Aku memasuki ruang inap dengan wajah kurang percaya diri. Ditemani oleh ibu dan ayah, kaki terus melangkah masuk. Orang-orang yang ada dalam ruangan ini menatapku dari ujung kaki hingga kepala. Karena malu, aku langsung menundukkan kepala.
Diantara mereka semua, siapa lelaki yang akan menikah denganku? Benak terus bertanya. Sesekali aku mengangkat kepala. Ada rasa penasaran, ingin tahu tentang sosok lelaki itu.
Saat kaki terus melangkah, mataku terfokus pada lelaki yang sedari tadi membelakangiku. Lelaki itu tetap menghadap ke ranjang rumah sakit, yang diatasnya sedang ada pria tua dengan tangan diinfus. Diantara semua orang, hanya dia yang tidak melihatku. Mungkinkah dia, orang yang akan dinikahkan denganku? Mungkinkah lelaki itu sudah mengenalku, sehingga dia mau menerima perjodohan ini? Aku terus bertanya-tanya dalam hati.
"Mari, Pak! Kita mulai!" ucap lelaki yang berdiri dekat meja yang sangat sakral bagiku. Mata lelaki itu melihat dua pegawai KUA yang sedang duduk di kursi sofa yang ada di dalam ruang inap. Dia lalu mendekati sosok pria yang dari tadi masih membelakangiku.
Ayah menarik tanganku untuk mendekat ke sisi rumah sakit yang sudah disediakan sebagai tempat ijab kabul. Dengan ragu, aku melangkah kecil menuju tempat duduk sakral itu. Aku mengangkat wajah untuk melihat ayah, dia masih menggenggam tanganku, menyuruh untuk duduk lewat lirikan mata yang dapat kumengerti. Tempat ini begitu dingin, tangan mulai berkeringat.
Aku menundukan wajah, kini tempat duduk di sampingku sudah berpenghuni. Jantung berdetak dengan cepat. Masih tidak menyangka, kalau sebentar lagi aku akan resmi menjadi seorang istri.
Tiga orang pria dihadapanku sedang menyiapkan beberapa berkas. Sedangkan orang yang duduk di samping, aku belum tahu siapa dia. Kepala yang menunduk hanya bisa melihat kalau lelaki ini memakai celana hitam dengan sepatu yang juga berwarna hitam. Sepertinya sangat mahal, aku tidak tahu berapa harganya.
"Bagaimana, apakah anda sudah siap?" tanya salah seorang pria tua di hadapan lelaki di sampingku.
"Siap, Pak! Kita bisa mulai!" Terdengar lelaki disampingku mengeluarkan suara.
Suara ini sangat tidak asing. Pikiranku mencoba menerka-nerka, suara ini mirip siapa. Tetapi, tak kunjung menemukan. Sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja. Lelaki yang memiliki suara mirip di dunia ini ada banyak.
Situasi sangat menegangkan. Tanganku memegang erat rok yang aku pakai. Sedari tadi tangan sudah berkeringat. Ibu mengusap pelan punggung belakangku. Mungkin dia tahu, kalau sekarang anaknya sangat gugup.
"Baik, Pak Aksa. Ikuti apa yang saya katakan! Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Mentari Delisia binti Rusdin dengan maskawin sebuah cincin emas di bayar tunai!"
"Saya terima nikahnya Mentari Delisia binti Rusdin dengan maskawin sebuah cincin emas di bayar tunai!"
Aku langsung mengangkat wajah, rasa penasaran ini harus dituntaskan. Mata menatap kaget lelaki yang saat ini duduk di sampingku. Aku tidak bisa berkedip. Bibir kelu, tak mampu berucap. Aku hanya bisa membatin, jika semua ini tidak mungkin.
Sungguh, aku tidak percaya dengan yang terjadi di depan mataku saat ini. Ternyata ayah dan ibu menjodohkan dengan Aksa, lelaki yang sudah lama menjalin hubungan dengan Utami. Benak masih tidak percaya, jika saat ini aku telah sah menjadi istri kekasih sahabatku.
