공유

Chapter 3

last update 최신 업데이트: 2023-01-30 23:07:11

"Suatu hari mungkin kamu akan kehilangan apa-apa yang kamu cintai. Tapi percayalah cinta akan datang dengan caranya.,"

___

Mataku terbelalak dan hampir menangis. Hati ini gamang kenapa tiba-tiba dia muncul.

Tetapi mengherankan orang yang kuseru namanya tidak bereaksi sebagaimana mestinya. Dia tetap berdiam di tempat. Aku menjadi ragu dengan penglihatan sendiri. Menyadari ada yang salah.

“Semalam kamu terus memanggil nama itu. Sepertinya dia orang yang menyebabkan kamu seperti ini? “ ujarnya dengan nada datar dan dingin. “Tapi maaf saya bukan orang yang kamu maksud.”

Dia berbalik dan berjalan menjauh seiring dengan perasaan kecewa dan malu menghinggapi. Aku menelan ludah, mengangguk samar. Ya, aku salah dia memang bukan keparat itu. Seharusnya aku mencekiknya kalau benar dia ada di hadapanku. Kuempaskan napas sembari memejamkan mata, perlahan mengadirkan kenyataan dalam kepala.

Sewaktu mencoba mengangkat punggung bermaksud untuk duduk tulang punggung berderak seolah akan patah. Sakitnya menjalar sampai ke tulang ekor. Kembali menatap laki-laki yang kini duduk di kursi rotan mengahadapku. Ingatan tentang kejadian semalam melintas perlahan.

“Kenapa aku disini?” Aku bertanya setelah berhasil menyandarkan punggung pada senderan ranjang berspring bed tebal itu. Laki-laki yang terlihat sudah berpakaian rapi dengan dasi berwarna biru bergaris putih itu menyinggingkan senyum. Bukan, sepertinya dia tidak sedang tersenyum tetapi mencibir. Aku menjadi sedikit tidak senang.

“Lalu saya harus bawa kamu ke mana kalau bukan ke sini? Tenanglah kamu aman disini. Ini rumah saya." Dia meletakkan lembaran koran yang baru dia pegang. Menyilangkan kaki dengan sikap enggan. “Semalam sudah berusaha bertanya kemana saya harus mengantar kamu pulang. Tapi kamu Cuma diam, muntah beberapa kali dan mengotori mobil baru saya,” paparnya menampakkan raut aneh di wajahnya yang kaku.

Mendengar sindirannya aku merasa tersinggung.

“Oke saya minta maaf karena sudah merepotkan Anda. Sekarang saya harus pulang,” tukasku setelah diam beberapa detik dan menurunkan kaki ke lantai.

“Dan saya harus tahu, Anda siapa?” Mendelik ke arahnya.

“Percuma saja, sekalipun saya memperkenalkan diri kamu masih belum sadar sepenuhnya. Jadi sebaiknya saya antar kamu pulang,” jawabnya disertai tawa kecil.

Sejenak aku tertegun memandaginya, menurutku ada yang istimewa dari tawanya, begitu lepas dan hangat. Seharusnya aku tidak perlu setegang ini. Dia tidak berbahaya. Tapi kenapa dia membawaku ke tempat ini. Katanya ini rumahnya, kenapa dari tadi tidak kudapati seorang pun selain kami berdua. Atau jangan-jangan dia ...

Aku terkesiap, bersamaan dengan pikiran buruk yang melintas. Memeriksa ke seluruh tubuh mencari tanda-tanda kejahatan atau hal tidak senonoh yang dia perbuat padaku.

“Apa yang Anda lakukan pada saya?!” Aku menundingkan telujuk ke arahnya dengan suara yang terdengar gemetar.

Dia terkekeh sampai kedua sisi bahunya berguncang. Menatapku seakan aku perempuan lugu yang pantas dia tertawakan.

“Jangan cemas, aku bukan seperti yang ada dalam pikiran kamu.”

Kuatur napasku yang mulai tersengal. Mundur selangkah. Mencari pegangan saat tiba-tiba lututku serasa mau lepas.

Dia melanjutkan kalimatnya setelah membiarkan aku menenangkan diri sejenak. “lagi pula tidak laki-laki yang baik yang menginginkan perempuan pemabuk dan suka merusak diri.”

