Masuk"Terima kasih, Kak Arwan. Sejujurnya kamu baru saja menambah beban di pikiranku. Karena masalahku bukan sekadar perasaan suka terhadap Gavin. Saat ini masalahku adalah statusku, statusku yang kini sebenarnya adalah istrinya." Ucap Sira dalam hati, sambil melangkah lemah mengikuti Arwan yang berjalan lebih dulu.
Begitu masuk aula, suasana masih ramai. Beberapa tamu tengah sibuk mengambil makanan prasmanan, rendang, sate ayam, soto betawi, dan aneka kue manis yang tersaji rapi. Anak-anak kecil berlarian sambil memegang balon, sementara orang dewasa sibuk bercakap-cakap tentang betapa serasinya pengantin hari itu.
“Eh, dari mana kalian?” Tanya Melati, teman sekaligus rekan kerja di sekolah. Ia menatap penuh curiga begitu melihat Sira dan Arwan masuk bersama setelah menghilang beberapa saat tanpa berpamitan padanya.
“Mau tahu urusan orang aja kamu, Mel.” Sahut Arwan santai.
“Udah, ayo Ra. Kita salaman dulu sama pengantin.” lanjut Arwan lagi sambil menarik lengan Sira.
"Aku dari toilet tadi, Mel. Kamu makan duluan aja, nanti aku nyusul." jawab Sira cepat tak ingin Melati curiga, sebelum di tarik Arwan menjauh menuju pelaminan.
Kebetulan antrian menuju pelaminan sudah mulai lengang. Sira menarik napas panjang. Langkahnya berat, sementara jantungnya berdentum kencang. Gavin menatap Sira tajam, pandangannya terarah tepat pada sebuah tangan kekar lain yang kini menggandeng lengan istri sirinya.
"Kamu baik-baik saja, Ra?" Arwan berhenti melangkah dan berbisik di telingan Sira.
Sekali lagi Sira menarik napas panang dan menghembuskannya perlahan, mencoba mengumpulkan oksigen sebanyak-banyaknya untuk menenangkan jantungnya. Ia merapikan kerudungnya yang sebenarnya tidak bermasalah, lalu menunjukkan senyum yang meyakinkan dan mengangguk.
“Hai... Ini pasti teman-temannya Mas Gavin, kan?” Sapa Raina ramah, menjabat tangan Sira dengan senyum ceria.
“Iya.” jawab Sira singkat, memaksakan senyum. Ia hanya berharap bekas tangisnya tadi tak terlihat.
"Temen sekolah, kuliah atau temen kerja? Oh iya, namanya siapa ya, Mbak?" Raina terlihat penasaran dan antusias tanpa alasan yang jelas, karena beberapa teman Gavin yang tadi sudah hadir tidak membuatnya seantusias sekarang.
"Raa!" Gavin memanggil. Dan si saat yang sama Sira dan Raina menoleh ke arahnya diwaktu yang bersamaan.
"Raina, tenang. Jangan buat teman-temanku jadi gak nyaman." Ucap Gavin lagi sambil mengalihkan pandangannya dari wajah Sira ke wajah Raina.
Disaat yang sama, Sira baru menyadari bahwa pemilik panggilan "Raa" untuk bukan hanya dirinya. Karena ternyata juga ada kata "Raa" pada nama Raina.
Kecewa? Tentu saja Sira kecewa. Tapi ia bisa apa, karena ia bahkan tidak punya hak apapun, bahkan untuk sekedar cemburu.
"Maaf, Mas. Soalnya dari tadi aku liat kamu liatin dia terus dari dia datang. Jadi aku pikir dia pasti cukup dekat sama kamu." Jawab Raina santai, seakan-akan ia tidak cemburu sama sekali suaminya memperhatikan wanita lain.
"Kita teman kerjanya, Pak Gavin. Tadi harusnya bareng sama guru-guru yang lain, tapi tadi Sira perlu ke toilet dulu sebentar." Jawab Arwan, membantu menjelaskan.
“Oh gitu, ini suaminya Mbak Sira, ya?” Tanya Raina lagi, perhatiannya kini teralihkan ke arah Arwan.
“Bukan, kita cuma....”
“Iya, masih calon. Doain aja semoga cepet nyusul.” potong Arwan dengan santai, sebelum Sira berhasil menyelesaikan kalimatnya.
Sira ingin menyangkal, tapi Arwan sudah menepuk lengannya untuk tak perlu menjelaskan lagi. “Ayo, Ra. Jangan lama, banyak yang antri.”
Akhirnya, Sira melangkah ke depan Gavin. Tangannya gemetar saat uluran tangannya disambut teman sekaligus suami rahasianya itu.
“Selamat,” Ucap Sira lirih, hampir tak terdengar dengan memaksakan seulas senyum.