Aksa menatap lurus ke arah dua pria tua yang ada di hadapan kami. Sedari tadi, dia bahkan tidak menoleh padaku. Dari raut yang terlihat, dia seolah tidak mengenalku. Lebih tepatnya, berpura-pura tidak mengenal.
“Bagaimana, sah?” tanya seorang penghulu yang masih menjabat tangan Aksa.
“Sahhh!” jawab semua orang yang ada di dalam ruangan. Satu tangan ayah memegang pundaku, sedangkan tangan yang lain mengusap dengan sayang puncak kepala. Aku ingin berteriak, mengatakan tidak sah. Namun, perkataan itu tertahan ditenggorokan.
Semua ini salah, aku tidak mungkin menjadi istri Aksa. Dia pacar Utami, sahabatku. Mereka sudah lama menjalin hubungan, sejak kuliah semester satu. Aku masih tidak menyangka, Sungguh, tidak sedikit pun terpikirkan olehku. Mengapa harus dia?
Aku mengalihkan pandangan melihat ibu dan ayah. Ibu langsung berdiri, kini wajahnya tepat berada di depan mataku. Satu ciuman lembut dari ibu menyentuh pipi. Matanya berkaca, memeluk erat tubuhku yang rasanya tak berdaya. “Selamat, sayang. Sekarang kamu sudah menjadi seorang istri,” tutur ibu dengan lembut sambil mengusap kepala yang tertutupi hijab.
Aku masih membisu, wajah seketika pucat pasi. Sungguh, ini bukan pernikahan yang aku harapkan. Bagaimana jika Utami tahu, kalau aku menikah dengan kekasihnya? Mungkin dia akan membenci, marah, dan memakiku. Perempuan mana yang bisa tegar, jika lelaki yang dia cintai, menikah dengan sahabatnya, tanpa dia ketahui.
“Kenapa dari tadi hanya diam? Salim dulu dong dengan suamimu.” Lagi-lagi, ibu mengeluarkan suara sambil melepas pelukan dan menatapku dengan raut wajah bahagia. Aku langsung menunduk, tidak tahu apa yang harus kulakukan. Menyalim tangan Aksa, itu tidak mungkin. Ya Allah, tolong aku! Bisakah detik jam kembali? Aku ingin menolak pernikahan ini. “Jangan malu-malu, Nak! Sekarang Aksa sudah sah menjadi suamimu!” ucap ayah sambil mengusap puncak kepalaku. Perlahan-lahan, aku menolehkan kepala. Aksa masih menatap kosong ke meja. Dia sudah menandatangani berkas-berkas pernikahan. “Aksa, ulurkan tanganmu. Lihat Delisia, dia ingin menyalim. Kalian berdua sudah sah menjadi suami istri. Jadi tidak usah malu-malu,” tutur lelaki yang saat ini sedang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Suara seraknya membuat Aksa melihatku. Aksa menatapku dengan sorot mata yang sangat tajam. Aku belum pernah melihat Aksa sedingin ini. Tiba-tiba aku menyadari, sebulan terakhir sebelum pernihakan hari ini terjad
Aku tetap melangkah, meskipun kini sudah tidak beriringan lagi dengan Aksa. Saat tiba di mobil, aku merasa sedikit tidak nyaman, karena duduk bersampingan dengan Aksa. Dia sedang sibuk dengan handphone di tangannya, tidak peduli dengan keberadaanku. Beberapa menit dalam perjalanan, tidak ada yang memulai percakapan. Aku dan Aksa masih diam. Aku merasa bingung, melihat sikap Aksa yang berbeda. Apa kalimat yang akan aku katakan padanya? Haruskah menyapanya? Tetapi kata menyapa yang seperti apa, untuk orang yang berpura-pura tidak mengenal seperti ini? Aksa yang aku kenal selama kuliah tidak begini. Meskipun bukan tipe lelaki yang tidak suka bercerita, dia cukup ramah. Tanganku kembali berkeringat. Aksa belum juga berbicara. Aku coba memberanikan diri, menoleh untuk melihat Aksa yang menatap lurus ke depan. Bibirku bergerak untuk berkata, "aku tidak tahu, jika yang dijodohkan denganku adalah kamu." Beberapa menit menunggu, Aksa masih memandang ke depan tanpa berucap. Dia seakan tidak
