“Iya, Tam. Aku dengar. Besok aku nggak bisa. Nanti saja ya,” ujarku dengan lembut. Tangan sudah berhenti menyuap nasi ke dalam mulut. Rasanya, masakan ini tidak enak lagi dilidah.
“Yaaa, gimana dong. Aku pergi ke Mall dengan siapa kalau gitu. Ayolah, Del! Mau ya temani aku. Kalau kamu punya kerjaan, nanti aku bantu kerjain. Mau yaaa!” Suara Utami nampak sedih.
Aku kembali terdiam beberapa detik untuk berpikir. Tidak ingin membuat Utami terus merayu, bibir pun kembali berbicara, “baiklah, besok kita ketemuan di kampus.”
“Yeee, akhirnya. Ehh tapi, besok kan tanggal merah, Del. Kamu mau ngapain di kampus?” tanya Utami.
Tidak mungkin aku mengatakan sejujurnya pada Utami, kalau aku tidak lagi tinggal di kosan. Pikiran berusaha mencari ide. Alasan apa yang akan aku buat. Selama ini aku belum pernah berbohong, karena tidak terbiasa.
“Sengaja, aku ingin tunggu kamu di kampus saja. Kasian kamu, kalau harus menjemput di Kosan. Jarak dari rumah kamu ke kosanku jauh, Utami. Aku tidak tega,” tuturku. Hati berharap, utami menerima alasan yang aku buat tanpa bertanya lagi.
“Ahhh, aku terharu, pengen nangis. Kamu memang sahabat terbaikku, Delisia. Okey, besok kabari kalau kamu sudah tiba di kampus. Supaya aku keluar dari rumah.”
Setelah percakapan itu, Utami mengakhiri panggilan. Aku diam, sambil menatap layar handphone. Apa yang akan terjadi besok? Semoga saja, aku tidak merasa canggung saat bertemu dengannya.
“Non, Delisia! Makannya tidak dilanjutkan?” tanya bi Anti. Asisten Rumah yang saat ini duduk di sampingku.
Aku lalu melihat makanan di piring. Masih banyak, aku baru saja memakan beberapa suap. Tidak ingin membuat para asisten tersinggung, karena masakan mereka tidak aku habiskan, aku akhirnya kembali memasukan makanan ke dalam mulut.
Berusaha tersenyum, ketika para asisten membuat lelucuan. Mereka tidak boleh tahu, jika saat ini aku sedang bersedih. Perasaan ini, cukup aku pendam sendiri. Percuma juga berbagi ke orang lain, belum tentu mereka akan mengerti.
Setelah makan, aku meminta izin ke semua asisten untuk kembali ke kamar. Membawa sendiri piring ke dapur dan mencucinya. Aku tidak terbiasa menaruh piring di atas meja dan membiarkan orang lain yang mencuci. Bukan terlahir dari keluarga kaya, membuataku bisa melakukan semuanya sendiri. Para asisten melarang, namun aku tidak hiraukan.
Seperti biasa, sebelum tidur aku selalu meluangkan waktu untuk membaca buku selama satu jam. Dering handphone mengalihkan pikiranku setelah larut dalam bacaan. Aku pun mengangkat, terdengar suara lembut menyapa, bibir pun membalas sapaan itu.
“Bagaimana kabarmu, Nak?”
“Ya Allah, Ibu. Belum cukup sehari aku tinggal di sini, ibu sudah bertanya tentang kabarku … hehehe, keadaanku baik, Bu.”
“Hehe … ibu kan hanya mau tahu kabar kamu. Maafkan ibu karena mengganggu malam pertama kalian,” ujar ibu sambil cengengesan.
“Apa sih, Ibu. Kenapa ngomong begitu? Ah, aku jadi malu.” Aku meladeni perkataan ibu seolah sedang baik-baik saja.
“Kenapa harus malu, Del? … Cerita dong ke ibu. Nak Aksa itu orangnya gimana?” tanya ibu lagi, dengan suara yang sangat bahagia.
“Dia sangat baik, Bu. Ayah dan ibu tidak salah pilih. Aksa suami yang sangat pengertian. Tadi pas tiba di rumah, dia memegang tanganku untuk masuk, kami jalan beriringan. Aku langsung grogi, nggak tahu lagi mau ngomong apa … Ibu kan tahu, aku belum pernah kenal dekat dengan laki-laki, apalagi pacaran. Makanya, saat Aksa melakukan itu, aku sangat terharu dan terpesona,” ujarku dengan mata menahan tangis.
Aku harus berucap bohong. Mungkin setelah ini, aku harus pandai berbohong. Menyusun rangkaian kisah yang aku buat sendiri, seperti dalam novel-novel yang pernah aku baca.
