“Kenapa dari tadi hanya diam? Salim dulu dong dengan suamimu.” Lagi-lagi, ibu mengeluarkan suara sambil melepas pelukan dan menatapku dengan raut wajah bahagia.
Aku langsung menunduk, tidak tahu apa yang harus kulakukan. Menyalim tangan Aksa, itu tidak mungkin. Ya Allah, tolong aku! Bisakah detik jam kembali? Aku ingin menolak pernikahan ini.
“Jangan malu-malu, Nak! Sekarang Aksa sudah sah menjadi suamimu!” ucap ayah sambil mengusap puncak kepalaku. Perlahan-lahan, aku menolehkan kepala. Aksa masih menatap kosong ke meja. Dia sudah menandatangani berkas-berkas pernikahan.
“Aksa, ulurkan tanganmu. Lihat Delisia, dia ingin menyalim. Kalian berdua sudah sah menjadi suami istri. Jadi tidak usah malu-malu,” tutur lelaki yang saat ini sedang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Suara seraknya membuat Aksa melihatku.
Aksa menatapku dengan sorot mata yang sangat tajam. Aku belum pernah melihat Aksa sedingin ini. Tiba-tiba aku menyadari, sebulan terakhir sebelum pernihakan hari ini terjadi, Aksa selalu menjauh. Seperti saat itu, Utami mengajak Aksa untuk makan. Namun, Aksa menolak dengan alasan ingin makan bersama teman-temannya.
Saat ini, baru aku sadari. Sejak itu Aksa tidak akan menghampiri Utami jika ada aku. Padahal biasanya, keberadaanku bukan menjadi pengganggu diantara Utami dan Aksa. Masih banyak lagi perubahan Aksa yang kini baru aku sadari.
Mengapa aku begitu bodoh? Aku tidak pernah curiga dengan perubahan Aksa.
“Iya, Ayah!” Aksa membuka suara. Dia langsung tersenyum padaku dan mengulurkan tangan.
Aku menatap tangan Aksa beberapa detik, lalu mengangkat wajah untuk menatap mata lelaki ini. Dia sangat pintar untuk berpura-pura tidak mengenalku. Kami sudah berada di ruangan ini lebih dari sepuluh menit, tetapi aku belum mendengar sapaan keluar dari bibir Aksa. Menarik napas berat, aku akhirnya menyentuh tangan Aksa. Tidak bisa berbohong, tanganku kini gemetar.
“Aku Aksa. Nama kamu siapa?” ucap Aksa, membuatku menatapnya lekat. “Siapa namamu? Ini pertemuan pertama kita, jadi kita harus kenalan dulu,” lanjut Aksa lagi sambil mengeratkan genggaman pada tanganku.
Aku yang merasa kesakitan, langsung berucap, “Delisia. Namaku, Delisia.” Wajahku tersenyum canggung. Ini pertama kali aku bersentuhan dengan lelaki.
Selama ini aku selalu menjaga diri untuk tidak bersentuhan dengan lelaki yang bukan mahrom. Sekarang, Aksa sudah menjadi lelaki yang pernah menyentuh tanganku selain ayah.
Aku bisa merasakan jika tangan Aksa begitu lembut. Aku bisa langsung menebak jika tangan ini tidak pernah dipakai untuk melakukan pekerjaan berat. Rasanya sungguh malu, karena telapak tangaku sangat kasar.
“Oh iya,” ucap Aksa sambil melepas genggaman. Dia langsung berdiri mendekat ke ranjang rumah sakit. Di sana ada satu kursi, Aksa pun duduk. “Ayah cepat sehat ya! Sekarang sudah punya menantu. Jadi, tidak boleh sakit sakit lagi.”
“Ayah tidak akan sakit, kalau kamu selalu menuruti semua keinginan ayah. Jaga dia baik-baik.”
Aku masih duduk di tempat yang sama, belum berpindah. “Maaf. Tolong tanda tangan di sini,” tutur orang yang tadi menjadi penghulu.
“Iya, Pak.” Aku langsung mengambil pulpen yang sudah Aksa letakan tepat di depanku. Mengikuti arahan dari penghulu, aku pun menandatangi berkas. Terasa berat, namun harus aku lakukan.