Aku melangkah untuk duduk depan cermin. Melepas kaca mata yang bertengger, membebaskan rambut dari hijab yang menutupi, membuka pengikat dan membiarkan lurus terurai. Mata terpejam, merasakan hembusan angin menusuk tubuh. Aku ingin sejenak tidak melihat dunia. Sungguh miris goresan takdir, belum cukup sehari menjadi seorang istri, aku sudah dikagetkan dengan kontrak pernikahan yang dibuat oleh Aksa. “Aku tahu, pernikahan ini harusnya tidak terjadi. Kamu adalah kekasih sahabatku. Pasti berat untuk kamu, mengucap ijab kabul tadi. Tetapi, aku juga tidak bisa melakukan apapun. Semua ini sudah terjadi,” lirihku sambil melihat pantulan diri di depan cermin. Napas mulai terasa berat, mata pun berkaca. Sebentar lagi akan ada rintik bening jatuh dari kelopak, aku tidak bisa mencegah. Tangan memukul-mukul dada, berusaha agar tidak terisak. "Mengapa ini harus terjadi padaku? Bagaimana kalau Utami tahu, aku menikah dengan Aksa? Dia pasti akan marah padaku. Padahal selama ini hanya dia yang mau
“Iya, Tam. Aku dengar. Besok aku nggak bisa. Nanti saja ya,” ujarku dengan lembut. Tangan sudah berhenti menyuap nasi ke dalam mulut. Rasanya, masakan ini tidak enak lagi dilidah. “Yaaa, gimana dong. Aku pergi ke Mall dengan siapa kalau gitu. Ayolah, Del! Mau ya temani aku. Kalau kamu punya kerjaan, nanti aku bantu kerjain. Mau yaaa!” Suara Utami nampak sedih. Aku kembali terdiam beberapa detik untuk berpikir. Tidak ingin membuat Utami terus merayu, bibir pun kembali berbicara, “baiklah, besok kita ketemuan di kampus.” “Yeee, akhirnya. Ehh tapi, besok kan tanggal merah, Del. Kamu mau ngapain di kampus?” tanya Utami. Tidak mungkin aku mengatakan sejujurnya pada Utami, kalau aku tidak lagi tinggal di kosan. Pikiran berusaha mencari ide. Alasan apa yang akan aku buat. Selama ini aku belum pernah berbohong, karena tidak terbiasa. “Sengaja, aku ingin tunggu kamu di kampus saja. Kasian kamu, kalau harus menjemput di Kosan. Jarak dari rumah kamu ke kosanku jauh, Utami. Aku tidak tega,”
“Syukurlah, Nak. Ibu senang dengarnya. Kalau kamu bahagia seperti ini, ibu juga bahagia. Kemarin ibu bilang ke ayahmu, bagaimana kalau kamu tidak suka dengan anak Pak Candra? Tetapi, ayahmu selalu meyakinkan ibu, kalau Pak Candra itu baik, pasti anaknya juga baik … Ibu masih tidak menyangka, sekarang kamu sudah menikah. Kalau ada apa-apa, kamu harus tetap hubungi ibu dan ayah. Dan kalau ada waktu libur, kamu harus pulang ke kampung. Ayah dan ibu pasti rindu.” “Iya, Bu. Itu pasti.” “Kalau begitu, sudah dulu ya. Ibu sudah mengantuk. Mau tidur. Kamu jaga kesehatan. Jangan lupa, surga istri itu ada di suami. Jangan buat suamimu murka, kalau kamu punya salah harus cepat minta maaf. Bahkan, kalau kamu tidak merasa salah, tetapi suamimu marah, kamu juga harus minta maaf. Jadi istri yang patuh dan layani suamimu dengan baik. Ibu tidur dulu, nanti lagi kita telponan. Okey, Delisa, anak kesayangan ibu.” “Iya, Bu.” Satu kata cukup untuk ibu tahu jika aku menyetujui ucapannya. Nasehat yang san
