LOGINMewah. Satu kata yang terlintas di kepala Sira begitu melangkah masuk ke aula pernikahan Gavin dan Raina.
Aula itu dihiasi rangkaian bunga mawar putih dan lily yang ditata indah di setiap sudut ruangan. Lampu kristal bergantungan di langit-langit tinggi, memantulkan cahaya keemasan yang hangat. Karpet merah terbentang dari pintu masuk hingga ke pelaminan, seolah mengantar setiap tamu menuju panggung kebahagiaan pengantin. Aroma harum bunga bercampur dengan wangi masakan katering yang terus menguar dari area prasmanan, membuat suasana semakin ramai sekaligus hangat.
Dari kejauhan Raina terlihat berdiri dengan anggun, senyumnya cerah menyambut setiap tamu. Sesekali ia bergelayut manja di lengan Gavin yang berusaha tersenyum mengimbangi keceriaannya.
"Ya Allah, beri aku kekuatan untuk melewati hari ini." Bisik Sira dalam hati. Sakit rasanya mengakui bahwa meraka tampak serasi bersanding di pelaminan.
Setelah beberapa saat Gavin akhirnya menangkap kehadiran Sira, dan tanpa sengaja mata mereka bertemu.
Seketika nafas Sira tercekat. Entah kenapa, saat itu ia ingin menangis sejadi-jadinya. Sira pikir ia akan kuat. Tapi tatapan Gavin, dan perlakuannya tadi malam, justru membuatnya merasa seperti masih ada sesuatu di antara mereka. Seolah ia tak salah kalau pernah berharap.
Namun Gavin cepat-cepat mengalihkan pandangan. Tangannya kembali menyalami tamu yang datang silih berganti, wajahnya kembali dipoles dengan senyum formal yang tampak dipaksakan.
"Awas, Ra!" Arwan, teman sekaligus rekan kerja yang sejak tadi ada disampingnya, tiba-tiba menarik lengannya karena Sira hampir saja tertabrak pelayan yang sibuk menyajikan makanan.
"Kamu gakpapa, Ra? Kok pucet banget kayaknya?" Ucap Arwan lagi.
"Iya, gakpapa." Sahut Sira sambil mengusap wajahnya.
Aula semakin ramai. Suara musik live band yang memainkan lagu cinta klasik bercampur dengan riuh obrolan tamu dan dentingan sendok garpu. Sira dan beberapa rekan guru yang datang bersamaan terjebak dalam antrian panjang untuk menuju pelaminan. Orang-orang tampak sabar menunggu, sebagian memilih mengobrol sambil menahan lapar, sementara pelayan lalu-lalang membawa minuman segar di nampan perak.
Sira berusaha menahan diri, tapi semakin lama berdiri di sana, semakin sesak dadanya. Akhirnya ia memilih mundur, menyingkir dari antrian. Tak sanggup lagi menyaksikan kemesraan mereka di atas panggung. Perasaan cemburu dan iri menguasai hatinya.
Raina terlihat begitu cantik. Gaun putih tanpa lengan yang melekat di tubuhnya tampak elegan, rambutnya ditata dalam cepol sederhana dengan dihiasi headpiece keemasan berbentuk sulur bunga, menambah kesan mewah. Semua mata memandangnya dengan kekaguman, semua senyum tertuju padanya.
Sedangkan Sira…, ia hanya bagai pungguk merindukan bulan. Menyedihkan.
Pernikahannya dua minggu lalu sama sekali tak bisa dibandingkan dengan pernikahan Raina hari ini.
“Kamu kenapa, Ra?” suara Arwan memecah keriuhan di kepala Sira.
Sira berpura-pura tersenyum, meski terasa getir. Air matanya sudah hampir pecah. “Aku mau ke toilet dulu, Kak.” Ujar Sira cepat, sambil menunduk agar Arwan tidak melihat wajahnya.
Sira melangkah cepat keluar dari aula pernikahan.
Begitu masuk ke bilik toilet, Sira menutup pintu rapat-rapat. Tangannya memukul dada, mencoba mengusir sesak yang menghimpit. Tapi sia-sia. Bayangan tawa Raina, senyumnya yang bahagia di lengan Gavin, terus mengusiknya. Hingga akhirnya Sira tak bisa lagi menahan air matanya.
***
“Sudah lebih baik?” suara berat Arwan tiba-tiba terdengar begitu Sira keluar dari toilet. Membuat Sira sedikit terkejut karena tak menyangka akan kehadirannya.
Sira mengerutkan kening, berpura-pura tak mengerti maksudnya.
“Aku tahu semuanya, Ra. Kamu gak perlu pura-pura lagi.” ucapnya pelan, menatap Sira penuh empati.
Jantung Sira langsung berdetak cepat. Bagaimana kalau rahasianya terbongkar?
“Tau dari mana?” tanya Sira ragu, mencoba tetap tenang.
“Dari kamu.”