“Syukurlah, Nak. Ibu senang dengarnya. Kalau kamu bahagia seperti ini, ibu juga bahagia. Kemarin ibu bilang ke ayahmu, bagaimana kalau kamu tidak suka dengan anak Pak Candra? Tetapi, ayahmu selalu meyakinkan ibu, kalau Pak Candra itu baik, pasti anaknya juga baik … Ibu masih tidak menyangka, sekarang kamu sudah menikah. Kalau ada apa-apa, kamu harus tetap hubungi ibu dan ayah. Dan kalau ada waktu libur, kamu harus pulang ke kampung. Ayah dan ibu pasti rindu.” “Iya, Bu. Itu pasti.” “Kalau begitu, sudah dulu ya. Ibu sudah mengantuk. Mau tidur. Kamu jaga kesehatan. Jangan lupa, surga istri itu ada di suami. Jangan buat suamimu murka, kalau kamu punya salah harus cepat minta maaf. Bahkan, kalau kamu tidak merasa salah, tetapi suamimu marah, kamu juga harus minta maaf. Jadi istri yang patuh dan layani suamimu dengan baik. Ibu tidur dulu, nanti lagi kita telponan. Okey, Delisa, anak kesayangan ibu.” “Iya, Bu.” Satu kata cukup untuk ibu tahu jika aku menyetujui ucapannya. Nasehat yang san
Detik jam terus berputar, bulan telah bersembunyi dibalik bumi. Matahari tanpa malu memperlihatkan cahaya. Kini aku dan Utami sedang berada di Mall. Sebenarnya aku sudah sedikit lelah, dari tadi keliling-keliling mencari baju, tetapi Utami belum juga menjatuhkan pilihan. Aku sudah tahu sejak awal, resiko menemani Utami belanja adalah begini, sangat jarang cepat pulang. Dia biasa mencari baju berjam-jam. Memasuki toko yang sama sampai dua tiga kali, lalu keluar lagi tanpa menjatuhkan pilihan ke satu pun baju. Lelahnya kaki, tidak membuat bibir mengeluh. Takut Utami akan menganggap, aku tidak ikhlas menemani. Padahal, aku sungguh ikhlas. Tetapi harusnya dia mengerti jika orang yang menemaninya juga butuh mengistrahatkan kaki. “Del, ini bagus nggak?” tanya Utami, sambil memegang baju. “Bagus!” ujarku sambil tersenyum. “Kayaknya nggak, deh. Aku sudah punya baju yang mirip dengan baju ini.” Utami berkata lalu menaruh baju di tangannya ke tempat asalnya. “Kalau gitu kita cari di tempat
Aku sangat kaget. Jadi, semalam Aksa tidak pulang ke rumah. Aku pikir dia sudah pulang saat larut malam, sengaja pulang larut karena tidak ingin bertemu denganku. Ternyata dugaanku salah. Mungkin dia nginap di apartemen karena dia tidak ingin bertemu denganku. “Tapi kamu jangan berpikiran macam-macam ya. Kami itu tidur di kamar berbeda. Kebetulan di Apartemen Aksa ada dua kamar. Jadi aku bisa tidur di kamar yang satunya. Lagi pula Aksa bukan lelaki yang begitu kok,” ujar Utami setelah menelan makanan dalam mulut, “Del, tumben kamu tidak menyuruhku untuk berhenti pacaran. Biasanya setiap hari looo, kamu berisik ngelarang aku pacaran dan berdua-duaan dengan Aksa.” Ternyata Utami menyadari satu kebiasaan yang sudah aku hentikan. Bibir membentuk garis senyum. “Kamu sudah besar, Utami. Sudah bisa membedakan mana yang baik dan tidak baik. Kalau menurutmu berpacaran itu baik, ya silahkan. Aku tidak bisa ngelarang kamu terus,” tuturku dengan lembut. “Akhirnyaaa, sahabatku sadar. Asal tidak
*** Sudah tiga hari aku berada di rumah megah ini. Tetapi, belum pernah bertemu dengan Aksa. Apa dia sangat benci denganku, sampai melihat wajahku pun dia tak ingin? Mungkinkah dia mengira jika pernikahan ini terjadi karena keinginan orangtuaku? Ah, tidak boleh berpikir begitu. Semua ini terjadi, karena Aksa belum terbiasa dengan kehadiranku. Aku masih berada di balkon kamar. Menatap halaman luas di dekat kolam renang. Aku mengagumi desain rumah ini. Terlihat elegan dan indah di pandang.Tepat di taman yang terdapat banyak bunga, ada seorang asisten rumah yang sedang menyiram tanaman. Mungkin dia bertugas untuk menyiram tanaman setiap pagi karena sudah tiga hari aku melihatnya melakukan aktivitas itu. Tok! Tok! “Non Delisia!” Aku langsung berdiri ketika mendengar suara memanggil. Saat membuka pintu, terlihat seorang asisten sedang berdiri sambil tersenyum. “Ini apa, Bi? Kenapa repot-repot di bawa ke sini. Aku kan bisa turun cari makan sendiri,” tuturku. Lalu mengambil makanan