Ijab dan kabul telah usai. Jika ingin mencegah, harusnya dari tadi. Sekarang sudah terlambat, aku harus menerima tanpa ada kata tapi. Entahlah, apa yang akan terjadi setelah ini. Aku harus bisa menyiapkan mental.
Setelah kepala yang tunduk terangkat, aku mendengar ayah Aksa memanggil. “Sini, Nak!” Dia mengulang lagi, karena aku hanya menatap tanpa ada pergerakan untuk berdiri.
“Ke sana, Delisia!” perintah ayah. Aku langsung berdiri dan melangkah kecil sambil melihat wajah lemah yang sedang tersenyum lembut padaku.
“Sekarang kamu sudah resmi jadi anakku. Kalau nanti ada perlakuan kasar dari Aksa, beritahu ayah. Biar ayah yang marahi anak ini. Dan satu lagi, mulai sekarang kamu harus panggil aku, ayah,” ujar lelaki tua yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dia adalah ayah dari Aksa.
Aku langsung tersenyum. Bibir tak mampu berkata, kepala pun hanya mengangguk. Ayah dan ibuku menghampiri kami. Mereka membungkuk hormat pada Aksa dan ayahnya.
“Mohon maaf, kalau begitu kami pamit dulu,” tutur penghulu dan dua orang di samping tersenyum pada kami.
“Iya, Pak. Soal biaya, orang suruhan kami akan menemui bapak di kantor,” ucap Aksa, ramah.
“Baik, Pak! Kami permisi,” tutur salah satu rekan yang berada di sebelah kanan penghulu.
“Antar Delisia pulang! Masih ada yang ingin ayah bicarakan dengan orang tua Delisia,” perintah ayah Aksa.
Aku akhrinya mengingat nama ayahnya Aksa, setelah berusaha mengingat. Lelaki yang memiliki usia tidak muda lagi ini bernama Candra. Itu nama yang pernah ayah sebut, saat pertama kali memberi tahu tentang perjodohan ini.
“Kalau begitu, kami pamit, Ayah.” Aksa langsung menyalim tangan Pak Candra yang sedang di infus. Aku mengikuti gerakan Aksa. Dia juga mencium tangan ayah dan ibuku, terlihat sangat sopan.
Aku tidak hanya mencium tangan ibu, melainkan memeluk. Ingin menangis, tetapi tidak mungkin. Yang orangtuaku dan Pak Candra tahu, saat ini aku sangat bahagia.
Kami melangkah keluar beriringan. Hingga setelah pintu ruang inap tertutup, aku kaget dengan sikap Aksa. Dia yang tadi jalan bersama denganku, kini mempercepat langkah. Aku tidak mampu berkata, melihat Aksa yang terus menjauh dengan langkah cepat.
Aku tetap melangkah, meskipun kini sudah tidak beriringan lagi dengan Aksa. Saat tiba di mobil, aku merasa sedikit tidak nyaman, karena duduk bersampingan dengan Aksa. Dia sedang sibuk dengan handphone di tangannya, tidak peduli dengan keberadaanku. Beberapa menit dalam perjalanan, tidak ada yang memulai percakapan. Aku dan Aksa masih diam. Aku merasa bingung, melihat sikap Aksa yang berbeda. Apa kalimat yang akan aku katakan padanya? Haruskah menyapanya? Tetapi kata menyapa yang seperti apa, untuk orang yang berpura-pura tidak mengenal seperti ini? Aksa yang aku kenal selama kuliah tidak begini. Meskipun bukan tipe lelaki yang tidak suka bercerita, dia cukup ramah. Tanganku kembali berkeringat. Aksa belum juga berbicara. Aku coba memberanikan diri, menoleh untuk melihat Aksa yang menatap lurus ke depan. Bibirku bergerak untuk berkata, "aku tidak tahu, jika yang dijodohkan denganku adalah kamu." Beberapa menit menunggu, Aksa masih memandang ke depan tanpa berucap. Dia seakan tidak
