Share

Bab 2. Berpura-pura Tak Kenal

“Kenapa dari tadi hanya diam? Salim dulu dong dengan suamimu.” Lagi-lagi, ibu mengeluarkan suara sambil melepas pelukan dan menatapku dengan raut wajah bahagia.

Aku langsung menunduk, tidak tahu apa yang harus kulakukan. Menyalim tangan Aksa, itu tidak mungkin. Ya Allah, tolong aku! Bisakah detik jam kembali? Aku ingin menolak pernikahan ini.

“Jangan malu-malu, Nak! Sekarang Aksa sudah sah menjadi suamimu!” ucap ayah sambil mengusap puncak kepalaku. Perlahan-lahan, aku menolehkan kepala. Aksa masih menatap kosong ke meja. Dia sudah menandatangani berkas-berkas pernikahan.

“Aksa, ulurkan tanganmu. Lihat Delisia, dia ingin menyalim. Kalian berdua sudah sah menjadi suami istri. Jadi tidak usah malu-malu,” tutur lelaki yang saat ini sedang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Suara seraknya membuat Aksa melihatku.

Aksa menatapku dengan sorot mata yang sangat tajam. Aku belum pernah melihat Aksa sedingin ini. Tiba-tiba aku menyadari, sebulan terakhir sebelum pernihakan hari ini terjadi, Aksa selalu menjauh. Seperti saat itu, Utami mengajak Aksa untuk makan. Namun, Aksa menolak dengan alasan ingin makan bersama teman-temannya.

Saat ini, baru aku sadari. Sejak itu Aksa tidak akan menghampiri Utami jika ada aku. Padahal biasanya, keberadaanku bukan menjadi pengganggu diantara Utami dan Aksa. Masih banyak lagi perubahan Aksa yang kini baru aku sadari.

Mengapa aku begitu bodoh? Aku tidak pernah curiga dengan perubahan Aksa.

“Iya, Ayah!” Aksa membuka suara. Dia langsung tersenyum padaku dan mengulurkan tangan.

Aku menatap tangan Aksa beberapa detik, lalu mengangkat wajah untuk menatap mata lelaki ini. Dia sangat pintar untuk berpura-pura tidak mengenalku. Kami sudah berada di ruangan ini lebih dari sepuluh menit, tetapi aku belum mendengar sapaan keluar dari bibir Aksa. Menarik napas berat, aku akhirnya menyentuh tangan Aksa. Tidak bisa berbohong, tanganku kini gemetar.

“Aku Aksa. Nama kamu siapa?” ucap Aksa, membuatku menatapnya lekat. “Siapa namamu? Ini pertemuan pertama kita, jadi kita harus kenalan dulu,” lanjut Aksa lagi sambil mengeratkan genggaman pada tanganku.

Aku yang merasa kesakitan, langsung berucap, “Delisia. Namaku, Delisia.” Wajahku tersenyum canggung. Ini pertama kali aku bersentuhan dengan lelaki.

Selama ini aku selalu menjaga diri untuk tidak bersentuhan dengan lelaki yang bukan mahrom. Sekarang, Aksa sudah menjadi lelaki yang pernah menyentuh tanganku selain ayah.

Aku bisa merasakan jika tangan Aksa begitu lembut. Aku bisa langsung menebak jika tangan ini tidak pernah dipakai untuk melakukan pekerjaan berat. Rasanya sungguh malu, karena telapak tangaku sangat kasar.

“Oh iya,” ucap Aksa sambil melepas genggaman. Dia langsung berdiri mendekat ke ranjang rumah sakit. Di sana ada satu kursi, Aksa pun duduk. “Ayah cepat sehat ya! Sekarang sudah punya menantu. Jadi, tidak boleh sakit sakit lagi.”

“Ayah tidak akan sakit, kalau kamu selalu menuruti semua keinginan ayah. Jaga dia baik-baik.”

Aku masih duduk di tempat yang sama, belum berpindah. “Maaf. Tolong tanda tangan di sini,” tutur orang yang tadi menjadi penghulu.

“Iya, Pak.” Aku langsung mengambil pulpen yang sudah Aksa letakan tepat di depanku. Mengikuti arahan dari penghulu, aku pun menandatangi berkas. Terasa berat, namun harus aku lakukan.

Ijab dan kabul telah usai. Jika ingin mencegah, harusnya dari tadi. Sekarang sudah terlambat, aku harus  menerima tanpa ada kata tapi. Entahlah, apa yang akan terjadi setelah ini. Aku harus bisa menyiapkan mental.

Setelah kepala yang tunduk terangkat, aku mendengar ayah Aksa memanggil. “Sini, Nak!” Dia mengulang lagi, karena aku hanya menatap tanpa ada pergerakan untuk berdiri.

“Ke sana, Delisia!” perintah ayah. Aku langsung berdiri dan melangkah kecil sambil melihat wajah lemah yang sedang tersenyum lembut padaku.

“Sekarang kamu sudah resmi jadi anakku. Kalau nanti ada perlakuan kasar dari Aksa, beritahu ayah. Biar ayah yang marahi anak ini. Dan satu lagi, mulai sekarang kamu harus panggil aku, ayah,” ujar lelaki tua yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dia adalah ayah dari Aksa.

Aku langsung tersenyum. Bibir tak mampu berkata, kepala pun hanya mengangguk. Ayah dan ibuku menghampiri kami. Mereka membungkuk hormat pada Aksa dan ayahnya.

“Mohon maaf, kalau begitu kami pamit dulu,” tutur penghulu dan dua orang di samping tersenyum pada kami.

“Iya, Pak. Soal biaya, orang suruhan kami akan menemui bapak di kantor,” ucap Aksa, ramah.

“Baik, Pak! Kami permisi,” tutur salah satu rekan yang berada di sebelah kanan penghulu.

“Antar Delisia pulang! Masih ada yang ingin ayah bicarakan dengan orang tua Delisia,” perintah ayah Aksa.

Aku akhrinya mengingat nama ayahnya Aksa, setelah berusaha mengingat. Lelaki yang memiliki usia tidak muda lagi ini bernama Candra. Itu nama yang pernah ayah sebut, saat pertama kali memberi tahu tentang perjodohan ini.

“Kalau begitu, kami pamit, Ayah.” Aksa langsung menyalim tangan Pak Candra yang sedang di infus. Aku mengikuti gerakan Aksa. Dia juga mencium tangan ayah dan ibuku, terlihat sangat sopan.

Aku tidak hanya mencium tangan ibu, melainkan memeluk. Ingin menangis, tetapi tidak mungkin. Yang orangtuaku dan Pak Candra tahu, saat ini aku sangat bahagia.

Kami melangkah keluar beriringan. Hingga setelah pintu ruang inap tertutup, aku kaget dengan sikap Aksa. Dia yang tadi jalan bersama denganku, kini mempercepat langkah. Aku tidak mampu berkata, melihat Aksa yang terus menjauh dengan langkah cepat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status