Tatapan Gavin langsung menancap tepat di mata Sira, melunturkan senyum yang sempat menghiasi wajah cantik istri pertamanya. Dalam hitungan detik, dunia di sekitar Sira terasa menghilang. Musik pesta, suara obrolan tamu, bahkan senyum cerah Raina yang berdiri di sampingnya seakan memudar. Hanya ada tatapan itu, tatapan yang entah apa artinya. Ada luka di sana, ada amarah yang tertahan, dan ada sesuatu yang tak berani Sira artikan.
Sira menelan ludah, lidahnya kelu. Padahal sebelumnya ia sudah mempersiapan ucapan selamat dan doa yang lebih panjang untuk pernikahan kedua suaminya. Tubuhnya kaku seolah tangan terkunci dalam genggaman Gavin. Ia bisa merasakan jemari Gavin sedikit menekan, lebih erat dari sekadar salaman basa-basi.
Mereka seakan bicara dari tatapan mata, meski sama-sama tidak saling mengerti pesan apa yang sebenarnya ingin mereka sampaikan.
"Mas?" Panggil Raina menyadarkan Gavin dan Sira.
Senyum cerah yang sejak tadi menghias wajahnya kini sirna, berganti dengan tatapan curiga.
"Terima kasih, Sira. Jangan lupa nikmati makanannya." Ucap Gavin dengan senyum kecil sambil meraih dan menggenggam tangan Raina erat.
Mata Sira berkaca-kaca, ia buru-buru menunduk, menarik tangannya sebelum ia benar-benar runtuh di hadapan Gavin.
"Aku benci diriku yang rapuh, aku benci semua kebodohan yang membuatku terjebak pada rasa ini. Tapi lebih dari itu, aku benci kenyataan bahwa aku masih mencintaimu. Dan itu menyakitkan, Vin. Terlalu menyakitkan." Ucap Sira dalam hati, ia segera berjalan pergi, meninggalkan pelaminan dengan dada yang terasa sesak.
"Selamat atas pernikahanmu suamiku. Aku harap kamu tidak bahagia..."
Sabtu. Hari perjanjian itu tiba.Tepat pukul dua siang, ponsel Sira berdering. Nama Orang Tua Bintang terpampang di layarnya."Halo?" Sira menjawab dengan suara sedikit bergetar, ada keraguan dan ketakutan dalam dirinya untuk menghadapi pesta malam ini."Aku sudah di depan," suara bariton Prabu terdengar tenang. "Sekarang? Tapi aku belum siap! Kenapa tidak memberi tahu dari tadi?" nada suara Sira berubah menjadi bingung dan terkejut dengan kehadiran Prabu yang tiba-tiba sudah ada di depan rumahnya."Tenang, Sira!" Prabu terkekeh mendengar kehebohan suara Sira."Bagaimana aku bisa tenang? Aku bahkan belum tahu harus mengenakan apa dan berdandan seperti apa? Bagaimana kalau aku mempermalukanmu? Bagaimana—""Hei, tenang!" Prabu buru-buru memotong kalimat Sira, sebelum perempuan itu semakin bingung dengan ketakutan di pikirannya sendiri. "Tenang, dan dengarkan aku bicara!"Sira menghela napas, mencoba menenangkan dirinya dan menunggu Prabu melanjutkan bicaranya."Aku di sini untuk memban
Tantangan Sira menggema di seluruh ruang tamu. Kalimat-kalimat yang menyinggung pernikahan tanpa hak dan kewajiban mereka menusuk jantung Gavin, namun tidak seperti yang Sira harapkan, Gavin tidak gentar.Gavin menatap Sira lurus, wajahnya keras dan menahan emosi. "Jangan bercanda, Sira," ujar Gavin, suaranya kembali sedingin es. "Aku tidak bisa menceraikanmu semudah itu.""Kenapa? Bukankah itu yang kamu inginkan sejak awal?" Sira balas menuntut, air matanya masih mengalir deras. "Kamu tidak mencintaiku, dan kamu sendiri yang bilang kita tidak punya hak dan kewajiban! Jadi apa lagi yang menahanmu, Gavin?"Gavin melangkah mundur sedikit, seolah ingin menghindari pertanyaan dan tuntutan Sira yang penuh amarah.Tepat di saat yang sama, ponsel Gavin yang tergeletak di meja berdering nyaring. Nama My Wife dengan emoticon love merah muncul di layar. Suara dering itu bagai alarm yang mengingatkan Gavin akan kenyataan lain. Ia mendadak terlihat lelah, seluruh emosi yang memuncak tadi seketik