Aku melangkah untuk duduk depan cermin. Melepas kaca mata yang bertengger, membebaskan rambut dari hijab yang menutupi, membuka pengikat dan membiarkan lurus terurai. Mata terpejam, merasakan hembusan angin menusuk tubuh. Aku ingin sejenak tidak melihat dunia. Sungguh miris goresan takdir, belum cukup sehari menjadi seorang istri, aku sudah dikagetkan dengan kontrak pernikahan yang dibuat oleh Aksa. “Aku tahu, pernikahan ini harusnya tidak terjadi. Kamu adalah kekasih sahabatku. Pasti berat untuk kamu, mengucap ijab kabul tadi. Tetapi, aku juga tidak bisa melakukan apapun. Semua ini sudah terjadi,” lirihku sambil melihat pantulan diri di depan cermin. Napas mulai terasa berat, mata pun berkaca. Sebentar lagi akan ada rintik bening jatuh dari kelopak, aku tidak bisa mencegah. Tangan memukul-mukul dada, berusaha agar tidak terisak. "Mengapa ini harus terjadi padaku? Bagaimana kalau Utami tahu, aku menikah dengan Aksa? Dia pasti akan marah padaku. Padahal selama ini hanya dia yang mau
“Iya, Tam. Aku dengar. Besok aku nggak bisa. Nanti saja ya,” ujarku dengan lembut. Tangan sudah berhenti menyuap nasi ke dalam mulut. Rasanya, masakan ini tidak enak lagi dilidah. “Yaaa, gimana dong. Aku pergi ke Mall dengan siapa kalau gitu. Ayolah, Del! Mau ya temani aku. Kalau kamu punya kerjaan, nanti aku bantu kerjain. Mau yaaa!” Suara Utami nampak sedih. Aku kembali terdiam beberapa detik untuk berpikir. Tidak ingin membuat Utami terus merayu, bibir pun kembali berbicara, “baiklah, besok kita ketemuan di kampus.” “Yeee, akhirnya. Ehh tapi, besok kan tanggal merah, Del. Kamu mau ngapain di kampus?” tanya Utami. Tidak mungkin aku mengatakan sejujurnya pada Utami, kalau aku tidak lagi tinggal di kosan. Pikiran berusaha mencari ide. Alasan apa yang akan aku buat. Selama ini aku belum pernah berbohong, karena tidak terbiasa. “Sengaja, aku ingin tunggu kamu di kampus saja. Kasian kamu, kalau harus menjemput di Kosan. Jarak dari rumah kamu ke kosanku jauh, Utami. Aku tidak tega,”
“Syukurlah, Nak. Ibu senang dengarnya. Kalau kamu bahagia seperti ini, ibu juga bahagia. Kemarin ibu bilang ke ayahmu, bagaimana kalau kamu tidak suka dengan anak Pak Candra? Tetapi, ayahmu selalu meyakinkan ibu, kalau Pak Candra itu baik, pasti anaknya juga baik … Ibu masih tidak menyangka, sekarang kamu sudah menikah. Kalau ada apa-apa, kamu harus tetap hubungi ibu dan ayah. Dan kalau ada waktu libur, kamu harus pulang ke kampung. Ayah dan ibu pasti rindu.” “Iya, Bu. Itu pasti.” “Kalau begitu, sudah dulu ya. Ibu sudah mengantuk. Mau tidur. Kamu jaga kesehatan. Jangan lupa, surga istri itu ada di suami. Jangan buat suamimu murka, kalau kamu punya salah harus cepat minta maaf. Bahkan, kalau kamu tidak merasa salah, tetapi suamimu marah, kamu juga harus minta maaf. Jadi istri yang patuh dan layani suamimu dengan baik. Ibu tidur dulu, nanti lagi kita telponan. Okey, Delisa, anak kesayangan ibu.” “Iya, Bu.” Satu kata cukup untuk ibu tahu jika aku menyetujui ucapannya. Nasehat yang san
Detik jam terus berputar, bulan telah bersembunyi dibalik bumi. Matahari tanpa malu memperlihatkan cahaya. Kini aku dan Utami sedang berada di Mall. Sebenarnya aku sudah sedikit lelah, dari tadi keliling-keliling mencari baju, tetapi Utami belum juga menjatuhkan pilihan. Aku sudah tahu sejak awal, resiko menemani Utami belanja adalah begini, sangat jarang cepat pulang. Dia biasa mencari baju berjam-jam. Memasuki toko yang sama sampai dua tiga kali, lalu keluar lagi tanpa menjatuhkan pilihan ke satu pun baju. Lelahnya kaki, tidak membuat bibir mengeluh. Takut Utami akan menganggap, aku tidak ikhlas menemani. Padahal, aku sungguh ikhlas. Tetapi harusnya dia mengerti jika orang yang menemaninya juga butuh mengistrahatkan kaki. “Del, ini bagus nggak?” tanya Utami, sambil memegang baju. “Bagus!” ujarku sambil tersenyum. “Kayaknya nggak, deh. Aku sudah punya baju yang mirip dengan baju ini.” Utami berkata lalu menaruh baju di tangannya ke tempat asalnya. “Kalau gitu kita cari di tempat