Detik jam terus berputar, bulan telah bersembunyi dibalik bumi. Matahari tanpa malu memperlihatkan cahaya. Kini aku dan Utami sedang berada di Mall. Sebenarnya aku sudah sedikit lelah, dari tadi keliling-keliling mencari baju, tetapi Utami belum juga menjatuhkan pilihan. Aku sudah tahu sejak awal, resiko menemani Utami belanja adalah begini, sangat jarang cepat pulang. Dia biasa mencari baju berjam-jam. Memasuki toko yang sama sampai dua tiga kali, lalu keluar lagi tanpa menjatuhkan pilihan ke satu pun baju. Lelahnya kaki, tidak membuat bibir mengeluh. Takut Utami akan menganggap, aku tidak ikhlas menemani. Padahal, aku sungguh ikhlas. Tetapi harusnya dia mengerti jika orang yang menemaninya juga butuh mengistrahatkan kaki. “Del, ini bagus nggak?” tanya Utami, sambil memegang baju. “Bagus!” ujarku sambil tersenyum. “Kayaknya nggak, deh. Aku sudah punya baju yang mirip dengan baju ini.” Utami berkata lalu menaruh baju di tangannya ke tempat asalnya. “Kalau gitu kita cari di tempat
Aku sangat kaget. Jadi, semalam Aksa tidak pulang ke rumah. Aku pikir dia sudah pulang saat larut malam, sengaja pulang larut karena tidak ingin bertemu denganku. Ternyata dugaanku salah. Mungkin dia nginap di apartemen karena dia tidak ingin bertemu denganku. “Tapi kamu jangan berpikiran macam-macam ya. Kami itu tidur di kamar berbeda. Kebetulan di Apartemen Aksa ada dua kamar. Jadi aku bisa tidur di kamar yang satunya. Lagi pula Aksa bukan lelaki yang begitu kok,” ujar Utami setelah menelan makanan dalam mulut, “Del, tumben kamu tidak menyuruhku untuk berhenti pacaran. Biasanya setiap hari looo, kamu berisik ngelarang aku pacaran dan berdua-duaan dengan Aksa.” Ternyata Utami menyadari satu kebiasaan yang sudah aku hentikan. Bibir membentuk garis senyum. “Kamu sudah besar, Utami. Sudah bisa membedakan mana yang baik dan tidak baik. Kalau menurutmu berpacaran itu baik, ya silahkan. Aku tidak bisa ngelarang kamu terus,” tuturku dengan lembut. “Akhirnyaaa, sahabatku sadar. Asal tidak
*** Sudah tiga hari aku berada di rumah megah ini. Tetapi, belum pernah bertemu dengan Aksa. Apa dia sangat benci denganku, sampai melihat wajahku pun dia tak ingin? Mungkinkah dia mengira jika pernikahan ini terjadi karena keinginan orangtuaku? Ah, tidak boleh berpikir begitu. Semua ini terjadi, karena Aksa belum terbiasa dengan kehadiranku. Aku masih berada di balkon kamar. Menatap halaman luas di dekat kolam renang. Aku mengagumi desain rumah ini. Terlihat elegan dan indah di pandang.Tepat di taman yang terdapat banyak bunga, ada seorang asisten rumah yang sedang menyiram tanaman. Mungkin dia bertugas untuk menyiram tanaman setiap pagi karena sudah tiga hari aku melihatnya melakukan aktivitas itu. Tok! Tok! “Non Delisia!” Aku langsung berdiri ketika mendengar suara memanggil. Saat membuka pintu, terlihat seorang asisten sedang berdiri sambil tersenyum. “Ini apa, Bi? Kenapa repot-repot di bawa ke sini. Aku kan bisa turun cari makan sendiri,” tuturku. Lalu mengambil makanan yang