Share

Bab 5. Kalimat Bohong

“Iya, Tam. Aku dengar. Besok aku nggak bisa. Nanti saja ya,” ujarku dengan lembut. Tangan sudah berhenti menyuap nasi ke dalam mulut.  Rasanya, masakan ini tidak enak lagi dilidah.

“Yaaa, gimana dong. Aku pergi ke Mall dengan siapa kalau gitu. Ayolah, Del! Mau ya temani aku. Kalau kamu punya kerjaan, nanti aku bantu kerjain. Mau yaaa!” Suara Utami nampak sedih. 

Aku kembali terdiam beberapa detik untuk berpikir. Tidak ingin membuat Utami terus merayu, bibir pun kembali berbicara, “baiklah, besok kita ketemuan di kampus.”

“Yeee, akhirnya. Ehh tapi, besok kan tanggal merah, Del. Kamu mau ngapain di kampus?” tanya Utami.

Tidak mungkin aku mengatakan sejujurnya pada Utami, kalau aku tidak lagi tinggal di kosan. Pikiran berusaha mencari ide. Alasan apa yang akan aku buat. Selama ini aku belum pernah berbohong, karena tidak terbiasa.

“Sengaja, aku ingin tunggu kamu di kampus saja. Kasian kamu, kalau harus menjemput di Kosan. Jarak dari rumah kamu ke kosanku jauh, Utami. Aku tidak tega,” tuturku. Hati berharap, utami  menerima alasan yang aku buat tanpa bertanya lagi.

“Ahhh, aku terharu, pengen nangis. Kamu memang sahabat terbaikku, Delisia. Okey, besok kabari kalau kamu sudah tiba di kampus. Supaya aku keluar dari rumah.”

Setelah percakapan itu, Utami mengakhiri panggilan. Aku diam, sambil menatap layar handphone. Apa yang akan terjadi besok? Semoga saja, aku tidak merasa canggung saat bertemu dengannya.

“Non, Delisia! Makannya tidak dilanjutkan?” tanya bi Anti. Asisten Rumah yang saat ini duduk di sampingku.

Aku lalu melihat makanan di piring. Masih banyak, aku baru saja memakan beberapa suap. Tidak ingin membuat para asisten tersinggung, karena masakan mereka tidak aku habiskan, aku akhirnya kembali memasukan makanan ke dalam mulut.  

Berusaha tersenyum, ketika para asisten membuat lelucuan. Mereka tidak boleh tahu, jika saat ini aku sedang bersedih. Perasaan ini, cukup aku pendam sendiri. Percuma juga berbagi ke orang lain, belum tentu mereka akan mengerti.

Setelah makan, aku meminta izin ke semua asisten untuk kembali ke kamar. Membawa sendiri piring ke dapur dan mencucinya. Aku tidak terbiasa menaruh piring di atas meja dan membiarkan orang lain yang mencuci. Bukan terlahir dari keluarga kaya, membuataku bisa melakukan semuanya sendiri. Para asisten melarang, namun aku tidak hiraukan.

Seperti biasa, sebelum tidur aku selalu meluangkan waktu untuk membaca buku selama satu jam. Dering handphone mengalihkan pikiranku setelah larut dalam bacaan. Aku pun mengangkat, terdengar suara lembut menyapa, bibir pun membalas sapaan itu.

“Bagaimana kabarmu, Nak?”

“Ya Allah, Ibu. Belum cukup sehari aku tinggal di sini, ibu sudah bertanya tentang kabarku … hehehe, keadaanku baik, Bu.”

“Hehe … ibu kan hanya mau tahu kabar kamu. Maafkan ibu karena mengganggu malam pertama kalian,” ujar ibu sambil cengengesan.

“Apa sih, Ibu. Kenapa ngomong begitu? Ah, aku jadi malu.” Aku meladeni perkataan ibu seolah sedang baik-baik saja.

“Kenapa harus malu, Del? … Cerita dong ke ibu. Nak Aksa itu orangnya gimana?” tanya ibu lagi, dengan suara yang sangat bahagia.

“Dia sangat baik, Bu. Ayah dan ibu tidak salah pilih. Aksa suami yang sangat pengertian. Tadi pas tiba di rumah, dia memegang tanganku untuk masuk, kami jalan beriringan. Aku langsung grogi, nggak tahu lagi mau ngomong apa … Ibu kan tahu, aku belum pernah kenal dekat dengan laki-laki, apalagi pacaran. Makanya, saat Aksa melakukan itu, aku sangat terharu dan terpesona,” ujarku dengan mata menahan tangis.

Aku harus berucap bohong. Mungkin setelah ini, aku harus pandai berbohong. Menyusun rangkaian kisah yang aku buat sendiri, seperti dalam novel-novel yang pernah aku baca.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status