Sira makin bingung. “Aku? Kapan aku cerita sama Kak Arwan?”
“Cara kamu mandang Pak Gavin itu udah jelas banget, Ra. Dari situ aja aku tahu kalau kamu suka sama dia.”
Sira diam, tak bisa menyangkal. Disaat yang sama ia merasa lega, karena Arwan hanya menebak, dan belum tahu apa yang ia khawatirkan.
“Ra, aku mau ngomong serius.” kata Arwan lagi dengan berdiri tegak menatap temannya itu lekat-lekat.
Sira semakin waspada. “Ngomong aja, Kak. Jangan bikin tegang gini.”
Ia menarik napas dalam. “Nikah sama aku, Ra. Aku janji bakal bikin kamu lupa sama dia.”
Sira sontak terbelalak. Tak percaya dengan yang didengarnya.
“Apaan sih, Kak? Jangan becanda, ini gak lucu.” Sira terkekeh kecil, berusaha menganggap Arwan hanya bercanda.
“Aku serius, Sira.”
“Serius? Serius ngelamar aku di depan toilet? Aduh, gak romantis banget, Kak.” Sira tetap berusaha tak menganggapnya serius.
“Ra, kamu pikir gampang aku ngomong kayak gini? Aku serius!” suaranya terdengar agak kesal.
“Kak Arwan…”
“Stop! Aku gak minta jawaban kamu sekarang. Aku cuma mau kamu tau, aku suka sama kamu. Dan aku serius!” Ucap Arwan dengan tatapan mata yang tidak seperti biasanya.
“Tolong, Kak… jangan kayak gini. Aku udah anggap Kak Arwan...”
“Stop, Ra. Aku gak mau dengar. Untuk sekarang kamu cukup diam, karena jawabanmu sekarang tidak cukup adil buat aku. Kamu tunggu aja, aku yang bakal bikin kamu lupa sama dia dan bikin kamu jatuh cinta sama aku.” Ucap Arwan dengan senyuman yang paling manis yang bisa ia tunjukkan.
“Kak…” Suara Sira nyaris hilang, ia tidak tahu harus bagaimana. Pernyataan cinta Arwan menjadi kejutan sekaligus beban untuknya.
“Udah, Ra. Kuatkan hatimu. Kita balik ke dalam, ucapin selamat ke mereka, dan dalam hati katakan kalau kamu siap melupakannya. Karena aku ada di sini buat kamu.” Arwan kembali tersenyum, lalu menarik lengan Sira, memaksanya kembali ke aula pernikahan.
Sabtu. Hari perjanjian itu tiba.Tepat pukul dua siang, ponsel Sira berdering. Nama Orang Tua Bintang terpampang di layarnya."Halo?" Sira menjawab dengan suara sedikit bergetar, ada keraguan dan ketakutan dalam dirinya untuk menghadapi pesta malam ini."Aku sudah di depan," suara bariton Prabu terdengar tenang. "Sekarang? Tapi aku belum siap! Kenapa tidak memberi tahu dari tadi?" nada suara Sira berubah menjadi bingung dan terkejut dengan kehadiran Prabu yang tiba-tiba sudah ada di depan rumahnya."Tenang, Sira!" Prabu terkekeh mendengar kehebohan suara Sira."Bagaimana aku bisa tenang? Aku bahkan belum tahu harus mengenakan apa dan berdandan seperti apa? Bagaimana kalau aku mempermalukanmu? Bagaimana—""Hei, tenang!" Prabu buru-buru memotong kalimat Sira, sebelum perempuan itu semakin bingung dengan ketakutan di pikirannya sendiri. "Tenang, dan dengarkan aku bicara!"Sira menghela napas, mencoba menenangkan dirinya dan menunggu Prabu melanjutkan bicaranya."Aku di sini untuk memban
Tantangan Sira menggema di seluruh ruang tamu. Kalimat-kalimat yang menyinggung pernikahan tanpa hak dan kewajiban mereka menusuk jantung Gavin, namun tidak seperti yang Sira harapkan, Gavin tidak gentar.Gavin menatap Sira lurus, wajahnya keras dan menahan emosi. "Jangan bercanda, Sira," ujar Gavin, suaranya kembali sedingin es. "Aku tidak bisa menceraikanmu semudah itu.""Kenapa? Bukankah itu yang kamu inginkan sejak awal?" Sira balas menuntut, air matanya masih mengalir deras. "Kamu tidak mencintaiku, dan kamu sendiri yang bilang kita tidak punya hak dan kewajiban! Jadi apa lagi yang menahanmu, Gavin?"Gavin melangkah mundur sedikit, seolah ingin menghindari pertanyaan dan tuntutan Sira yang penuh amarah.Tepat di saat yang sama, ponsel Gavin yang tergeletak di meja berdering nyaring. Nama My Wife dengan emoticon love merah muncul di layar. Suara dering itu bagai alarm yang mengingatkan Gavin akan kenyataan lain. Ia mendadak terlihat lelah, seluruh emosi yang memuncak tadi seketik