Pukul menunjukkan jam tujuh malam lebih ketika Sira akhirnya tiba di rumah. Matahari telah lama tenggelam, meninggalkan langit dalam nuansa hitam dan abu-abu. Sira berjalan gontai, kelelahan fisik dan emosional setelah seharian menghadapi berbagai masalah dan mengambil keputusan terbesar dalam hidupnya.Lampu ruang tamu menyala. Sira menoleh dan jantungnya langsung mencelos. Gavin telah duduk tegak dengan kemeja kantor yang masih rapi, tapi raut wajahnya sama sekali tidak santai. Ia menatap Sira dengan tatapan mata yang keras, penuh ketegangan, seperti menahan emosi yang siap meledak.Sira menelan ludah. Sebelumnya ia berharap laki-laki itu akan menghawatirkannya dan berempati padanya. Tapi sekarang sepertinya dia hanya akan menambah beban mental dan emosinya."Dari mana?" tanya Gavin dingin, tanpa mengucapkan salam, tanpa sedikit pun keramahan. Suaranya rendah, tetapi menusuk.Sira berjalan mendekat, meletakkan tas dan ponselnya yang sebelumnya ia genggam di atas meja. "Ada urusan,"
Sira kehabisan akal. Otaknya buntu tak menemukan jalan keluar, kecuali ide gila yang akhirnya membawanya untuk bertemu Prabu sore ini.Seharian terjebak di sekolah dengan kisah pelakor yang masih menjadi topik hangat di sekolah benar-benar membuatnya jengah. Apalagi ketika ia dimintai pendapat oleh salah seorang guru yang mengatai pelakor dalam surat ancaman itu."Sira, menurut kamu pelakor itu benar-benar ada apa gak di sekolah kita? Kalau menurut aku nih, ya.... Pasti ada, gak mungkin lah orang itu iseng dengan membuat ancaman kayak gitu. Masalahnya kan ini ancaman buat guru, bukan buat anak-anak yang cuma sakit hati karena cinta monyet." Bisik Bu Tuti memulai perghibahannya siang itu ketika jalan beriringan dengan Sira usai keluar dari kelas yang meraka ajar menuju kantor.Sementara Sira hanya bisa menggigit bibir bawahnya, menahan malu sambil menggeleng pelan, tak ingin menanggapi guru sejarah yang terkenal dengan 'lambe turah' nya karena senang sekali membicarakan orang lain."Ja
Semangkuk mie kuah masih mengepul mengeluarkan panas di atas meja makan. Sira menghela napas sebelum mulai menyendok kuahnya.Sejak pagi tadi, ini adalah makan pertama yang masuk melewati tenggorokannya. Saat ini ia lapar, tapi sama sekali tak memiliki nafsu untuk makan.Gavin masih tak menghubunginya, menambah luka dan duka yang meliputi hatinya. Setelah apa yang ia lakukan selama akhir pekan ini, kini ia kembali menghilang seakan tak pernah terjadi apapun, seperti sebelumnya mengganggap Sira seakan tidak ada.Sira tahu Gavin sibuk mengurusi semua kekacauan karena surat ancaman itu, dan Sira tahu sifatnya yang kadang cuek itu juga tidak bisa dirubah, tapi bagi Sira tetap terasa menyakitkan mengingat bagaimana perhatian Gavin padanya kemarin tapi sama sekali tidak peduli sekarang.Sira sempat berpikir rasa cintanya untuk Gavin telah sepenuhnya hilang, tapi sepertinya ia salah. Sebelumnya ia hanya terbiasa tanpa Gavin, tapi begitu lelaki hadir lagi rasa itu akan dengan mudah kembali.S
Sira menatap sekotak tisu dari mobil Prabu yang disodorkan di hadapnya tanpa memedulikan beberapa orang yang berlalu lalang sambil melihatnya di taman kota siang itu.Prabu menggoyangkan kotak tisunya yang tak kunjung mendapat sambutan.Sira menghela napas, lalu menarik selembar tisu dari kotak dan menghapus sisa-sisa air mata dan menyeka hidungnya yang berair tanpa sungkan pada Prabu yang kini membuang muka setelah meletakkan kotak tisu di bangku taman, tepat di tengah-tengah mereka duduk."Gak mau tanya saya nangis kenapa?" tanya Sira akhirnya membuka suara setelah keheningan panjang di antara mereka.Prabu menggeleng pelan, lalu berbalik menatap Sira."Jari kamu kenapa?" Tanya Prabu yang sepertinya baru menyadari jari telunjuk Sira yang dibungkus plaster luka lucu berwarna biru."Luka, kemarin.""Kenapa?""kena pisau." "Kok bisa?""Ya bisa, kenapa enggak," sahut Sira sekenanya."Dalam ya lukanya?" tanya Prabu lagi seakan terus mencari topik pembicaraan lain yang tak penting."Gak,







