu Tamy tetangga terdekatku. Sebenarnya aku betah tinggal di kompleks ini. Lingkungannya yang nyaman, teratur dan bersih juga orang-orangnya yang ramah dan saling peduli. Betapa berat saat aku harus meninggalkan kehidupan disini. Tapi apa mau di kata, ada keputusan yang lebih penting yang harua segera diambil.Kami mengobrol kurang dari setenga
Kuhempaskan kepala pada sandaran jok. Apa-apaan ini? Jangan ... Jangan mogok. Ya Allah tolonglah jangan mogok sekarang apa lagi malam begini. Aku gelapan. Terserang panik mendadak. Mencari ponsel dalam benak berpikir cepat siapa yang bisa membantuku dalam keadaan darurat.Ryu ...?Dialah orang pertama yang harus kuhubungi ketika aku terjebak dalam keadaan yang sangat tidak menguntungkan seperti ini. Tapi itu dulu ... Kupejamkan mata dengan sedih.Jangan ingatkan aku padanya. Dia dan aku tidak lagi saling mengenal.Jemariku sibuk mencari memilih nama di daftar kontak sampai tak menyadari seseorang mendekat dan mengetuk kaca mobil. Aku terperanjat. Jantungku berdegup kencang. Rupanya aku terlalu cemas. Suara sepelan itu pun nyaris membuat jantungku melorot ke mata kaki.Aku menoleh dengan gerakan cepat membuka pintu mobil tetapi kemudian lebih terkejut lagi ketika kudapati yang berdiri di depanku adalah laki-laki itu.“Anda ...?!”Dia menyungingkan senyum di bibirnya membuat lubang di