Pukul menunjukkan jam tujuh malam lebih ketika Sira akhirnya tiba di rumah. Matahari telah lama tenggelam, meninggalkan langit dalam nuansa hitam dan abu-abu. Sira berjalan gontai, kelelahan fisik dan emosional setelah seharian menghadapi berbagai masalah dan mengambil keputusan terbesar dalam hidupnya.Lampu ruang tamu menyala. Sira menoleh dan jantungnya langsung mencelos. Gavin telah duduk tegak dengan kemeja kantor yang masih rapi, tapi raut wajahnya sama sekali tidak santai. Ia menatap Sira dengan tatapan mata yang keras, penuh ketegangan, seperti menahan emosi yang siap meledak.Sira menelan ludah. Sebelumnya ia berharap laki-laki itu akan menghawatirkannya dan berempati padanya. Tapi sekarang sepertinya dia hanya akan menambah beban mental dan emosinya."Dari mana?" tanya Gavin dingin, tanpa mengucapkan salam, tanpa sedikit pun keramahan. Suaranya rendah, tetapi menusuk.Sira berjalan mendekat, meletakkan tas dan ponselnya yang sebelumnya ia genggam di atas meja. "Ada urusan,"
Sira kehabisan akal. Otaknya buntu tak menemukan jalan keluar, kecuali ide gila yang akhirnya membawanya untuk bertemu Prabu sore ini.Seharian terjebak di sekolah dengan kisah pelakor yang masih menjadi topik hangat di sekolah benar-benar membuatnya jengah. Apalagi ketika ia dimintai pendapat oleh salah seorang guru yang mengatai pelakor dalam surat ancaman itu."Sira, menurut kamu pelakor itu benar-benar ada apa gak di sekolah kita? Kalau menurut aku nih, ya.... Pasti ada, gak mungkin lah orang itu iseng dengan membuat ancaman kayak gitu. Masalahnya kan ini ancaman buat guru, bukan buat anak-anak yang cuma sakit hati karena cinta monyet." Bisik Bu Tuti memulai perghibahannya siang itu ketika jalan beriringan dengan Sira usai keluar dari kelas yang meraka ajar menuju kantor.Sementara Sira hanya bisa menggigit bibir bawahnya, menahan malu sambil menggeleng pelan, tak ingin menanggapi guru sejarah yang terkenal dengan 'lambe turah' nya karena senang sekali membicarakan orang lain."Ja
Semangkuk mie kuah masih mengepul mengeluarkan panas di atas meja makan. Sira menghela napas sebelum mulai menyendok kuahnya.Sejak pagi tadi, ini adalah makan pertama yang masuk melewati tenggorokannya. Saat ini ia lapar, tapi sama sekali tak memiliki nafsu untuk makan.Gavin masih tak menghubunginya, menambah luka dan duka yang meliputi hatinya. Setelah apa yang ia lakukan selama akhir pekan ini, kini ia kembali menghilang seakan tak pernah terjadi apapun, seperti sebelumnya mengganggap Sira seakan tidak ada.Sira tahu Gavin sibuk mengurusi semua kekacauan karena surat ancaman itu, dan Sira tahu sifatnya yang kadang cuek itu juga tidak bisa dirubah, tapi bagi Sira tetap terasa menyakitkan mengingat bagaimana perhatian Gavin padanya kemarin tapi sama sekali tidak peduli sekarang.Sira sempat berpikir rasa cintanya untuk Gavin telah sepenuhnya hilang, tapi sepertinya ia salah. Sebelumnya ia hanya terbiasa tanpa Gavin, tapi begitu lelaki hadir lagi rasa itu akan dengan mudah kembali.S
Sira menatap sekotak tisu dari mobil Prabu yang disodorkan di hadapnya tanpa memedulikan beberapa orang yang berlalu lalang sambil melihatnya di taman kota siang itu.Prabu menggoyangkan kotak tisunya yang tak kunjung mendapat sambutan.Sira menghela napas, lalu menarik selembar tisu dari kotak dan menghapus sisa-sisa air mata dan menyeka hidungnya yang berair tanpa sungkan pada Prabu yang kini membuang muka setelah meletakkan kotak tisu di bangku taman, tepat di tengah-tengah mereka duduk."Gak mau tanya saya nangis kenapa?" tanya Sira akhirnya membuka suara setelah keheningan panjang di antara mereka.Prabu menggeleng pelan, lalu berbalik menatap Sira."Jari kamu kenapa?" Tanya Prabu yang sepertinya baru menyadari jari telunjuk Sira yang dibungkus plaster luka lucu berwarna biru."Luka, kemarin.""Kenapa?""kena pisau." "Kok bisa?""Ya bisa, kenapa enggak," sahut Sira sekenanya."Dalam ya lukanya?" tanya Prabu lagi seakan terus mencari topik pembicaraan lain yang tak penting."Gak,