“Apa?!!!”

Suaraku terdengar pecah lantaran kaget dengan ucapannya. Aku perempuan pemabuk dan suka merusak diri? Tuduhan yang begitu merendahkan harga diriku sebagai wanita yang bermartabat. Kurang ajar sekali. Seumur hidup baru kali ini mendapati orang yang terang-terangan menghinaku. Apa perlu aku menunjukkan siapa diriku? Agar dia dapat pelajaran berharga.

Secepat kilat kuraih buku tebal yang terletak di atas meja keca tepat di sebelahku dan melemparkan ke arahnya. Refleks dia merunduk dengan kedua tangan melindungi puncak kepala. Sial dia berhasil menghindari lemparan benda itu malah lolos ke luar jendela. Dia menatapku dengan mimik kaget. Air mukanya berubah kelam.

“Kamu, memang nggak tahu diri, ya. Sudah untung ditolongi malah mau mencelakai orang.” Dia menekan suara sedemikian rupa. Kentara sekali menaham marah.

“Saya nggak terima Anda mengatakan saya perempuan pemabuk!” Aku berteriak kencang berjalan mendekat, menyejajarinya. Sengaja kumajukan badan dengan sikap menantang. Membuatnya harus mundur beberapa langkah. Dia pikir bisa menghinaku begitu saja?

“Dasar laki-laki sok alim. Memang Anda sebaik apa, hah?!!! Sebelum menghina orang sebaiknya introspeksi diri, apa Anda sebaik apa yang diucapkan. Atau jangan-jangan Cuma laki-laki berengsek dan nggak punya perasaan. Dan satu lagi saya nggak sudi Anda tolong, kenapa nggak biarin saya mati ditabrak mobil di jalaaannn?! Kenapa harus repot-repot bawa saya kesini?”

Emosiku meletup. Tanpa kusadari ada yang jatuh dan melesat cepat di ujung mata.

Memalukan sekali harus menangis di depan laki-laki yang bahkan namanya saja aku tidak tahu. Tergesa kuseka air mata. Menunduk dengan perasaan terluka. Kenapa nasibku selalu sial. Berurusan dengan orang yang belum apa-apa tapi sudah menambah daftar laki-laki yang pantas aku benci.

Ruangan itu mendadak senyap. Kuraih tasku yang tergeletak dekat bantal dan berjalan menuju pintu sembari mencari high heels. Aku tak bermaksud bertanya padanya, dia hanya terpaku di tempat memgamati gerak-gerikku. Sekilas bola matanya yang hitam bagai warna malam itu berkerjap-kerjap gelisah. Mimiknya tampak merasa bersalah. Dia bergerak salah tingkah.

“Eum, maaf saya nggak bermksud melukai perasaan kamu.”

Kuputar badan ke arahnya. Manatap tajam kemudian berkata, “semudah itukah menyakit hati orang lalu minta maaf?”

Diam. Hening ketegangan terasa berpendar di udara. Seluruh tubuhku dibasahi keringat dingin.

Dia maju beberapa langkah ketukan sepatunya di lantai terdengar jelas. Aku membaca gerakannya menebak apa yang akan dia lakukan selanjutnya.“Dari sikap dan cara bicaramu saya tahu kamu perempuan baik-baik. Sebenarnya apa yang membuat kamu begitu frustasi?”

“Itu bukan urusan Anda. Lagi pula kita nggak saling mengenal jadi nggak ada alasan untuk tahu urusan pribadi masing-masing.”

Dia menaikkan alis dan menyunggingkan senyum lagi.

“Baik, kamu benar.” Dia mendesah. Sementara aku berputar-putar tak juga menemukan yang aku cari. Setelah lebih kurang 20 menit, aku mulai putus asa sedangkan dia diam saja. Semestinya dia tahu apa yang aku cari. Atau dia sengaja mempermainkan aku. Akhirnya aku merasa lelah dan kembali mengempaskan diri di atas tempat tidur sembari mengerang keras lantaran diliputi perasaan marah.