yang
Terdengar napas berat ibu di telingaku. Alisku pun mengerut. “Alhamdulillah, sayang. Beberapa hari ini, ibu hanya pikirkan kamu. Takut pilihan ayah dan ibu itu salah. Ibu senang dengar kamu sangat bahagia sekarang. Ibu terharu, Nak. Semoga pernikahan kamu langgeng sampai maut memisahkan. Jangan lupa, cepat kasih ibu cucu-cucu yang menggemaskan.” “Aamiin. Oh iya, Bu. Teleponnya aku matikan dulu ya. Soalnya Aku mau keluar. Nanti kita lanjutkan lagi ya,” ujarku dengan nada bicara yang tenang. Sungguh, kini air mata sudah berkumpul dikelopak. Sebentar lagi akan jatuh. Aku tidak ingin ibu mendengar suara yang serak. Setelah mendapatkan persetujuan dari ibu, aku langsung mematikan telepon. Kedua tangan menutup wajah yang menangis tersedu. Dada sangat sesak menahan sakit. Sampai kapan aku terus berbohong? Mustahil aku bisa jujur ke ibu, jika Aksa tidak memperlakukan aku istimewa dan dia sangat membenciku karena perjodohan ini. Sesekali aku menghapus air mata yang membasahi pipi. Menarik
“Ayah senang kamu bisa meniru sifat ayah ke ibumu. Jadi suami itu harus baik pada istri. Karena, jika perasaan istri terluka sedikit saja, hidupmu tidak akan tenang. Rezeki itu tergantung ridho istrimu. Kalau istrimu selalu bahagia dan merasa senang, maka kamu akan mudah menjalani hidup. Kamu harus dengar baik-baik semua nasehat ayah. Tapi, jangan hanya di dengar, kamu juga harus lakukan,” ucap Pak Candra dengan senyum diwajahnya. Aku melihat wajah Aksa. Dia nampak biasa saja. Aku sangat merasa canggung berada di antara mereka. Aksa yang aku kenal, namun seperti orang asing saat ini. Sedangkan Pak Candra, aku belum terlalu mengenalnya. Aku tidak bisa menjadi perempuan yang sok akrab. Sangat sulit buatku bisa dekat dengan orang yang baru. Apalagi harus berbicara basa-basi. Dalam pikiran, aku membayangkan jika lawan bicaraku tidak suka dengan topik pembahasan yang sedang aku ucapkan. Rasanya itu sunggu memalukan dan tidak enak di hati. Ya, aku adalah tipe perempuan yang tidak enakan.
Kakiku masih terus melangkah. Pikiran menyuruh untuk pulang sendiri. Tetapi, hati ingin sekali berbicara berdua dengan Aksa. Saat tiba di lobby rumah sakit, aku kaget karena melihat Aksa yang sedang berdiri. Dia seperti sedang menunggu seseorang. Apakah Aksa menungguku? Oh itu tidak mungkin. Tetapi, siapa yang dia tunggu? Aku melangkah dengan pelan. Kini jarak antara aku dan Aksa sudah tidak terlalu jauh. Tidak lama kemudian mataku terbelalak dan langkahku terhenti melihat perempuan yang menghampiri Aksa. Siapa lagi kalau bukan Utami. Sahabatku itu sekarang sedang bergelayut manja di lengan Aksa. Aku ternyata salah. Alasan Aksa ingin cepat pergi dari ruang inap tadi, bukan karena tidak ingin terlalu lama dekat denganku. Ada alasan yang lebih penting baginya. Harusnya aku tahu dan bisa menebak, jika Aksa ingin bertemu Utami. “Delisia, kok kamu ada di sini?” ujar Utami saat berbalik dan mendapati aku ada dibelakang dia dan Aksa. Aku melirik Aksa. Lelaki itu membuang muka. Dia sepert
Bus terus melaju. Aku memandang keluar jendela. Ingatan tidak bisa secepat itu lupa dengan pesan yang dikirimkan Aksa. Kenapa lelaki itu harus marah. Padahal kan Utami tidak sadar dengan lirikanku. Bisa saja Utami berpikir kalau aku sengaja melihat Aksa karena memang ada Aksa di sampingnya. Bukan lirikan yang aneh-aneh. Ada getaran dalam tas kecil yang aku bawa. Tanganku langsung mengambil. Di layar tertulis nama ibu. Tanpa menunggu lama, aku pun mengangkat “Assalamualaikum, Bu,” ujarku sambil menatap keluar jendela. “Waalaikumsalam, sayang. Kamu sudah makan?” “Belum, Bu. Ini aku lagi di bus. Baru saja pulang dari rumah sakit.” “Kalau begitu nanti jika kamu sudah tiba di rumah baru ibu telepon lagi. Ada yang ingin ibu bicarakan dengan kamu.” “Iya, Bu. Kalau sudah tiba, aku akan menghubungi ibu.” "Assalamualaikum." ucap ibu untuk mengakhiri panggilan. Setelah aku menjawab salam, ibu langsung mematikan panggilan. Kalau begini ceritanya, aku harus segera pulang. Aku tidak ingin,