Share

Chapter 3

"Suatu hari mungkin kamu akan kehilangan apa-apa yang kamu cintai. Tapi percayalah cinta akan datang dengan caranya.,"

___

Mataku terbelalak dan hampir menangis. Hati ini gamang kenapa tiba-tiba dia muncul.

Tetapi mengherankan orang yang kuseru namanya tidak bereaksi sebagaimana mestinya. Dia tetap berdiam di tempat. Aku menjadi ragu dengan penglihatan sendiri. Menyadari ada yang salah.

“Semalam kamu terus memanggil nama itu. Sepertinya dia orang yang menyebabkan kamu seperti ini? “ ujarnya dengan nada datar dan dingin. “Tapi maaf saya bukan orang yang kamu maksud.”

Dia berbalik dan berjalan menjauh seiring dengan perasaan kecewa dan malu menghinggapi. Aku menelan ludah, mengangguk samar. Ya, aku salah dia memang bukan keparat itu. Seharusnya aku mencekiknya kalau benar dia ada di hadapanku. Kuempaskan napas sembari memejamkan mata, perlahan mengadirkan kenyataan dalam kepala.

Sewaktu mencoba mengangkat punggung bermaksud untuk duduk tulang punggung berderak seolah akan patah. Sakitnya menjalar sampai ke tulang ekor. Kembali menatap laki-laki yang kini duduk di kursi rotan mengahadapku. Ingatan tentang kejadian semalam melintas perlahan.

“Kenapa aku disini?” Aku bertanya setelah berhasil menyandarkan punggung pada senderan ranjang berspring bed tebal itu. Laki-laki yang terlihat sudah berpakaian rapi dengan dasi berwarna biru bergaris putih itu menyinggingkan senyum. Bukan, sepertinya dia tidak sedang tersenyum tetapi mencibir. Aku menjadi sedikit tidak senang.

“Lalu saya harus bawa kamu ke mana kalau bukan ke sini? Tenanglah kamu aman disini. Ini rumah saya." Dia meletakkan lembaran koran yang baru dia pegang. Menyilangkan kaki dengan sikap enggan. “Semalam sudah berusaha bertanya kemana saya harus mengantar kamu pulang. Tapi kamu Cuma diam, muntah beberapa kali dan mengotori mobil baru saya,” paparnya menampakkan raut aneh di wajahnya yang kaku.

Mendengar sindirannya aku merasa tersinggung.

“Oke saya minta maaf karena sudah merepotkan Anda. Sekarang saya harus pulang,” tukasku setelah diam beberapa detik dan menurunkan kaki ke lantai.

“Dan saya harus tahu, Anda siapa?” Mendelik ke arahnya.

“Percuma saja, sekalipun saya memperkenalkan diri kamu masih belum sadar sepenuhnya. Jadi sebaiknya saya antar kamu pulang,” jawabnya disertai tawa kecil.

Sejenak aku tertegun memandaginya, menurutku ada yang istimewa dari tawanya, begitu lepas dan hangat. Seharusnya aku tidak perlu setegang ini. Dia tidak berbahaya. Tapi kenapa dia membawaku ke tempat ini. Katanya ini rumahnya, kenapa dari tadi tidak kudapati seorang pun selain kami berdua. Atau jangan-jangan dia ...

Aku terkesiap, bersamaan dengan pikiran buruk yang melintas. Memeriksa ke seluruh tubuh mencari tanda-tanda kejahatan atau hal tidak senonoh yang dia perbuat padaku.

“Apa yang Anda lakukan pada saya?!” Aku menundingkan telujuk ke arahnya dengan suara yang terdengar gemetar.

Dia terkekeh sampai kedua sisi bahunya berguncang. Menatapku seakan aku perempuan lugu yang pantas dia tertawakan.

“Jangan cemas, aku bukan seperti yang ada dalam pikiran kamu.”

Kuatur napasku yang mulai tersengal. Mundur selangkah. Mencari pegangan saat tiba-tiba lututku serasa mau lepas.

Dia melanjutkan kalimatnya setelah membiarkan aku menenangkan diri sejenak. “lagi pula tidak laki-laki yang baik yang menginginkan perempuan pemabuk dan suka merusak diri.”

“Apa?!!!”