Aku sangat kaget. Jadi, semalam Aksa tidak pulang ke rumah. Aku pikir dia sudah pulang saat larut malam, sengaja pulang larut karena tidak ingin bertemu denganku. Ternyata dugaanku salah. Mungkin dia nginap di apartemen karena dia tidak ingin bertemu denganku. “Tapi kamu jangan berpikiran macam-macam ya. Kami itu tidur di kamar berbeda. Kebetulan di Apartemen Aksa ada dua kamar. Jadi aku bisa tidur di kamar yang satunya. Lagi pula Aksa bukan lelaki yang begitu kok,” ujar Utami setelah menelan makanan dalam mulut, “Del, tumben kamu tidak menyuruhku untuk berhenti pacaran. Biasanya setiap hari looo, kamu berisik ngelarang aku pacaran dan berdua-duaan dengan Aksa.” Ternyata Utami menyadari satu kebiasaan yang sudah aku hentikan. Bibir membentuk garis senyum. “Kamu sudah besar, Utami. Sudah bisa membedakan mana yang baik dan tidak baik. Kalau menurutmu berpacaran itu baik, ya silahkan. Aku tidak bisa ngelarang kamu terus,” tuturku dengan lembut. “Akhirnyaaa, sahabatku sadar. Asal tidak
*** Sudah tiga hari aku berada di rumah megah ini. Tetapi, belum pernah bertemu dengan Aksa. Apa dia sangat benci denganku, sampai melihat wajahku pun dia tak ingin? Mungkinkah dia mengira jika pernikahan ini terjadi karena keinginan orangtuaku? Ah, tidak boleh berpikir begitu. Semua ini terjadi, karena Aksa belum terbiasa dengan kehadiranku. Aku masih berada di balkon kamar. Menatap halaman luas di dekat kolam renang. Aku mengagumi desain rumah ini. Terlihat elegan dan indah di pandang.Tepat di taman yang terdapat banyak bunga, ada seorang asisten rumah yang sedang menyiram tanaman. Mungkin dia bertugas untuk menyiram tanaman setiap pagi karena sudah tiga hari aku melihatnya melakukan aktivitas itu. Tok! Tok! “Non Delisia!” Aku langsung berdiri ketika mendengar suara memanggil. Saat membuka pintu, terlihat seorang asisten sedang berdiri sambil tersenyum. “Ini apa, Bi? Kenapa repot-repot di bawa ke sini. Aku kan bisa turun cari makan sendiri,” tuturku. Lalu mengambil makanan yang
Terdengar napas berat ibu di telingaku. Alisku pun mengerut. “Alhamdulillah, sayang. Beberapa hari ini, ibu hanya pikirkan kamu. Takut pilihan ayah dan ibu itu salah. Ibu senang dengar kamu sangat bahagia sekarang. Ibu terharu, Nak. Semoga pernikahan kamu langgeng sampai maut memisahkan. Jangan lupa, cepat kasih ibu cucu-cucu yang menggemaskan.” “Aamiin. Oh iya, Bu. Teleponnya aku matikan dulu ya. Soalnya Aku mau keluar. Nanti kita lanjutkan lagi ya,” ujarku dengan nada bicara yang tenang. Sungguh, kini air mata sudah berkumpul dikelopak. Sebentar lagi akan jatuh. Aku tidak ingin ibu mendengar suara yang serak. Setelah mendapatkan persetujuan dari ibu, aku langsung mematikan telepon. Kedua tangan menutup wajah yang menangis tersedu. Dada sangat sesak menahan sakit. Sampai kapan aku terus berbohong? Mustahil aku bisa jujur ke ibu, jika Aksa tidak memperlakukan aku istimewa dan dia sangat membenciku karena perjodohan ini. Sesekali aku menghapus air mata yang membasahi pipi. Menarik