Kekacauan demi kekacauan pada tahun-tahun yang terlewati laksana benda-benda langit yang bertubrukan di kepalaku. Bayangan wajah orang yang telah mencabik-cabik hatiku kini tampak begitu jelas membuat emosiku meluap-luap. Kesadaranku kembali menipis.

Bersambung 🥰

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Aku Hanya Ibu Untuk Anak-Anakmu Bukan Istrimu    Chapter 80

    Di rumah aku menjadi tidak bersemangat. Segala hal kukerjakan setengah hati. Meski begitu aku berusaha tetap tersenyum dihadapan Kang Imam. Dan malam hari adalah siksaan bagiku. Sewaktu Kang Imam memeluk bayangan Akhtar mengikat kuat ingatanku. Aku disergap perasaan bersalah. Di mataku Kang Imam menjadi sosok lain, sosok orang yang kucintai. Apalagi ketika Kang Imam melayaninya, aku semakin tersiksa imajinasiku bergerak liar. Aku tak mampu menepisnya, Akhtar menguasaiku. Dan puncaknya malam ini, saat jemariku mencengkeram punggung Kang Imam tiba-tiba nama Akhtar terlontar dari bibirku. Aku terkesiap. Kang Imam menatapku meradang. Dia berguling ke samping tak menuntuskan hasratnya.Aku menangis. Menangisi ketidakberdayaanku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Sepanjang malam itu kami sama-sama diam."Jujurlah dengan perasaan kamu, Neng?" ucap Kang Imam malam berikutnya. Dia menatapku dalam-dalam. Seakan ingin mengorek apa yang tersembunyi di balik mataku."Maafkan aku, Kang." Air mata

  • Aku Hanya Ibu Untuk Anak-Anakmu Bukan Istrimu    Chapter 79

    Tiga bulan berjalan rumah tanggaku dan Kang Imam tampak baik-baik saja. Aku tetap melayani dia selayaknya istri yang baik. Meskipun Kang Imam tidak mengizinkan aku bekerja, sesekali dia mengizinkan aku membantu Kak Sarah. Di sela-sela itulah diam-diam aku mencuri waktu menemui Shaila dan Shaili. Mereka berteriak histeris saat aku datang. Aku tak kuasa membendung air mata. Kupeluk mereka erat-erat seolah-olah tidak mau berpisah."Kita kangen sama Mama Mai." Shaili sesegukan di bahuku. Shaila memegang erat bahuku."Mama juga Sayang. Kalian sehat kan?"Keduanya mengangguk. Ibu Akhtar menyembunyikan air mata. Aku memeluknya dengan perasaan frustasi. Apakah cinta harus menyakiti banyak hati. Andai aku dan Akhtar menikah mungkin air mata ini tak akan pernah ada."Papa Akhtar, di Itali Mama. Katanya dua minggu lagi pulang."Aku mengangguk mengusap air mata keduanya."Tapi Papa baik-baik aja kan?""Papa Akhtar baik Ma."Aku dan Ibu Akhtar tak banyak bicara. Beliau seakan tahu perasaanku. Di b

  • Aku Hanya Ibu Untuk Anak-Anakmu Bukan Istrimu    Chapter 78

    Satu jam berikutnya setelah Randy meninggalkan ruangan, aku masih tepekur di tempat yang sama. Mendengarkan dengan seksama kata-kata Randy yang masih menggema di kepala. Impotensi. Napasku kembali tersekat. Gemetar. Susah payah menghapus pikiran buruk mengenai dia. Ingin sekali tidak mempercayai ini. Bisa jadi hanya gangguan psikis sementara di sebabkan dia sering kelelahan. Aku yakin bisa disembuhkan. Kenapa dia harus mengambil keputusan sepihak? Andai aku tahu sejak awal mungkin aku tidak akan rela menjauh darinya. Lebih memilih tetap bersamanya. Memberinya kekuatan agar bisa melewati hari-hari yang berat, waktu-waktu yang sulit. Dengan saling melepaskan seperti ini sama artinya saling menyakiti. Aku tidak mengerti kenapa dia begitu yakin menyangka aku menderita jika tetap memilih bersamanya. Padahal seterjal apa pun jalan yang mesti dilewati asalkan langkah tetap searah aku percaya semua bisa teratasi.Tapi kenapa seterlambat ini. Aku tak bisa mundur begitu saja. Pernikahanku