Suaraku terdengar pecah lantaran kaget dengan ucapannya. Aku perempuan pemabuk dan suka merusak diri? Tuduhan yang begitu merendahkan harga diriku sebagai wanita yang bermartabat. Kurang ajar sekali. Seumur hidup baru kali ini mendapati orang yang terang-terangan menghinaku. Apa perlu aku menunjukkan siapa diriku? Agar dia dapat pelajaran berharga.

Secepat kilat kuraih buku tebal yang terletak di atas meja keca tepat di sebelahku dan melemparkan ke arahnya. Refleks dia merunduk dengan kedua tangan melindungi puncak kepala. Sial dia berhasil menghindari lemparan benda itu malah lolos ke luar jendela. Dia menatapku dengan mimik kaget. Air mukanya berubah kelam.

“Kamu, memang nggak tahu diri, ya. Sudah untung ditolongi malah mau mencelakai orang.” Dia menekan suara sedemikian rupa. Kentara sekali menaham marah.

“Saya nggak terima Anda mengatakan saya perempuan pemabuk!” Aku berteriak kencang berjalan mendekat, menyejajarinya. Sengaja kumajukan badan dengan sikap menantang. Membuatnya harus mundur beberapa langkah. Dia pikir bisa menghinaku begitu saja?

“Dasar laki-laki sok alim. Memang Anda sebaik apa, hah?!!! Sebelum menghina orang sebaiknya introspeksi diri, apa Anda sebaik apa yang diucapkan. Atau jangan-jangan Cuma laki-laki berengsek dan nggak punya perasaan. Dan satu lagi saya nggak sudi Anda tolong, kenapa nggak biarin saya mati ditabrak mobil di jalaaannn?! Kenapa harus repot-repot bawa saya kesini?”

Emosiku meletup. Tanpa kusadari ada yang jatuh dan melesat cepat di ujung mata.

Memalukan sekali harus menangis di depan laki-laki yang bahkan namanya saja aku tidak tahu. Tergesa kuseka air mata. Menunduk dengan perasaan terluka. Kenapa nasibku selalu sial. Berurusan dengan orang yang belum apa-apa tapi sudah menambah daftar laki-laki yang pantas aku benci.

Ruangan itu mendadak senyap. Kuraih tasku yang tergeletak dekat bantal dan berjalan menuju pintu sembari mencari high heels. Aku tak bermaksud bertanya padanya, dia hanya terpaku di tempat memgamati gerak-gerikku. Sekilas bola matanya yang hitam bagai warna malam itu berkerjap-kerjap gelisah. Mimiknya tampak merasa bersalah. Dia bergerak salah tingkah.

“Eum, maaf saya nggak bermksud melukai perasaan kamu.”

Kuputar badan ke arahnya. Manatap tajam kemudian berkata, “semudah itukah menyakit hati orang lalu minta maaf?”

Diam. Hening ketegangan terasa berpendar di udara. Seluruh tubuhku dibasahi keringat dingin.

Dia maju beberapa langkah ketukan sepatunya di lantai terdengar jelas. Aku membaca gerakannya menebak apa yang akan dia lakukan selanjutnya.“Dari sikap dan cara bicaramu saya tahu kamu perempuan baik-baik. Sebenarnya apa yang membuat kamu begitu frustasi?”

“Itu bukan urusan Anda. Lagi pula kita nggak saling mengenal jadi nggak ada alasan untuk tahu urusan pribadi masing-masing.”

Dia menaikkan alis dan menyunggingkan senyum lagi.

“Baik, kamu benar.” Dia mendesah. Sementara aku berputar-putar tak juga menemukan yang aku cari. Setelah lebih kurang 20 menit, aku mulai putus asa sedangkan dia diam saja. Semestinya dia tahu apa yang aku cari. Atau dia sengaja mempermainkan aku. Akhirnya aku merasa lelah dan kembali mengempaskan diri di atas tempat tidur sembari mengerang keras lantaran diliputi perasaan marah.

Kekacauan demi kekacauan pada tahun-tahun yang terlewati laksana benda-benda langit yang bertubrukan di kepalaku. Bayangan wajah orang yang telah mencabik-cabik hatiku kini tampak begitu jelas membuat emosiku meluap-luap. Kesadaranku kembali menipis.

Bersambung 🥰

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status