  • Aku Hanya Ibu Untuk Anak-Anakmu Bukan Istrimu    Chapter 77

    Randy mengatakan sudah dua malam dia tidak pulang ke rumah. Aku mendatangi bengkelnya tapi salah seorang karyawannya memberitahuku kalau Akhtar baru saja pulang. Dengan hati yang di penuhi harap cemas aku kembali melajukan mobil, aku tahu ke mana dia pergi.Dari jalan aku menatap bangunan dua tingkat itu, tampak lampu menyala. Dengan langkah yang semakin gemetar aku masuk cahaya suram dari lampu yang menempel di dinding dekat tangga membentuk siluet panjang tubuhku . Kutarik napas, menegarkan hati andai Akhtar tetap menolak aku akan siap. Anak tangga demi anak tangga kulewati dengan jantung yang kian bergemuruh. Sekujur tubuhku lemas. Kini aku tiba di puncak tangga kulihat dia sedang berdiri melamun dekat jendela. Pandangannya terlempar jauh. Seakan tak menyadari kehadiranku.Aku berjalan mendekat. Namun betapa kagetnya sewaktu mendengar suaranya."Mau apa kamu ke sini. Nggak ada yang perlu kita bahas lagi."Air mataku hampir jatuh bahkan sebelum aku menyampaikan maksudku."Akhtar, R

  • Aku Hanya Ibu Untuk Anak-Anakmu Bukan Istrimu    Chapter 76

    "Kesetiaan tak ubahnya seperti cahaya lampu-lampu yang redup. Menyala sekejap lalu padam dengan cepat."____Aku pernah mengira-ngira apa yang dinamakan cinta sejati. Apa semacam perasaan mendalam pada seseorang, hingga tak ada hal yang bisa menggantikan atau menghentikannya? Sebuah cinta yang hakiki yang akan dibawah sampai mati? Semacam itukah? Tapi kupikir itu tidak benar. Nyatanya perasaan cinta seringkali hanya singgah sebentar untuk kemudian berubah seiring masa dan pergantian waktu. Seperti halnya yang terjadi padaku, mencintai seseorang dengan begitu mendalam. Sempat aku menyangka bahwa dialah belahan jiwa yang Tuhan kirimkan untuk menemaniku mengarungi luasnya samudera kehidupan. Demi dia seakan-akan aku sanggup melakukan apapun agar tetap dibersamakan dengannya selamanya. Akan tetapi apa yang terjadi tidaklah segemilang yang ada dibayangkan.Dia memilih pergi.Meruntuhkan segenap kekuatan, meluruhkan rasa hingga tiada lagi yang tersisa selain kebencian yang sama besarnya.Dan

  • Aku Hanya Ibu Untuk Anak-Anakmu Bukan Istrimu    Chapter 75

    POV Akhtar.Terkadang tak butuh sebuah alasan mengapa kita bersedia menunggu. Menunggu demi sesuatu yang sudah pasti tidak akan terjadi. Menunggu untuk satu hal yang sudah jelas dan terang benderang kenyataannya. Bukan sebuah kemungkinan, antara 'iya' dan 'tidak'. Namun secara sadar menerima dengan kelapangan hati bahwa tidak ada yang salah. Tak mengapa jika memang ingin melakukannya. Ego sering kali butuh ruang untuk itu Laksana menyimpan harapan-harapan yang patah atau mendekap mimpi-mimpi yang rapuh lagi semu. Yang tiada lain kata akhirnya ada kesia-siaan. Tapi aneh aku tetap mampu tersenyum. Tak ada rasa kecewa. Tentu saja, aku sudah merelakannya.Aku bahagia melihatnya hari itu. Dia tersenyum memandang lelaki yang kini berstatus suaminya. Senyum yang amat manis yang sudah puluhan kali ia berikan padaku. Sekali pun aku tidak tahu apa itu senyum yang sama.Berbahagialah Mai. Aku akan turut bahagia.Kau terlalu berharga untuk sebuah cinta yang tidak sempurna seperti diriku. Di kehi

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status